Share

Debat Istri Kedua dan Keempat

"Popok?" Rendra sontak duduk tegak dengan membuat mata kecilnya melotot. "Popok kamu abis?"

"Mas!"

Rendra mengaduh mendapatkan pukulan dari Tessa. Meski pake bantal, tapi dia kaget beuh dapat pukulan tiba-tiba.

"Bukan popok aku, tapi Aski," terangnya agak kesal, Tessa lalu melempar bantal tepat ke wajah Rendra.

Untung Rendra berhasil menangkapnya. Ia malah cengengesan lalu kembali tersenyum jahil.

"Kirain popok kamu."

"Apaan, sih? Aku nggak pake popok. Ya kali aku pake popok."

"Tiap bulan kamu pake popok, lho," goda Rendra, kini memeluk bantal.

"Itu bukan popok!"

"Terus apa? Sama aja, dipake di dalam celana." Rendra menahan tawa, membuatnya kembali mendapatkan cubitan di lengan.

"Aw!" pekik Rendra merasakan cubitan Tessa. Kecil sih, tapi perihnya luar binasah.

"Salah sendiri! Dibilang bukan buat aku, ngeyel mulu!"

"Kan Mas kira--" Rendra diam seketika melihat tangan Tessa yang sudah naik bersiap mencubitnya lagi.

"Okey, Mas serius sekarang. Emang Mas lupa transfer sama kamu, ya?" Rendra menatap serius sekarang.

"Nggak, sih." Tessa menunduk, dengan tangan menggulung-gulung ujung kaos.

"Oh, uangnya kurang buat beli popok? Atau kamu abisin buat beli popok kamu?"

"Aduh!" Rendra kembali mengaduh mendapat cubitan lagi dari Tessa.

"Mas ketularan Kak Ena, ya? Nggak bisa diajak serius," rengek Tessa manyun.

"Okey-okey, sorry. Mas suka liat kamu manyun. Jadi, seneng aja jailin kamu. Hehe. Maaf ya, Yayang Tessa." Bujuk dan rayu Rendra mulai ia keluarkan lagi. Dengan lembut ia tarik tangan Tessa, kembali menggenggamnya.

"Udah tenang aja, nanti Mas transfer lagi buat beli popok. Tapi, Mas boleh tanya, kan? Uang yang Mas kasih kurang? Tumben minta."

"Bukan kurang, Mas." Mata Tessa menatap imut. "Tapi, aku kan mau beli eyeliner terbaru yang mau Mas luncurkan, jadi aku simpan uangnya buat itu. Ada baju lucu juga di Mall, uangnya kurang kalau aku beliin susu."

"Astaghfirullah!" Rendra senyum sambil geleng-geleng. "Jadi, itu masalahnya. Kamu mau eyeliner limited edition itu, sampai nabung segala?"

"Ya, abis harganya mahal banget 5 juta satu, belum lagi aku kan mau lipstik yang terbarunya juga."

For your impormation aja, Rendra adalah seorang CEO salah satu kosmetik terbesar di Indonesia. PT. Purnama Rose, sebuah perusahaan di bidang kosmetik yang bahkan produknya terkenal di Asia dan dunia.

Jadi, tidak salah jika dia mesem-mesem saat Tessa bilang nabung untuk membeli produk baru yang akan dia luncurkan.

"Sayang," desah Rendra halus, menatap kedua mata Tessa. "Kamu tenang aja. Untuk produk terbaru itu, Mas udah buat 9 yang limited edition. Dengan lapisan emas di wadahnya itu, kan?"

"He'em, Aku mau yang itu Mas. Bagus banget kalau dipajang di I*." Tessa tunjukkan jejeran gigi putihnya.

Rendra kembali tersenyum. "Iya, untuk yang itu Mas sengaja bikin sembilan buah. Yang lima untuk dijual di lelang, yang empat buat istri-istri Mas. Gimana, mau?"

"Wah, serius Mas?" Tessa refleks segera memeluk Rendra. "Asik! Makasih Mas. Mas the best pokoknya."

"Iya, Sayang. Sama-sama." Rendra balas memeluk erat.

"Tapi, sebelum itu Mas minta sesuatu sama kamu?"

"Apa?" Tessa lepas pelukan, berganti menatap penasaran.

"Pijitin Mas dulu!" Rendra menepuk-nepuk satu bahu. "Mas capek banget, Sa. Kamu tahu? Tadi si Oni malah molor di mobil. Jadi, Mas deh yang harus nyetir. Mana ada acara mogok lagi tu mobil."

"Mobil Oni?"

"Ya, mobil si Oni. Mas kan nggak bawa mobil ke rumah Wanda. Tadi juga di jemput." Rendra menarik, meletakkan telapak tangan Tessa di bahunya.

