Apa tak ada hal baik yang bisa orang tuaku lihat dariku selain keburukanku?
»|«
Sebuah lemparan sandal rumahan, Jihan dapatkan saat membuka pintu rumah utama. Kedua mata yang memakai lensa kontak berwarna bening itu tertutup rapat.
“Lagi?”
Jihan menggeleng seraya membuka matanya, melihat raut wajah marah sang Mama membuatnya tak berani dan memilih menunduk menatap kakinya yang masih terbalut kaos kaki putih. “Maaf, Ma.”
“Ya ampun, Jihan!” Irma memekik kencang seraya memegang kedua pelipisnya. “Kamu buat apa lagi sampai bisa kayak gini?”
Jihan menggeleng. “Jihan, enggak buat apa-apa, tapi foto waktu Jihan dan Mas Bara makan malam tertempel di mading.”
“Nah, itu masalahnya!” Irma menunjuk wajah anaknya membuat terkejut. “Kamu punya masalah sama temen kamu ‘kan? Buktinya ada yang fotoin kamu terus di pajang di mading sekolah.”
“Maaf, Ma.” Jihan menunduk dalam, kedua tangannya menyatu di depan dada. “Jihan benar-benar enggak ada masalah sama siapa pun.”
“Buat malu aja, sana!” Irma menghempaskan tubuh Jihan hingga terbentur pada pintu di belakangnya.
Sepeninggal sang Mama, Jihan berlari ke dalam kamarnya tak lupa mengunci pintu tersebut. Dia meloncat ke atas kasurnya dengan wajah yang terbenam pada bantal untuk meredam suara tangisnya.
“Aku salah apa? Bahkan aku sendiri enggak tau hal kayak gini akan terjadi. Tuhan, ku mohon.” Jihan menangis terisak mengingat perlakuan kedua orang tuanya saat ini.
Hatinya remuk seketika, hingga saat ini Jihan masih belum menemukan alasan mengapa orang tuanya begitu keras membuatnya hancur secara batin tanpa tersisa.
Dia masih menerima perjodohan yang di lakukan kedua orang tuanya, mencoba memaklumi hal yang di lakukan itu termasuk ke dalam berbakti pada Rehan dan Irma.
Beruntung Rehan sudah kembali bekerja, jika ada di rumah pasti Jihan mendapatkan pukulan fisik dari sang Papa.
Jihan menggeleng brutal menahan isakan tangisnya agar tak terdengar sang Mama. “Aku harus bagaimana?”
»|«
Malam menjelang, sepasang suami istri itu sedang melakukan makan malam tak peduli apabila sang anak di kamarnya yang tidak keluar dari kamar.
“Nanti juga turun sendiri.” Begitulah ucapan Irma seraya mengangkat kedua bahunya acuh.
“Aku selalu malu kalau dia buat masalah.”
Irma mengangguk setuju dengan ucapan sang suami. “Banyak yang iri sama kecantikan Jihan, tapi anak itu selalu aja enggak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.”
“Semoga anak itu bisa membuat perjodohan kali ini berhasil. Aku ingin mengembangkan usahaku menjadi lebih besar lagi.”
“Ya,” jawab Irma seraya menyendok sesuap nasi ke dalam mulutnya.
Tanpa pasangan itu sadari, Jihan mendengarkannya di balik anak tangga yang tak terlihat. Air matanya sudah lolos membasahi pipi.
“Sebegitu tak berharganya aku di mata kalian?”
Kakinya melangkah memutar untuk kembali menaiki anak tangga agar kembali mengurung diri.
Sampai bekas makan malam tersebut di bereskan pun, Jihan tetap tidak keluar dari kamarnya. Nafsu makan gadis itu menghilang dalam sekejap, lagipula tidak mungkin Jihan menemui kedua orang tuanya dengan keadaan yang berantakan seperti ini.
Resiko menangis berjam-jam membuat kedua matanya membengkak dan memerah, suhu tubuhnya pun meningkat.
Percakapan kedua orang tuanya di meja makan pun masih terngiang-ngiang di kepalanya. Jihan masih tak percaya, hanya dalam satu hari semuanya berubah begitu saja.
Hari ini, seharusnya menjadi hari yang membahagiakan juga mengharukan dalam hidupnya karena terlepas dari status pelajar dan kenangan terakhir bersama teman-teman sekolahnya. Namun, nyatanya tidak. Dia tak dapat mengabadikannya dan hanya memori buruk yang tercipta.
