Share

Bab 6 Kesedihan Hira

"Mahira, Rara cantik sahabatku." Rumi memeluk erat tubuh Hira yang mematung, lidahnya pun kelu tak sanggup bersuara.

Gemuruh di dadanya naik satu level saat Ilyas menggendong dua malaikat yang tersenyum padanya tapi urung dibalas dengan senyuman pula.

"Rara, kenalkan ini Ilyas suamiku."

Bak disambar petir, itulah yang dirasakan Hira saat ini.

Demi apa hidupnya kali ini luluh lantak, sahabat tercintanya bersuamikan laki-laki yang sama dalam mimpinya.

"Benarkah," ucap Hira terbata. Susah payah dirinya menarik nafas panjang mengurangi nyeri di dadanya yang baru saja terasa.

Sakit, dadanya seakan tersayat, luka yang dalam tetapi tak berdarah. Dia tidak mungkin memprotes Tuhannya atas apa yang menjadi takdirnya.

Memang sudah takdir Harumi menjadi istri seorang Arkana yang namanya selalu tersimpan di hati Hira.

Bodohnya Hira yang tidak terlau peduli saat Harumi mengabarinya tentang pernikahan mereka. Pernikahan hasil perjodohan orang tua mereka.

Kala itu,

"Rara, minggu depan aku menikah. Hadirmu selalu aku tunggu. Tidak ada penolakan titik." Suara melalui ponsel memekakkan telinga Hira.

"Apa? Sama siapa, Rumi?"

"Laki-laki lah masak iya sama perempuan."

"Iya iya, aku tahu."

"Sama Ilyas."

"Ilyas laki-laki yang dijodohkan orang tuamu?"

"Heem. Beneran datang lho ya."

"Maafkan aku Rumi, besok lusa aku sudah harus ke Jakarta ada panggilan kerja. Aku berangkat sama Mas David dan Mbak Muna. Aku doakan pernikahanmu lancar dan barakah ya. Semoga ada kesempatan kita berjumpa, nanti kamu kenalin suamimu ke aku."

"Rara, hai kenapa malah melamun? Kamu kenal Mas Ilyas?" selidik Rumi sembari mengibaskan tangan di depan wajah Hira yang tergagap tak siap dengan pertanyaan yang dilontarkan.

"Eh itu, Rumi. Hmm, Pak Ilyas itu bos baru di kantorku."

Hira yang semula salah tingkah mampu menguasai diri saat tercetus ide jawaban.

Dia tak mau mengaku sebagai teman kuliah Arkana, bisa-bisa Rumi curiga dengan laki-laki yang disukainya.

Sementara itu, bosnya hanya menatapnya lurus sambil menggendong putrinya.

"Benarkah? Berarti kita bisa sering bertemu, Ra." Binar jelas terpancar di wajah Rumi bertemu kembali sahabat masa kecil hingga remajanya.

"Putrimu cantik-cantik, Rumi."

"Ah iya, Ra. Ini Keisha dan Keyla." Rumi mengenalkan kedua putri kembarnya membuat Hira mendekat ingin mencubitnya.

Tak bisa dipungkiri hati Hira kian tercubit melihat kebersamaan keluarga kecil sahabatnya. Dirinya, jangan ditanya, kesibukannya bekerja benar-benar menenggelamkan keinginannya berumah tangga. Bukan tidak mau, tetapi Hira masih terpaku pada satu hati dan berpengharapan padanya. Namun kini harapan itu musnah sudah.

"Aku juga seneng banget akhirnya bisa memelukmu lagi." Hira memaksakan senyumnya seraya melirik Arkana yang tengah menatapnya penuh selidik. Debaran itu terasa saat manik mata Arkana mengunci pandangannya. Hira mencoba membuang muka agar tak terkesan rasa kecewanya.

"Rumi, sudah sore. Aku harus pulang takutnya Mas David mencariku."

"Tapi hujan, Ra. Kamu naik apa?" seru Rumi penuh kekawatiran.

"Itu taksi online sudah menunggu di sana. Sampai ketemu lagi, Rumi. Mari Pak Ilyas!"