"Pijitin, ya?" pinta Rendra manja.

"Mas kalau pijit suka minta plus-plus." Wajah Tessa kembali cemberut sambil menarik tangan.

"Nggak apa-apa, dong. Mas nanti minta plus susu, ya. Yang seger," goda Rendra lagi, lalu menarik Tessa, membuat Tessa berada di atas tubuhnya.

Tessa bisa mencium aroma tubuh khas Rendra. Pria itu suka memakai parfum seharga 4,9 jutaan. Kombinasi wangi lemon, melati, mawar, oud, amber, dan tonka. Cuco banget wanginya, bikin Tessa deg-degan kalau dekat sama Rendra.

"Ma-s," desah Tessa dengan mata berkedip-kedip.

"Apa, Sayang?" Jemari Rendra manis bermain di antara helaian rambut Tessa.

"Mas, bau."

"Hah?" Mata Rendra kembali melotot. "Bohong, ya? Mas wangi lho, Sayang."

Tessa terkikik pelan. "Ya, bercanda. Aku cuma nggak mau deket-deket gini. Mas suka kebablasan ah!"

"Jangan bilang 'ah' nanti Mas kebablasan beneran lho, mau tanggung jawab?" Mata Rendra kembali menatap nakal.

"Ih, nggak ah." Tessa pelan beranjak dari tubuh Rendra, lalu duduk di sampingnya.

"Udah. Katanya mau dipijitin," ujar Tessa lagi lalu mulai memijit bahu Rendra.

Rendra pun membalikkan tubuh dan mulai menikmati sentuhan demi sentuhan dari sang istri. Tessa ini mirip dengan Kresna, sentuhannya selalu lembut dan menenangkan. 

Jika Kresna istri yang begitu sabar dan telaten, maka Tessa adalah istri lembut dan polos. Tessa selalu nurut, sama seperti Kresna. Bahkan Tidak seperti Kresna yang pintar dan sulit dibohongi, Tessa justru sebaliknya. Dia mudah percaya.

"Nah, iya-iya, Sayang. Yang itu, ditekan, dong!" pinta Rendra merem melek mendapat pijitan Tessa.

"Diputar, Sayang." Rendra merasakan tangan lentik sang istri memijit punggung bagian bawah. Ya, di sanalah letak pegal Rendra sedari tadi, karena sempat mendorong mobil juga.

Setelah beberapa saat, Rendra benar-benar menikmati pijitan Tessa. Hampir tidur, namun dia merasa ada yang kurang.

"Diputar tangan kamunya, Sa," pinta Rendra malah membuat Tessa memberhenti memijit.

"Lho, Sayang kok berhenti, sih?" Rendra merasa heran. Perasaan dia tidak minta diputar, dijilat dicelupin deh, kok Tessa malah stop mijitin, sih?

"Mas!" Suara itu membuat Rendra mengeryitkan dahi.

"Mas! Aku mau ngomong!"

Rendra semakin merasa heran. Suara itu benar-benar beda, bukan suara Tessa. Mata Rendra membeliak saat ditekan bagian daging punggungnya.

Rendra membalik badan cepat. "Aw! Sayang suara kamu kok--"

"Apa, Mas? Beda ya suaranya? Atau Mas lupa suara aku?!" seru Kanti, istri kedua Rendra, wanita dengan mata belo yang indah.

"Eh, Kanti. Tessa kok berubah jadi kamu?" Tubuh Rendra ditegakkan dengan mata terkaget. Pasalnya, Rendra memang baru bertemu Kanti sejak tadi pagi. Belum minta maaf tepatnya.

"Kamu nggak adil, Mas!"

"Lho, nggak adil apa, Sayang?" tanya Rendra halus sambil tangan hendak meraih jemari Kanti, namun cepat Kanti tepis.

"Udahlah! Aku udah denger semua yang kalian omongin. Lain kali kalau mau ena-ena, jangan lupa tutup pintu, dong!" ketusnya, lalu lekas Kanti hentakkan kaki, keluar dari kamar.

"Kanti-Kanti! Hey, Kanti!" Rendra cepat mengejar wanita berparas ayu itu.

"Apa, Mas?! Udah jelas kok, kamu nggak bisa adil!" Terpaksa Kanti berhenti di bawah tangga, saat Rendra berhasil mencekal tangannya.

"Nggak bisa adil apa, sih? Tadi Mas ngomongin popok sama Tessa, kamu mau juga?"

"Astaga, Mas!" geram Kanti. Suaminya itu tidak mengerti sama sekali arti amarah di wajahnya.

"Terus apa, dong? Kamu marah karena apa?" Selalu dan seperti ini cara Rendra bicara di depan semua istrinya. Sehalus dan selembut mungkin.

