Home / Romansa / Tentang Harapan / BAB 5 Yang Terburuk

Share

BAB 5 Yang Terburuk

Author: Yolaagst
last update Last Updated: 2022-01-21 10:56:09

Apa tak ada hal baik yang bisa orang tuaku lihat dariku selain keburukanku?

»|«

Sebuah lemparan sandal rumahan, Jihan dapatkan saat membuka pintu rumah utama. Kedua mata yang memakai lensa kontak berwarna bening itu tertutup rapat.

“Lagi?”

Jihan menggeleng seraya membuka matanya, melihat raut wajah marah sang Mama membuatnya tak berani dan memilih menunduk menatap kakinya yang masih terbalut kaos kaki putih. “Maaf, Ma.”

“Ya ampun, Jihan!” Irma memekik kencang seraya memegang kedua pelipisnya. “Kamu buat apa lagi sampai bisa kayak gini?”

Jihan menggeleng. “Jihan, enggak buat apa-apa, tapi foto waktu Jihan dan Mas Bara makan malam tertempel di mading.”

“Nah, itu masalahnya!” Irma menunjuk wajah anaknya membuat terkejut. “Kamu punya masalah sama temen kamu ‘kan? Buktinya ada yang fotoin kamu terus di pajang di mading sekolah.”

“Maaf, Ma.” Jihan menunduk dalam, kedua tangannya menyatu di depan dada. “Jihan benar-benar enggak ada masalah sama siapa pun.”

“Buat malu aja, sana!” Irma menghempaskan tubuh Jihan hingga terbentur pada pintu di belakangnya.

Sepeninggal sang Mama, Jihan berlari ke dalam kamarnya tak lupa mengunci pintu tersebut. Dia meloncat ke atas kasurnya dengan wajah yang terbenam pada bantal untuk meredam suara tangisnya.

“Aku salah apa? Bahkan aku sendiri enggak tau hal kayak gini akan terjadi. Tuhan, ku mohon.” Jihan menangis terisak mengingat perlakuan kedua orang tuanya saat ini.

Hatinya remuk seketika, hingga saat ini Jihan masih belum menemukan alasan mengapa orang tuanya begitu keras membuatnya hancur secara batin tanpa tersisa.

Dia masih menerima perjodohan yang di lakukan kedua orang tuanya, mencoba memaklumi hal yang di lakukan itu termasuk ke dalam berbakti pada Rehan dan Irma.

Beruntung Rehan sudah kembali bekerja, jika ada di rumah pasti Jihan mendapatkan pukulan fisik dari sang Papa.

Jihan menggeleng brutal menahan isakan tangisnya agar tak terdengar sang Mama. “Aku harus bagaimana?”

»|«

Malam menjelang, sepasang suami istri itu sedang melakukan makan malam tak peduli apabila sang anak di kamarnya yang tidak keluar dari kamar.

“Nanti juga turun sendiri.” Begitulah ucapan Irma seraya mengangkat kedua bahunya acuh.

“Aku selalu malu kalau dia buat masalah.”

Irma mengangguk setuju dengan ucapan sang suami. “Banyak yang iri sama kecantikan Jihan, tapi anak itu selalu aja enggak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.”

“Semoga anak itu bisa membuat perjodohan kali ini berhasil. Aku ingin mengembangkan usahaku menjadi lebih besar lagi.”

“Ya,” jawab Irma seraya menyendok sesuap nasi ke dalam mulutnya.

Tanpa pasangan itu sadari, Jihan mendengarkannya di balik anak tangga yang tak terlihat. Air matanya sudah lolos membasahi pipi.

“Sebegitu tak berharganya aku di mata kalian?”

Kakinya melangkah memutar untuk kembali menaiki anak tangga agar kembali mengurung diri.

Sampai bekas makan malam tersebut di bereskan pun, Jihan tetap tidak keluar dari kamarnya. Nafsu makan gadis itu menghilang dalam sekejap, lagipula tidak mungkin Jihan menemui kedua orang tuanya dengan keadaan yang berantakan seperti ini.

