“Wanita yang baik hanya untuk lelaki yang baik juga …” begitu selalu yang dikatakan Bapak saat memberiku nasehat agar selalu bisa menjaga diri.
Mungkin inilah alasannya, mengapa sampai sekarang, diriku menjadi jomblo yang tidak bahagia. Karena aku terlalu baik untuk mereka yang pernah kucintai. Tapi, apakah iya, seorang Pak Arya bukan Saloka adalah pria yang buruk untuk diriku? Bahkan, dirinya adalah pria paling baik yang pernah aku kenal. Ah, sudah berapa kali aku mencintai lelaki sebenarnya? Tak terhitung! Benar-benar memalukan. Aku ini cewek yang tidak punya harga diri. Memiliki perasaan dengan banyak orang yang bahkan, melirikku-pun, tidak! Sampai-sampai, otak ini lupa, siapa cinta pertama dulu.
Bila dosen keren itu tidak berjodoh denganku, lantas, itu berarti, aku-lah yang sebenarnya tidak pantas untuknya? Bisa jadi!
Sedang merenung sembari menunggu Dinda, sahabat yang selalu berbeda pendapat denganku, yang sedang ikut mata kuliah di kampus berbeda, aku melihat seseorang yang pernah kulihat. Bahasa apa ini? Sudahlah, forget it! Kedua bola mata ini berusaha menatap tanpa kedip, bahkan saat debu berterbangan, aku semakin membelalakan indera penglihatanku, untuk memastikan siapa cowok yang saat ini tengah berbincang dengan seorang dosen (menurut perkiraanku, karena beliau terlihat kiler), dengan menenteng sebuah laptop.
Ya Allah, apa yang kulakukan? Kenapa bisa berjalan sambil membungkuk? Hanya untuk menmastikan kalau dia adalah orang yang pernah aku lihat. Padahal, aku bisa melenggang cantik karena aku juga mahasiswa. Dan rata-rata penghuni kampus kaum hawa sudah mengenalku sebagai bakul krim yang phenomenal. Terkadang, jiwa kepoku menjatuhkanku ke dasar kenistaan, menjadi orang paling memalukan.
Saat kira-kira, jarak antara aku yang berdiri di bawah pohon mangga dengan dia yang sedang kupastikan akan menjadi jodohku, eh salah, maksudnya, memastikan kalau dia orang yang aku kenal—sudah tinggal sembilan meter lagi, aku yakin sekarang, kalau dia benar-benar Doni. Sopir dari Mas Irsya.
Ngapain dia di sini? Kenapa bawa laptop? Apakah dia merangkap sebagai penjaga, atau tukang sapu di kampus Dinda? Atau kurir yang tengah mengantar suatu barang? Atau, dia berhianat pada Mas Irsya dengan menerima job sebagai sopir orang lain?
“Fani …” Dinda menepuk bahuku, aku menoleh kaget. “Ya Allah, Fan, aku cari kamu, sampai mengelilingi dan menghampiri setiap pedagang yang jualan di jalan depan, ternyata di sini. Ngapain kamu sampai masuk ke warea kelas tempat kuliah?”
“Eh itu, tadi, aku seperti melihat orang yang kukenal, Din, dia tadi ngobrol sama pria kiler.” Kutengok ke tempat Doni tadi berdiri, di depan kelas, tidak ada. Apa ini seperti cerita-cerita hantu?
Barangkali, Doni arwah penasaran, atau malahan dia meninggal di jalan dan Mas Irsya tidak tahu? Astaghfirullah, semoga tidak benar.
“Kamu kenapa, Fan?”
“Ah, tidak apa-apa, Din … aku hanya, lapar, iya lapar …” Dinda menautkan kedua alisnya.
“Bukannya tadi kamu menunggu sambil makan bakso?”
“Eh, iyakah, Din? Aku lupa kalau begitu. Ayo cabut!” Dinda masih memperhatikanku dengan pandangan yang menyebalkan. “Udah deh, biasa aja, Dinda! Manusia itu tempatnya salah dan khilaf. Yang gak pernah salah itu, malaikat, yang selalu salah itu, setan. Dan aku, bukan termasuk keduanya. Jadi, jangan berlebihan gitu!” Kutinggalkan teman satu kasurku itu dengan perasaan kesal. Saat aku menoleh ke belakang, Dinda malah asyik memainkan ponselnya sembari berjalan.
“Din! Cepetan sini, ah. Aku udah pengin pulang.” Kutunggu Dinda dengan kesal, sampai dirinya mensejajari langkah ini. “Kamu kok ggak minta maaf sama aku, sih? Gak sopan itu namanya.”
“Kalau gak sopan, terus kamu mau apa? Ninggalin aku? Kamu ‘kan yang nebeng aku,” ujarnya penuh kemenangan.
“Din, tadi kamu bisa nemuin aku gimana caranya?” Akhirnya, aku memilih mengalah dengan mengalihkan pembicaraan. Orang dewasa sepertiku memang beda dalam mengatasi masalah.
