Suatu ketika, aku harus berangkat bersama Doni ke kampus. Karena harus membawa banyak barang dagangan. Terkadang aku merasa, kalau diriku lebih mirip pembantunya Mbak Nia. Ketimbang adiknya. Bagaimana tidak? Demi mendapatkan rupiah, aku harus membantu berdagang.
"Jadilah wanita yang mandiri, Fani! Belajar dari sekarang. Agar kelak, kamu bisa menghadapi kerasnya hidup. Kamu harus banyak mengambil pelajaran dari hidup Mbak dulu. Agar suatu ketika saat kamu menikah dan suami tidak bisa memenuhi kebutuhan, kamu bisa mencari uang sendiri," kata Mbak Nia suatu hari.
"Ya kali, aku dapat suami macam Agam. Enggaklah, Mbak! Jangan Mbak wariskan hidup Mbak yang sengsara sama aku," sahutku kesal.
"Mbak cuma kasih nasehat Fani!" ujar Mbak Nia menerangkan.
"Mbak gak kasih nasehat, Mbak itu lagi nyumpahin aku."
Jadilah kami berdebat. Begitulah aku dan Mbak Nia. Kami benar-benar berbeda. Dia selalu membicarakan hal-hal yang menderita, sementara aku, sebaliknya. Suka merangkai angan akan masa depan yang indah. Hal itu barangkalai yang membuat hidupnya menderita.
"Ehem ...." Suara deheman Doni membuyarkan lamunanku.
"Eh, iya, kamu dehem kenapa? Tenggorokan kamu bermasalah ya?" tanyaku penuh perhatian.
"Nggak! Dari tadi kamu melamun terus. Tadi kan, kita lewat di jalan yang agak angker. Takut aja kalau kamu kena gitu," kata Doni serius.
"Kena apa?" tanyaku serius.
"Kena prank hantu," jawab Doni santai.
Ah ternyata, dia juga humoris.
"Em, Don!" panggilku lembut
"Mas Doni! Aku lebih tua dari kamu. Biasakan untuk memanggil dengan sopan orang yang lebih tua."
"Ya Allah, gak majikan, gak sopir, sama aja. Mintanya dipanggil Mas. Mas-nya mahal tahu!" jawabku asal. Doni terdiam.
Aku melirik sebentar. Wajah yang teduh dan berkharisma membuat mata ini betah banget melihatnya. Hingga tanpa sadar, Doni melirik aku. Aku gelagapan. "Eh, iya, iya, aku panggil Mas. Mas Doni." Hanya seulas senyum manis ia berikan. Membuat hati ini tambah meleleh. Eits, tapi tidak bisa! Dia bukan tipe aku. Dia bukan S2. Tapi kenapa hatiku seakan ada magnet yang membuat tertarik untuk mendekatinya?
Terkadang aku bingung dengan diriku sendiri. Sebenarnya, hati ini terbuat dari apa? Mudah sekali untuk jatuh cinta. Sungguh hal yang memalukan.
"Fan, bisa minta tolong ambilkan tissue di jok belakang? Aku tadi beli taruh di sana. Lupa," pinta Doni.
"Oh, iya!" ujarku cepat.
Di saat sedang mengharapkan seseorang, bukankah kita harus berusaha menuruti apapun keinginan dia?
Aku bangun dari duduk dan segera mengambil benda yang dimaksud Doni. Namun, ada sesuatu yang membuat aku terkejut. Ada tumpukan buku yang aku tahu itu untuk seorang mahasiswa yang tengah mengambil program magister.
"Mas Doni kuliah S2?" tanyaku spontan. Doni tidak menjawab.
Aku menjadi kikuk karena hal ini. Tiba-tiba duduk diam tanpa berucap. Hati ini semakin berbunga-bunga.
Kami sampai di kost. Doni membantuku membawakan kardus-kardus berisi barang dagangan ke kamar. Kalau hanya sekadar masuk membawa barang, seorang pria masih diijinkan oleh ibu kost. Akan tetapi bila di sampai di dalam berdua menutup pintu maka, akan siap-siap dilaporkan oleh penghuni kost terutama yang jomblo akut pada pemilik rumah ini.
Beberapa teman yang kebetulan tidak ada jadwal kuliah melihatku dengan penuh penasaran. Beberapa bahkan menaikkan alis mereka sebagai bentuk tanda tanya. Aku hanya tersenyum menanggapi, melenggang cantik sembari memberi arahan pada Doni letak kamarku. Kapan lagi, aku yang selalu dihina mereka tidak punya pasangan bisa pamer jalan dengan seorang cowok ganteng? Ya, meskipun lebih mirip kurir paket. Karena bolak-balik bawa kardus.
"Aku ikut ke kampus, ya?" tanyaku menghiba. saat dirinya selesai meletakkan kardus yang terakhir.
Doni diam tidak langsung menjawab. Aku mengerucutkan bibir.
"Ok," jawabnya datar.
