Share

Bab 04

 

***

 

Pagi harinya, disaat proses pembelajaran sedang berlangsung, Aletta tidak sepenuhnya memperhatikan materi yang sedang diajarkan gurunya itu karena fikirannya malah berkelana pada satu orang. Satria. Pagi, siang, maupun malam, cuma ada Satria saja difikirannya. Bahkan, dalam mimpi Aletta sekalipun.

 

“Sadar, Al ... sadar ...!” Kanaya yang dari tadi memang tahu jika teman sebangkunya itu tak sepenuhnya menyimak pelajaran, mulai menegur lewat senggolan pada bahunya.

 

Aletta merengut. “Apa, sih? Ganggu orang lagi ngayal aja, deh,” sahut Aletta sewot, tapi dengan nada berbisik.

 

Kanaya memutar bola matanya malas.

 

“Al, gue tahu ya lo itu nge-fans banget sama Satria, tapi tolong jangan kelewatan gini. Apalagi, sampai ngelamunin pas di kelas juga. Kayak gak ada kerjaan lain aja, deh. Apa-apa mikirin Satria, hadeh ...! Kesambet baru tahu rasa, lho!” Kanaya geleng-geleng kepala sendiri merasa heran sekaligus jengah menghadapi Aletta.

 

“Ye ... emang lo gak nge-fans juga sama Satria, hah?”

 

“Siapa sih di sekolahan ini yang gak nge-fans sama Satria? Semua kaum hawa juga tertarik kali sama dia. Udah ganteng, kaya, cool, populer, pintar lagi. Cuma cewek gak normal yang gak suka sama dia. Gue juga suka dan nge-fans sama dia, tapi kalo gue nge-fans ya sewajarnya aja. Gak sampe terngiang-ngiang di kepala apalagi sampe kebawa-bawa mimpi kaya lo,” jelas Kanaya. Aletta mencibir, lalu membuang nafas.

 

“Gue pengen deh perjuangin cinta gue ke Satria, Nay. Gue cape kalau cuma mandangin dia doang,” ujar Aletta tiba-tiba.

 

“Aduh, mending jangan, deh. Percuma, Al. Gak bakal kesampean,” sahut Kanaya. Aletta menyerngit.

 

“Kok gitu?”

 

Kanaya berdecak. “Ya itu karena–”

 

“Kanaya! Aletta! Kenapa kalian malah mengobrol, hah?” tegur seorang Guru Fisika yang sedang mengajar di depan. Aletta dan Kanaya terperanjat kaget.

 

“Ma–maaf, Bu,” ujar Kanaya dan Aletta bersamaan. Keduanya mulai fokus menyimak materi yang sedang diajarkan guru tadi dalam diam.

 

***

 

Bruak!

 

Byur!

 

“Heh, kalau jalan lihat-lihat dong! Gak punya mata ya lo?!” hardik seorang gadis cantik ber-name tag Mauryn kepada seorang siswi berkaca mata yang tanpa sengaja menabrak tubuh serta membasahi seragamnya dengan jus.

 

Siswi itu tergagap dengan mata membola. Mauryn beserta dua temannya yang berdiri di samping kanan-kirinya-- Katya dan Silla merupakan anak kelas unggulan juga. Wajar jika siswi yang ber-name tag Santi itu sangat ketakutan sekarang.

 

“Ma–maaf, gue gak senga–ja,” ujar Santi dengan terbata. Mauryn tersenyum miring. Dia mencengkram dagu Santi sampai membuat pipi siswi itu memerah dengan mata yang mulai berair.

 

“Segampang itu lo bilang maaf? Huhh, lo tahu 'kan siapa kita?” ujar Mauryn dengan nada sinis. Dia lalu menoleh pada kedua temannya dan mengisyaratkan sesuatu pada mereka lewat tatapan mata. Katya yang mengerti langsung beranjak pergi ke penjual stand minuman dan membeli segelas jus yang sama yang ditumpahkan Santi tadi.

 

“Nih, Ryn.” Katya memberikan segelas jus itu pada Mauryn. Mauryn tentu menerimanya dengan senang hati. Tangannya mengambang ke udara bersiap menyiramkan jus tadi ke tubuh Santi, tapi terhenti oleh teguran seseorang.

 

“Ada apa ini?”

 

Mauryn and the gank, Santi, dan semua orang yang di kantin tersebut kompak menoleh. Dilihatnya Satria yang berjalan santai menghampiri mereka dengan gaya angkuhnya. Mauryn dan dua kawannya tersenyum senang. Lain halnya Santi yang semakin tergagap ketakutan. Habislah riwayatnya sekarang!

 

Semua pasang mata di sana sepakat memasang telinga dan mata mereka baik-baik. Mereka benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi selanjutnya. Apa Satria akan membela gadis malang anak IPS itu?

 

“Sat, lihat, deh! Dia udah bikin baju gue basah dan kotor kaya gini. Wajar 'kan kalau gue bales dia?” tanya Mauryn meminta pendapat. Cuma dia satu-satunya siswi yang berani berbicara pada Satria. Yang lainnya menunduk ketakutan.