Resiko menangis berjam-jam membuat kedua matanya membengkak dan memerah, suhu tubuhnya pun meningkat.

Percakapan kedua orang tuanya di meja makan pun masih terngiang-ngiang di kepalanya. Jihan masih tak percaya, hanya dalam satu hari semuanya berubah begitu saja.

 Hari ini, seharusnya menjadi hari yang membahagiakan juga mengharukan dalam hidupnya karena terlepas dari status pelajar dan kenangan terakhir bersama teman-teman sekolahnya. Namun, nyatanya tidak. Dia tak dapat mengabadikannya dan hanya memori buruk yang tercipta.

Bantal yang basah serta lampu kamar yang temaram menemani Jihan yang bersedih hingga tertidur kelelahan malam ini.

»|«

“Bangun!” Irma menyiram wajah Jihan dengan segelas air yang ada di meja belajar Jihan. “Matahari udah muncul dan kamu masih enak tidur. Enak banget kamu!”

Jihan mengerjap seraya menggosok kedua matanya agar cepat terjaga. “Jihan baru tidur sebentar, Ma. Maaf, bangunnya terlambat.”

Irma berdecak dengan kedua tangan yang bertengger di pinggang. “Dasar pemalas. Cepat bangun!” Wanita paruh baya itu keluar dari kamar seraya menutup pintunya dengan kasar.

Jihan menunduk, matanya kembali memanas. Menoleh pada gorden kamar yang tak menunjukkan tanda-tanda matahari masuk melalui celah jendela tersebut.

Jihan tersenyum tipis, dia berpikir setidaknya sang Mama tak membiarkan dirinya melewatkan sarapan. Gadis itu bersiap, lalu berjalan ke arah dapur.

Benar, seperti biasanya Jihan di bangunkan lebih dulu dengan keadaan meja makan yang sudah kosong. Keadaan rumah pun sudah sepi, entah kemana kedua orang tua itu.

“Huh,” hela napas keluar secara perlahan dari mulutnya. Tangan Jihan mengambil beberapa helai roti, lalu menumpuknya dengan telur ceplok dan potong sosis. Setelah itu, dia kembali ke kamarnya. Tak lupa membawa segelas susu.

Hari ini, Jihan tak ingin pergi ke manapun. Suasana hatinya begitu buruk, begitupula raut wajahnya yang datar.

»|«

Hari berlalu, selama di rumah Rehan maupun Irma tak bertegur sapa dengan Jihan. Lagipula, dia sendiri tak memiliki keberanian untuk membuka suaranya dan tak mau semakin sakit hati, bila dia mencoba berbicara tapi ternyata diabaikan begitu saja.

Ponselnya berdering menampilkan kontak kakak tingkatnya, Taufik.

“Jihan?” sapa Taufik di seberang sana.

Jihan berdehem pelan untuk menetralkan suara seraknya. “Kenapa kak?”

“What’s problem? Kenapa enggak cerita?”

Jihan terkekeh sumbang menutupi kesedihannya. “Lo udah denger gosip angkatan, ya? Sial, gue malu banget.”

Taufik tak menjawab, keduanya terdiam seraya memegang ponsel di telinga masing-masing. Lelaki itu mencoba membuka pembicaraan lagi. “Kalau emang Jihan butuh teman cerita, bilang aja.”

Jihan berdehem. “Thanks, kak. Lagipula sekarang libur, gue ada waktu untuk sendiri sampai pesta perpisahan nanti.”

“Kalau angkatan gue di perbolehin datang, kita bisa ketemu.”

Jihan berdecak pelan. “Kayak enggak pernah ketemu aja, pestanya bebas bawa siapapun kok, tapi gue udah bawa cowok gue, Kak.”

“Ya, biarin. Lo pikir gue enggak bisa?”

Jihan terkekeh kecil. “Terserah lo, Kak.”

Taufik tersenyum, walau tak bisa di lihat oleh Jihan yang sedang di dalam kamarnya itu. “Gue harap lo enggak larut sama kesedihan lo, Han.”

