Share

Chapter 2 - Semua Bermula

Jangan abaikan pertemuan. Dari pertemuan, mengajarkan cara menilai, cara berprasangka hingga cara mencinta. (Wuri-MA)

“Kamu siapa?” Pertanyaan Khoirul kepada putri bungsunya itu membuat seluruh badan Wuri membeku.

Pada awalnya ayah hanya mengeluh kalau perilakunya sering tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Beberapa waktu lalu, ketika Khoirul ingin mengambil air minum di atas meja, ia berniat menggapai cangkir di hadapannya, namun tangannya sangat sulit bergerak mengikuti apa yang ia inginkan.Wuri mengira, itu hanya bentuk manja ayahnya yang biasa diperlakukan manja oleh ibu saat ia masih hidup. Sepeninggalan Lista, ibu Wuri, Wuri tidak bisa memberikan perhatian lebih kepada Khoirul. Setengah waktu Wuri ia habiskan di kantor, terlebih karirnya sedang meroket akhir-akhir ini. Banyak client yang menyukai konsep yang selalu ia presentasikan, itu membuat Wuri hanya bisa menitipkan ayah kepada Bik Imah, asisten rumah tangga yang dulu merawat Wuri saat masih kecil, lalu menjadi asisten rumah tangga yang bertanggung jawab atas semua permasalahan rumah. 

Setelah menyadari itu, Wuri langsung menekan telepon rumahnya, untuk menghubungi pendaftaran rumah sakit. Wuri harus mendapatkan penjelasan mengapa ayahnya semakin sering merasa lupa, terlebih kali ini ia melupakan Wuri, anak tunggal, satu-satunya ayah miliki. Khoirul memang disarankan untuk melakukan beberapa pemeriksaan termasuk CT Scan dan MRI. Dokter spesialis syaraf mencurigai ada sesuatu di dalam kepala lelaki paruh baya itu. Awalnya Wuri tidak yakin karena Khoirul tidak mengeluhkan apapun, sakit kepala atau mimisan seperti film-film kebanyakan bila ada masalah kesehatan di kepala. Khoirul hanya pernah sekali mimisan, itu juga karena ia terlalu keras bersin, sampai akhirnya mimisan. Wuri tidak ambil pusing saat itu, dan menganggap bahwa itu hal biasa. 

Pendaftaran rumah sakit menjawab, dan ternyata dokter spesialis langganan ayah tidak bertugas untuk beberapa pekan, karena sedang kemalangan, kehilangan ibunya.

"Maaf Ibu, kami sarankan Ibu untuk berkonsultasi dengan dokter yang kebetulan akan menggantikan dokter penanggung jawab Pak Khoirul." Begitu ucapan pihak rumah sakit ketika Wuri menanyakan dokter syaraf yang biasa merawat ayahnya.

Wuri mulai merasakan panik. Ia tidak mungkin berganti dokter, karena pertama Wuri tidak terlalu paham mengenai sakit yang ayah derita bila ia harus menceritakan semua dari awal, lalu yang kedua Khoirul tidak gampang mood dengan dokter lain. Membangun mood Khoirul sangat sulit. 

Wuri memutar otak, ia kembali teringat dengan clue yang diberikan dokter anastesi kemarin. Ia mungkin saja bisa membantu. 

“Nomor ponsel Ayah… Hm…” Wuri ingat, Khoirul sempat berkomentar kalau nomor ponsel Awan sama dengan kode nomor ponselnya, “lalu,” Wuri menekan nomor yang Awan sebutkan. Wuri menghitung nomor ponsel yang ia tekan. Setelah yakin, Wuri menarik nafas lalu menempelkan ponsel ke telinganya. Terdengar nada dering perlahan, lalu tidak lama terdengar suara, 

“Halo?” suara lelaki. Wuri tidak boleh senang dulu, belum tentu itu benar Awan.

“M-Maaf. Apa benar aku sedang berbicara dengan dokter Awan?” tanya Wuri ragu, 

“Ya benar. Aku Dionryawan. Tapi, Anda mengenal nama kecilku?” tanya Awan bingung. 

“Nama kecil? Dia berkenalan dengan menggunakan nama kecil? Aneh!” masih sempat Wuri berbisik dalam hati. 

“Aku Wuri. Yang tanya ruang admin waktu itu.” Wuri tidak tau bagaimana ia akan membantu Awan mengingat dirinya. Sempat tidak ada suara yang menanggapi, Wuri memberikan waktu Awan untuk mengingat, 

“Oh, hai! Kamu ternyata. Aku sempat tidak bisa tidur, karena aku lupa menanyakan namamu.” Jawab Awan. Awan masih terdengar sama, lelaki ceria yang ternyata suka menggombal. Wuri tidak akan termakan dengan gombal picisan Awan. 

“Aku Wuri. Hm, dokter, begini..” 

“Awan saja..” Awan memotong, 

“Iya. Hm, Awan, aku ingin meminta pendapat mu. Dokter Syarif spesialis syaraf, sedang tidak praktik sampai beberapa minggu. Sementara Ayahku menunjukkan gejala yang aneh menurutku. Menurutmu, apakah akan mulai dari awal lagi kalau aku membawa Ayah ke dokter syaraf lain?” Wuri mengeluarkan unek-uneknya. 

“Semua data Ayahmu sudah tercatat di rekam medis rumah sakit, Ri. Jadi, kamu tidak perlu takut akan menceritakan lagi semua keluhan Ayahmu dari awal bila berganti dokter. Kecuali, kamu pindah rumah sakit. Mungkin kamu akan seperti itu..” jelas Awan. Wuri mengangguk, tentu saja Awan tidak bisa melihat tanggapannya itu. 

“Besok pagi, jam sembilan. Kamu bisa datang ke rumah sakit?” tanya Awan. 