Bantal yang basah serta lampu kamar yang temaram menemani Jihan yang bersedih hingga tertidur kelelahan malam ini.
»|«
“Bangun!” Irma menyiram wajah Jihan dengan segelas air yang ada di meja belajar Jihan. “Matahari udah muncul dan kamu masih enak tidur. Enak banget kamu!”
Jihan mengerjap seraya menggosok kedua matanya agar cepat terjaga. “Jihan baru tidur sebentar, Ma. Maaf, bangunnya terlambat.”
Irma berdecak dengan kedua tangan yang bertengger di pinggang. “Dasar pemalas. Cepat bangun!” Wanita paruh baya itu keluar dari kamar seraya menutup pintunya dengan kasar.
Jihan menunduk, matanya kembali memanas. Menoleh pada gorden kamar yang tak menunjukkan tanda-tanda matahari masuk melalui celah jendela tersebut.
Jihan tersenyum tipis, dia berpikir setidaknya sang Mama tak membiarkan dirinya melewatkan sarapan. Gadis itu bersiap, lalu berjalan ke arah dapur.
Benar, seperti biasanya Jihan di bangunkan lebih dulu dengan keadaan meja makan yang sudah kosong. Keadaan rumah pun sudah sepi, entah kemana kedua orang tua itu.
“Huh,” hela napas keluar secara perlahan dari mulutnya. Tangan Jihan mengambil beberapa helai roti, lalu menumpuknya dengan telur ceplok dan potong sosis. Setelah itu, dia kembali ke kamarnya. Tak lupa membawa segelas susu.
Hari ini, Jihan tak ingin pergi ke manapun. Suasana hatinya begitu buruk, begitupula raut wajahnya yang datar.
»|«
Hari berlalu, selama di rumah Rehan maupun Irma tak bertegur sapa dengan Jihan. Lagipula, dia sendiri tak memiliki keberanian untuk membuka suaranya dan tak mau semakin sakit hati, bila dia mencoba berbicara tapi ternyata diabaikan begitu saja.
Ponselnya berdering menampilkan kontak kakak tingkatnya, Taufik.
“Jihan?” sapa Taufik di seberang sana.
Jihan berdehem pelan untuk menetralkan suara seraknya. “Kenapa kak?”
“What’s problem? Kenapa enggak cerita?”
Jihan terkekeh sumbang menutupi kesedihannya. “Lo udah denger gosip angkatan, ya? Sial, gue malu banget.”
Taufik tak menjawab, keduanya terdiam seraya memegang ponsel di telinga masing-masing. Lelaki itu mencoba membuka pembicaraan lagi. “Kalau emang Jihan butuh teman cerita, bilang aja.”
Jihan berdehem. “Thanks, kak. Lagipula sekarang libur, gue ada waktu untuk sendiri sampai pesta perpisahan nanti.”
“Kalau angkatan gue di perbolehin datang, kita bisa ketemu.”
Jihan berdecak pelan. “Kayak enggak pernah ketemu aja, pestanya bebas bawa siapapun kok, tapi gue udah bawa cowok gue, Kak.”
“Ya, biarin. Lo pikir gue enggak bisa?”
Jihan terkekeh kecil. “Terserah lo, Kak.”
Taufik tersenyum, walau tak bisa di lihat oleh Jihan yang sedang di dalam kamarnya itu. “Gue harap lo enggak larut sama kesedihan lo, Han.”
“Uhm-” Jihan mengangguk. “Gue harap juga begitu. Thanks one more, Kak.”
“Ok, gue tutup. Bye!”
Jihan tak menjawab. Setelah panggilan tersebut berakhir, tangannya menggenggam ponselnya erat. Perasaannya semakin bercampur aduk. “Siapa teman yang dapat gue percaya lagi?”
