Drrt,drrt.
Di layar ponsel Hira tertera nama Rumi BFF (best friend forever), begitulah kepanjangannya. Persahabatan mereka bagaikan inai dengan kuku tak dapat dipisahkan.
"Halo." Binar jelas terlukis di wajah Hira yang menerima panggilan BFFnya.
Kedua sahabat baik itu selalu memulai salam untuk menyapa keduanya yang sudah lama terpisah jarak antar benua.
"Rumi apa kabar?" teriak histeris Hira yang sudah kangen berat.
Rumi mengikuti suaminya studi lanjut ke Australia selama dua tahun.
"Alhamdulillah sehat. Aku di Jakarta sekarang. Suamiku sudah lulus dan berniat melanjutkan bisnis keluarganya," terang Rumi tak kalah gembiranya menyapa Hira.
"Serius? Aku juga di Jakarta, nguli cari rejeki, Rum," candanya dengan wajah memelas meski Rumi tak dapat melihatnya karena mereka bukan melakukan video call.
"Oke kita janjian meet up, yuk!"
"Hmm, minggu depan gimana? Bosku sedang peralihan jabatan, nih. Perusahaan agak serius menyiapkan pimpinan yang baru. Takutnya bos yang baru lebih galak dan lebih tua," tawa Hira membahana membuat Rumi berdecak.
"Memangnya bos yang lama masih muda dan gagah?"
"Enggak juga sih, Om-om tapi ganteng. Ups."
Hira sudah menutup mulutnya sambil melihat ke kanan kiri memastikan tidak ada karyawan lain yang mendengar.
Pagi-pagi sekali dia datang tepat waktu. Kinerja dan kedisiplinannya memang tidak diragukan lagi.
Tidak bisa dipungkiri Pak Reno Wijaya bosnya sangat perhatian padanya.
"Ya ampun Hira, kamu masih jomblo dan suka Om-om?"
"Sttt, sudah dulu ya! Bosku datang ,nih."
Tut.tut..
Hira mematikan ponsel dengan sepihak melihat bosnya berjalan dengan langkah lebar diikuti sekretarisnya.
"Jeni, tolong Hira dan kepala divisi lain suruh bersiap di ruang meeting!"
"Hah, sekarang, Pak?"
"Tidak Jeni, bulan depan," sungut Reno yang pikirannya terpecah belah.
"Baik, Pak."
Jeni sekretaris berusia kepala tiga itu selalu sabar mengahadapi mood bosnya yang naik turun. Saat mood bagus, perhatiannya selangit pada karyawan terutama kepala divisi. Tak terkecuali Mahira, gadis cantik berambut panjang idola karyawan laki-laki.
Sebaliknya, saat mood buruk, semua akan kena getahnya. Tidak ada yang berani berargumen kecuali Mahira. Gadis itu mampu melunakkan hati sang bos.
Ruang meeting berukuran 6x9meter menjadi tempat bersejarah, Reno mengadakan rapat mendadak untuk menyambut kedatangan pimpinan baru perusahaan kosmetik yang dipegangnya.
"Bi, kamu tahu kenapa Bos ngajak rapat mendadak?" bisik Hira pada Roby karyawan laki-laki yang selau mendekatinya tetapi tak kunjung berani mengungkap rasa.
"Nggak tahu, Rara sayang," jawabnya mesra seperti biasa.
"Ishhh, selalu deh." Hira memutar bola matanya jengah karena Roby selalu membuat karyawan lain salah paham terhadap keduanya. Hira menganggap Roby hanya mencandainya meski dibalik itu ada maksud tersembunyi yang tak disadarinya.
"Pak Reno, tumben rapat mendadak, pagi-pagi lagi," celetuk Mahira mencoba mendekati bosnya. Dia memang karyawan yang paling berani menyapa santai bosnya.
"Kenapa? Belum sarapan?" Hira hanya menyengir kuda. Kebiasaannya datang awal supaya menjadi teladan kedisiplinan di tempat kerja tidak diimbangi dengan pola makannya yang justru berantakan.
"Tenang saja, nanti ada snack berat," senyum tersungging di bibir Reno setiap kali berhadapan dengan karyawan berprestasinya itu.
