"Tessa-Tessa, Sayang." Rendra mengejar langkah Tessa. Jalan cewek itu sudah seperti orang dikejar tukang kredit saja, cepat banget.
"Apa, sih, Mas?" sergah Tessa seraya menarik tangan. Rendra berhasil meraih, dan mencekal tangannya.
Tentu langkah Rendra lebih lebar dari Tessa. Tingginya saja lebih tinggi Rendra. Jelas tinggi kakinya lebih tinggi Rendra.
"Sayang, mau kemana, sih? Mau naik bis apa? Sampe jalannya cepat banget." Rendra menatap Tessa yang masih cemberut.
"Naek bajai. Puas?" jawab Tessa agak sinis. Ia masih tunjukkan wajah cemburu.
Fixs, cemburu, karena wajahnya memang bisa dibilang begitu. Rendra bisa membacanya. Pernikahan mereka sudah hampir dua tahun, sudah Rendra tahu bagaimana sikap dari istri-istrinya. Termasuk saat cemburu. Lagian cewekkan kalau cemburu nggak bisa disembunyikan. Ya, kan?
Rendra pun genggam tangan Tessa dengan lembut. Tatapan yang dia gunakan sama seperti saat menatap Kresna tadi. Ya, tatapan mesra.
Tessa tidak bisa menahan diri, saat ditatap seperti itu. Rendra bukan natap kaya tatapan pappy eyes gitu. Tatapannya itu seperti melelehkan, menatap tepat di kedua bola mata.
"Sayang," desahnya lembut sekali. "Cemburu, ya? Maafin Mas, ya. Mas nggak tahu ada kamu sama Kanti tadi pagi."
"Jadi, makin dempet aja, gitu? Kenapa nggak sekalian masukin di sana aja? Nggak usah raba-raba doang!"
"Duh, marah, ya? Masa sih Mas raba-raba, nggak deh perasaan. Mas cuma--"
"Ciuman panas, sampe otak aku ngebul tahu!" tukas Tessa mulai menunjukkan sikap cemburu. Nah kan ketahuan, deh. Gagal maning dia mau sembunyi dari rasa cemburu.
"Nah, kan bener toh kamu cemburu?" Logat Rendra diubah kaya orang jawa. Maklum, dia kan keturunan Surabaya-London. So, gitu deh kalau logat jawanya sudah keluar.
"Ih, siapa bilang?"
"Mas tahu, Mas tahu isi hati kamu, isi rumah kamu, isi di balik baju kamu juga."
"Ngeres!"
"Sapuin."
Tessa diam. Ingin rasanya dia nyemplungin muka ke got saja. Eh, kok got jijik amat. Intinya Tessa amat malu. Kenapa? Karena dia memang tidak pernah bisa menyembunyikan rasa cemburu di hadapan suaminya ini.
"Sudahlah, kalau cemburu bilang aja. Cemburu bagian mana? Ciuman atau sempaknya?" tanya Rendra seraya menahan kekehan.
Dahi Tessa sontak mengkerut. "Kok sempak, sih? Istri cemburu malah bahas sempak."
"Ya, kan tadi Kresna bahas sempak. Ya, siapa tahu kamu juga kepo masalah itu," jelas Rendra tenang.
"Apaan, sih? Aku tahu, kok." Tessa menyedekapkan tangan.
"Kamu belum pernah nyuci gimana bisa tahu?"
"Udah ah, Mas! Kok bahas ini, sih. Nggak lucu!"
"Ya, kamu sih cemburu segala. Mas bakal berusaha adil. Kamu ingat janji Mas itu, kan?" Rendra menarik dua tangan Tessa, mengalungkan di leher.
Lagi dan lagi Tessa hanya bisa terpaku menatap dua netra berkornea abu itu.
"Sayang." Rendra mengelus bawah mata Tessa. Ia kecup lembut bibirnya perlahan.
"Jangan cemburu, ya?" pinta Rendra halus setelah mengecup mesra. "Mas, bakal berusaha adil sama kalian berempat. Kamu mau apa? Ciuman kaya Wanda juga?"
Tessa menggeleng dengan bibir manyun.
"Terus mau apa, hm? Lihat sempak Mas?"
"Mas!" pekik Tessa yang sukses pertanyaan Rendra itu membuat Tessa tersenyum.
