Share

Bab 8 Gugup

"Pak, Pak Ilyas," ujar Hira memperingatkan Ilyas yang semakin mendekatkan wajahnya.

Aroma mint tercium oleh Hira hingga membuatnya makin gugup.

"Terima kasih sudah mengingat namaku, Hira," bisik Ilyas di telinga kiri Hira membuat jantungnya berpacu tak normal.

Cklek.

"Mas Ilyas?"

"Rumi."

Hira berteriak dan memeluk sahabatnya yang tiba-tiba masuk ke ruangan mengagetkannya. Beruntungnya Hira mampu menguasai diri dari rasa gugupnya.

Sementara Ilyas jangan ditanya, bos barunya kembali duduk santai di kursi kebesarannya tanpa merasa bersalah.

"Kalian lagi membahas apa?"

Rumi mencoba memecahkan keheningan setelah mendapati keduanya dalam tatapan dingin.

"Eh ini Pak Ilyas minta laporan pemasaran, Rumi."

"Oh, apa laporannya sudah selesai Mas? Aku mau ngobrol sama Hira. Kangen tahu, nggak?"

"Sudah, Nda."

Senyum tersungging di bibir Ilyas. Memancing Hira untuk meliriknya dilakukan Ilyas dengan mengucap panggilan sayang pada istrinya.

Hira sebisa mungkin mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Ayo Hira, kita ke kantin!"

"Nda."

Panggilan Ilyas yang kedua kalinya membuat Hira dan Rumi menoleh. Rumi yang melihat kode dari suaminya hanya mencebik lalu tersenyum.

Pasalnya sang suami menaruh telunjuknya di pipi kiri.

'Sudah mulai nih manjanya, masak iya di kantor minta dicium. Untung karyawannya sahabatku,' gerutu Rumi.

Rumi menyalami takzim Ilyas tanpa mengabulkan permintaan konyol sang suami.

Namun tak disangka, Ilyas justru menarik tangan Rumi dan mendaratkan bibirnya di pipi kanan sang istri.

Jangan ditanya lagi, perempuan berjilbab pink itu jadi merona wajahnya. Meski hanya sahabatnya yang melihat, tentu saja Rumi tak enak hati.

Hira melongo melihat aksi Ilyas di depan matanya.

'Keterlaluan Pak Ilyas membuatku terlihat mengenaskan. Dia sengaja melakukannya di depanku.'

Hati Hira kian meradang, nafasnya pun kembang kempis. Ingin rasanya berteriak jika posisinya di bukit yang tinggi.

Namun Hira hanya bisa menyimpan keinginannya di dalam hati. Diraupnya oksigen banyak-banyak untuk mengurangi sesak di dadanya.

'Ingat Hira ada Rumi sahabatmu,' setidaknya itu kalimat sakti yang mampu meredam emosinya terhadap laki-laki masa lalunya.

Hira dan Rumi bercengkerama di kantin perusahaan.

Mereka asyik mengobrol sampai tak terasa dua jam sudah berlalu.

"Rumi, aku harus kembali bekerja. Aku tidak enak sama karyawan lain yang melihatku santai di sini," pinta Hira dengan sedikit raut menyesal.

"Yah, baiklah Rara sayang. Kita lanjutkan besok ya obrolannya."

"Kamu hubungi aku aja kalau mau jalan-jalan. Aku bisa menemanimu tentu saja di luar jam kerja ya."

Rumi terlihat gembira dengan usulan Hira.

"Kalau gitu ayo kembali, aku mau lihat ruang kerjamu sekalian ke ruang Mas Ilyas."

Melewati koridor lantai di mana ruang divisi pemasaran berada mereka berpapasan dengan Reno.

"Rumi, kamu kesini sama siapa?"

"Om Reno, aku sendiri Om. Anak-anak lagi main sama eyangnya."

"Kamu kenal Mahira? Kok kelihatannya akrab sekali?"

Rumi melihat ada binar di mata Reno saat bertemu dengan Hira. Dia teringat obrolan dengan suaminya yang ingin menjodohkan Hura dengan Om Reno.

"Bukan kenal lagi Om. Dia sahabat baikku sejak SD hingga SMA."

Hira yang disebut pun memberi senyuman manisnya yang mampu membuat Reno terhipnotis.

Sudah lama Reno mencoba mendekati karyawan teladannya tetapi tidak ada respon.

"Berarti kamu tahu banyak dong tentang Hira, nanti aku tanya-tanya ya," bisik Reno pada Rumi yang masih bisa didengar Hira.

"Pak Reno mau tanya tentang keburukanku, ya?"

"Haha, jangan kawatir Hira. Ibarat pembeli buah apel pasti ingin mengetahui buah apelnya bagus atau tidak, bukan?"