"Jadi, waktu itu, kamu sedang kuliah, ya? Aku kira, kamu itu lagi nyervis laptopnya dosen." Tangan ini segera menutup bibir. Ya Allah, aku memang tidak ada sopan santunnya. Pantas selama ini tidak ada cowok yang mau dekat sama aku. Doni lagi-lagi terdiam.
"Sampai depan gerbang, ya?" tanya Doni santai.
"Eh, iya!" jawabku gugup.
Aku turun di pinggir gerbang. Tapi, bukan di depan pintunya.
"Ilma!" Suara Doni memanggil seseorang. Sebelum pintu mobil tertutup, aku mendengarnya.
Ekor mata ini melirik. Ternyata, dia Ilma mahasiswa angkatanku yang terkenal alim. Cantik dan berjilbab besar. Doni tiba-tiba ikut turun menghampiri Ilma.
Mereka berdua bertegur sapa. Terlihat sangat akrab. Entah jin apa yang menuntunku, hingga tubuh ini berada di belakang keduanya menguping pembicaraan mereka.
"Mas Doni kok di sini?" tanya Ilma lembut. Ah, iya, dia memang wanita yang berbeda spesies dengan aku.
"Nganter adiknya bos,” jawab Doni lembutjuga.
Apa? Bahkan, dia tidak mau menyebut aku temannya? Eh, kita kan memang belum berteman. Baru pertama juga jalan bersama.
"Nanti mau pulang? Kalau iya, aku mampir ke kost kamu."
Sungguh hatiku panas mendengarnya. Ada hubungan apa mereka berdua?
Apakah semua lelaki yang aku taksir sudah memiliki tambatan hati? Ya Allah, tidakkah ENGKAU sisakan satu saja untukku?
"Woi!" sebuah tepukan keras membuatku kaget. Pun dengan dua insan yang tadi aku kuping pembicaraannya. Mereka menatapku heran.
"Yuda!" teriakku dengan muka merah padam.
"Fani, kenapa masih di situ?" Pertanyaan dari Doni membuat aku semakin merasa malu.
"Eh, itu, lagi ngadang tukang cilok!" jawabku asal.
Ilma tersenyum manis sekali. Aku tidak bisa kalau disuruh untuk bertanding dengan senyumannya itu. Wajahnya teduh. Membuat nyaman siapapun yang memandang. Aura keshalihan jelas terpancar. Sementara aku?Tiba-tiba, Yuda menggeret lengan ini dengan kasar. Membuatku sedikit terhuyung."Temani aku ke ruang dosen! Mau tanya jadwal bimbingan skripsi," ucapnya tanpa merasa bersalah."Lepasin ah, Yud! Tanganku sakit!" teriakku kencang. Tapi, Yuda tidak peduli. Hingga akhirnya, pegangan tangannya ia lepaskan saat kami sudah di depan ruang dosen."Apaan, sih?" protesku kesal."Kamu jangan jadi penguntit! Mereka berdua sedang berduaan. Ngapain di belakang mereka tadi?" tanya Yuda serius."Dih, apaan juga? Tadi itu, cowok yang bersama Ilma yang antar aku. Dia sopir kakak iparku!" jelasku sewot.Yuda nyengir kuda. Membuat diriku sebal dan langsung meninggalkannya menuju kelas.Aku dan beberapa teman lain memang mengambil jadwal skripsi lebi
Mulai hari itu, aku mencoba merubah sikap. Dari yang semula urakan menjadi pendiam.Jangan ditanya bagaimana beratnya! Aku sungguh tersiksa dengan ini semua.Apalagi, saat Yuda menggodaku dengan berbagai macam kalimat yang menjengkelkan. Sungguh! mulut ini rasanya ingin berteriak. Terkadang malah terlanjur teriak walaupun cuma satu kata. Namun, urung karena sadar harus merubah diri demi mendapatkan hati Doni.Apakah aku mampu menaklukkan hati Doni?Pertanyaan itu selalu hadir menghantui pikiran.Suatu ketika, aku berada di perpustakaan. Mencari referensi buku untuk daftar pustaka skripsi. Di sana masih sepi.Namun, ada sesosok mahluk yang membuat bulu kudukku merinding.Dia duduk dengan anggun menghadap setumpuk buku. Menyadari ada suara langkah yang mampir di telinganya, makhluk itu menatapku. Senyum tersungging dari bibir tipisnya. Ah,
Karena pekerjaan Doni sebagai sopir pribadi Pak Irsya yang saat ada acara keluarga selalu diajak, membuat Fani semakin sering bertemu dengan bujangan alim itu.Segala gerak-gerik Doni tidak lepas dari tatapannya. Sikap sopan pada Pak Irsya dan juga Nia, membuat kekaguman Fani semakin lama semakin bertambah.Pak Irsya dan Nia sadar, kalau adik mereka memendam sebuah rasa pada sopir yang sebentar lagi bergelar Master itu.Namun, Fani sendiri masih menyembunyikan. Meski begitu, tetap saja, Doni tahu jika adik dari majikannya itu menaruh sebuah rasa. Hal itu membuat Doni menjadi merasa tidak enak."Fani sering memperhatikan kamu, Don!" ucap Pak Irsya kala mereka bersama dalam satu mobil.Doni yang berada di balik kemudi hanya menanggapi dengan senyuman."Ah, mana mungkin, Pak. Saya ini cuma sopir. Sedangkan Fani, dia adik Bu Nia, istri Bapak, majika