"Mas mau ke Singapura, kan? Minggu depan Mas ke Singapura dan secara otomatis Mas nggak akan pulang ke rumah aku. Ini nggak adil, Mas! Minggu depan itu ulang tahun aku!" papar Kanti masih dengan nada menggebu.

"Astaghfirullah, iya Mas lupa, Sayang. Iya, Mas mau ke Singapura. Kan peluncuran produk baru itu di sana." Desahan suara Rendra amat pelan sarat akan penyesalan.

"Maaf ya, Sayang. Nanti kalau pulang, Mas langsung ke rumah, kok," bujuk Rendra berusaha meredakan amarah Kanti yang mulai menyerupai Tessa tadi. Manyun bersenti-senti.

"Nggak! Pokoknya Mas nggak adil!" Dua tangan Kanti disedekapkan dengan wajah tak sedap dipandang.

Rendra menghela napas. Kadang ia juga merasa lelah menghadapi empat kaum hawa yang sikapnya berbeda. Kanti dan Wanda adalah dua istrinya yang cukup keras kepala dan manja.

Begitulah wanita. Segala yang dia katakan, ungkapkan, dan lakukan selalu benar. Ye, kan? Setujulah!

Nah, dari itulah kadang Rendra merasakan pusing tujuh keliling, delapan putaran, sembilan tanjakan. Namun, meski begitu ia selalu bersikap sabar pada keempatnya. Ya, bisa dibilang sabar sudah mendarah daging di diri Rendra.

Di sela helaan napas itu, tiba-tiba suara manis Tessa membahana di ruang makan yang menyatu dengan dapur itu.

"Bukan nggak adil, Mbak. Mas Rendra itu sibuk. Kita harus bisa ngertiin dia. Lagi pula, Mas Rendra mau bagiin kita eyeliner limited edition itu, lho."

Kanti sontak melirik ke arah Tessa, begitu juga Rendra. Cewek manis itu menaruh dua minuman botol di atas meja, menimbulkan suara sentuhan kaca dan botol. Sejenak membuat suasana hening setelahnya.

"Mbak, Mbak jangan ngambek gitu. Aku sama Mas Rendra tadi nggak ngelakuin apa-apa, kok." Tessa perlahan mendekati.

"Aku cuma mijitin Mas Rendra sama minta popok, udah gitu aja. Mas Rendra tadi capek, katanya abis dorong mobil," sambung Tessa mengukir senyum manis.

"Jangan so-soan jadi Kresna, deh. Nggak cocok!" Tatapan Kanti mulai menusuk mata Tessa.

"Maaf, Mbak. Aku bukan maksud ceramahin Mbak. Ya cuma--"

"Udahlah! Diem kamu Bocil! Kamu nggak inget apa dulu kamu itu apa, hah?!" marah Kanti makin melorot.

"Mbak kok bahas itu, maksud Mbak apa?" Darah Tessa mendidih jika membahas masalah itu. Masa lalunya yang buruk, saat bersama Rendra.

"Halah! Pokoknya jangan so suci, deh!"

"Kanti cukup!" ujar Rendra tegas.

"Apa, Mas! Kamu mau bela cewek pela--"

Mulut Kanti sontak terbungkam. Rendra dengan segera membungkamnya dengan bibir, membuat Kanti terdiam seribu bahasa dengan ciuman dadakan yang dilakukan Rendra.

Kanti bisa merasakan, tangan Rendra meremas tangannya. Mengisyaratkan agar dia diam dengan perlakuan Rendra.

Tanpa Rendra tahu, tindakan tiba-tibanya itu mengiris satu hati. Seseorang yang berdiri di antara mereka membeliakkan mata, cepat menunduk.

Tessa hendak menghindar dan lekas pergi meninggalkan keduanya. Namun, Rendra tampaknya sadar apa yang akan Tessa lakukan. Dengan cepat ia cekal tangan Tessa. Meninggalkan Tessa yang terpaku di belakang tubuh Rendra, masih dengan Rendra yang melakukan ciuman dengan Kanti.

Tessa tertunduk. Inikah sakit poligami itu? Dulu ia tidak pernah melihat adegan mengerikan ini. Rendra selalu berhasil menyembunyikan keromantisan di hadapan istrinya yang lain.

Namun hari ini, Tessa sampai melihat adegan sama dua kali. Hatinya yang tiba-tiba memanas, hanya bisa menyimpan rasa. Cemburu itu seakan menyatu dengan rasa lain, saat Rendra menggenggamnya erat.

°°°

Mulaikan penulis ngupas bawang :'( Monmaf, inilah sisi melankolis penulis, kan udah dibilang bukan orang humoris. Lanjut, kan? Lanjut, ya? Kepo, nggak? Kepo, dongs B-)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status