Share

Chapter 7 - Perjalanan Sunyi

Zia menatap lelaki berkemeja tosca itu memasuki mobil cepat. Tangan kanan Zia menggenggam tas belanjaan berisi beberapa keperluan anak mereka. Semua harus Zia terima, karena Zia sudah memilih jalan kelam ini. Membohongi hati seorang wanita yang ia kenal, tidak mudah. Zia dan Wuri sudah kenal cukup baik, Wuri pernah mengajak Zia beserta anaknya jalan bersama ke sebuah taman rekreasi. Wuri terlihat bahagia, karena  anak lelaki Zia dapat mengambil hati Wuri.

***

Dua bulan lalu, saat dimana Awan berhasil mengajukan cuti dan mendapatkan kesempatan untuk membawa serta Zia dalam perjalanan liburan mereka. Wuri mengenal Zia sebagai single mom, dan sebagai asisten Awan di ruang operasi.

Awan melirik ke spion tengah, menatap Zia yang juga menangkap tatapan Awan. Sudah gila memang. Awan berhasil membujuk Wuri untuk ikut serta berlibur ke villa Awan di daerah puncak. Awan mengulum senyum, dalam hatinya bahagia karena kini ia bersama dua wanita yang sama-sama ia cintai. Wuri wanita baik, lembut dan cantik. Awan tidak sanggup bila harus kehilangan Wuri. Namun, Awan juga mengagumi Zia, wanita mandiri yang berhasil menghidupi anaknya seorang diri. Zia memiliki hidung mancung dengan kulit sawo matang, kedua matanya bulat dengan bulu mata lentik, khas wanita India pada umumnya. Ayah Zia merupakan seorang India sedangkan ibunya berasal dari Aceh. Sementara Wuri, adalah seorang wanita berkulit putih, wajahnya oriental dengan mata sedikit sipit, membuat Wuri sangat manis terutama saat tersenyum dan tertawa.

“Sayang, aku haus.”  Tangan kanan Awan meraba,

“Ini,” terdengar dua suara wanita menjadi satu. Wuri memberikan botol air minum milik Awan, sedangkan Zia menyuguhkan air mineral,

“Eh, hm, m-maaf dok, ini ada air mineral,” ucap Zia kikuk karena ikut menyuguhkan Awan air minum.

“Oh, iya, nggak apa-apa mbak Zia, Mas Awan bawa tumbler isi air hangat,” jawab Wuri sambil membukakan tumbler dan mendekatkan diri ke Awan. Awan melirik ke spion, sambil menerima tumbler pemberian Wuri. Awan melihat wajah kecewa Zia.

“Ok, terimakasih sayang,” Awan tersenyum kaku ke arah Wuri.

“Oh ya, Zi, Azzam masih tidur ya? Sayang sekali, padahal pemandangan bagus,” Awan mencairkan suasana. Wuri mengalihkan pandangannya ke tempat duduk Zia di belakang, terlihat Azzam tidur di pangkuan Zia,

“Nyenyak sekali bobok nya ya si kakak,” Wuri tersenyum ke arah Azzam yang masih terpejam.

“Iya, Azzam memang begini kalau di perjalanan. Pasti tidur,” Zia memengusap lembut rambut anak sulungnya.

“Nanti, aku ajak Azzam naik kuda. Kamu mau ikut sayang?” tanya Awan mengalihkan tatapannya sebentar ke Wuri, sebelum kembali lurus menatap lurus ke depan kemudinya,

“Mau dong, aku terakhir naik kuda saat kita bulan madu.” Jawab Wuri, mengusap pundak suaminya,

“Wah, pasti dokter dan Ibu bahagia sekali, bisa kembali bernostalgia dengan tempat bulan madu dulu, ya.” Zia berkata datar,

Wuri tersenyum, sementara Awan terlihat tidak nyaman dengan perkataan Zia. Awan mengerti, Zia pasti merasa cemburu dengan intensitas dan kedekatan dirinya dan Wuri.