"Kasih tahu aja, Mas! Dia itu kepo tuh sebenarnya!" Suara Kresna membuat dua insan yang tengah bermesraan itu menatap bersamaan ke arahnya.
Kresna berjalan santai menuju sofa di samping Rendra. Rendra berhasil menahan Tessa tepat di ruang tengah. Makanya, mereka bisa dilihat Kresna saat dia akan duduk, menikmati tontonan di ruang tengah.
"Eh, Kakak." Tessa terperanjat. Dia yang memang perasa, lekas menarik tangan yang mengalung di leher Rendra. Takut jika Kresna pun merasakan cemburu.
Sementara, Rendra pun perlahan melepaskan tangan di pinggang Tessa. Ia ikut menatap Kresna yang dengan antengnya kini makan singkong keju. Entah dari mana wanita itu mendapatkannya. Yang jelas bukan maling, sih.
"Kakak ...," lirih Tessa. "Kakak kok bisa ada di sini, sih?"
"Apaan sih kamu, Sa? Ini kan rumah Kakak. Ya jelas Kakak gentayangan di sini," celetuk Kresna. Mulut istri Rendra satu ini emang agak gesrek kali ya. Masa diri sendiri dikatain gentayangan.
"Kamu hantu? Bilangnya kok gentanyan?" sela Rendra mengeryitkan dahi.
"Ya, Ena gentayangan di hati Mas. Masa nggak sadar." Kresna jahil menaik turunkan alis, setelahnya kembali makan singkong.
"Awas aja kamu! Lihat nanti malam!"
Tessa melirik Rendra. Dia tahu pria itu menahan senyum. Disenggolnya lengan Rendra pelan.
"Kenapa nunggu malem? Sekarang aja!" serunya santai.
"Nggak." Rendra melirik Tessa dengan mata nakal. "Sekarang, Mas punya urusan sama kamu."
"Nah, iya tuh. Si Tessa bilang pengen tahu sempak Mas. Katanya, dia curiga sempak Mas itu yang bunga-bunga kaya yang ada si sopi."
"Sopi siapa?" Tessa kembali cemberut mendengar akhir kalimat Kresna.
"Astaghfirullah!" Refleks Kresna memukul dahi. "Tessa Sayang, itu tu merek tempat belanja. Yang iklannya sering nongol di TV itu. Bosen Kakak liat tu iklan. Kamu masa nggak tahu."
"Udah dari pada cemburu mending cari tahu, ya nggak Mas?" Kresna kembali memberi kode ke Rendra.
Suaminya itu paham sekali dengan maksud Kresna. Satu hal tentang Kresna, dia tidak mau hubungan suaminya dengan istri-istrinya memburuk. Kresna selalu ingin semua di rumah tangga mereka damai.
Kresna, sosok yang legowo dengan apa yang terjadi. Itu yang Rendra tahu dari wanita berhijab syar'i itu. Satu-satunya istri Rendra yang selalu menutupi tubuh dengan gamis lebar di segala situasi, kecuali kamar dan kamar mandi, ya? Masa di kamar mandi pake gamis. Ya kali kunti.
"Okey. Aku bakal kasih tahu supaya kamu nggak cemburu. Ayo!" Rendra menarik tangan Tessa.
"Eeh, Mas!" Tessa tidak bisa menolak, dan pasrah saja di tarik Rendra ke arah pintu utama.
"Sukses, Sa! Nanti minta kosmetik terbaru juga sama Mas Rendra, aku minta," teriak Kresna sembari tersenyum.
Sesaat Rendra menoleh ke belakang, ia tersenyum manis ke arah Kresna seraya mengedipkan mata.
"Dasar Bule Playboy," kekeh Kresna, lalu kembali memakan singkong keju di pangkuan.
°°°
Bukan spesialis romcom, tapi semoga suka, ya. Komentar yuk, gimana menurut sahabat readers kisah ini?