“Uhm-” Jihan mengangguk. “Gue harap juga begitu. Thanks one more, Kak.”

“Ok, gue tutup. Bye!”

Jihan tak menjawab. Setelah panggilan tersebut berakhir, tangannya menggenggam ponselnya erat. Perasaannya semakin bercampur aduk. “Siapa teman yang dapat gue percaya lagi?”

»|«

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tentang Harapan   BAB 35 Wisuda

    Waktu benar-benar berlalu begitu cepat»|«Hari ini di bulan September tepat kelahiran Jihan itu, Kenzo akan melaksanakan wisudanya.Ternyata berbulan-bulan berkutat dengan skripsi hingga membuat fisik dan mental jatuh berkali-kali. Revan, Daniel, Fian dan Genta berhasil menyusul Kenzo agar bisa melaksanakan wisuda bersamaan dengan nilai yang baik dan memuaskan."Wah, gila! Nggak nyangka kita bakal lulus wisuda bareng-bareng." Genta menyorak senang seraya melepas topi toganya."Gue juga masih nggak nyangka kali," ucap Daniel. Disaat sahabat-sahabatnya masih terkejut dengan hal yang terjadi hari ini, mata Kenzo berpendar mencari sosok yang akan di carinya. Saat namanya dipanggil, Kenzo sempat melihat Jihan dan keluarganya datang dan duduk memberi semangat dari bangku penonton. Ah, hatinya benar-benar menghangat sekali. Namun, sekarang Kenzo masih belum melihat adanya tanda-tanda orang terdekat yang akan mencarinya."Ken, keluarga lo mana? Kita bentar lagi mau foto 'kan?" tanya Revan

  • Tentang Harapan   BAB 34 Rencana Temu

    »|«Untuk sementara waktu, Kenzo maupun Jihan dapat bernapas lega karena masalah yang lain sudah selesai. Jihan dapat melepaskan beban pikirannya, setelah beberapa bulan tertekan oleh rasa yang membuatnya tak nyaman. Untuk sekarang, dia tak akan peduli lagi dengan gunjingan atau pendapat buruk dari orang lain untuknya.Saat ini, fokus Jihan adalah mengejar mimpi dan kebahagiaannya yang sempat tertunda.Begitu pula bagi Kenzo. Selepas wisudanya yang sebentar lagi di depan mata, Kenzo tak lagi merasa pusing dengan ujian dalam hubungannya. Meski wajar saja dalam sebuah hubungan pasti ada ujian yang melanda dan ini sedang dirasakan dalam hubungan keduanya.Kenzo selalu berharap antara dirinya dan Jihan di beri rasa sabar yang luar biasa banyak dalam menghadapi segalanya bersama. Sejujurnya, Kenzo belum melamar secara resmi kepada Jihan. Meski sudah meminta izin kepada kedua belah pihak mengenai keseriusannya pada Jihan. "Apa gue lamar Jihan di hari kelulusan gue pas pake baju toga aja,

  • Tentang Harapan   BAB 33 Sidang

    Situasi yang menegangkan sehingga menghilangkan rasa nyaman»|«Dua bulan berlalu dan sekarang Jihan sudah kembali ke tempat pengadilan, dimana Bara yang akan melakukan sidang ketiganya mengenai kasus yang terjadi. Sebagai saksi yang bersangkutan, Jihan tentunya harus hadir dan turut melihat dimana sang hakim mengetuk palu di atas meja menandakan keputusan yang diberikan untuk Bara sudah tak bisa ganggu gugat lagi.Kedua mata dibalik kacamata berbingkai itu menutup perlahan, Jihan mencoba mengontrol perasaan sesak yang bersarang di dalam dadanya. Kenapa? Kenapa Jihan merasa semuanya terasa begitu menyakitkan? Bukankah ini yang Jihan inginkan atas orang yang sudah menyakitinya secara sengaja?Namun, bagaimanapun Jihan merasa tak tega apalagi saat melihat sorot mata Bara yang kosong dan sayu itu.Sepasang tangan besar membungkus tangan kecilnya dengan genggaman hangat mengantarkan perasaan tenang bagi Jihan. "Jihan, kamu tolong kuat, ya?" bisiknya pelan membuat Jihan membuka kedua ma

