Share

BAB 6 Terjebak

Beritahu aku perbedaan dari khayalan dan ilusi

»|«

Satu Minggu sudah berlalu, sejak kejadian di mading sekolah hari itu. Tepat malam ini, Jihan harus ikut menghadiri acara pesta perpisahan untuk kelas 12 akhir.

Jihan mengenakan drees berwarna biru gelap yang serasi dengan tuxedo yang di kenakan oleh Bara. Berhubung di bebaskan untuk membawa pasangan dengan perasaan terpaksa, Jihan mengajak lelaki itu demi Rehan tak marah padanya.

Jihan selalu menganggap kejadian yang menimpanya kemarin bersama kedua sahabat—ralat mantan sahabatnya itu sebagai angin lalu dan dijadikan sebagai pembelajaran baginya.

Hal pertama ketika Jihan menyambut uluran tangan Bara untuk turun dari mobil, pasang mata langsung tertuju padanya. Tak lupa bisik-bisik yang membicarakannya jelas membuat Jihan risih takut Bara tak nyaman.

“Jihan, kamu tak apa?” tanya Bara saat Jihan menggandeng sebelah tangannya.

Jihan tersenyum sebagai jawaban. “Tak apa kok, Mas.” Tangan lentik itu mengelus lengan Bara. “Mas, jangan hiraukan mereka, ya. Aku takut Mas enggak nyaman-” 'dan aku lebih takut Papa dan Mama marah lagi,' lanjut batin Jihan di kalimat terakhirnya.

“Jihan.”

Resa, Silvi, Lydia dan Rahma menghampiri Bara. Mereka bertiga tak membawa kekasih kecuali Silvi, sedangkan Jihan hanya tersenyum sebagai balasan.

Di sisi lain, Kia memandang iri pada Jihan yang bisa membawa seorang lelaki mapan. Dia menoleh ke arah Nasyifa dan Sherly yang sibuk memakan camilan. “Coba kalian pikir, Jihan kok bisa dapet cowok mapan kayak gitu kalau bukan dari ngejual diri.”

“Masa iya?” Nasyifa melongo kaget dengan tangan yang mengambang di udara hendak menyuap kue. “Bahasa lo kasar banget, deh. Gimanapun Jihan sahabat kita juga.”

Sherly berdecih pelan. “Kalau dia anggap kita bertiga sahabat, pasti dari awal dia langsung kesini. Apalagi dia paling deket sama Kia.”

“Enggak usah gosip terus,” ucap Nasyifa.

Kia bersedekap dada. “Lo pada enggak tau, kalau kartu AS Jihan ada di tangan gue.” Matanya menatap lurus ke arah Jihan yang nyatanya sedang menatapnya juga. Senyumnya terukir melihat Jihan langsung menghindar. “Gila, sombong banget ‘tuh anak sekarang.”

»|«

Acara demi acara terus berlanjut, Jihan dan Bara tak pernah menjauh satu sama lain. Lebih tepatnya, Jihan yang tak mau bertemu apa lagi bertegur sapa dengan siapa pun saat ini.

Ponsel Bara berdering membuatnya harus menjauh ke tempat yang lebih sepi dan sunyi. “Mas, angkat telepon dulu, ya?”

Tinggalah Jihan bersama Rahma yang sedang menonton penampilan band sekolah mereka.

“Lo mau minum enggak?”

Jihan hanya menggeleng sebagai jawaban membuat Rahma menghela napas pelan. Sulit sekali mendekati sosok Jihan ini.

“Silvi dan Lydia kemana?”

“Oh, ke toilet.”

Setelah itu tak ada lagi percakapan di antara Jihan dan Rahma.

»|«

“Udah belum?” tanya Silvi yang sedang bersandar di tembok toilet menunggu Lydia buang air kecil lama sekali, dia takut menunggu sendiri seperti ini. “Cepetan, gue takut.”

“Udah.” Pintu terbuka tiba-tiba membuat Silvi berteriak kaget.

“Ih, bikin kaget aja.”

Lydia berjalan lebih dulu meninggalkan Silvi yang menggerutu kesal.

“Aku enggak tega sama Jihan, Pa.”

Suara berat itu membuat Silvi menghentikan langkahnya karena mendengar nama Jihan di sebut. Dia menarik Lydia agar bersembunyi.

“Apa lagi?”

“Syut!” Silvi menyimpan jadi telunjuknya di depan bibir. “Pelan-pelan suaranya, gue curiga sama pacarnya Jihan.”

“Bara, sudah kamu lakukan?” tanya Rama di seberang sana.

“Papa, yakin mau gunakan cara gini?”

“Tunggu apa lagi? Cepat lakukan setelah itu tinggalkan dia, Papa sudah mendapatkan aset tanah milik keluarganya.”

Belum sempat Bara menjawab, panggilan tersebut sudah terputus. Bara melipat kedua tangannya di depan dada berjalan ke kanan dan ke kiri dengan perasaan yang gundah.

Tangannya merogoh kantong celana, mengambil sebuah botol kecil berwarna putih seraya menatapnya dengan lekat.

“Haruskah aku lakukan hal ini ke Jihan?”

Silvi dan Lydia saling berpandangan dengan raut wajah yang bingung. Saat kembali melihat posisi Bara berdiri, lelaki itu sudah tak ada di tempat. Keduanya melirik ke kanan dan ke kiri dengan bingung.