Gegas Hira meninggalkan keluarga kecil nan bahagia yang sepintas menciptakan rasa iri di hatinya. Namun segera ditepisnya pikiran buruk itu.

'Tidak, aku dan Rumi sahabat baik. Harusnya aku bahagia melihat dia bahagia.'

Dia berjalan tak tentu arah dalam guyuran hujan.

Tak dipikirkannya kemana arah tujuan yang penting jauh dari mini market itu.

Berkali-kali ditepuknya dada yang nyeri. Air mata pun melebur jadi satu bersama hujan.

"Ya Rabb, kuatkan aku. Arkana, kenapa harus Rumi sahabatku."

Kenyataan Rumi istri Arkana sungguh menohok Hira. Kondisinya satu kosong untuk Arkana. Harusnya Hira kecewa tetapi urung dilakukannya. Setelah hari ini, Hira akan berat melewatinya.

***

"Assalamu'alaikum."

"W*'alaikumsalam. Eh sudah pulang. Astaghfirullah, bajumu basah kuyup begini, Ra. Ayo lekas ganti, aku buatkan teh hangat."

Muna istri David sangat menyayangi Hira. Setidaknya wanita yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga ini sudah seperti ibu baginya.

"Diminum dulu tehnya, Ra!"

Hira tak menurut justru berhambur ke pelukan Muna. Isak tangis pun pecah membuat Muna tergelak. Hira sedang tidak baik-baik saja pikirnya.

"Ada apa, Ra?"

Tangis tak reda malah bertambah keras. Dielusnya punggung Hira yang bergetar. Muna membiarkan saja tangisan Hira mereda sendiri. Itu akan lebih baik hingga hatinya merasa tenang. Lagian David belum pulang juga jadi tidak perlu ada yang dikawatirkan.

"Ya sudah kalau kamu tidak mau cerita, kapan-kapan kalau sudah lega aja Mbak siap mendengarkan," hibur Muna dengan kelembutannya membuat Hira tenang.

"Aku ketemu Arkana Mbak."

"Arkana? Teman kuliah yang kamu ceritakan dulu?"

Hira mengangguk seraya mengusap air mata yang tersisa.

"Alhamdulillah akhirnya ada kabar juga ya. Ketemu di mana?"

Wajah Muna yang semula bahagia pun memudar seiring dilihatnya Hira yang murung dan menundukkan wajah.

"Dia bos baru di kantorku," lirih Hira.

"Apa, serius?"

Muna terkesiap sedangkan Hira hanya mampu mengangguk.

"Dia membawa keluarga kecilnya."

Muna tersentuh hatinya. Dia tahu kalau Hira sedang kecewa dengan fakta yang tengah diterimanya.

"Hira, coba buka hatimu sedikit saja untuk laki-laki lain yang sekarang perhatian sama kamu. Sudah saatnya kamu move on, tidak baik memikirkan laki-laki yang sudah menjadi suami orang."

Hira kembali menghambur ke pelukan Muna menumpahkan rasa sedihnya.

***

"Mas, Rara itu sahabat baik aku. Dunia ini sempit ya. Ternyata dia karyawan kamu.'

"Hmm."

Rumi mendekati suaminya yang duduk di ranjang fokus pada ipadnya.

"Ini sudah di rumah kenapa masih bekerja."

"Sebentar kok Nda, jawab email penting."

Bunda adalah panggilan sayang dari Ilyas untuk istrinya sejak menjadi ibu dari Keisha dan Keyla.

"Kasihan Hira sampai saat ini masih menjomblo hanya karena hatinya terkunci oleh satu laki-laki di masa lalunya."

Ilyas tersentak kaget lalu perhatiannya beralih pada ucapan Rumi.

"Trus?" Rumi berbinar saat suaminya mengalihkan perhatian padanya dan menaruh ipad di nakas.

Rumi memegang kedua tangan suaminya untuk menyalurkan kehangatan.

"Dia itu memendam rasa pada teman kuliahnya, namanya Ar...,"

Dahi Ilyas mengernyit, rasa gugup pun menderanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status