Makasih :-)
"Mas mau minum apa?" Tessa berjalan ke arah dapur.Kini, setelah menyebrangi jalan dari rumah Kresna, Rendra dan Tessa sudah berada di rumah. Ya, ini rumah Tessa yang berseberangan dengan rumah Kresna.Rendra memang memberikan masing-masing satu rumah untuk istrinya. Jika, rumah Kresna berada di sebrang rumah Tessa. Maka, rumah Wanda dan Kanti berada di perumahan yang berbeda.Pria dengan setelan kaos dan jas navy itu mengamati Tessa yang membuka lemari es. "Mas mau susu, ada?""Susu apa? Ada susu ibu menyusui, susu Aski, atau susu beruang.""Beruang?" Rendra berjalan menghampiri. "Nggak ah, Mas nggak mau semua itu. Mas maunya ...."Tessa seketika membalik badan, saat mendengar Rendra menggantung kalimat. Bibir yang dilapisi lisptik mate merah muda itu tersenyum malu-malu, saat Rendra memeluk erat dari depan."Mau mau susu ka--"&n
"Popok?" Rendra sontak duduk tegak dengan membuat mata kecilnya melotot. "Popok kamu abis?" "Mas!" Rendra mengaduh mendapatkan pukulan dari Tessa. Meski pake bantal, tapi dia kaget beuh dapat pukulan tiba-tiba. "Bukan popok aku, tapi Aski," terangnya agak kesal, Tessa lalu melempar bantal tepat ke wajah Rendra. Untung Rendra berhasil menangkapnya. Ia malah cengengesan lalu kembali tersenyum jahil. "Kirain popok kamu." "Apaan, sih? Aku nggak pake popok. Ya kali aku pake popok." "Tiap bulan kamu pake popok, lho," goda Rendra, kini memeluk bantal. "Itu bukan popok!" "Terus apa? Sama aja, dipake di dalam celana." Rendra menahan tawa, membuatnya kembali mendapatkan cubitan di lengan. "Aw!" pekik Rendra merasakan cubitan Tessa. Kecil sih, tapi peri
Hentakan kaki terdengar setelah suara pintu dibuka. Waktu baru menunjukkan pukul sembilan malam. Namun, rumah Kresna memang sudah sepi.Dua pembantunya sudah tidur. Ya, secara otomatis mampu membuat suara hentakan kaki Tessa cetar membahana di ruang makan. Cewek berambut hitam itu langsung masuk begitu saja ke sana lalu duduk di samping Kresna."Kenapa kusut? Belum makan? Pucat banget kaya mayat idul?" tanya Kresna santai sambil membuka kulit jeruk. Matanya sesekali melirik Tessa yang cemberut."Pintu nggak dikunci, ya?" Bukan menjawab, Tessa malah balik tanya, pake tatapan setajam silet pula. Bikin Kresna mengeryitkan dahi."Kenapa, gitu?" Kresna masukkan jeruk sudah kupas ke dalam mulut."Nggak, kan Mas Rendra mau ke rumah," lanjut Kresna lalu meluahkan dan membuang biji jeruk ke dalam mangkuk."Oh." Lirikkan Tessa tertuju pada jeruk. Dan, no basa-basi dia
"Ngapain Tessa ke sini?" Rendra melangkah masuk rumah. Beberapa saat sebelumnya, ia telah mendapat salim dari Tessa. Hanya senyum kecil, lalu setelahnya istri ke empatnya itu segera pamit pulang.Kresna menutup pintu perlahan, lalu mengikuti langkah Rendra masuk rumah. "Dia minta makan.""Minta makan?" Rendra berhenti dan membalik badan. "Kenapa minta makan? Pembantu-pembantunya sakit?"Tangan Kresna menggaruk tekuk leher. Bukan gatal, cuma bingung aja mau bilang apa. Masa iya, bilang Tessa cemburu dan nangis-nangis? Kan, kasihan Tessanya. Dia juga bilang untuk jaga rahasia percakapan mereka tadi."Eu ... dia ... dia cuma pengen makan masakan aku, Mas," sahut Kresna berusaha setenang mungkin."Oh, gitu." Rendra sedikit menyelidiki wajah Kresna."Apa sih, Mas? Aku emang cantik nggak usah dilihatin gitu, nanti makin cinta lagi," celetuk Kresna, menarik dua sudu
