Suasana hening menyelimuti mereka berdua, ketegangan terjadi diudara. Seluruh tubuh Pahing terasa terpaku ke tanah, bibirnya kelu tidak bisa mengecap kata sementara Kiran mulai mengatur napasnya yang memburu akibat dari tangisan yang kian ingin dihabiskan.
Rentetan kalimat sedang Pahing susun dalam benaknya agar tidak tertangkap dan Kiran pun tidak menaruh curiganya padanya, ia pun mulai berpikir untuk mengecek ponselnya. Namun, segera dia urungkan niatnya tersebut. Tidak mungkin, Pahing mengecek daftar panggilan dihadapan Kiran, itu pasti akan membuat istrinya menaruh curiga padanya. Pahing tidak sempat menyusun kalimat jika suatu saat Kiran mulai curiga, ia tidak tahu hari itu akan datang secepat ini. Seharusnya sudah jauh-jauh hari ia persiapkan, dia muali meruntuki kebodohannya sendiri. “Mas..” Panggil Kiran pelan dan terdengar begitu lirih, jadi apa diamnya Pahing ini adalah iya? “Jadi itu benarkan?” Lanjut Kiran ragu-ragu, sejujurnya ia masihlah berharap bahwa semua itu hanya kebohongan semata. Tidak mungkin Pahing akan mengkhianatinya, Pahing sangat mencintai dirinya. Kiran tanpa sadar sedang berada dalam sebuah denial agar dirinya tetap merasa aman dan keadaan rumah tangganya tidak baik-baik saja, ia hanya sedang menghibur dirinya sendiri diatas retakan yang sudah menjalar. Pahing menggeleng dengan keras, ia meraih jemari Kiran dan digenggamnya “Tentu saja tidak! Aku tidak akan pernah berani bermain api di belakangmu, Kiran. Kamu adalah wanita yang paling ku cintai di dunia ini, jadi kenapa aku harus berpaling pada wanita lain? Kamu mempercayaiku kan?” dia berusaha untuk tidak tergagap dan menjelaskannya dengan cepat, Pahing juga tanpa sadar menggenggam tangan Kiran dan menekannya dengan keras. Setidaknya Pahing berhasil mengusir kegugupannya lalu kembali bertingkah normal sebagaimana mestinya. Semakin Pahing banyak berbicara, semakin itu semua terdengar bagai bualan omong kosong saja. Akan tetapi Kiran menganggapnya sebagai sebuah ketenangan pribadi yang dia jadikan sebagai pegangan bahwa dihati Pahing memang hanya ada namanya dan tidak ada yang lain. “Kamu percaya padaku kan, sayang?” Diluar memang terlihat tenang tapi jantung Pahing berdetak dengan sangat kencang, ia dilanda harap-harap cemas. Panggilan manis dari Pahing yang dirindukan Kiran membuatnya dengan mudah mengganggukkan pelan kepalanya. Pahing menghela napas lega diam-diam kemudian menarik Kiran ke dalam pelukannya lagi, lain kali ia tidak boleh kecolongan untuk yang kedua kali. Untuk saat ini, dia akan jadikan pelajaran agar bisa lebih berhati-hati. Tangan Kiran pun melingkari pinggang Pahing, membalas pelukannya yang diberikan suaminya tak kalah erat. Ia termat merindukan pelukan ini, sudah lama sekali rasanya. Sayang sekali, indera penciumannya tak bisa diajak bekerja sama. Kiran mencium wangi parfum lain yang bercampur dengan wangi parfum suaminya, walau baunya tercium samar-samar tapi ia masih bisa membedakannya karena wangi parfum lain seperti sudah melekat. Menempel pada kemeja suaminya. Leher Kiran terasa dicekik oleh tangan tak kasat mata, apa Pahing sedang berbohong padanya? Ia mencengkram kemeja Pahing lalu memejamkan matanya erat-erat, hatinya bergejolak bukan main. Ketika Pahing ingin melepaskan pelukannya, Kiran tidak akan membiarkannya begitu saja. Melepasnya dengan mudah, ia hanya ingin lebih lama dalam pelukan hangat