Part 9Doni ragu, antara masuk atau tetap menunggu di luar.Akan tetapi, bila dirinya tidak ikut mendampingi Fani yang masih dalam tahap observasi oleh dokter.Dengan ragu, pemuda itu masuk ke dalam ruangan dengan dominasi warna putih.Di salah satu bed terbaring Fani dengan didampingi Nia juga Dinda.Sementara Pak Irsya berdiri di luar sekat pemisah antara pasien IGD dengan yang menunggu. Melihat Doni datang, pria yang tengah mondar-mandir jadi berhenti."Pak, saya minta maaf," ujar Doni setelah mereka berdua saling berhadapan.Pak Irsya menghela napas panjang."Dokter mengat
Part 10Doni termenung di dalam mobil yang terparkir di jalan depan kost Dinda dan Fani, hingga adzan Ashar terdengar berkumandang, menyadarkan pria itu dari segala pikiran yang menerka terhadap apa yang Fani alami."Benarkah, sakitnya Fani ada hubungannya denganku, juga Ilma?" gumamnya lirih, sebelum akhirnya, menginjak gas mobil dan menjalankan kuda besi milik majikannya, menembus jalan yang mulai basah oleh gerimis.Tidak ada sesuatu yang terjadi di luar kuasa Allah. Bahkan, sehelai daun yang jatuh-pun atas ijin dari Sang Pemilik Hidup. Jadi, apapun yang menimpa Fani--terlepas ada hubungan dengan dirinya maupun Ilma--atau tidak, itu sudah menjadi takdir dari Allah. Begitu yang Doni pikirkan saat selesai berdzikir.Pemuda i
Part 11Dengan sikap Fani yang seolah menolak, tidak membuat Ilma berubah. Gadis itu masih saja menyunggingkan senyum ramah."Mau makan buah, Fan? Aku kupasin, ya?" tawar Ilma sambil mengulurkan tangan pada parsel cantik yang ia letakkan di atas nakas.Fani bergeming tak menjawab."Sakit apa, Mbak Faninya?" tanya Ilma lagi, tatapannya kini beralih pada Nia yang duduk di tikar yang ia gelar di lantai. Di tangan Ilma sudah ada apel merah, juga pisau untuk mengupas."Typus. Karena jarang makan jadi seperti itu," jawab Ibu Fani langsung. Perempuan itu nampak terkesima de
Fani masih berdiri seperti patung. Tidak menyangka sama sekali, bila Ilma yang selama ini ia kenal sebagai gadis alim, menjelma menjadi seorang gadis yang tidak memiliki belas kasihan.Hanya karena seorang lelaki yang belum tentu menjadi jodoh siapa, dirinya tega menghancurkan jerih payah yang telah ia jalani selama berbulan-bulan.'Apakah benar dugaanku bila dia dalang dibalik dibatalkannya skripsi aku?' ragunya dalam hati.Ada sebuah pertanyaan yang kemudian menjadi misteri. Bila iya, Ilma yang menyebabkan semua ini, bagaimana bisa dia melakukannya?Fani pulang dengan langkah gontai. Menapaki jalan yang tertutup paving dengan perasaan sedih.Sampai di tempat kost, dirinya segera mengambil air wudhu untuk menunaikan shalat Ashar. Setelahnya, membaringkan tubuh dan menarik selimut hi
"Mbak Nia, Fani sepertinya sedang merasa tertekan ini, Mbak," ujar Ilma lagi. "Tadi gak kenapa-kenapa ya, Mbak? Kenapa sekarang jadi nangis? Kamu kenapa, Fan?" Ilma heboh sendirian. Doni menangkap ada yang tidak beres dari gadis yang sedari tadi mendominasi pembicaraan.Pun dengan Dinda. Gadis itu menoleh dan menatap tajam pada Ilma."Mbak Nia, sepertinya Fani butuh ketenangan. Apa tidak sebaiknya tidak terlalu banyak orang di ruangan ini?" usul Dinda dengan terus menatap pada Ilma."Oh, iya, ayo, kita keluar. Biarkan Fani istirahat. Mbak Nia sama Ibu aja yang jagain. Kita semua keluar," ajak Ilma seolah dirinya memiliki kekuasaan untuk mengatur di sana."Kenapa kamu yang heboh sih?" tanya Dinda kesal."Aku hanya mengusulkan, supaya Fani bisa istirahat,""Tapi da