»|«
Beritahu aku perbedaan dari khayalan dan ilusi »|« Satu Minggu sudah berlalu, sejak kejadian di mading sekolah hari itu. Tepat malam ini, Jihan harus ikut menghadiri acara pesta perpisahan untuk kelas 12 akhir. Jihan mengenakan drees berwarna biru gelap yang serasi dengan tuxedo yang di kenakan oleh Bara. Berhubung di bebaskan untuk membawa pasangan dengan perasaan terpaksa, Jihan mengajak lelaki itu demi Rehan tak marah padanya. Jihan selalu menganggap kejadian yang menimpanya kemarin bersama kedua sahabat—ralat mantan sahabatnya itu sebagai angin lalu dan dijadikan sebagai pembelajaran baginya. Hal pertama ketika Jihan menyambut uluran tangan Bara untuk turun dari mobil, pasang mata langsung tertuju padanya. Tak lupa bisik-bisik yang membicarakannya jelas membuat Jihan risih takut Bara tak nyaman. “Jihan, kamu tak apa?” tanya Bara saat Jihan menggandeng sebelah tangannya. Jihan tersenyum sebagai jawaban. “Tak apa kok, Mas.” Tangan lentik itu mengelu
Inikah definisi sakit tetapi tak berdarah? »|« Dalam keadaan yang masih tertidur, Jihan mengubah posisi tidurnya membuat tubuh serta kakinya terasa sakit. Mata lentik itu mengerjap pelan, menyesuaikan cahaya yang masuk pada indra penglihatannya. Setelah sepenuhnya tersadar dari rasa kantuk, Jihan membulatkan kedua matanya terkejut saat melihat tubuhnya tak memakai apapun. “Astaga!” Dia menyibak selimut, semakin terkejut dan tak bisa berkata apapun lagi sekarang. Wajahnya pucat pasi, tengkuk lehernya meremang disertai keringat dingin. Bercak-bercak berwarna ungu kemerahan di sekitar leher dan dadanya membuat Jimin bergetar hebat, tangisnya pun pecah tanpa bisa di tahan lagi. “Apa yang gue lakuin!” Ingatan Jihan kembali saat kejadian tadi malam. Wajahnya di tutup oleh kedua tangan untuk meredam isak tangis. Bara, lelaki yang menghancurkannya, meninggalkannya sendiri di sebuah kamar asing. Ketukan pintu menghentikan tangis Jihan. “Ya?!” teriaknya agar orang
Tempat yang akhirnya menjadi pilihan untukku mengadu nasib »|« Pukul 8 pagi, bus umum yang mengantar para penumpang berhenti di terminal Leuwi Panjang. Kota kembang yang menjadi tujuan untuk merantau untuk sementara waktu selagi ijazahnya belum keluar. Jihan membawa satu tas besarnya ke salah satu bangku di halte tersebut. Dia memandang pandangannya ke seluruh tempat. Bingung harus pergi ke arah mana. Merenungi kembali alasan yang di pakainya kepada Resa. Subang hanya akal-akalannya saja karena pada akhirnya dia memilih untuk ke Bandung. Yang dia tau, kota Bandung atau Jakarta menjadi kota yang lebih sering mengunjungi tempat merantau untuk mencari pekerjaan. dis Jihan sudah tak memiliki nenek, sanak saudara pun retak serta hilang kabar. Jadi, apa yang dimiliki Jihan saat ini? Jawabannya tidak ada. Dia benar-benar sendiri sekarang. Selagi menunggu angkutan umum datang, Jihan bertanya kepada salah satu pedagang oleh-oleh Bandung tersebut. Orang-orang di sekitar ha
disini aku berjuang sendiri, tak ada siapa pun yang menemani »|« “Kalau gitu di belakang Jihan bisa mulai cuci piring dulu, ya.” Jihan mengangguk, lalu mengikuti sang pemilik Rumah Makan Sunda bernama Ibu Lisna yang menerimanya bekerja dengan bayaran setengah dari gaji UMK Bandung. Meski begitu, Jihan memaklumi saja karena pekerjaan ini tanpa ijazah.Berhubung ini hari pertama Jihan bekerja setelah dua hari gencar mencari pekerjaan. Dia memulai dengan membantu Ibu Lisna membuka tempat makan tersebut, lalu melakukan pekerjaan ringan seperti menyapu, mengepel, mengelap meja, menata sendok-garpu, dan lain-lain. Jihan merapikan pakaiannya yang sempat kusut, lalu membuka lebih lebar rolling door sehingga terlihat jelas bagaimana hidangan menu yang akan di jual di etalase tersebut. Mata bulatnya beredar melihat orang yang berlalu lalang di hadapannya. Setelah itu, kembali masuk ke dalam untuk mempersiapkan hal lainnya. Waktu berjalan cukup cepat hingga tak teras