yang bertopeng ini. “Aku mencintaimu, Pahing. Aku sangat mencintaimu, jangan tinggalkan aku.” Bisik Kiran tepat didaun telinga kiri Pahing. Napas Kiran yang menerpa kulit lehernya sedikit membuat tubuh Pahing kaku ditambah permintaan Kiran yang agaknya tampak sulit untuk dilakukan sekarang, jika dulu dia akan mudah membalas dan memenuhi seluruh permintaannya secepat kilat. “Tentu saja, Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku juga sangat mencintaimu, Kiran.” Balas Pahing walau dengan hati yang berat, terasa salah tapi terasa benar. “Aku harap kamu bisa memegang kata-katamu, Pahing. Tolong, jangan mengkhianatiku.” Kiran memohon dengan sangat, ia belum siap jika harus kehilangan Pahing dalam hidupnya. Pahing adalah pusat dunianya, cintanya. Jika tidak dengan Pahing, ia lebih baik mati saja. “Iya, kamu bisa memegang kata-kataku Kiran. Hanya percayalah padaku dan jangan pernah dengarkan orang lain, dengarkan saja aku.” Pahing menekannya kalimatnya terakhirnya agar Kiran dapat segera menghilangkan rasa gelisahnya juga disis lain, diam-diam ia meminta maaf pada Eri karena dia merasa telah menyakitinya secara tidak langsung. Tak lama terdengar suara dering ponsel milik Pahing yang mengharuskannya untuk melepaskan pelukan ini, Kiran pun membiarkanya. Namun, ketika Pahing melihat nama id yang tertera di layar ia seperti melihat hantu.Sebelum Kiran melangkahkan kakinya keluar dari kamar, ia melihat pintu kamar mandi yang tertutup rapat biasanya dia akan meninggalkan sedikit celah di sana sehingga memudahkannya tahu bahwa ada orang di dalam sana atau tidak walaupun hanya mereka berdua yang menghuni kamar serta rumah ini. Sepertinya cara yang satu begitu efektif bagi Kiran, tujuan utamanya pun mendekat ke arah pintu kamar mandi. Tentu saja tidak mudah, bahkan beberapa kali ia hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya serta kepalanya yang masih agak terasa sedikit pusing hingga membuat pandangnya juga ikut tidak fokus dan buram. Namun, karena memiliki tekad yang begitu kuat sampai pada akhirnya bisa mendorong Kiran sampai di tempat yang dia tuju dengan postur tubuhnya yang sedikit membungkuk ke depan. Lalu Kiran pun mengetuk pintu kamar luar dengan tenaga terakhir yang dia miliki karena sesungguhnya ia merasa tubuhnya akan tumbang sebentar lagi, napasnya juga terengah-engah. “M-mas.. Pahing.” Akhirnya Kiran
Kiran berusaha untuk membuka paksa matanya agar bisa terbangun dari mimpi buruk yang bisa membuatnya gila, dadanya pun naik turun tidak karuan. Kedua tanganya mencengkeram seprei dengan erat, keringat memenuhi dahinya yang tadinya hanya sebiji jantung saja. Jantung pun berdebar lebih cepat akan tetapi napas terasa tersendat. Jika Kiran tidak bisa bangun dari mimpi buruk ini, mungkin dia bukan hanya akan di buat gila melainkan akan mati secara perlahan. Entah itu karena rongga dadanya yang terasa menyempit sehingga menyumbat oksigen yang akan masuk ataupun bisa membuat lidahnya patah karena terlalu keras mengigitnya. Gerakan Kiran tampak makin abnormal dalam tidur yang kali ini tampak tidak damai, badai memang terlalu menghantam terlalu keras walaupun masih terlalu dini. Efek yang di berikan luar biasa bukan main, membuat seluruh tubuhnya bekerja sama untuk memproduksi tingkat kecemasan yang meningkat tajam. Ketakutan yang memeluk erat tubuh, dari ujung rambut hingga ujung
