Share

Menggenggam Awan
Menggenggam Awan
Penulis: Dothe

Chapter 1 - Awal Perjalanan

Kamu tahu, senja itu juga punya mendung, bahkan ia memiliki hujan. Jangan kamu berpaling hanya karena keduanya hadir. Senja akan kembali indah, setelah itu (Wuri-MA)

             Foto-foto meriahnya pesta, wajah tegang Awan dan Wuri berhadapan dengan ayah Wuri yang saat itu masih sehat dan masih bisa menggenggam tangan Awan gagah. Kejadian indah lima belas tahun lalu itu masih indah terekam di benak Wuri. Semua foto itu ia tarik dari semua media sosialnya, karena Wuri tidak mau semua teman-temannya masih menyangka rumah tangga mereka masih seperti dulu. Harmonis, saling mengisi dan menerima. Tapi, pada kenyataannya, Awan telah melakukan hal yang membuat Wuri tidak bisa berbuat apapun. Awan meminta izin untuk berpoligami, dengan alasan, ia ingin mendapatkan keturunan setelah delapan tahun mereka berharap bersama. Awan meminta izin bersama Zia, wanita berhijab itu sudah memiliki seorang anak lelaki, dan Awan meyakini Zia juga akan bisa memberikannya keturunan. Walaupun Wuri tau, alasan Awan ingin menikahi Zia juga karena rasa cinta yang sudah gagal ia bendung. Rasa cinta yang akhirnya membuat Awan menyerah untuk bertahan, dan ia putuskan untuk dibagi.

Awan adalah lelaki berani, ia berani menjamin bahwa semua janji dan komitmen yang dirinya dan ayah Wuri buat akan Awan jalani dengan baik. Awan bekerja di salah satu rumah sakit swasta, ia adalah dokter spesialis anastesi. Saat itu, Awan masih berstatus sebagai mahasiswa program sekolah spesialis. Wuri dan Awan bertemu, saat Wuri nyaris tiap dua binggu sekali datang ke salah satu rumah sakit rujukan di daerahnya untuk berkonsultasi masalah tumor otak yang baru terdeteksi setelah pemeriksaan CT scan di lakukan pada Khoirul, ayah dari Wuri. Wuri seorang pegawai salah satu perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang advertising. Wuri sudah beberapa kali pindah perushaan, karena ia merasa tidak pernah cocok bekerja di perushaan-perusahaan yang berjalan lurus tanpa menerima masukan untuk berubah. Perushaan terakhir ini, bersedia melakukan itu. Saat itu Wuri untuk pertama kalinya pergi ke rumah sakit di sela jam kantornya. Asuransi kesehatan membuat Wuri harus melakukan beberapa lapis registrasi di tempat yang berbeda. Wuri saat itu bertanya kepada seorang lelaki berbalut jas putih yang menjulur sampai ke lutut. Penampilan lelaki yang di dada bagian kanan jasnya itu bertuliskan ‘Departemen Anastesi’ itu biasa, bahkan cenderung kusam. Masker yang digunakan, hanya terikat dua buah tali bagian atas, sedangkan kedua tali bagian bawah dibiarkan menjulur. Di dalam jas, lelaki itu menggunakan baju dan celana berwarna hijau. Senada, atas dan bawah. Sementara di kepalanya masih tertempel topi ruang operasi.

“Maaf, Mas. Bagian administrasi untuk asuransi Jiwa Hati, dimana ya?” tanya  Wuri saat itu. Awan menjawab dengan sangat jelas tanpa menurunkan maskernya.

“Oh, iya. Baik, terimakasih,” Wuri mengangguk mengerti. Wuri melipat kertas bawaannya, dan menggulungnya masuk ke dalam tas. Wuri lalu menarik kursi roda yang di atasnya duduk lelaki yang sangat ia cintai itu. Wuri memutuskan membawa ayahnya ke rumah sakit setelah beberapa kali ia mendapati ayahnya meringis menahan sakit sambil memegangi kepalanya. Walaupun ayah Wuri enggan jujur, namun Wuri bisa membedakan bahwa ada sesuatu yang aneh pada diri ayahnya. Wuri mendorong kursi roda menuju arahan Awan, koridor rumah sakit dipenuhi dengan bannyak pasien. Wuri beruntung, ayahnya ter-cover oleh asuransi di tempatnya bekerja. Wuri tidak ingin kehilangan orang tercintanya untuk kedua kali. Seperti ia kehilangan ibunya dulu. Saat itu Wuri belum bekerja, masih duduk di bangku kuliah. Ayahnya baru saja kehilangan pekerjaan, karena pembatasan karyawan. Sementara, mengurus surat menyurat tanda tidak mampu sulit untuk ayah yang memiliki banyak peninggalan tanah. Ayah tidak dikatakan orang tidak mampu. Saat itu ayah berusaha menjual beberapa tanah peninggalan untuk mengobati ibu, tapi belum tanah itu laku terjual, ibu sudah tidak tahan dan meninggal dunia dalam perjalanan menuju ke rumah sakit. Ibu Wuri memiliki riwayat sakit gula darah tinggi yang sudah membuat ginjalnya rusak.

