Share

Bagian 5

Suatu ketika, aku harus berangkat bersama Doni ke kampus. Karena harus membawa banyak barang dagangan. Terkadang aku merasa, kalau diriku lebih mirip pembantunya Mbak Nia. Ketimbang adiknya. Bagaimana tidak? Demi mendapatkan rupiah, aku harus membantu berdagang.

"Jadilah wanita yang mandiri, Fani! Belajar dari sekarang. Agar kelak, kamu bisa menghadapi kerasnya hidup. Kamu harus banyak mengambil pelajaran dari hidup Mbak dulu. Agar suatu ketika saat kamu menikah dan suami tidak bisa memenuhi kebutuhan, kamu bisa mencari uang sendiri," kata Mbak Nia suatu hari.

"Ya kali, aku dapat suami macam Agam. Enggaklah, Mbak! Jangan Mbak wariskan hidup Mbak yang sengsara sama aku," sahutku kesal.

"Mbak cuma kasih nasehat Fani!" ujar Mbak Nia menerangkan.

"Mbak gak kasih nasehat, Mbak itu lagi nyumpahin aku."

Jadilah kami berdebat. Begitulah aku dan Mbak Nia. Kami benar-benar berbeda. Dia selalu membicarakan hal-hal yang menderita, sementara aku, sebaliknya. Suka merangkai angan akan masa depan yang indah. Hal itu barangkalai yang membuat hidupnya menderita.

"Ehem ...." Suara deheman Doni membuyarkan lamunanku.

"Eh, iya, kamu dehem kenapa? Tenggorokan kamu bermasalah ya?" tanyaku penuh perhatian.

"Nggak! Dari tadi kamu melamun terus. Tadi kan, kita lewat di jalan yang agak angker. Takut aja kalau kamu kena gitu," kata Doni serius.

"Kena apa?" tanyaku serius.

"Kena prank hantu," jawab Doni santai.

Ah ternyata, dia juga humoris.

"Em, Don!" panggilku lembut

"Mas Doni! Aku lebih tua dari kamu. Biasakan untuk memanggil dengan sopan orang yang lebih tua."

"Ya Allah, gak majikan, gak sopir, sama aja. Mintanya dipanggil Mas. Mas-nya mahal tahu!" jawabku asal. Doni terdiam.

Aku melirik sebentar. Wajah yang teduh dan berkharisma membuat mata ini betah banget melihatnya. Hingga tanpa sadar, Doni melirik aku. Aku gelagapan. "Eh, iya, iya, aku panggil Mas. Mas Doni." Hanya seulas senyum manis ia berikan. Membuat hati ini tambah meleleh. Eits, tapi tidak bisa! Dia bukan tipe aku. Dia bukan S2. Tapi kenapa hatiku seakan ada magnet yang membuat tertarik untuk mendekatinya?

Terkadang aku bingung dengan diriku sendiri. Sebenarnya, hati ini terbuat dari apa? Mudah sekali untuk jatuh cinta. Sungguh hal yang memalukan.

"Fan, bisa minta tolong ambilkan tissue di jok belakang? Aku tadi beli taruh di sana. Lupa," pinta Doni.

"Oh, iya!" ujarku cepat.

Di saat sedang mengharapkan seseorang, bukankah kita harus berusaha menuruti apapun keinginan dia?

Aku bangun dari duduk dan segera mengambil benda yang dimaksud Doni. Namun, ada sesuatu yang membuat aku terkejut. Ada tumpukan buku yang aku tahu itu untuk seorang mahasiswa yang tengah mengambil program magister.

"Mas Doni kuliah S2?" tanyaku spontan. Doni tidak menjawab.

Aku menjadi kikuk karena hal ini. Tiba-tiba duduk diam tanpa berucap. Hati ini semakin berbunga-bunga.

Kami sampai di kost. Doni membantuku membawakan kardus-kardus berisi barang dagangan ke kamar. Kalau hanya sekadar masuk membawa barang, seorang pria masih diijinkan oleh ibu kost. Akan tetapi bila di sampai di dalam berdua menutup pintu maka, akan siap-siap dilaporkan oleh penghuni kost terutama yang jomblo akut pada pemilik rumah ini.

Beberapa teman yang kebetulan tidak ada jadwal kuliah melihatku dengan penuh penasaran. Beberapa bahkan menaikkan alis mereka sebagai bentuk tanda tanya. Aku hanya tersenyum menanggapi, melenggang cantik sembari memberi arahan pada Doni letak kamarku. Kapan lagi, aku yang selalu dihina mereka tidak punya pasangan bisa pamer jalan dengan seorang cowok ganteng? Ya, meskipun lebih mirip kurir paket. Karena bolak-balik bawa kardus.

"Aku ikut ke kampus, ya?" tanyaku menghiba. saat dirinya selesai meletakkan kardus yang terakhir.

Doni diam tidak langsung menjawab. Aku mengerucutkan bibir.

"Ok," jawabnya datar.

"Jadi, waktu itu, kamu sedang kuliah, ya? Aku kira, kamu itu lagi nyervis laptopnya dosen." Tangan ini segera menutup bibir. Ya Allah, aku memang tidak ada sopan santunnya. Pantas selama ini tidak ada cowok yang mau dekat sama aku. Doni lagi-lagi terdiam.

"Sampai depan gerbang, ya?" tanya Doni santai.

"Eh, iya!" jawabku gugup.

Aku turun di pinggir gerbang. Tapi, bukan di depan pintunya.

"Ilma!" Suara Doni memanggil seseorang. Sebelum pintu mobil tertutup, aku mendengarnya.

Ekor mata ini melirik. Ternyata, dia Ilma mahasiswa angkatanku yang terkenal alim. Cantik dan berjilbab besar. Doni tiba-tiba ikut turun menghampiri Ilma.

Mereka berdua bertegur sapa. Terlihat sangat akrab. Entah jin apa yang menuntunku, hingga tubuh ini berada di belakang keduanya menguping pembicaraan mereka.

"Mas Doni kok di sini?" tanya Ilma lembut. Ah, iya, dia memang wanita yang berbeda spesies dengan aku.

"Nganter adiknya bos,” jawab Doni lembutjuga.

Apa? Bahkan, dia tidak mau menyebut aku temannya? Eh, kita kan memang belum berteman. Baru pertama juga jalan bersama.

"Nanti mau pulang? Kalau iya, aku mampir ke kost kamu."

Sungguh hatiku panas mendengarnya. Ada hubungan apa mereka berdua?

Apakah semua lelaki yang aku taksir sudah memiliki tambatan hati? Ya Allah, tidakkah ENGKAU sisakan satu saja untukku?

"Woi!" sebuah tepukan keras membuatku kaget. Pun dengan dua insan yang tadi aku kuping pembicaraannya. Mereka menatapku heran.

"Yuda!" teriakku dengan muka merah padam.

"Fani, kenapa masih di situ?" Pertanyaan dari Doni membuat aku semakin merasa malu.

"Eh, itu, lagi ngadang tukang cilok!" jawabku asal.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Anitha Yunitha
jagn jagan sama yuda nih si fani. berharap sama doni padahal ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status