Pahing sudah berusaha untuk menghubungi kekasihnya, akan tetapi tetap tidak tersambung dan terus di alihkan. Ini sudah masuk yang kelima kali, membuat dirinya kalut. Biasanya Eri tidak pernah mengabaikan panggilan darinya, biasanya dalam deringan kedua langsung di angkat. Namun, sekarang bahkan dalam panggilan yang kelima tak kunjung di angkat juga. ‘Apa yang sebenarnya terjadi pada Eri?’ Pertanyaan tersebut terus berputar di dalam pikirannya sembari menatap ponsel yang berada dalam genggamannya yang sudah ia remas sekuat tenaga, seperti berniat menghancurkan benda persegi panjang tersebut dengan urat-urat di tangan yang begitu menonjol. Pahing memang baru berpisah dalam hitungan jam tapi rasa rindu ingin mendengar suara Eri sudah menyeruak dalam hati dan rasa rindu tersebut ingin segera ia bebaskan, walau hanya mendengar tanpa wujud fisik dari kekasihnya di depannya. Itu sudah sedikit mengobati rasa rindu miliknya dan bagian lainnya yang memang tidak bisa di puaskan jika tidak
Eri menatap ponselnya dengan tatapan tidak percaya, ketika ia sedang mencoba untuk menghubungi Pahing dan tersambung lalu sambungan telepon terputus begitu saja karena pihak lain mematikan ponselnya secara tiba-tiba.“Mengesalkan saja.” Keluh Eri sembari mencebikkan bibirnya, hari ini sungguh sial baginya.Ketakutan sedari tadi yang dimilikinya menjadi kenyataan, ia gagal untuk menemui orang penting tersebut karena terlambat datang ke tempat perjanjian yang telah disepakati.Eri hanya menggerutu kesal dan menyalahkan kesialannya pada Pahing karena Pahing merupakan sumber kesialan itu sendiri, jika saja dia bisa memaafkan masa lalu mungkin dia tidak akan repot-repot untuk membalaskan dendamnya.Pasalnya, kesalahan Pahing tidak bisa dimaafkan begitu saja. Tidak semudah itu memaafkan seseorang yang bisa dengan mudahnya mengambil orang penting dalam hidup Eri, begitu dengan Kiran.Mereka berdua pa
Keheningan udara untuk kedua kalinya, suara napas dari keduanya tak terdengar jelas. Yang satu bernapas lebih lambat dan lainnya bahkan tidak bisa mengontrol napasnya. Ketegangan yang dirasakan Pahing begitu kentara, bahkan tangan tangannya ikut basah. Bulir-bulir keringat sebiji jagung diproduksi oleh dahinya padahal AC tidak pernah dimatikan. Kiran yang sedari mengamati perubahan wajah ekpresi Pahing membuat hati bergetir, apakah wanita gatal yang mencoba untuk menghubungi suaminya? Ia tidak akan membiarkan begitu saja, dia akan berusaha untuk melindungi mili
Suasana hening menyelimuti mereka berdua, ketegangan terjadi diudara. Seluruh tubuh Pahing terasa terpaku ke tanah, bibirnya kelu tidak bisa mengecap kata sementara Kiran mulai mengatur napasnya yang memburu akibat dari tangisan yang kian ingin dihabiskan.Rentetan kalimat sedang Pahing susun dalam benaknya agar tidak tertangkap dan Kiran pun tidak menaruh curiganya padanya, ia pun mulai berpikir untuk mengecek ponselnya. Namun, segera dia urungkan niatnya tersebut. Tidak mungkin, Pahing mengecek daftar panggilan dihadapan Kiran, itu pasti akan membuat istrinya menaruh curiga padanya.Pahing tidak sempat menyusun kalimat jika suatu saat Kiran mulai curiga, ia tidak tahu hari itu akan datang secepat ini. Seharusnya sudah jauh-jauh hari ia persiapkan, dia muali meruntuki kebodohannya sendiri.“Mas..” Panggil Kiran pelan dan terdengar begitu lirih, jadi apa diamnya Pahing ini adalah iya?“Jadi itu benarkan?