"Mas David belum pulang, Mbak?"
"Sebentar lagi mungkin. Ada apa?"
"Ada hal penting yang mau aku mintakan pertimbangan pada Mas David dan Mbak Muna."
"Masalah apa, Ra?"
"Tentang kecelakaan Mas Ilyas. Entah kenapa aku berpikir ada yang tidak beres dengan musibah yang menimpa Mas Ilyas."
"Apa kamu serius, Ra?"
Hira mengangguk seraya menatap serius Muna yang terkejut oleh ucapannya.
Deru mobil terdengar memasuki pelataran rumah menandakan David yang sudah pulang dari kampus.
Salam menyapa Hira dan Muna membuat si kembar berlari turut menyambut.
"Eh ada Keisha dan Keyla. Sudah lama, Ra?"
David mencium gemas si kembar yang sudah kegirangan lalu berlari kembali melanjutkan bermain.
"Lumayan, Mas."
"Seru nih, rumah jadi ramai kalau ada si kembar," celetuk David memecah keheningan.
"Ishhh, tunggu yang di sini keluar pasti bakalan jauh dari kata sunyi," cibir Hira seraya mengelus perut Muna yang sudah k
Hira bergegas lari keluar mencari taksi untuk menuju RS. Rasa penasaran masih berputar di kepalanya. Ada apa gerangan orang itu datang ke kantor polisi.Hira mencoba menghalau pikiran buruk yang terlintas dibenaknya.Saat ini dia hanya fokus pada satu tujuan melepas rindunya dengan sang suami.Di tengah perjalanan, Hira menyempatkan diri membeli buat tangan chiffon cake kesukaan suaminya.Hira merasa perlu ke toilet sebelum bertemu suaminya. Dia mematut diri pada sebuah cermin. Dress selutut berlengan 3/4 warna krem sungguh menampakkan wajah cerahnya. Rambut yang tergerai lalu diikatnya dengan tali rambut keropi kesukaannya.Hira sangat ingin berhijab seperti Rumi ataupun Muna. Tak jarang dirinya mencoba beberapa jilbab dan gamis saat menyambangi butik muslim.'Suatu saat aku akan mengenakannya dihadapan Mas Ilyas. Pastinya dia akan senang melihatnya,' gumannya.Setelah memastikan diri menarik dipandang, Hira melangkahkan kaki menuju
Esok paginya Jeni sudah bersiap diri melakukan tugas yang diperintahkan partnernya.Benda kecil sudah diamankan di sakunya. Lalu dia memasuki sebuah ruangan yang belum berpenghuni karena masih pagi-pagi buta.Langkahnya terhitung pelan mendekati sebuah meja, lalu dipasangnya benda kecil serupa chip tepat di bawah meja kerja.Jeni berlalu menuju ruangan kerjanya.Tiba-tiba dia dikagetkan oleh sosok yang tidak diharapkan bertemu dengannya."Kak Jen?""Eh Hira, tumben pagi-pagi sudah datang?"Jeni berusaha mengurangi sedikit rasa gugupnya karena Hira menatapnya curiga."Kak Jen, apa bisa aku bicara empat mata?"Jeni mengernyitkan dahinya lalu mengajak Hira duduk di sofa di depan ruang Ilyas."Bagaimana kalau kita bicara di restoran dekat sini sambil sarapan?" ajak Hira.Jeni mengiyakan, lagipula waktu kerja masih satu jam lagi.Sampai di kafe 24jam, Hira dan Jeni memesan sarapan roti selai dan cappucino
"Aku dari kantor, Mas. Mama menelponku untuk menggantikannya menjaga di sini," ucap Hira tidak berbohong karena benar adanya alasan itu, hanya saja pertemuan dengan Pak Andre masih dia sembunyikan."Apa ini, kamu mau mengelak, hah?"Mata Hira membulat seketika, layar ponsel memperlihatkan dirinya sedang berada di restoran berdua dengan Andre."Oh, tenang dulu Mas. Dia kolega kita, aku kan sedang mempromosikan produk kosmetik yang baru."Hira mencoba berkilah, sikapnya yang tenang mampu meredam emosi Ilyas.Bisa jadi Hira berhasil meluluhkan hati suaminya karena sudah membantu melepaskan kerinduannya.Tak terasa percakapan Hira dan suaminya berlangsung lama. Hari sudah malam, gantian Airin yang menjaga Ilyas dan Hira pulang menemani si kembar.Ingin rasanya bertatap muka dengan adik iparnya tetapi yang ditunggu tak kunjung datang."Mas, aku pulang dulu ya.""Hmm."Ilyas tak banyak bicara justru dia fokus membuka em
