Share

Chapter 6 - Wewangian Laundry

Dahaga tidak bisa terobati hanya dengan setetes embun. 

Satu jam setelah Wuri menanyakan wangi pada baju Awan. Jawaban Awan tidak membuat Wuri puas, Awan mengatakan mungkin saja parfum laundry yang Wuri gunakan. Namun tidak begitu yang sering penghidu Wuri tangkap. Laundry rumah sakit tidak ada yang semewah itu.

"Sayang, masih memikirkan wangi?" Tanya Awan yang duduk di samping Wuri. Wuri menggeleng dengan wajah datar. Awan menghirup nafas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. 

"Aku hampir enam jam di ruang OK*, kemejaku tergantung di ruangan. Wangi yang kamu hirup, bisa saja dari parfum ruangan yang tersemprot lima menit sekali, atau dari..."

"Iya, aku tidak masalah dengan itu." Wuri memotong penjelasan Awan dan tersenyum seraya mengusap pipi suaminya. 

"Kamu belum mau pulang?" Tanya Wuri. 

"Mau. Ada apa? Kamu mau pergi dengan Gian dan Umara?" Awan balik bertanya. 

"Kamu gak kangen aku?" Wuri menatap Awan sinis. 

"Hahaha.." tawa Awan pecah mendengar pertanyaan Wuri. Awan memeluk Wuri dan menempelkan kepala istrinya itu ke dada bidangnya. 

"Jelas aku rindu, sayang. Maafkan pekerjaanku yang selalu membuatmu menunggu.." 

Wuri memejamkan mata, menenangkan pikirannya. Wuri merasa, belum diberikannya keturunan, semua adalah kesalahannya. Dibalik karir Awan yang semakin cemerlang, ada rasa khawatir besar. 

"Aku semalam bermimpi, kamu berhubungan dengan perempuan lain." Ucap Wuri masih dalam pelukan Awan. Awan melepaskan pelukannya, lalu menatap mata istrinya yang sayu. 

"Hanya mimpi, kan?" Tanya Awan, ditanggapi dua kali anggukan Wuri. 

"Tapi seperti nyata," sambung Wuri, "apa maksudnya.."

"Arti mimpi kamu, itu tandanya kamu sedang kesepian. Kamu rindu aku. Aku belum bisa memberikan rasa nyaman yang cukup untukmu." Jelas Awan. Wuri hanya diam, 

"Maafkan aku.. Aku janji, akan mengatur jadwal operasi, agar tidak telalu lama menghabiskan waktu." Awan memegang kedua rahang Wuri. 

Wuri mengangguk, 

"Semoga kamu setia ya.." ucap Wuri lirih. 

"Haha, tentu saja." Jawab Awan, diiringi dengan ciuman lembut di bibir Wuri. Wuri memejamkan mata. Raganya bersama Awan, namun tidak dengan perasaannya kini.

****

Awan menatap Wuri yang memalingkan pandangannya keluar jendela mobil. Mobil melaju tidak terlalu kencang, Awan melihat pemandangan tak biasa dari Wuri. Istrinya tidak pandai menutupi kegundahan, namun Awan menyadari Wuri tidak mudah menceritakan sesuatu yang ia rasa.

Drrt.. Drrt.. Ponsel Awan bergetar di atas dashbor mobilnya, Wuri melirik sekilas. Tertera nama Fein pada layar ponselnya. Awan mengusap layar ponsel dan menyematkan airpods pada telinga kanannya. Wuri memejamkan mata, mengkoreksi perasaannya sendiri. Wuri tidak pernah ingin tau aktifitas ponsel Awan, namun ini Wuri rasa ingin tau Wuri begitu besar.

"Halo. Ya sayang.." buka Awan.

Fein, gadis dua puluh satu tahun, adik sepupu Awan yang dirawat keluarga Gunawan sejak bayi. Fein biasa bersikap manja kepada Awan. Menggunakan sapaan lembut selalu Awan berikan, bukan hanya di telepon, tapi juga sat bertemu langsung. Walaupun Fein sedang menyelesaikan pendidikannya di Jepang, namun Awan dan Fein selalu bertukar pikiran melalui ponsel.

"Sakit? Siapa yang sakit?" tanya Awan, Wuri menatap Awan. Wajah Awan berubah terlihat panik,

"Kamu?" tanya Awan lagi. Awan terlihat sedang mengamati suara di benda yang terselip di telinganya.

"Ya sudah, berikan asupan cairan yang cukup. Setelah sampai, akan Mas kirim resep obat apa saja yang harus dibeli." Awan menenangkan, "oke ya? Mas sedang mengendarai mobil. Nanti kalau sudah sampai, Mas hubungi lagi."

Awan mengakhiri sambungan teleponnya, lalu menghembuskan nafasnya berat.

"Fein sakit?" tanya Wuri penasaran,

"Ya. Demam. Selain itu, perut dan tenggorokannya sakit." Awan menerangkan.

Wuri menganggukkan kepala, "kalau Fein di Indonesia, aku bisa kerik dan lumuri badannya dengan minyak kayu putih. Fein pasti masuk angin." ucap Wuri pelan. Awan tersenyum, seraya mengusap kepala Wuri,

"Gak salah pilih aku ya.." Awan tersenyum, tatapannya tetap lurus ke depan dengan tangan kanan memegang kemudi mobil, "walaupun sedikit primitif, tapi kakak iparnya ini perhatian banget." sambung Awan. Tawa Wuri pecah mendengar celetukkan Awan.

