Share

Pernikahan Di Ujung Tanduk
Pernikahan Di Ujung Tanduk
Penulis: Waternim

Berlinang Air mata

Tampak sepasang sejoli yang masih terbaring di bawah selimut tipis berwarna putih untuk menutupi tubuh telanjang mereka berdua dari mata dunia, pakaian yang mereka kenakan pun tampak berserakan dimana-mana. Sudah bisa diketahui dari sini bahwa sepasang sejoli tersebut telah menghabiskan malam panas bersama di sebuah motel yang sengaja mereka pesan agar tidak mendapatkan gangguan dari orang terdekat.

Keduanya begitu lengket dengan lengan sang lelaki yang dijadikan bantal oleh sang wanita, sementara tangan yang satunya lagi memeluk erat pinggang kekasihnya. Begitu hangat dan nyaman terasa dalam ruangan yang dipenuhi oleh sisa-sisa cinta di udara atau tumbuh bermekaran layaknya bunga yang sedang dalam fase cantik-cantiknya.

Tidak ada yang salah untuk keduanya sampai sejauh ini, kecuali dering ponsel dari saku celana yang tergeletak di lantai mulai berdering dengan keras memenuhi seluruh ruangan kamar yang sunyi.

Kerutan diwajah sepasang sejoli tersebut menandakan bahwa keduanya merasa terganggu dengan suara dering ponsel tersebut yang tak mau berhenti, kelopak mata masih ingin tertutup rapat akan tetapi gendang telinga terus dimasuki oleh gelombang suara yang ingin segera diprioritaskan.

Akhirnya, sang wanitalah yang menjadi orang pertama membuka mata. Mengerjap-ngerjapkan matanya sejenak lalu melirik sang kekasih hati sebelum terduduk bangun dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari darimana suara ponsel tersebut berasal.

Dengan langkah yang begitu ringan dan tak tahu malu karena ia tidak memakai satu helai benangpun untuk menutupi tubuh telanjang yang penuh dengan bekas kemerahan, orang-orang biasa menyebutnya dengan tanda cinta.

Sesekali ringisan kecil keluar dari bibir penuh tersebut karena bagian bawahnya terasa ngilu, bibirnya pun tampak sedikit robek akibat dari keganasan sang kekasih prianya diranjang tadi malam.

Ponsel yang terus berdering kini sudah dalam genggamannya, sebuah nama Id yang tertera dilayar membuat senyumnya tampak muram. Namun, sedetik kemudian kedua sudut bibirnya tertarik ke atas.

“Halo, Mas. Kamu dimana? Kenapa semalam tidak pulang?” Sederet pertanyaan dari orang yang menelpon dari seberang sana terdengar begitu gelisah, akan tetapi nada suaranya terdengar halus nan lembut. Tak ada nada pengakiman disana.

“Hai, selamat pagi. Kamu tidak perlu khawatir Ran, Pahing tidur denganku semalam di motel.” Jawab wanita tersebut sambil duduk dipinggir ranjang dengan nada yang tak kalah lembut dari seorang penelpon diseberang sana yang bisa dipastikan juga seorang wanita seperti dirinya.

Tawa renyah yang keluar dari bibir penuhnya terdengar begitu syahdu bagai madu yang membuat candu, tangannya terulur menyapu wajah pria yang masih terlelap dalam tidurnya.

“Ah, benar. Tubuhku terasa sakit disana disini, sakit sekali.” Lanjutnya tanpa merasa bersalah, seolah-olah rutinitas tersebut adalah hal yang wajar untuk dilakukan diantara keduanya.

Adegan intim yang mereka lakukan, berputar kembali di dalam otaknya sehingga senyum makin merekah terlukis dibibirnya.

Merasa tak ada tanggapan dari wanita diseberang sana, ia memutuskan sambungan telepon secara sepihak lalu menaruh ponsel tersebut di nakas dekat ranjang.

Dia pun beringsut mendekat pada pria yang matanya masih tertutup rapat, kemudian mengubur wajahnya pada bahu lebar pasangannya.

Pasangan yang telah memiliki wanita lain di rumahnya yang berstatus sebagai istri resmi, adapun dia tak lebih dari seorang kekasih hati yang sedang merangkak bermain secara terang-terangan.

Ia pun memilih untuk tertidur kembali, bergabung bersama prianya merajut mimpi yang tadi sempat tertunda.

***

Sementara disisi lain, seorang wanita yang ponselnya masih menempel di daun telinga harus menelan pil pahit karena sambungan telelpon yang diputuskan secara sepihak.

