Share

Chapter 3 - Lamaran

Dia adalah pensil, sedangkan hatiku adalah kanvasnya.

Kehidupan Wuri bagai dua mata pisau. Satu sisi ia harus berjalan bersama Khoirul dalam menghadapi tumor ganas yang dengan cepat menggerogoti kepalanya. Satu sisi Wuri menemukan kebahagiaan pada tiap hari yang ia lalui, karena Awan selalu berhasil menghiasi setiap harinya. Wuri mungkin terlihat seperti kembali ke delamapan tahun lalu, saat ia berusia tujuh belas taun. Ketika itu, Wuri untuk pertama kalinya jatuh cinta, Wuri dibuat sulit tidur karenanya. Wuri kembali mengalami hal yang sama ketika bersama Awan. Setiap saat, Awan selalu menyempatkan diri untuk menghubungi Wuri. Di sela pekerjaannya di ruang operasi, saat jam istirahat, sampai diwajtu jeda ia menghadapi konsulen, saat ujian.

“Aku sudah menelepon Ibuku, meminta doa. Agar ujianku lancar.” Bisik Awan,

“Hm, lalu..?” tanya Wuri, belum apa-apa, di ujung telepon Wurin sudah menyunggingkan senyum.

“Hm, lalu, setelah itu aku harus meminta restu dari calon ibu dari anak-anakku kelak.” jawab Awan. Wuri mengulum senyum. Kalau saja ia tidak sedang berada di dekat Khoirul yang sedang duduk sambil mengutak-atik channel televisi yang ia tonton, mungkin Wuri akan berguling-guling sambil menyembunyikan wajahnya yang memanas di balik selimut. Awan pandai membuat Wuri meletup-letup seperti ini.

“Jangan lupa berdoa. Semoga berhasil, Wan.” Ucap Wuri pelan, berharap Khoirul tidak menguping pembicaraan putrinya di ponsel.

Saat ini, Awan sedang menempuh pendidikan sekolah spesialis dibagian anastesi, atau bidang keilmuan dokter bius. Setiap ada operasi dari departemen apapun, bedah, obstetri,telinga THT bahkan bagian mata, bagian anastesi harus hadir. Itu membuat jadwal Awan sangat padat dan tidak mengenal waktu.

Awan sudah memasuki ujung masa pendidikannya. Tidak terasa sudah hampir empat tahun Awan dan Wuri dekat. Awan sudah beberapa kali mengungkapkan cinta ke Wuri, namun Wuri selalu menjawabnya dengan jawaban yang tidak ingin ia perjelas. Wuri tidak ingin jatuh terlalu dalam bila menggunakan hati dan perasaan dalam menjalani sebuah hubungan. Selain itu, Wuri lebih bisa menilai keseriusan Awan. Awan adalah pribadi yang baik, selain itu juga Awan supel dan mudah bergaul. Sikapnya disukai Khoirul, walaupun Hagar terlihat tidak menyukai Awan, entah apa alasannya. Hagar memang berbeda, ia memiliki sikap merasa sempurna. Apapun yang orang lain lakukan, ia sangat sulit dapat menerima, apalagi sampai menyukai orang lain. Sangat sulit. Hagar adalah anak pertama Khoirul, tapi bukan dari rahim istrinya, melainkan anak yang mereka rawat karena sudah tiga tahun pernikahan mereka belum memiliki anak. Tepat setelah usia Hagar dua tahun ibu angkatnya itu mengandung Wuri. Hagar kecil tidak mengetahui itu semua, namun ketika Hagar duduk di sekolah dasar, banyak teman-temannya yang membocorkan status Hagar yang sebenarnya. Krena hal itu Hagar tumbuh menjadi pribadi yang berontak dan kerap membuat masalah. Ayah dan Ibu Wuri menghadapi tingkah Hagar dengan sabar, hingga akhirnya Hagar dewasa, dan menikahi Renita setelah Renita hamil dua minggu.

“Mata Ayah semakin lama semakin kabur. Ada apa sebenarnya di kepala Ayah ini, Ri?” taya Khoirul sambil mengusap kedua matanya dengan punggung tangan. Wuri sudah pernah menjelaskan dengan rinci mengenai penyakit yang lelaki lima puluh tiga tahun itu idap. Namun karena tumor yang semain masif menekan jaringan di otaknya, membuat Khoirul terkadang kehilang memorinya. Gangguan penglihatan, gangguan daya ingat, itu juga dipengaruhi oleh Tumor. Dokter Hidayat, menjadi dokter tetap Khoirul. Dokter pilihan Awan itu lebih detile menjelaskan, ia juga mau menjelaskan bila ada yang Wuri tidak mengerti.

“Ayah, lebih baik Ayah istirahat saja. Mungkin mata Ayah lelah..” Wuri meraih remote kontrol televisi, lalu mematikan benda pipih di kamar ayahnya itu. Khoirul merebahkan kepalanya di atas tempat tidur, Wuri menarik selimut menutupi sampai ke dada Khoirul.