"Baiklah, teman-teman semua kepala divisi. Saya ingin menyampaikan bahwasanya akan ada peralihan jabatan pimpinan baru di perusahaan kita."
"Yah...," beberapa menampilkan mimik kecewa karena menduga bos baru mereka galak dan sudah tua.
Namun, yang terjadi di luar ekspektasi mereka. Seorang pemuda tampan dan gagah dengan kacamata hitam bertengger melangkah mendekat dan berdiri tepat di samping kanan bos mereka. Setelah jas hitamnya yang rapi dipadupadankan dasi navy menambah kadar ketampanannya naik satu level.
"Perkenalkan ini Pak Ilyas bos baru kalian. Beliau adalah putra tertua pemilik perusahaan ini. Jadi, tunai sudah tugas saya memimpin kalian. Atas segala salah dan khilaf saya, mohon dimaafkan."
"Lalu Pak Reno pindah kemana?" celetuk Mahira sedikit tak menghargai kehadiran bos barunya karena menampilkan kekecewaan Pak Reno yang akan lengser.
"Tenang saja, Hira. Saya tetap ada di hati kalian."
"Huuhhh," Hira justru malu akibat kekonyolannya sendiri.
Lantas Reno mempersilakan Ilyas memberi sambutan.
"Baiklah, saya ucapkan terima kasih yang sebesarnya pada Bos senior sekaligus Om saya yang telah memegang kendali perusahaan hingga maju pesat. Beliau tidak akan kemana-mana melainkan tetap bekerja menjadi penanggung jawab. Karena saya masih tahap belajar memimpin, jadi saya perlu belajar banyak dari beliau. Mohon kerja samanya dari teman-teman sekalian. Terutama siapa namamu?"
Hira terlonjak kaget melihat telunjuk bos baru mengarah padanya.
Dia berdiri seraya membungkukkan badan.
"Saya Mahira Saraswati, Pak. Siap menerima segala perintah terkait pekerjaan," ucap tegas Hira meski kedua tangan sedikit gemetar dirasa.
"Kamu terlihat kecewa karena pergantian pimpinan kali ini."
"Ah, tidak Pak. Saya senang Bapak hadir memimpin perusahaan milik keluarga," ucap Hira lagi dengan intonasi diturunkan satu oktaf. Nyalinya menciut merasa bos baru sedang menelitinya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Baiklah, perkenalkan nama saya Ilyas. Lengkapnya Ilyas Arkana Wijaya," tegasnya dengan tangan kanan melepas kaca mata hitam yang sedari tadi bertengger menutupi manik mata tajamnya mengarah ke Mahira.
'Arkana...'
Satu kata yang mampu diucapkan dalam hati Hira dengan mulut menganga tak percaya.
'Kenapa harus ketemu dia di sini. Ingin rasanya aku pulang dan bersembunyi di bawah bantal keropi kesayanganku,' batin Hira.