 

Satria memperhatikan seragam yang dikenakan Mauryn dari atas sampe bawah. Dia lalu menolehkan pandangannya ke Santi yang tak berani mengangkat wajahnya karena takut.

 

Satria menarik nafas, lalu membuangnya sejenak. “Terserah, tapi jangan sampe ganggu waktu makan siang gue,” jawabnya santai. Sudah tak heran lagi jika Satria berkata demikian. Seperti gosip yang beredar, dia memang tidak perduli pada apapun yang di sekitarnya.

 

Mauryn tersenyum puas. Dia lalu menolehkan pandangannya lagi ke Shanti yang saat itu sudah pucat pasi.

 

Byur!

 

Dengan tidak manusiawinya, Mauryn mengguyur balik Santi dengan jus yang sama dari wajah sampai seragamnya.

 

“Itu baru impas,” celetuk Silla yang disusul tawa dari Mauryn dan Katya. Tindak pem-bullyan anak kelas IPA terhadap anak IPS memang sudah biasa terjadi di SMA Nirwana. Namun, jika yang melakukan pem-bullyan itu adalah anak kelas unggulan, maka para gurupun tidak dapat bertindak lebih dari sekedar teguran. Meski terkenal para penghuninya yang kejam, kelas unggulan terkenal juga dengan para muridnya yang memiliki kepintaran diatas rata-rata. Kebanyakan piala dan perhargaan yang diraih di SMA Nirwana, baik itu dalam pelajaran maupun ekskul, selalu berasal dari anak kelas unggulan.

 

Bahkan, para murid yang menyaksikan kejadian itu tepat di depan matanya sendiripun, hanya bisa diam. Meski kasihan, mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

 

Sama seperti seorang gadis yang baru saja melangkahkan kakinya ke kantin. Dia adalah Aletta. Tangannya mengepal dan kepalanya pusing. Dia menatap Satria dengan tatapan melongo dan shock. Satria benar-benar kejam! Dan bukan dia saja yang sadis, tapi semua para penghuni kelas unggulan memang seperti itu. 

 

“Gue mau narik kata-kata gue yang dulu deh kayaknya, Nay,” ujar Aletta tiba-tiba. Kanaya menoleh cepat padanya dengan kening menyerngit.

 

“Kata-kata yang mana?”

 

“Yang gue pengen banget masuk kelas unggulan biar bisa sekelas sama Satria itu, lho. Kayaknya sekarang ... gue bersyukur banget karena gak ditempatin di kelas itu. Lihat aja kelakuan mereka! Bener-bener kayak monster,” ujar Aletta yang mulai geram.

 

Kanaya menepuk bahunya sekali. “Mau gimana lagi, Al? Memang penguasa di SMA ini dan udah dari zaman dulu sejarah takut dengan anak kelas unggulan itu terjadi.”

 

Aletta membuang nafasnya frustasi. “Apa gak ada satupun di kelas itu yang benar-benar baik? Bukannya selain terkenal akan semua murid yang memiliki tingkat kepintaran diatas rata-rata, mereka juga terkenal dengan jiwa sosial yang tinggi, ya? Tapi, kenapa kelakuan mereka kaya gini?”

 

Kanaya mengedikkan bahunya pertanda tidak tahu. “Maka dari itu, gue minta sebaiknya lo mulai lupain perasaan lo ke Satria, Al. Lo udah tahu 'kan dia kayak gimana orangnya? Percuma. Ujung-ujungnya cuma bikin sakit hati doang.”

 

Aletta terkejut dan spontan menatap Kanaya dengan raut protes. Kenapa Kanaya tiba-tiba malah berkata begitu? Kenapa sahabatnya itu seolah tidak mendukung dirinya mengejar cinta Satria?

 

Memang sih, harusnya setelah melihat kejadian hari ini dan kemarin, Aletta sudah bisa menyingkirkan nama Satria di hatinya. Sayangnya semua itu juga tidak mudah bagi Aletta. Bukan cuma setahun dua tahun dirinya mengagumi Satria. Terhitung sejak pertama gadis itu masuk SMP dan melihat Satria, dia sudah jatuh hati padanya. Dan saat itu Aletta hanya bisa memandangi Satria dari kejauhan.

 

“Cinta gak harus memiliki kali, Al. Lagian, kenapa lo tiba-tiba pengen perjuangin cinta lo ke Satria, sih? Bukannya dulu lo bilang cukup dengan memandangi dia saja? Kenapa sekarang berubah fikiran?” tanya Kanaya heran.

 

Aletta diam. Mungkin karena dia sudah cape memendam cinta dalam diamnya ini sendiri. Aletta ingin menunjukan perasaan cintanya ini pada Satria. Aletta ingin Satria tahu seberapa penting dirinya di hidup Aletta.

 

Meski Aletta tahu sifat Satria, perasaannya itu sama sekali tidak bisa diubah.

 

Mungkin ... pernyataan bahwa cinta itu buta memang benar adanya. Ya, Aletta merasakannya sekarang. Dia buta untuk melihat kekurangan Satria. Yang dia tahu, dia mencintai Satria saat ini, besok, maupun selamanya.

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status