Share

Bab 3

“Wanita yang baik hanya untuk lelaki yang baik juga …” begitu selalu yang dikatakan Bapak saat memberiku nasehat agar selalu bisa menjaga diri.

Mungkin inilah alasannya, mengapa sampai sekarang, diriku menjadi jomblo yang tidak bahagia. Karena aku terlalu baik untuk mereka yang pernah kucintai. Tapi, apakah iya, seorang Pak Arya bukan Saloka adalah pria yang buruk untuk diriku? Bahkan, dirinya adalah pria paling baik yang pernah aku kenal. Ah, sudah berapa kali aku mencintai lelaki sebenarnya? Tak terhitung! Benar-benar memalukan. Aku ini cewek yang tidak punya harga diri. Memiliki perasaan dengan banyak orang yang bahkan, melirikku-pun, tidak! Sampai-sampai, otak ini lupa, siapa cinta pertama dulu.

Bila dosen keren itu tidak berjodoh denganku, lantas, itu berarti, aku-lah yang sebenarnya tidak pantas untuknya? Bisa jadi!

Sedang merenung sembari menunggu Dinda, sahabat yang selalu berbeda pendapat denganku, yang sedang ikut mata kuliah di kampus berbeda, aku melihat seseorang yang pernah kulihat. Bahasa apa ini? Sudahlah, forget it! Kedua bola mata ini berusaha menatap tanpa kedip, bahkan saat debu berterbangan, aku semakin membelalakan indera penglihatanku, untuk memastikan siapa cowok yang saat ini tengah berbincang dengan seorang dosen (menurut perkiraanku, karena beliau terlihat kiler), dengan menenteng sebuah laptop.

Ya Allah, apa yang kulakukan? Kenapa bisa berjalan sambil membungkuk? Hanya untuk menmastikan kalau dia adalah orang yang pernah aku lihat. Padahal, aku bisa melenggang cantik karena aku juga mahasiswa. Dan rata-rata penghuni kampus kaum hawa sudah mengenalku sebagai bakul krim yang phenomenal. Terkadang, jiwa kepoku menjatuhkanku ke dasar kenistaan, menjadi orang paling memalukan.

Saat kira-kira, jarak antara aku yang berdiri di bawah pohon mangga dengan dia yang sedang kupastikan akan menjadi jodohku, eh salah, maksudnya, memastikan kalau dia orang yang aku kenal—sudah tinggal sembilan meter lagi, aku yakin sekarang, kalau dia benar-benar Doni. Sopir dari Mas Irsya.

Ngapain dia di sini? Kenapa bawa laptop? Apakah dia merangkap sebagai penjaga, atau tukang sapu di kampus Dinda? Atau kurir yang tengah mengantar suatu barang? Atau, dia berhianat pada Mas Irsya dengan menerima job sebagai sopir orang lain?

“Fani …” Dinda menepuk bahuku, aku menoleh kaget. “Ya Allah, Fan, aku cari kamu, sampai mengelilingi dan menghampiri setiap pedagang yang jualan di jalan depan, ternyata di sini. Ngapain kamu sampai masuk ke warea kelas tempat kuliah?”

“Eh itu, tadi, aku seperti melihat orang yang kukenal, Din, dia tadi ngobrol sama pria kiler.” Kutengok ke tempat Doni tadi berdiri, di depan kelas, tidak ada. Apa ini seperti cerita-cerita hantu?

Barangkali, Doni arwah penasaran, atau malahan dia meninggal di jalan dan Mas Irsya tidak tahu? Astaghfirullah, semoga tidak benar.

“Kamu kenapa, Fan?”

“Ah, tidak apa-apa, Din … aku hanya, lapar, iya lapar …” Dinda menautkan kedua alisnya.

“Bukannya tadi kamu menunggu sambil makan bakso?”

“Eh, iyakah, Din? Aku lupa kalau begitu. Ayo cabut!” Dinda masih memperhatikanku dengan pandangan yang menyebalkan. “Udah deh, biasa aja, Dinda! Manusia itu tempatnya salah dan khilaf. Yang gak pernah salah itu, malaikat, yang selalu salah itu, setan. Dan aku, bukan termasuk keduanya. Jadi, jangan berlebihan gitu!” Kutinggalkan teman satu kasurku itu dengan perasaan kesal. Saat aku menoleh ke belakang, Dinda malah asyik memainkan ponselnya sembari berjalan.

“Din! Cepetan sini, ah. Aku udah pengin pulang.” Kutunggu Dinda dengan kesal, sampai dirinya mensejajari langkah ini. “Kamu kok ggak minta maaf sama aku, sih? Gak sopan itu namanya.”

“Kalau gak sopan, terus kamu mau apa? Ninggalin aku? Kamu ‘kan yang nebeng aku,” ujarnya penuh kemenangan.

“Din, tadi kamu bisa nemuin aku gimana caranya?” Akhirnya, aku memilih mengalah dengan mengalihkan pembicaraan. Orang dewasa sepertiku memang beda dalam mengatasi masalah.

“Aku tanya teman-teman cewek yang lewat.”

“Kamu tanyanya gimana?”

“Ya Allah, Fani, apa harus gitu aku jelaskan? Penting gak sih? Aku tuh masih sebel sama kamu, kaki aku pegal, muter-muter, harusnya kamu yang minta maaf.”

“Ya udah, besok kalau lebaran, diriku bakal sungkeman sama dirimu. Dah sekarang jawab! Gimana caranya kamu menemukan aku?” Dinda mendengkus sebal.

“Nih, tiap ada cewek yang lewat, aku tanya, kamu lihat temenku tidak? Dia jawab, siapa? Fani. Mereka jawab lagi, oh, tukang kredit bedak, ya? Ya udah, akhirnya ketemu orang yang emang lihat kamu jalan ke situ.”

“Ya Allah, jadi, mereka lebih tahu kalau aku tukang kredit, ya? Bukan mahasiswa?” Jujur memang, aku menyalahgunakan wewenang dari Mbak Nia, barang dagangannya aku kreditkan dengan temen kampusku, juga temen kampus Dinda dengan cara kredit karena untungnya jadi nambah. Itu sebabnya, beberapa dari mereka bahkan tidak mau tahu tentang statusku sebagai mahasiswa.

“Iya. Makanya, lain kali, kalau mau nagih kredit, pakai jas almamater, ya …” meski kata-kata Dinda dibuat selembut sutera, namun aku masih merasa itu sebuah ejekan. Maklumlah, dia punya cowok tempat mengadu kalau aku jahilin, lha sedangkan aku?

Ya Allah, kapan kau pertemukan aku dengan dia yang sudi menerimaku sebagai kekasih hatinya. Tapi, jangan Umar ataupun Joko, ya Rabb … karena harga diriku malah akan semakin hancur.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
bagus banget ceritanya
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
kskzkxkdkdkfkkffk
goodnovel comment avatar
Mblee Duos
semangat nulisnya kak, ceritanya bagus! Silakan mampir juga ke cerita aku ya Kak, MAMA MUDA VS MAS POLISI. Terimakasih......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status