“Ya, tentu saja mbak Zia. Mas Awan ini, romantis sekali lho orangnya. Saat itu, aku sempat hapir jatuh dari kuda yang tiba-tiba mengangkat kedua kakinya, untung mas Awan menangkapku,” tawa Wuri pecah, “kamu inget nggak, Mas?” tanya Wuri,

“O-oh, inget dong. Oh ya, kita hampir sampai.” Awan menunjuk jalan depan,

“Wah, alhamdulillah. Azzam, bangun, kita sudah sampai lho..” panggil Wuri penuh antusias. Anak lelaki usia lima tahun itu masih nyenyak dalam tidurnya.

“Mas, aku duluan masuk ya. Aku sakit perut, mau ke toilet dulu. Kamu bantuin mbak Zia angkat Azzam dulu ya ke kamar,” pinta Wuri. Awan mengangguk. Wuri turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam villa milik Awan itu. Setelah memastikan Wuri masuk ke dalam villa, awan membalik wajahnya ke belakang. Terlihat Zia memalingkan wajahnya ke jendela, enggan menatap Awan.

“Zi, aku tau kamu cemburu,” ucap Awan parau,

“Aku nggak apa-apa.” Jawab Zia berbohong,

“Zi, maafkan aku,” ucap Awan menenangkan, menggenggam tangan Zia.

“Sayangku, aku mengajak serta kamu ke sini, karena aku tidak ingin jauh dari kamu dan Azzam,” Awan masih membujuk Zia. Zia masih terdiam.

Awan membuka safety belt, lalu membuka pintunya dan turun dari mobil. Awan berjalan ke belakang, dan membuka pintu tepat di sebelah Zia. Awan menutupnya,

Awan menarik wajah Zia, dan menempelkan bibirnya ke Zia. Zia yang terlihat kaget, menatap Awan yang sudah memejamkan mata. Zia mendorong Awan menjauh,

“Mas, bahaya. Bagaimana kalau…”

Awan tidak perduli, ia kembali melumat bibir Zia, rasa rindu Awan sudah nyaris meledak. Ia tidak lagi bisa menahan kerinduannya dengan wanita di hadapannya ini. Zia membalas serangan Awan, tidak hanya Awan, Zia juga merindukan kehadiran Awan. Zia harus bersabar menunggu Awan mendapatkan alasan untuk bisa bersama dirinya.

 Zia mendorong keras tubuh Awan yang semakin memanas, tidak bisa dibiarkan karena Wuri sudah kembali keluar dari villa. Awan mengusap bibir Zia,

I love you, Zi. Aku sayang sekali dengan kamu.” Bisik Awan. Setelah itu Awan membuka pintu mobil, seraya menggendong Azzam turun dari mobil.

“Pelan-pelan, Mas. Awas Azzam terbangun,” ucap Wuri ketika melihat Awan menggendong Azzam, “kamar untuk Azzam dan Zia sudah disiapkan, di lantai satu Mas, di dekat ruang tamu,” jelas Wuri. Awan mengangguk.

Zia memejamkan mata sejenak, dadanya masih bergetar karena masih teringat dengan serangan mendadak Awan barusan.  Zia mengusap bibirnya, lalu menghembuskan nafas keras.

Oke Zi, tenang, atur keadaanmu sendiri.” Zia berbisik untuk dirinya sendiri,

“Mbak Zia, barang-barangnya sudah bisa di bawa turun. Nanti di bantu Pak Kosim ya, Mbak.”

Zia tersenyum seraya mengangguk canggung. Ada perasaan bersalah setiap melihat Wuri, namun semua sudah terlnjur, hati Zia sudah berlabuh kepada suaminya. Awan berhasil memberikan perhatian yang selama tiga tahun terakhir tidak ia dapatkan dari sosok lelaki.

***

Awan memeluk Wuri yang memejamkan matanya di pelukan suaminya itu.