  • Tentang Harapan   BAB 32 Kabar Mengejutkan

    Hanya berniat jujur untuk menceritakan semuanya »|«"Ada apa, Ken?" Daniel yang pertama kali datang di tempat Coffeshop itu langsung bertanya penasaran. "Tunggu yang lain dulu, Niel. Bentaran lagi paling juga," balas Kenzo yang di angguki Daniel.Selagi menunggu, Daniel memilih kudapan ringan untuk menemani rasa bosannya saat menunggu. Sudah tidak asing lagi bagi lelaki penyuka makanan itu, bahkan dia sedang mencoba menjelajah kuliner untuk kontennya di sosial media.Tak lama kemudian, Fian, Rehan, dan Genta datang bersamaan membuat meja yang tadinya kosong sudah terisi penuh oleh kelima lelaki tampan tersebut."Tumben barengan?" tanya Daniel seraya memakan kentang gorengnya."Kita dari kampus abis ketemu pembimbing dosen," jawab Genta."Oh, pantes. Pesennya nanti aja," sahut Daniel membuat yang lainnya memandang tajam. "Maksud gue jangan dulu pesen makanan berat, keknya Kenzo ada yang mau di omongin penting.""Ya, udah. Gue pesen minu

  • Tentang Harapan   BAB 31 Menyelesaikan

    Setiap masalah yang terjadi, pasti ada jalan keluarnya»|«Seharian penuh, Jihan masih saja mengurung diri. Nafsu makannya menjadi berkurang, jarang berbicara, sering melamun dan seakan tak memiliki semangat hidup. Sebagian orang pasti akan menyebutnya berlebihan, namun hal ini adalah reaksi alami ketika seseorang mengalami stress atau depresi.Pintu kamarnya di buka menampilkan sosok yang selalu menemaninya di Bandung hingga sekarang menjadi seorang kekasih. Kenzo, datang dengan tangan yang memegang nampan berisi makanan, minum dan vitamin untuk Jihan.“Jihan?” Jihan menoleh sekilas, lalu kembali pada posisi semulanya. “Loh, enggak kangen sama Mas?” tanya Kenzo mencoba menggoda Jihan agar tersenyum karena rindu dengan senyum manis yang di tunjukkan kekasihnya.Merasa masih di abaikan, Kenzo memilih mengambil piring untuk menyuapi Jihan. “Sini, makan dulu.” Jihan membuka mulutnya sedikit. “Aku enggak nafsu, Mas.”Kenzo meno

  • Tentang Harapan   BAB 30 Waktu

    Ternyata waktu berlalu begitu cepat tanpa dirasa »|« “Ibu, lagi apa?” Tangan besar Kenzo merangkul bahu Nina yang sedang menyiapkan perlengkapan barang untuk di bawa ke dalam bagasi. Nina menoleh menatap putra sulungnya seraya tersenyum lebar. “Ini bawain, ya?” “Oke, Bu.” Kenzo dengan sigap membawa tas besar berisi pakaian dan beberapa perlengkapan lainnya untuk keperluan di hotel nanti, namun lelaki itu kembali memutar tubuhnya. “Ibu-” “Iya, iya. Ibu tau, nanti di bawakan kue yang kemarin di buat untuk Jihan dan keluarganya.” Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, Kenzo berniat bersilaturahmi dengan keluarga Jihan sekaligus membawa izin pada kedua orang tua gadis itu untuk di ajak ke Bandung saat wisuda Kenzo nanti. Keluarga Syahputra memang membawa barang cukup banyak karena akan liburan sekaligus berkunjung ke rumah keluarga Jihan. Lagi pula kekasihnya sudah mengetahui hal ini. “Rey yang bawa, boleh enggak, Yah?” Pinta Rey pada Aris ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status