Ia mencengkeram ponsel tersebut sampai buku-buku jarinya memutih dengan wajahnya yang merah padam, perutnya serasa bergejolak ingin memuntahkan sarapan yang tak lama masuk ke dalam perutnya. Jika tahu begini, dia tidak akan repot-repot untuk menelpon sang suami dan mengkhawatirkannya bagai orang gila semalaman.

Dan benar saja, tak berselang wanita tersebut berlari ke arah mandi dan langsung memutahkan isi perutnya ke mangkuk kloset duduk.

Setelah merasa puas, ia pun mengusap sudut bibirnya yang meninggalkan jejak cairan bening. Kemudian dia menekan tombol flush kecil sebelum keluar dari mandiri.

Rongga mulutnya terasa asam, kepala pun ikut terasa pening. Mungkin memakan sesuatu yang manis bisa sedikit menekan rasa asam dirongga mulutnya, tidak dengan hatinya.

Ia baru menikah dengan Pahing dua bulan lalu tapi merasa hidupnya sedang mengalami siksa neraka dunia, angan-angan ingin memulai hidup yang bahagia setelah pernikahan malah berujung disiksa secara perlahan.

Sungguh ironi, tak berarti terus diinjak hingga bernanah dan berdarah. Bercampur menjadi satu yang harus dia teguk walau begitu tak tertahankan.

Begitu menjijikan hingga ia bertanya-tanya, apakah dirinya masih termasuk ke dalam spesies manusia? Manusia normal mana yang ingin menjalani hidup seperti ini? Kecuali dia benar-benar sakit, mentalnya sakit seperti dirinya.

Kiran, nama dari wanita yang sedang mempertanyakan dirinya tersebut ke dalam jenis apa dan bagaimana dia bisa kuat sejauh ini. Tidak tahu esok, lusa atau satu minggu kemudian. Akahkah ia tetap bersikukuh menjadi orang akan tetap memegang teguh pernikahannya dengan Pahing? Atau malah mundur secara perlahan untuk mengakhiri segala rasa sakit yang kini sudah menjadi penyakit?

Kiran memilih permen rasa jeruk, rasa manis dan asam melebur menjadi satu dilidahnya. Sejujurnya ia ingin sekali berteriak bagai orang kesetanan serta menangis tersedu-sedu sampai air matanya kering, ingin sekali begitu tapi disisi lain enggan juga bertingkah seperti itu.

Ia pun memejamkan matanya, mencoba menetralkan pikirannya yang sedang kacau tersebut serta mencoba untuk menenangkan diri sendiri karena siapa lagi jika bukan dirinya yang bisa untuk melakukannya?

Lelehan cairan panas keluar dari ujung tiap kanan matanya yang tertutup rapat itu, bibirnya berkerut sementara hatinya makin teriris oleh benda tajam yang kasat mata.

Pada akhirnya, Karin tidak bisa menahannya lagi. Menahan sakit hati yang menggunung yang telah menelam jiwanya dengan rapi, pertahanan yang dimiliki pun runtuh.

Ia menangis tanpa suara, air matanya keluar semakin deras. Saking sakit hatinya, pita suaranya pun sudah tidak bisa menyuarakan suara pilu ditengah tangisan.

Kiran juga lelah jika harus menjadi tonggak dalam rumah tangga mereka, yang selalu berdiri tegak dan menancap kuat ke tanah walau ada orang asing yang mencoba untuk menariknya.

Kiran sudah benar-benar lelah hingga rasanya ia ingin mati, untuk mengakhiri segalanya lebih awal. Karena pada dasarnya, dalam setiap napas yang dia ambil terasa sangat sesak.

Pahing, pria yang selalu dia cintai, yang selalu mengisi seluruh hatinya juga yang menghancurkan hidupnya.

Karin yang selalu berharap bisa menjadi istri dan Ibu dari anak-anak Pahing, harus mengubur harapan tersebut dalam-dalam.

Dan kini minatnya untuk dikubur didalam tanah semakin menjadi, melihat batu nisan atas namanya adalah harapan baru.

‘Pahing, jika aku mati. Sudikah kamu melihat jasadku? Sebelum tubuh ini hanya tersisa tulang belulang, sudikah kamu melihat jasadku untuk terakhir kali?’

Pikiran Kiran berkecamuk tak karuan, tanda-tanda hilang kewarasan mulai mengambil alih diri.

Ia tidak sudi mati dini, tapi apakah Pahing akan kembali seutuhnya padanya?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status