"Ckckck, apaan sih?" Wajah Hira tersiou malu dibuatnya.

"Om mau dicomblangi sama Hira dong!" pinta Reno pada Rumi.

"Ishhh, bilang aja sendiri, Om. Ni orangnya sudah di depan mata." Kedipan mata Rumi ditujukan pada Hira justru mendapat pelototan dari lawannya.

Reno hanya tertawa kemudian membiarkan Hira dan Rumi melanjutkan langkahnya.

"Sepertinya Om Reno serius sama kamu, Ra."

"Hmm, jangan mulai Rumi. Kamu mau menjodohkanku biar kita jadi saudaraan, ya?" ujar Hira.

"Siapa tahu pesona Om Reno mengalihkan duniamu yang terpaku pada masa lalu," sindir Rumi membuat Hira tersentak.

Rasa perih si hatinya yang sempat hilang kini muncul kembali hanya karena ucapan Rumi tentang masa lalu.

"Pak Reno memang baik, Rumi. Beliau baik tidak hanya sama aku saja tetapi pada semua karyawan," terang Hira membuat Rumi mengangguk.

Sampai di ruang divisi pemasaran sudah ada Roby yang antusias menyapa Hira.

"Ra, kemana saja? Dua jam menghadap Pak Ilyas, betah amat. Biasanya sama Pak Reno kamu nggak mau berlama-lama."

Ucapan frontal Roby mendapat tatapan tajam dari Hira. Dia tak enak hati sahabatnya mendengarkan cerita tak bermutu dari teman kerjanya

"Eh, ini siapa, Ra?"

"Kenalkan ini Harumi sahabatku."

"Karyawan baru?" celetuk Roby.

"Ngawur kamu, dia iatrinya Pak Ilyas."

Roby segera menutup mulutnya karena kaget. Dia merasa bersalah atas ucapannya tadi.

"Maafkan saya Bu Harumi."

Roby membungkukkan badan di depan Rumi membuat perempuan itu jadi canggung.

"Jangan sungkan, saya bukan bos di sini," ujar Rumi sambil tersenyum.

"Oya, Rara kok di divisi pemasaran? Bukannya kamu mau kuliah di jurusan pendidikan sains, ya?"

"Oh, aku memang mengambil jurusan pemasaran sesuai saran Mas David."

"Tapi kampusnya sama dengan yang kamu ceritakan dulu?"

Hira mengangguk tetapi belum mengetahui arah pembicaraan sahabatnya.

"Hira ini memang ahli di bidang marketing, Bu. Dia jadi karyawan teladan kebanggaan Pak Reno."

"Ishh, jangan berlebihan, Bi."

Rumi melihat interaksi keduanya justru tersenyum. Kentara sekali laki-laki di depannya ini juga tertarik sama sahabatnya.

"Kalau begitu, kamu satu kampus dengan Mas Ilyas dong, Ra?"

"Benarkah, Ra? Pantesan waktu ketemu Pak Ilyas pertama kali wajahmu tegang gitu, Ra."

'Ishh, kenapa Roby jadi ember sekali, sih,' batin Hira kesal.

"Ayo kerja-kerja, kenapa malah ngobrol!"

Pak Reno yang memberi teguran dengan nada bercanda membuat ketiganya mengurai jarak.

Roby langsung kembali ke tempat duduknya. Hira pun segera menyusul setelah sebelumnya memberi salam membungkukkan sedikit badannya.

Dia merasa lega Pak Reno telah menyelamatkannya dari pertanyaan Rumi sebelum lebih jauh menanyakan laki-laki di masa lalunya.

Sudah bisa dipastikan Rumi akan memberondongnya dengan pertanyaan konyol tentang siapa laki-laki itu.

Rumi sudah berada di ruang kerja suaminya.

Dia mengamati Ilyas yang sedang bekerja. Terlihat tampan sekali, Rumi semakin mengagumi suaminya. Kelihatan tegas dan berwibawa itulah persepsi Rumi pada Ilyas yang mengenakan jas elegan, duduk memegang pulpen yang menari-nari di atas kertas.

"Sudah selesai ngobrolnya, Nda? Asyik sekali ya sampai dua jam."

Rumi hanya tersenyum mendengar sindiran suaminya.

"Mas kok nggak bilang kalau satu kampus dengan Hira? Dia ternyata kuliah di jurusan pemasaran lho."

Deg,

Jantung Ilyas tiba-tiba berdebar tetapi dia sanggup menguasai kegugupannya.

"Memangnya kenapa kalau satu kampus? Banyak mahasiswa yang lulus dari jurusan itu nggak cuma Hira saja, kan?"

"Maksud aku, Mas Ilyas tahu dong siapa laki-laki yang ada di masa lalu Rara."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status