"Tapi, Fein kok tumben ya foto profilnya gambar bunga-bunga gitu? Biasanya kalau gak anime, foto mirror selfie andalannya?" Wuri mengerutkan dahi heran. Adik iparnya itu memang cenderung bergaya seperti lelaki.

"Hm," Awan melepaskan tangannya dari usapan ke atas kepalanya, dan mengendalikan tangannya pada kemudi, "ehem, hm mungkin.." kali ini awan memperbaiki posisi duduknya,

"Apa mungkin Fein sedang jatuh cinta?" Wuri menerka dengan semangat,

"Oh, iya! Kamu benar. Fein pasti sedang jatuh cinta!" Senyum Awan seketika terkembang mendengar terkaan Wuri yang ia setujui, "aku penasaran, laki-laki mana yang mau dengan perempuan pelontos seperti itu. Hahaha.." 

"Wan, pelontos apaan sih? Rambut Fein itu gak terlalu pendek kok, setelinga." Wuri membela Fein.

Terakhir mengirim foto ke ponsel Awan, Fein mengabarkan kalau ia baru saja memangkas kembali rambutnya dengan alasan sama, Fein tidak bisa memanjangkan rambut melebihi bahu. Karena Fein tidak pantas bergaya feminine layaknya perempuan lain.

"Iya, tapi bagiku, perempuan berambut sependek itu ya pelontos namanya."

Wuri tersenyum, "Fein sepertinya agak sulit ya, dekat dengan perempuan se-introvert aku." ucap Wuri pelan,

"Kamu harusnya lebih santai saat dengan Fein. Fein itu asik lho." Awan menjelaskan.

Wuri menganggukkan kepala membenarkan. Selama di Indonesia, Fein dan Wuri memang sering bersama, lebih tepatnya Fein berusaha mendekatkan diri dengan Wuri. Seperti menemani masak, membantu membereskan rumah dan bahkan Fein selalu mengajak ayah Wuri jalan-jalan dengan kursi rodanya. Tapi tetap saja, Wuri tidak bisa terlalu dekat dengan Fein. Karena Wuri sering dihantui rasa takut, takut Fein menanyakan masalah keturunan seperti yang selalu dilakukan mertua Wuri kepadanya setiap kali berkunjung ke rumah.

"Aku bahkan tidak menyimpan nomor ponselnya." ujar Wuri pelan, dan menunduk.

"Tidak ada masalah, nanti saat Fein pulang ke Indonesia, kamu harus lebih santai. Anggap dia adikmu sendiri. Fein pernah mengatakan kepadaku, kalau dia senang memiliki kakak perempuan."

Wuri tersenyum. Hati Wuri tenang mendengar ucapan Awan.

Mobil Awan masuk ke halaman rumah, halaman rumah yang tidak terlalu besar, karena Awan dan Wuri tinggal di kawasan perumahan, dimana jarak antara rumah satu dan yang lainnya cenderung berdekatan.

"Kenapa gak langsung di garasi?" tanya Wuri heran, biasanya Awan paling tidak suka mobilnya terparkir di halaman.

"Hm, aku izin keluar dulu ya.."

"Kemana? Malam-malam begini?"

"Hm, sebentar saja. Aku lupa, satu minggu lalu aku ada hutang dengan tukang nasi goreng di depan. Aku pernah makan nasi goreng tapi lupa bawa uang cash." jelas Awan sambil menyeringai, menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Ada-ada saja kamu. Ya sudah, aku siapkan makan dulu. Kalau sudah pulang kamu nanti tinggal makan malam." jawab Wuri seraya turun dari mobil Awan. Setelah membanting pintu, Awan kembali menghidupkan mobil. Wuri melangkah menjauhi mobil, tidak butuh waktu lama mobil mundur dan kembali melaju keluar dari gerbang.

Masih ada yang mengganjal di hati Wuri. Hari ini seperti tidak biasanya. Namun Wuri berusaha menenangkan dirinya sendiri. Ia berharap, semoga perasaan ini hanya karena perkataan mertuanya.

Wuri melangkah masuk ke dalam rumah lunglai. 

***

Awan memarkirkan mobilnya ke depan sebuah mini market, setelah memalingkan wajahnya ke kanan, lalu ke kiri, menengok ke belakang dan ke depan, Awan melambaikan tangan ke arah seorang wanita dengan hoodie berwarna coklat, yang berlari mendekati mobil Awan, dan masuk ke dalam mobil.

"Kakak sakit. Badannya panas.. Dia selalu mengigau menggil nama kamu, Mas." ucap wanita di hadapannya panik.

"Aku sudah kirimkan e-recipe, lalu ini, ini untuk belikan Kakak makanan yang ia sukai. Kalau bisa, jangan makanan manis dulu." Awan mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya.

"Gak Mas, aku butuh kamu, bukan uangmu. Kakak butuh Daddynya.." tolak wanita itu menunduk,

"Sayang, Mas gak bisa selalu di sana. Mas harus menemani Wuri dulu. Nanti Mas cari alasan untuk bersama kalian lagi. Ya.." ucap Awan lembut.

Awan menarik tubuh wanita bertubuh mungil itu ke dalam pelukannya, lalu mendaratkan sebuah kecupan di keningnya.

"Mas, mohon. Kamu harus bersabar, ya.."

Awan menenangkan. Awan harus tetap memikirkan perasaan Wuri. Sudah cukup lama Wuri mengalah, dan hidup dengan alasan palsu Awan. Awan belum bisa mengambil keputusan untuk mengakui semua. Untuk saat ini, Wuri masih memiliki banyak beban pikiran. Awan tidak ingin melihat Wuri semakin hancur, bisa ia mengatakan keadaan yang sesungguhnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status