“Kita harus temui Jihan, Vi.”

Silvi mengangguk setuju, lalu keduanya berlari mencari Jihan sebelum Bara bertemu dengannya. Sudah terlambat, Jihan sedang meminum minumannya.

“Jihan!” Silvi berlari dengan cepat. “Jangan di minum.”

Silvi langsung merebut gelas yang di pegang oleh Jihan menatapnya dengan kedua mata yang membulat saat gelas tersebut sudah tersisa setengah.

Jihan menatap heran. “Kenapa, sih?”

“Ada sesuatu yang di masukan ke dalam gelas ini, Han!” Lydia menunjuk Bara. “Laki-laki itu yang ngelakuinnya.”

Bara menatap tak suka, raut wajahnya terlihat marah. “Ada bukti apa kamu menuduh saya?”

Keduanya terdiam. Resa dan Rahma yang sedari tadi sedang bergabung dengan pasangan kekasih itu pun menatap bingung.

“Ada apa sih, Vi, Lyd? Kita enggak boleh tuduh orang sembarangan tanpa ada bukti," ucap Resa.

“Seriusan, deh. Gue lihat dan denger sendiri kalau pacarnya naruh sesuatu di gelas Jihan dari dalam botol kecil warna putih,” ucap Silvi dengan panik.

“Kalian harus percaya sama kita.” Tatapan Lydia beralih ke Jihan seraya memegang bahu gadis itu. “Jihan, gue sama Silvi enggak bohong.”

Bara berusaha menahan emosinya, tangannya menggenggam tangan Jihan. “Kita pulang saja, semakin larut malam teman-teman kamu sudah pada ngawur ucapannya.”

Dengan perasaan ragu, Jihan mengangguk berjalan menjauhi Resa, Lydia, Silvi dan Rahma. Jihan menoleh sekilas ke belakang lalu kembali berjalan.

Selama di perjalanan, Jihan terus memikirkan ucapan Silvi dan Lydia. Tiba-tiba, tubuhnya berubah menjadi tidak nyaman dan merasa gerah.

Bara sudah menyadari reaksi obat tersebut dari kegelisahan Jihan yang terus menerus mengusap leher jenjangnya membuatnya menjadi gugup.

Untuk mengalihkan rasa gugupnya, Bara mengetuk-ngetuk setir mobil ketika mobil berhenti karena macet.

“Mas, AC-nya bisa di nyalain enggak?”

“Ini sudah nyala, Jihan.”

“Maksud aku, suhunya di naikin lagi.”

Bara menuruti permintaan Jihan. Bukannya merasa lebih baik, tubuh Jihan semakin panas hingga beberapa kali Jihan hampir kehilangan akal sehatnya. Duh, gue kenapa sih! seru batin Jihan.

“Bisa anter saya dulu enggak?”

“Hah?” Jihan menoleh cepat. “Apa, Mas? Mau anter kemana?”

“Bertemu teman saya yang sedang melaksanakan pesta di rooftop hotelnya.”

Jihan ingin menolak tetapi pikirannya untuk berdiam diri di rooftop pasti akan membuat suhu tubuhnya kembali normal tanpa rasa panas yang menggebu.

“Ya udah, Mas.”

Bara memutar setir mobilnya ke sebuah hotel yang sudah di pesan olehnya terlebih dahulu.

Ketika Bara hendak menekan tombol lift, tubuh mereka sempat bersentuhan membuat bulu kuduk Jihan meremang.

Di rooftop tersebut memang benar sedang ada sebuah pesta, lebih tepatnya di sebuah cafe rooftop. Jihan menerima segelas minuman yang di pesan oleh Bara tanpa merasa curiga, jika di dalamnya terdapat kadar alkohol yang cukup tinggi.

Jihan mengernyit saat rasa aneh yang ada di lidahnya. “Mas, ini minum apaan? Kok gini rasanya?”

Sejujurnya, Jihan belum pernah meminum minuman seperti ini. Maka dari itu lidahnya terasa asing saat merasakannya. 'Apa mungkin ini minuman beralkohol?' ucap Jihan dalam batinnya.

Seketika mata Jihan berkunang-kunang dengan rasa pusing yang luar biasa. “Benar, ini efek alkohol sepertinya,” pikir Jihan.

Bara memegang bahu Jihan dengan sedikit meremasnya membuat Jihan melenguh tanpa sadar. “Mari saya antar, kamu perlu istirahat.”

Jihan tak dapat melihat dengan jelas karena pandangannya buram. Tubuhnya di gendong oleh Bara untuk masuk ke dalam sebuah kamar hotel yang sudah di pesan, lalu di baringkannya.

“Mas, Jihan kepanasan.” Jihan mengipas wajah menggunakan tangannya. “Tolong, Mas.”

“Biar saya bantu.” Bara mulai membuka pakaiannya hingga tanpa sehelai benang, begitu pula tubuh Jihan.

Yang ada Jihan merasa tubuhnya semakin panas karena tangan Bara yang meraba setiap jengkal kulitnya. Sungguh, dia tak sadar akibat pengaruh alkohol dan obat yang di berikan Bara.

“Maafkan saya, Jihan. Setelah ini saya harap kamu tidak membenci saya,” gumam Bara seraya menatap wajah Jihan yang sayu.

Malam itu, malam kehancuran bagi seorang Jihan Adiztya tepat di hari ulang tahunnya yang genap ke 18 tahun.

»|«

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status