“Aku tanya teman-teman cewek yang lewat.”
“Kamu tanyanya gimana?”
“Ya Allah, Fani, apa harus gitu aku jelaskan? Penting gak sih? Aku tuh masih sebel sama kamu, kaki aku pegal, muter-muter, harusnya kamu yang minta maaf.”
“Ya udah, besok kalau lebaran, diriku bakal sungkeman sama dirimu. Dah sekarang jawab! Gimana caranya kamu menemukan aku?” Dinda mendengkus sebal.
“Nih, tiap ada cewek yang lewat, aku tanya, kamu lihat temenku tidak? Dia jawab, siapa? Fani. Mereka jawab lagi, oh, tukang kredit bedak, ya? Ya udah, akhirnya ketemu orang yang emang lihat kamu jalan ke situ.”
“Ya Allah, jadi, mereka lebih tahu kalau aku tukang kredit, ya? Bukan mahasiswa?” Jujur memang, aku menyalahgunakan wewenang dari Mbak Nia, barang dagangannya aku kreditkan dengan temen kampusku, juga temen kampus Dinda dengan cara kredit karena untungnya jadi nambah. Itu sebabnya, beberapa dari mereka bahkan tidak mau tahu tentang statusku sebagai mahasiswa.
“Iya. Makanya, lain kali, kalau mau nagih kredit, pakai jas almamater, ya …” meski kata-kata Dinda dibuat selembut sutera, namun aku masih merasa itu sebuah ejekan. Maklumlah, dia punya cowok tempat mengadu kalau aku jahilin, lha sedangkan aku?
Ya Allah, kapan kau pertemukan aku dengan dia yang sudi menerimaku sebagai kekasih hatinya. Tapi, jangan Umar ataupun Joko, ya Rabb … karena harga diriku malah akan semakin hancur.
Beberapa kali bertemu Doni membuat diri semakin sering memikirkannya. Ada hasrat untuk selalu memandang wajah yang teduh.Dari aura yang terpancar, kelihatan sekali kalau Doni pemuda yang sholeh. Bikin betah gitu kalau lama-lama memandang. Aku berpikir, bila itu sebuah dosa, setelah memandangnya, aku mengucap istighfar yang banyak.Doni benar-benar berbeda jauh dari Umar. Entah mengapa, saat melihat cowok aneh itu, perutku selalu mulas. Bahkan, baru melihat melihat bayangannya saja, rasanya aku ingin ke toilet. Tapi, bukankah kriteria pendamping hidupku kelak, dia harus lulusan S2? Sedangkan Doni sepertinya cuma lulusan SMA. Dinda, kawan baikku pasti akan tertawa sambil menari di pelaminan.Mungkin, ini sudah menjadi nasib gadis yang selalu memasang selera tinggi.“Lelaki yang sholeh hanya untuk perempuan yang sholeh, Fani … dan kamu tuh harusnya sadar diri, jangan berharap yang tinggi-tinggi, kalau kamu-nya aja masih rendah …,”
Suatu ketika, aku harus berangkat bersama Doni ke kampus. Karena harus membawa banyak barang dagangan. Terkadang aku merasa, kalau diriku lebih mirip pembantunya Mbak Nia. Ketimbang adiknya. Bagaimana tidak? Demi mendapatkan rupiah, aku harus membantu berdagang."Jadilah wanita yang mandiri, Fani! Belajar dari sekarang. Agar kelak, kamu bisa menghadapi kerasnya hidup. Kamu harus banyak mengambil pelajaran dari hidup Mbak dulu. Agar suatu ketika saat kamu menikah dan suami tidak bisa memenuhi kebutuhan, kamu bisa mencari uang sendiri," kata Mbak Nia suatu hari."Ya kali, aku dapat suami macam Agam. Enggaklah, Mbak! Jangan Mbak wariskan hidup Mbak yang sengsara sama aku," sahutku kesal."Mbak cuma kasih nasehat Fani!" ujar Mbak Nia menerangkan."Mbak gak kasih nasehat, Mbak itu lagi nyumpahin aku."Jadilah kami berdebat. Begitulah aku dan Mbak Nia. Kami benar-benar berbeda. Dia selalu membicarakan hal-hal yang menderita, sementara aku, sebaliknya. Su
Ilma tersenyum manis sekali. Aku tidak bisa kalau disuruh untuk bertanding dengan senyumannya itu. Wajahnya teduh. Membuat nyaman siapapun yang memandang. Aura keshalihan jelas terpancar. Sementara aku?Tiba-tiba, Yuda menggeret lengan ini dengan kasar. Membuatku sedikit terhuyung."Temani aku ke ruang dosen! Mau tanya jadwal bimbingan skripsi," ucapnya tanpa merasa bersalah."Lepasin ah, Yud! Tanganku sakit!" teriakku kencang. Tapi, Yuda tidak peduli. Hingga akhirnya, pegangan tangannya ia lepaskan saat kami sudah di depan ruang dosen."Apaan, sih?" protesku kesal."Kamu jangan jadi penguntit! Mereka berdua sedang berduaan. Ngapain di belakang mereka tadi?" tanya Yuda serius."Dih, apaan juga? Tadi itu, cowok yang bersama Ilma yang antar aku. Dia sopir kakak iparku!" jelasku sewot.Yuda nyengir kuda. Membuat diriku sebal dan langsung meninggalkannya menuju kelas.Aku dan beberapa teman lain memang mengambil jadwal skripsi lebi