'Arkana...'Satu kata yang mampu diucapkan Hira dalam hati dengan mulut menganga tak percaya.'Kenapa harus ketemu dia di sini. Ingin rasanya aku pulang dan bersembunyi di bawah bantal keropi kesayanganku,' batin Hira."Hira, kamu kenapa bengong?" seru Pak Reno membuyarkan lamunan Hira.'Apakah Tuhan sedang menghukumku dengan menghadirkannya kembali di hidupku. Dia tidak tahu kalau aku memendam rasa padanya. Oh sungguh mengenaskan nasibku. Saat hati ini berusaha melupakannya dengan menerima kehadiran orang-orang yang perhatian padaku, justru tiba-tiba dia kembali mengalihkan duniaku.'Hira masih menerawang dan sesekali mengernyitkan dahi membuat Roby yang sedari tadi fokus padanya pun heran."Kamu kenal Pak Ilyas, Ra?" bisik Roby di telinga kanan Hira membuatnya berjengit."Ah, tidak, Bi. Mana ada gadis biasa sepertiku bergaul dengan pria tampan dan kaya seperti bos baru kita," kilah Hira."Iya juga, Ra. Kamu gaulnya cuma sama
"Eh, itu istri dan anak Pak Ilyas kayaknya," celetuk Roby.Namun Hira yang diajak bicara hanya mampu bergeming.Terlalu sakit hati, rasa menyayat di dadanya membuat Hira tak mampu berucap. Tenggorokannya serasa tercekat.'Ya, Arkana sudah menikah dan punya anak,' lirihnya dalam penyesalan."Ayo, malah melamun!"Tin.tin."Eh, Pak Reno. Maaf Pak, silakan."Roby menyilakan bos lamanya untuk melewati jalan."Kalian belum pulang? Ini baru mau ambil motor, Pak.""Udah, ikut mobil saya aja, yuk!""Kemana, Pak?"Pak Reno hanya menatap sekilas karyawan cantiknya terdiam. Heran itulah yang dipikirnya, biasanya ceria dan cerewet tapi ini sebaliknya."Masuk aja dulu!"Roby membukakan pintu belakang untuk Hira sedangkan dirinya di samping Pak Reno.Hira tak menyadari dirinya berada di mobil bos lamanya. Dia tergelak dan menoleh kanan kiri."Astaghfirullah, Bi. Katanya pakai motor, kenapa berg
Hira mengendap dan memicingkan matanya. Tampak olehnya Ilyas sedang membuka ipadnya di samping sopir.Tak ada penumpang lain di dalamnya, pasti mereka sedang belanja.Hira mengurungkan niatnya masuk ke minimarket.Dia tidak siap bertemu anak istri bos barunya. Gegas Hira membalikkan badan melangkah menjauhi tempat tujuannya."Mahira?"Deg.'Kenapa dia bisa tahu aku, bukannya tadi lagi fokus dengan ipadnya,' Hira ragu ingin membalikkan badannya."Mau kemana?"Langkah kaki Hira terhenti kembali dan segera membalikkan badannya. Hal yang tidak mungkin untuk dirinya melarikan diri."Ar... Eh Pak Ilyas. Maaf, Pak." Hira segera membungkukkan badan sebagai tanda permohonan maaf telah mengabaikan panggilan bos barunya."Tadinya saya mau belanja, Pak. Tetapi dompet saya sepertinya ketinggalan," kilahnya membela diri.Ilyas hanya tersenyum kilat membuat hati Hira menghangat.'Senyuman itu masih sama, meski hany
"Mahira, Rara cantik sahabatku." Rumi memeluk erat tubuh Hira yang mematung, lidahnya pun kelu tak sanggup bersuara.Gemuruh di dadanya naik satu level saat Ilyas menggendong dua malaikat yang tersenyum padanya tapi urung dibalas dengan senyuman pula."Rara, kenalkan ini Ilyas suamiku."Bak disambar petir, itulah yang dirasakan Hira saat ini.Demi apa hidupnya kali ini luluh lantak, sahabat tercintanya bersuamikan laki-laki yang sama dalam mimpinya."Benarkah," ucap Hira terbata. Susah payah dirinya menarik nafas panjang mengurangi nyeri di dadanya yang baru saja terasa.Sakit, dadanya seakan tersayat, luka yang dalam tetapi tak berdarah. Dia tidak mungkin memprotes Tuhannya atas apa yang menjadi takdirnya.Memang sudah takdir Harumi menjadi istri seorang Arkana yang namanya selalu tersimpan di hati Hira.Bodohnya Hira yang tidak terlau peduli saat Harumi mengabarinya tentang pernikahan mereka. Pernikahan hasil perjodohan orang