“Untuk?” 

“Aku akan mengenalkanmu dengan dokter Hidayat. Beliau seniorku, dan cukup kompeten. Dokter syaraf andalan Ibuku dulu.” Ucap Awan. 

“Baiklah!” Wuri menyetujui. 

“Aku boleh menyimpan nomormu, Wuri?” tanya Awan terdengar sangat sopan. 

“Tentu saja.” Jawab Wuri sambil tersenyum. Awan mungkin tidak tau, bahwa Wuri sedang menggingit bibirnya karena gugup.

“By the way, kamu punya ingatan dan daya analisis yang bagus. Aku suka perempuan cerdas.” Ucap Awan.

"Maksudmu?" Wuri tidak mengerti.

"Aku memberikan kamu beberapa arahan, dan kamu sangat tanggap."

Wuri memicingkan senyumnya. Awan sangat terlihat sedang menggodanya. Wuri malas dengan lelaki seperti itu sebenarnya, tapi entah mengapa Wuri menyukainya. 

“Thank you. Aku harus menemani Ayah. Sampai jumpa besok pagi, Wan. Sekali lagi thank you.” Tutup Wuri, tidak ingin berlama-lama menelan rasa gugup setiap Awan berkata. Selain itu, Wuri tidak mau menanggapi serius perkataan Awan. Wuri bukan tipe perempuan yang gampang menyukai seseorang. Terlalu kaku. Begitu komentar beberapa sahabatnya. Untuk saat ini, Wuri hanya berniat menyembuhkan ayah. Karena hanya lelaki lima puluh lima tahun itu yang ia miliki. Semoga dokter Hidayat bisa membantu memberian jalan, dan menyembuhkan Ayah..

***

Awan sangat baik. 

Wuri memberikan penilaian yanag baik terhadap lelaki yang usianya terpaut empat tahun di atasnya. Selama konsul dengan dokter Hidayat, Awan menemani Wuri dan ayahnya. 

“Ayah, Wuri harus ke kantor dulu. Ayah pulang dengan bang Hagar dulu ya.” Ucap Wuri seraya mengusap punggung tangan ayahnya yang duduk termenung di atas kursi roda. Jarak kantor Wuri dan rumah berbeda. Wuri memutuskan untuk menghubungi Hagar, kakak sulungnya yang semenjak menikah terlalu sibuk dengan rumah tangganya. 

Ayah hanya bisa mengangguk. 

“Uri titip Ayah dulu ya Bang. Salam untuk kak Renita.” Ucap Wuri menatap lelaki dua tahun lebih tua darinya itu. Hagar hanya mengangguk, seraya membantu ayah masuk mobil. Sejak menikah, Hagar terlihat lebih menjaga jarak dengan Wuri dan Ayahnya. Hagar terlihat lebih pendiam. Keluarga Wuri tidak tau apa permasalahan sebenarnya. Tapi, Ayah tidak pernah ambil pusing dengaj sikap Hagar. Ayah dan Ibu Wuri selalu berfikir positif, Hagar hanya ingin menghargai istrinya. Namun, memutuskan untuk membuat jarak dengan keluarga kandung apalagi orang tua, itu jelas perbuatan tidak baik. Hagar melipat kursi roda ayah dan memasukkannya ke belakang mobilnya. Hagar langsung masuk mobil tanpa bicara apapun.

“Abangmu?” tanya Awan. Wuri terkejut, ia melupakan Awan yang sejak awal berdiri di belakangnya terus. Wuri mengangguk kikuk. 

“Dia memang cuek. Lebih mirip supir taxi ya.” Wuri mwnggaruk rambutnya yang tidak gatal. 

“Hm, aku ada operasi tiga jam lagi. Hm, bagaimana kalau aku mengantarmu ke kantor?” tanya Awan yang masih mengenakan saty set pakaian jaga berwsrna hijau botol, dengan bordiran nama lengkap di dada bagian kanan, dr. Dionyrawan, Departemen Anastesi. Begitu tulisan di dadanya. 

“Aku bisa naik taxi, Wan.” Wuri menolak. 

“Hm, itu penolakan sacara halus, atau basa-basi?” tanya Awan tersenyum, “aku ke dalam dulu sebentar, lalu aku akan mengantarmu ke kantor. Tidak lama, hanya lima menit.”

“Eh,” Wuri melambaikan tangan, tapi Awan tidak menggubris. Ia tetap masuk kembali ke gedung rumah sakit. Wuri duduk menunggu, ia menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih ada waktu satu jam untuk ke kantor. Wuri menatap sekeliling rumah sakit. Rumah sakit tempat ayahnya beronat ini merupakan rumah sakit rujukan daerah. Rumah sakit pemerintah yang paling baik karena alat, fasilitas dan tenaga kerjanya yang lengkap. Di rumah sakit ini juga terdapat banyak dokter yang sedang mengemban pendidikan dokter spesialis seperti Awan. Wuri tak jarang melihat dokter-dokter dengan penampilan lebih muda, mengikuti dokter senior. 

“Lewat dua menit ya?” Suara Awan membuyarkab kamunan Wuri. Wuri menatap kembali jam tangannya, lalu mengangguk. 

“Kamu cepat sekali ganti bajunya?” Wuri takjub, karena Awan sudah siap dengan penampilan berbeda dari sebelumnya. 

“Iya. Aku pakai alat Doraemon.” Jawab Awan asal.

“Ngawur kamu!” Wuri tersenyum mendengar jawaban Awan.

Awan berjalan di samping Wuri. Kedekatan Awan dan Wuri berasal dari kejadian ini, pertama kalinya Awan mengantarkan Wuri pulang. Membuat Wuri merasa nyaman berada di samping lelaki ini. 

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status