Katakan Kresna munafik. Depan Rendra, Kresna tidak pernah mengungkapkan rasa cinta. Seakan dia memang tidak cinta pada Rendra. Namun, sebenarnya Kresna memiliki rasa sayang pada suaminya itu.Entahlah. Apa cinta dan sayang bisa dikategorikan dua hal berbeda? Kresna sendiri tidak memahaminya. Ia hanya selalu berusaha jadi istri baik untuk Rendra. Seperti yang ia bilang sebelumnya, Kresna berharap surga atas baktinya pada Rendra.Langka beuh cewek kaya gini, mungkin hampir punah. Udah kaya komodo aja hampir punah. Tapi Kresna bukan komodo, ya. Apalagi orang utan khas Sumatera.Okey, seperti kelangkaan dirinya dari kalangan kaum hawa. Perasaan Kresna detik ini pun perasaan langka yang jarang ia rasakan.Tepat di dapur, Kresna sedang mengaduk susu dalam gelas. Bibirnya senyum-senyum sendiri. Ia teringat apa yang terjadi semalam. Rendra berkata cape, giliran udah dikasih susu. Eh, dia nyosor juga. Susu as
"Tolong Mbak jaga ucapan Mbak. Di sini ada Tessa, Mbak nggak mikirin perasaan dia?!" geram Kresna, namun masih berusaha menahan emosi.Wanita bermata almond itu melirik Tessa sinis. Lantas duduk di sofa dengan menyilangkan kaki. "Ya, emang bener, kan? Kamu aja yang suka bela-bela dia. Sadar dong, Na! Dia itu emang Cewek Murahan."Sudah tidak bisa Tessa bertahan dengan perkataan Wanda. Istri pertama Rendra itu memang selalu memandang benci pada Tessa. Jika Kanti masih kadang-kadang baik. Berbeda dengan Wanda, dia selalu saja mencari jalan menyudutkan Tessa.Dengan hidung mulai memerah, Tessa hentakkan kaki meninggalkan Wanda yang tersenyum sinis."Mbak!" ujar Kresna dengan mata melotot.Namun, lagi-lagi Wanda tidak peduli. Dia hanya memutar bola mata dan segera mengambil ponsel dalam tas.Napas Kresna sudah dibuang kasar. Meski begitu, hanya sika
"Kenapa kamu bilang gitu, hm?" tanya Rendra begitu lembut. "Kalau Mas nggak mau, gimana? Mas nggak mau kita pisah apapun itu alasannya." Lembut sentuhan Rendra semakin membuat Tessa terisak.Sakitnya hati Tessa, bukan hanya karena tidak rela kehilangan Rendra. Namun, ia pun merasakan perih sayatan dalam setiap kata Rendra. Seolah kata-kata itu semakin membuatnya sulit melepaskan.Semua kata itu pun, Tessa tahu tidak hanya diucapkan padanya. Melainkan diucapkan pada keempat istri Rendra. Menyakitkan sekali jadi yang kesekian.Melihat Tessa hanya diam terpaku, lekas Rendra dekap wanita berkulit putih bersih itu, menyenderkan kepalanya di dada.Tindakan Rendra semakin membuat Tessa terisak, bahkan tanpa sadar tangisnya membuat Aski terbangun. Tubuh Tessa yang berguncang mengusik tidur bayi tampan itu.Cepat-cepat Tessa melepas pelukan. "Stthh, Sayang ini Mami, Nak. Maaf ya, Sayang.
Apa yang didengar di telepon waktu itu masih terngiang di telinga Kresna. Suara itu bukan suara Rendra, namun pria lain.Anehnya, suara itu tidak asing bagi Kresna. Tetapi, siapa cowok yang menelepon Wanda dengan embel-embel sayang?"Kak." Suara Tessa berbisik sambil menyenggol lengan Kresna.Kresna mengalihkan pandang dari jejeran rumah-rumah yang seolah mundur. "Hm," sahutnya singkat."Kakak kenapa, sih? Jangan bilang mabok! Dari tadi diem mulu," tanya Tessa heran. Dari awal keberangkatan ke Bogor ini, Kresna memang hanya diam saja. Tessa tidak tahu kenapa dengannya. Dari wajahnya, Tessa kira dia bukan lagi mabok deh. Adem aja mukanya."Nggak apa-apa." Kresna kembali memandangi pemandangan di balik kaca mobil. Seperti biasa, ada rumah-rumah, toko, dan hal lain pada umumnya. Tidak ada yang menarik sebenarnya."Kakak bohong! Apa jangan-jangan Kakak lagi mikir