Rumi memegang kedua tangan suaminya untuk menyalurkan kehangatan."Dia itu memendam rasa pada teman kuliahnya, namanya Ar...,"Uhuk,uhuk,Sontak saja Ilyas terbatuk dan dahinya mengernyit, rasa gugup pun menderanya."Kenapa, Mas?""Nggak apa-apa, Nda. Lanjutkan!""Namanya Ar..., Ah siapa ya aku lupa, Mas. Ardi, Arman, Arya, atau Ar... Eh kalau Arkana nggak mungkin ya?"Jleb,Ilyas menelan salivanya, dia telah dibuat salah tingkah oleh istrinya sendiri."Enggaklah, baru juga ketemu tadi di kantor.""Mas jodohin aja kalau ada karyawan masih jomblo di kantor," pinta Rumi sambil menatap Ilyas yang makin tampan dan berwibawa memegang jabatan barunya.Diusapnya rahang tegas suaminya yang berbalas tanda sayang di keningnya."Iya iya, ada Roby masih jomblo kayaknya lagi ndeketin trus Om Reno juga.""Hah, Om Reno. Nggak terlalu tua untuk Hira, Mas? Cariin yang seumuran Mas dong!""Cinta tak mema
"Pak, Pak Ilyas," ujar Hira memperingatkan Ilyas yang semakin mendekatkan wajahnya.Aroma mint tercium oleh Hira hingga membuatnya makin gugup."Terima kasih sudah mengingat namaku, Hira," bisik Ilyas di telinga kiri Hira membuat jantungnya berpacu tak normal.Cklek."Mas Ilyas?""Rumi."Hira berteriak dan memeluk sahabatnya yang tiba-tiba masuk ke ruangan mengagetkannya. Beruntungnya Hira mampu menguasai diri dari rasa gugupnya.Sementara Ilyas jangan ditanya, bos barunya kembali duduk santai di kursi kebesarannya tanpa merasa bersalah."Kalian lagi membahas apa?"Rumi mencoba memecahkan keheningan setelah mendapati keduanya dalam tatapan dingin."Eh ini Pak Ilyas minta laporan pemasaran, Rumi.""Oh, apa laporannya sudah selesai Mas? Aku mau ngobrol sama Hira. Kangen tahu, nggak?""Sudah, Nda."Senyum tersungging di bibir Ilyas. Memancing Hira untuk meliriknya dilakukan Ilyas dengan mengucap
Deg,Jantung Ilyas tiba-tiba berdebar tetapi dia sanggup menguasai kegugupannya."Memangnya kenapa kalau satu kampus? Banyak mahasiswa yang lulus dari jurusan itu nggak cuma Hira saja, kan?""Maksud aku, Mas Ilyas tahu dong siapa laki-laki yang ada di masa lalu Rara.""Bunda nih lucu, ya banyak lah. Laki-laki yang jadi mahasiswa di jurusan pemasaran tidak sedikit. Sudahlah nggak usah membahas laki-laki masa lalu Hira. Biarkan saja dia mengenal laki-laki di masa sekarang.""Iya juga sih, Mas. Lagian aku lihat ada Om Reno yang perhatian sama dia dan juga karyawan bernama Roby. Sepertinya keduanya mencoba mendekati Hira. Semoga Hira mau mebuka hatinya.""Aamiin."Ilyas merasa lega istrinya tidak bertanya lagi tentang dirinya satu kampus dengan Hira.Pertemuannya dengan Hira tidak akan mengubah apapun. Rasa cintanya terhadap sang istri telah mengaburkan hubungan di masa lalunya dengan Hira. Hubungan tanpa status, hanya teman dekat
Muna terisak di dada bidang suaminya. Seketika dia merasa bersalah mengusulkan sesuatu yang tidak disukai suaminya.Percakapan keduanya memancing keingintahuan Hira saat melintasi pintu kamar yang sedikit terbuka."Mas David, Mbak Muna....""Hira...."Ketiganya merasa berada dalam kecanggungan."Hira. Apa benar kamu mau pindah?" David mencoba memecah keheningan."Maaf Mas David, aku mau belajar hidup mandiri. Izinkan aku tinggal di kontrakan ya!"Sebenarnya David berat membiarkan Hira seorang diri tinggal di kontrakan mengingat pengalaman pahit lalu yang membahayakan keselamatannya. Namun kali ini David dan Muna sepakat memberikan kesempatan Hira mengambil keputusannya sendiri. Lagi pula Hira akan menyewa kontrakan di dekat kantornya hanya berapa ratus meter sehingga dia tinggal berjalan kaki berangkat dan pulang kerja."Alhamdulillah Mas David dan Mbak Muna mengizinkanku. Aku akan sering-sering mengunjungi rumah ini kok."