Mulai hari itu, aku mencoba merubah sikap. Dari yang semula urakan menjadi pendiam.Jangan ditanya bagaimana beratnya! Aku sungguh tersiksa dengan ini semua.Apalagi, saat Yuda menggodaku dengan berbagai macam kalimat yang menjengkelkan. Sungguh! mulut ini rasanya ingin berteriak. Terkadang malah terlanjur teriak walaupun cuma satu kata. Namun, urung karena sadar harus merubah diri demi mendapatkan hati Doni.Apakah aku mampu menaklukkan hati Doni?Pertanyaan itu selalu hadir menghantui pikiran.Suatu ketika, aku berada di perpustakaan. Mencari referensi buku untuk daftar pustaka skripsi. Di sana masih sepi.Namun, ada sesosok mahluk yang membuat bulu kudukku merinding.Dia duduk dengan anggun menghadap setumpuk buku. Menyadari ada suara langkah yang mampir di telinganya, makhluk itu menatapku. Senyum tersungging dari bibir tipisnya. Ah,
Karena pekerjaan Doni sebagai sopir pribadi Pak Irsya yang saat ada acara keluarga selalu diajak, membuat Fani semakin sering bertemu dengan bujangan alim itu.Segala gerak-gerik Doni tidak lepas dari tatapannya. Sikap sopan pada Pak Irsya dan juga Nia, membuat kekaguman Fani semakin lama semakin bertambah.Pak Irsya dan Nia sadar, kalau adik mereka memendam sebuah rasa pada sopir yang sebentar lagi bergelar Master itu.Namun, Fani sendiri masih menyembunyikan. Meski begitu, tetap saja, Doni tahu jika adik dari majikannya itu menaruh sebuah rasa. Hal itu membuat Doni menjadi merasa tidak enak."Fani sering memperhatikan kamu, Don!" ucap Pak Irsya kala mereka bersama dalam satu mobil.Doni yang berada di balik kemudi hanya menanggapi dengan senyuman."Ah, mana mungkin, Pak. Saya ini cuma sopir. Sedangkan Fani, dia adik Bu Nia, istri Bapak, majika
Part 9Doni ragu, antara masuk atau tetap menunggu di luar.Akan tetapi, bila dirinya tidak ikut mendampingi Fani yang masih dalam tahap observasi oleh dokter.Dengan ragu, pemuda itu masuk ke dalam ruangan dengan dominasi warna putih.Di salah satu bed terbaring Fani dengan didampingi Nia juga Dinda.Sementara Pak Irsya berdiri di luar sekat pemisah antara pasien IGD dengan yang menunggu. Melihat Doni datang, pria yang tengah mondar-mandir jadi berhenti."Pak, saya minta maaf," ujar Doni setelah mereka berdua saling berhadapan.Pak Irsya menghela napas panjang."Dokter mengat
Part 10Doni termenung di dalam mobil yang terparkir di jalan depan kost Dinda dan Fani, hingga adzan Ashar terdengar berkumandang, menyadarkan pria itu dari segala pikiran yang menerka terhadap apa yang Fani alami."Benarkah, sakitnya Fani ada hubungannya denganku, juga Ilma?" gumamnya lirih, sebelum akhirnya, menginjak gas mobil dan menjalankan kuda besi milik majikannya, menembus jalan yang mulai basah oleh gerimis.Tidak ada sesuatu yang terjadi di luar kuasa Allah. Bahkan, sehelai daun yang jatuh-pun atas ijin dari Sang Pemilik Hidup. Jadi, apapun yang menimpa Fani--terlepas ada hubungan dengan dirinya maupun Ilma--atau tidak, itu sudah menjadi takdir dari Allah. Begitu yang Doni pikirkan saat selesai berdzikir.Pemuda i
Part 11Dengan sikap Fani yang seolah menolak, tidak membuat Ilma berubah. Gadis itu masih saja menyunggingkan senyum ramah."Mau makan buah, Fan? Aku kupasin, ya?" tawar Ilma sambil mengulurkan tangan pada parsel cantik yang ia letakkan di atas nakas.Fani bergeming tak menjawab."Sakit apa, Mbak Faninya?" tanya Ilma lagi, tatapannya kini beralih pada Nia yang duduk di tikar yang ia gelar di lantai. Di tangan Ilma sudah ada apel merah, juga pisau untuk mengupas."Typus. Karena jarang makan jadi seperti itu," jawab Ibu Fani langsung. Perempuan itu nampak terkesima de