“Tidurlah, kamu pasti lelah. Aku sudah membuatmu kalah malam ini..” Awan menatap Wuri sambil tersenyum. Wuri menyembunyikan wajahnya di dada Awan,

“Nanti setelah kamu tidur, aku izin merokok sambil minum kopi dengan Pak Kosim ya sayang,”

Wuri menengadahkan kepala, “sejak kapan kamu suka kopi?” tanya Wuri heran,

“Itu hanya istilah, sayang. Pak Kosim kopi, aku teh susu. Aku sudah lama tidak ngobrol dengan Pak Kosim.” Jelas Awan. Pak Kosim adalah penjaga villa miliknya. Pak Kosim memiliki rumah sendiri di belakang villa, ia tinggal sendiri karena anak satu-satunya sedang kuliah di Bandung.

Wuri menganggukkan kepala, “karena kamu sudah membuat aku kalah malam ini, aku izinkan, Mas.” Wuri tersenyum. Awan mengecup singkat bibir Wuri. Wanita tulus di hadapannya berhak mendapatkan kebahagiaan, karena hatinya sudah terbagi dengan Zia. Malam ini, di kepala Awan terfikirkan Zia yang berada di kamar bawah. Awan masih sangat merindukan wanita itu. Waktunya senggangnya padat, karena harus berbagi antara Wuri dan Zia.

Awan menunggu dengan sabar Wuri tertidur. Ia cukup mengenal Wuri. Bila sudah tertidur, Wuri akan tertidur sangat lelap sampai pagi. Awan menatap jam dinidng di kamar, waktu sudah menunjukkan waktu sebelas malam. Ia berharap Azzam sudah tidur, dan Zia belum. Agar ia bisa menuntaskan rasa rindunya. Awan meletakkan kepala Wuri perlahan di atas kasur, menarik selimut hingga pundak. Awan mencium kening Wuri dan berjalan perlahan turun dari tempat tidur. Awan berjalan sangat perlahan, agar tidak membuat kegaduhan yang dapat membangunkan Wuri dari tidurnya. Awan menuruni anak tangga dan membuka perlahan pintu kamar Zia. Awan menutup kembali pintu kamar Zia.

“Mas,” Zia berlari memeluk Awan. Awan membalas,

Tidak menunggu lama, Awan kembali menyerbu bibir tipis Zia. Seperti seorang kelaparan, kedua sejoli itu memautkan diri satu sama lain.

“Aku terus memikirkan kamu. Hatiku sakit, membayangkan kamu dengan istrimu bercinta.” Zia menundukkan kepal.

“Maafkan aku, Zi. Wuri berhak mendapatkan itu. Tapi, aku juga akan memberikan kehangatan yang sama kepadamu,” Awan mengsap kedua rahang Zia, mereka berdua saling tatap,  

“Kamu pasti sudah lelah, Mas. Istirahat saja,” bisik Zia berbohong, Zia jelas tidak ingin Awan istirahat, karena ia sudah menunggu momen ini.

Awan menggeleng, “aku ingin bersama kamu, Zi. Kamu nggak mau? Hm?” tanya Awan memancing, Zia terdiam, “Azzam sudah tidur?” tanya Awan penuh selidik.

Zia mengangguk sambil tersipu malu,

“Baiklah, sekarang giliran Mamanya, akan aku tiduri,” Awan menangkat tubuh Zia. Zia terpekik, kedua tangannya melingkar ke leher Awan yang membopong tubuhnya, “Besiaplah, kamu akan kewalahan malam ini.” Tantang Awan.

“Aku suka tantangan itu.” Zia menanggapi tantangan Awan dengan tatapan nakal, membuat Awan semakin menggebu. Malam sunyi berubah menjadi malam panas penuh nafsu, Awan menumpahkan semua kerinduannya dengan wanita yang sudah ia nikahi siri itu. Zia pasrah, menerima semua perlakuan Awan dengan kebahagiaan penuh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status