Setelah kondisi dirasa aman, Roby berniat meninggalkan ruang kerja Reno.Namun sebuah tangan reflek menarik lengannya meminta berhenti melangkah."Bi, tunggu!"Merasa dipanggil, Roby pun segera menoleh."Ada apa?"Hira hanya melongo mendengar jawaban singkat sahabatnya."Hah, ada apa katamu. Kamu ngapain di sini mengendap-endap di ruang Om Reno?" tanya Hira penuh selidik."Kamu sendiri ngapain coba?""Ishh, dasar Roby nyebelin. Aku jadi curiga deh. Kamu pasti merencanakan sesuatu, iya kan, Bi? Jangan-jangan kamu...? Ah sudahlah." cecar Hira dengan muka garang justru membuat Roby tersenyum santai."Kamu apa, Ra? Kamu mau menuduhku?""Ti...tidak. Bukan begitu, Bi.""Lalu?"Roby mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Hira yang menatapnya tajam.Tatapan Roby yang tak beralih seketika menyurutkan nyali Hira hingga membuatnya memalingkan muka ke samping."Kamu sebaiknya memilih tidak usah
Roby hampir mendaratkan ciumannya yang mengarah ke bibir Hira.Plak,Reflek saja Hira merasa harus memberikan tamparan tanpa disuruh.Didorongnya dada Roby oleh Hira seraya berteriak."Br*ngs*k kamu, Bi. Berani-beraninya menyentuhku." Roby memegang pipi kirinya yang terasa panas.'Ckk, tamparanmu lumayan juga, Ra,' gerutu Roby.Reno yang melihat langsung berlari mendekat dan melayangkan pukulannya ke wajah Roby.Bug, bug."Rasakan ini, sudah kubilang jangan dekati Hira!""Om Reno, Om hentikan!"Hira menarik tubuh Reno dari arah belakang. Dua ayunan bogem sudah mendarat di rahang Roby membuat bekas merah bertambah di pipi kiri. Sudut bibir pun terlihat mengeluarkan darah.Diusapnya darah dengan tangan, Roby mencoba berdiri tegak menantang lawannya."Kamu mau melawanku, hah?" tantang Reno dengan tatapan menggebu dan berkacak pinggang membuat Roby tersenyum mengejek."Aku bisa saja mengalahkanmu,
"Maafkan aku, Ra. Besok aku pamit tidak masuk kerja."Kening Hira berkerut mendengar jawaban Roby yang sarat kesedihan."Maksudmu, kamu ada tugas keluar kota? Atau tugas lapangan?""Bukan. Aku...., Aku dipecat, Ra."Mulut hira menganga tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bagaimana mungkin Roby dipecat secara tiba-tiba. 'Apakah karena masalah di atap kemarin?'Setidaknya pikiran itu yang melintas di benak Hira tetapi urung dikatakan."Kamu, dipecat?"Roby hanya bisa menganggukkan kepala."Apa alasannya, Bi?"Mencoba mencari tahu, Hira berdiri lalu melangkah mendekati Roby.Ditatapnya wajah Roby tanpa berkedip dan sarat menuntut jawaban atas kalimat tanyanya."Aku tidak tahu pastinya, pesanku berhati-hatilah! Siapa kawan dan siapa lawan, kamu harus cerdik memilahnya.""Apa benar perusahaan sedang ada masalah?"Tak mampu membendung rasa penasarannya lagi, Hira menanyakan kejanggala
"Apa yang terjadi, Kak Jen? Mas Ilyas, Mas...?""Aku..."Ilyas memegang kepalanya yang berdenyut hebat.Brukk.Ilyas jatuh tak sadarkan diri bersama kruk yang tergeletak di lantai."Mas Ilyas...."Hira berteriak histeris disusul Bu Liyan yang datang dari arah dapur.Hira dan Jeni bersusah payah mengangkat tubuh Ilyas ke kamar tidur lantai bawah.Masih dengan tangan gemetar, Hira segera menelpon dokter keluarga untuk memeriksa suaminya.Dalam waktu lima belas menit dokter pun datang dan segera memeriksa Ilyas.Wajah Bu Liyan dipenuhi rasa kawatir, bahkan sesekali tangannya mengelus-elus dada sebelah kiri. Isakan kecil juga terdengar membuat Hira mendekatinya."Sebentar Kak Jeni, ceritanya nanti ya, aku hibur Mama dulu!"Jeni mengangguk, awalnya mau mulai bercerita tentang kejadian di kantor, tetapi kondisi Bu Liyan masih shock dan butuh teman."Ma, sabar ya! Mas Ilyas sudah ditangani dokter. Ki
"Siap, aku tidak akan mengecewakanmu, Bos.""Ya Lily, aku percaya padamu."Ilyas mengakhiri panggilan dari Jasmine tanpa menyadari ada Hira yang berdiri di ambang pintu kamar dengan membawa nampan berisi makan malam.'Mas Ilyas bicara dengan siapa? Sepertinya di kantor tidak ada karyawan bernama Lily. Mungkinkah dia....?'"Astaga, ini tidak mungkin. Kenapa aku jadi berprasangka buruk? Apa Mas Ilyas ada main di belakangku. Siapa wanita yang disebut tadi?"Ilyas menoleh ke arah Hira yang melamu."Kenapa diam disitu, Ra?"Seruan Ilyas seketika membuyarkan lamunan Hira."Ah iya, ini makan malamnya. Mas Ilyas tadi istirahat lama jadi terlambat makan malam," ucap Hira dengan nada gusar.Ingin rasanya Hira mengurangi kegundahan hatinya dengan bertanya. Namun Hira bingung harus mulai darimana. Dia takut Ilyas bertambah murka karena saat ini emosinya sedang tidak stabil.Memilih me