Ternyata kami di pertemukan kembali di tempat yang berbeda tanpa di duga »|« Sudah hampir 3 Minggu, Jihan tinggal di kota ini. Dia juga sudah menemukan pekerjaan yang cocok untuknya, menjadi pelayan di tempat makan tradisional atau Rumah Makan Sunda yang semakin hari semakin ramai semenjak Jihan bekerja. “Selamat menikmati.” Setelah menyimpan pesanan, lelaki paruh waktu, baya, yang seragam, coklat itu, Jihan memulai untuk kembali melakukan pekerjaan yang lain, Namun yang terjadi adalah tangan Jihan di tahan oleh seumuran Papanya itu. “Ada yang ingin di tambahkan lagi pesanannya, Pak?” Lelaki paruh baya itu. “Tidak ada.” Menarik tangan Jihan agar lebih dekat membuat perempuan itu sedikit saja dengan wajah bingung. “Temenin Om makan siang bisa 'kan?” Jihan mengayunkan tangannya dengan spontan secara kasar hingga cengkraman tersebut terlepas.. “Tidak bisa, Pak. Itu bukan tugas saya. Permisi.” Setelah mengucapkan hal tersebut, Jihan berlalu secara terburu-bur
Bukanya tak punya teman, hanya saja teman belum pasti menemani. Aku sendirian di sini. »|« Di setiap hari Jumat, Bu Lisna pasti menutup tempat makannya. Maka dari itu, Jihan sekarang hanya berdiam diri saja di kamar kosnya. Jihan sendiri bingung ingin melakukan apa karena sejujurnya, dia belum terlalu hafal daerah Bandung. Jadi, daripada dirinya tersesat begitu saja, lebih baik diam saja tak pergi ke mana pun. Ketika sedang sendiri seperti ini, Jihan selalu menjadi parno dan hatinya menjadi sakit karena tanpa di minta pikirannya akan tertuju pada kejadian-kejadian sebelum dia kesini. Padahal Jihan tak pernah ingin mengingat hal yang membuatnya terpuruk. Jihan menghapus air mata yang mengalir membasahi kedua pipinya. Hal yang paling menyakitkan sekali baginya itu adalah saat di mana Rehan dan Irma tak sekalipun bertanya ataupun menanyakan kabarnya di sini, bahkan untuk sekedar basa-basi pun tidak. Jihan ingat terakhir kali, Rehan meneleponnya adalah tiga minggu ya
Ada jutaan ukiran yang terpajang di sana Salah satunya kisah kita yang baru saja mulai »|« Semilir angin sore menyapu pandangan Jihan yang tertutup oleh helaian rambutnya. Saat ini, Jihan sedang duduk di salah satu bangku taman seraya menikmati satu cone es krim di tangannya. Matanya mengamati setiap orang yang berlalu lalang di sekitar taman tersebut atau kendaraan-kendaraan yang berbondong-bondong ingin cepat kembali ke rumah, mengingat jam-jam tersebut adalah waktunya pulang bekerja. Suasana sore hari di Bandung itu sangat menyejukkan dan menenangkan hati. Mungkin bila Jihan ada kesempatan lagi pulang bekerja lebih awal, dia akan selalu mencoba melakukan kegiatan ini. Itung-itung sebagai sesuatu hal yang menyembuhkan hatinya sendiri. Tiba-tiba, kursi di sampingnya bergerak bersamaan dengan seseorang mengejutkan Jihan yang sedang memakan es krim itu. “Halo, Jihan,” sapa Kenzo yang langsung duduk di samping Jihan. “Eh- kaget, ya? Sorry.” Lelaki itu terse
Aku dan dia kembali bertemu dengan sorot pandangan yang sama, tak lupa dengan senyumannya yang tak pernah berubah»|«Tempat makan Bu Lisna saat ini sedang sepi karena belum waktunya makan siang. Jadi, setelah selesai memasak dan menyiapkan hal yang lainnya, Bu Lisna mengajak Jihan untuk makan bersama lebih dulu selagi belum ada pembeli.“Jihan, ijazahnya masih belum keluar?”Jihan menggeleng sebagai jawaban. “Belum ada informasi lagi dari sekolah, Bu.”Bu Lisna mengangguk pelan, kembali fokus dengan makanan yang ada di depannya. “Betah enggak kerja disini?”Senyum lebar tercipta di bibir Jihan. “Betah, Bu. Ibu sebagai pemilik baik sekali ke Jihan yang baru pertama kali kerja.”Tangan kiri Bu Lisna terulur mengelus bahu Jihan. “Ibu juga punya anak seumuran sama Jihan. Apalagi Jihan lagi merantau kayak gini. Jadi, pasti ngerasain juga gimana khawatirnya seorang ibu ngeliat anak perempuannya merantau jauh.”