“Maaf, Mbak.” Terdengar suara seorang lelaki. Wuri tidak menggubris, ia masih mencari kertas yang semula ia gulung dan selipkan di dalam tasnya itu, “ini Mbak..” Wuri mengangkat kepalanya, ia melihat beberapa kertas tersuguh ke arahnya.

“Ini. Tadi Mbak jatuhkan di ruang tunggu. Milik Pak Khoirul Adnan.”Awan ternyata menghampiri Wuri yang tidak sengaja menjatuhkan berkas asuransi milik ayahnya yang harus ia suguhkan ke bagian administrasi.

“Wah, alhamdulillah. Terimakasih banyak, Mas.Wuri melebarkan senyumnya.

Lelaki yang sudah menurunkan maskernya itu tersenyum. Senyum yang sangat manis. Kulitnya yang sawo matang, berpadu sempurna dengan hidun mancung, bola mata berwarna coklat dan alis mata yang terukir sempurna.

“Panggil saja Awan. Aku di departemen anastesi.”

Wuri mengangguk, ia tidak terlalu mengerti bagian dibidang kedokteran, “bagian bius.” Awan menjelaskan sambil berjalan di samping Wuri yang masih mendorong ayahnya. Wuri mengangguk mengerti.

“Pantas saja, itu, masih terpasang.” Wuri menunjuk ke atas kepala Awan. Tangan Awan menyentuh bagian kepalanya, terkejut.

“Oh, i-iya. Aku lupa melepaskannya.” Jawab Awan kikuk. Wuri mengulum senyum melihat tingkah Awan yang langsung melepas, menggulung lalu memasukkan topi sekali pakainya itu ke dalam kantung jas putihnya, “itu ruangannya. Kebetulan, aku harus ke bangsal bedah. Ada beberapa pasien untuk aku kontrol pagi ini.” Pamit Awan. Wuri mengangguk,

“Oh ya, aku Awan. Aku memakai operator yang banyak digunakan orang, dengan kode wilayah Jakarta Pusat. Hm, 123123 itu enam nomor di belakang. Hubungi aku.” Awan tersenyum seraya menjauh. Wuri memutar bola matanya. Awan melambaikan tangannya sambil tertawa menunjukkan geliginya yang rapih. Wuri memicingkan senyum, tidak sadar Wuri membalas lambaian tangan Awan. Awan berlalu, tubuhnya menghilang di balik pintu kaca, di atas pintu itu bertuliskan, Ruang Melati, di bawah tulisan besar berwarna hitam itu ada tulisan lebih keciul, Ruang Rawat Bedah.

“Sepertinya nomor ponsel dokter itu, sama seperti nomor ponsel awal Ayah. Berusahalah, Nak. Dia sepertinya lelaki yang baik.” Ayah Wuri menimpali. Wuri tersadar bahwa ada lelaki yang mendengar percakapannya dengan Awan tadi.

“Apaan sih, Yah!” Wuri menampik, namun dalam hati hatinya memekik. Awan memang bukan tipenya. Wuri tidak terlalu menyukai lelaki agresif seperti Awan. Wuri trauma. Abid, mantan kekasihnya dulu memiliki karakter sangat ramah, baik dan sangat perduli. Namun pada akhirnya, Abid melakukan itu kepada semua wanita yang ia temui. Awan nampak seperti Abid.

Walaupun begitu, Wuri masih menyimpan kalimat terakhir Awan. Clue nomor ponsel yang Awan berikan. Wuri menggigit bibir bawahnya. Sudah cukup lama ia sendiri, menolak atau sekedar menghindar dari beberapa kali brasa cinta yang lelaki suguhkan. Cara Awan dan dirinya bertemu kali ini berbeda, Wuri berharap Awan tidak sama dengan Abid. Lelaki yang pernah sangat ia cintai, namun ternyata berkhianat satu minggu sebelum acara tunangan mereka berlangsung. Semua rencana indah gagal. Hati Wuri membeku sejak itu. Wuri kembali merasakan kehangatan ketika melihat Awan tersenyum sambil melambaikan tangan tadi. Entah mengapa Wuri seperti anak SMA yang naksir dengan remaja sebayanya. Sudah sangat lama Wuri tidak merasakan hal seperti ini. 

"Ayah senang kamu bertemu dokter ini," ucap Khoirul perlahan. Wuri masih terus mendorong kursi roda sambil melihat ruangan administrasi, "kamu akan semangat membawa Ayah kontrol." Khoirul mengucapkan alasannya. 

Wuri tersenyum, tidak menanggapi ucapan Khoirul yang menggoda anak bungsunya itu. Wuri menghentikan dorongan kursi roda milik ayahnya. Wuri mengunci kedua roda kursi roda itu agar tidak bergerak. Wuri duduk seraya menggenggam tangan Khoirul yang lemah.

"Ada atau tidak ada dokter itu, Wuri akan selalu menemani Ayah. Wuri berjanji." Ucap Wuri mengusap pundak Khoirul. Khoirul mengusap punggung tangan putrinya lembut,

"Terimakasih, Nak."  ucap Khoirul dengan suara berat.

Wuri tersenyum seraya mengangguk. Wuri sudah berjanji pada dirinya sendiri dan mendiang ibunya, bahwa Wuri akan merawat ayahnya sepenuh hati. 

Wuri tersenyum

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status