“Wuri..” panggil Khoirul, sebelum Wuri menghidupkan lampu tidur,

Wuri menatap Khoirul lekat, “ayah sudah setuju dengan Nak Awan. Lekas minta dia melamarmu, agar Ayah bisa menjadi wali dalam pernikahanmu.” Ucap Khoirul bergetar. Kalimat seperti ini sudah enam kali Wuri dengar. Khoirul menyimpan kekhawatiran mendalam tentang pernikahan Wuri, putri bungsunya. Mungkin itu sama seperti yang ayah lain rasakan, ingin menjadi wali nikah pada akad nikah putrinya. Namun, Khoirul sedikit berbeda, ia takut, usianya tidak sampai pada waktu menjabat tangan calon menantunya.

***

“Aku sudah selesa, Ri..” ucap Awan sambil menatap Wuri yang masih sibuk dengan gawai di tangannya. Awan menarik benda pipih itu, lalu meletakkannya di atas meja dengan cara tertutup, agar Wuri bisa fokus kepadanya. Suasana kantin rumah sakit cenderung sepi. Awan memilih tempat paling ujung. Tempat ini paling sering digunakan oleh rekan PPDS Awan yang lain sebagai tempat diskusi atau sekedar share masalah tugas.

“Setelah ini aku akan memilih dari tiga rumah sakit yang sudah meminangku agar bergabung. Dan,” Awan menghentikan perkataannya, Wuri masih diam terpaku. Awan menggenggam tangan Wuri, mata Wuri terbelalak lebar, lalu dengan sigap menatap sekeliling, suasana kebetulan sekali sangat sepi, “dan, aku ingin kamu yang memilihkan salah satu diantaranya.”

“Baik..” Wuri pasrah. Ekspektasi Wuri terlalu tinggi terlebih saat Awan tiba-tiba saja menggenggam tangannya,

“Yang harus memilihkannya selain Ibuku, itu adalah kamu, Ri. Tapi, yang aku mau kamu harus sudah menjadi istriku, kelak.” Ucap Awan perlahan.

Wuri menarik tangannya dari genggaman Awan. Bagi Wuri Awan terlalu tinggi untuk digapai. Mungkin saja Awan bisa menerima Wuri, menerima ayah dan keadaan disekitar Wuri, namun keluarga Awan belum tentu bisa menerima kedekatan Wuri dan Awan.

Wuri menunduk, tidak berani menatap lelaki yang sedang berharap penuh dengan kesiapan dirinya itu.

“Kenapa, Ri? Kamu, tidak mencintaiku?” tanya Awan semakin serius. Wuri masih terdiam. Tidak mencintai Awan adalah suatu kemustahilan, bagi Wuri, Awan adalah lelaki nyaris sempurna, namun itu juga yang membuat Wuri khawatir akan kelanjutan mereka.

“Apa yang kamu khawatirkan, Ri? Apa aku belum cukup meyakinkanmu?” Desak Awan semakin ingin menemukn jawaban yang disembunyikan rapat oleh Wuri.

“Awan. Apa kamu sudah memikirkan keputusanmu?” tanya Wuri, kali ini ia mengangkat kepalanya dan menatap tajam Awan yang masih berbalit jas snellinya. Awan mengangguk cepatn.

“Tentu saja. Usia kita beruda sudah sangat cukup untuk menikah. Aku rasa, tidak ada alasan lain untukku tidak memiliki istri sekarang.” Jelas Awan.

Wuri menggelengkan kepalanya, “masalahnya tidak ada di kamu, Wan.” Wuri membalas tatapan Awan,

“Masalahnya ada di aku..” ucap Wuri pelab.

“Apa masalahnya, Wuri? Aku mencintaimu dengan tulus.” Ucap Awan lembut.

Wuri diam, kepalanya kembali tertunduk.

“Aku hidup, bersama Ayahku..” ucap Wuri pelan.

“Ya, aku sudah tau itu.. Dimana letak masalahnya?” Tanya Awan lagi.

“Setelah aku menikah denganmu, syurgaku akan berpindah ke kamu, Wan. Aku harus mengikuti arahan darimu. Aku hanya takut, kalau nanti, kamu akan keberatan bila aku mengurusi Ayah..” Wuri semakin menunduk. Bagi Wuri, ayahnya adalah yang utama. Wuri sudah memutuskan untuk tetap mengurusi ayah walaupun ia sudah menikah.

Awan kembali menarik tangan Wuri, ia menggenggamnya erat.

“Aku mencintaimu karena ketulusan hatimu. Aku tidak mungkin membiarkan istriku menjadi anak durhaka, Wuri. Jadi, masalah Ayah, kamu tidak perlu izin kepadaku sebagai suami. Semua aku serahkan kepadamu.” Awan mengecup punggung tangan Wuri.

Wuri mengangkat kepalanya, setets air mata jatuh ke atas pipinya. Tangan kanan Awan mengusapnya lembut,

“Menikahlah denganku. Bahagialah bersamaku, Wuri.” Awan mengulangi pinangannya.

Wuri mengangguk sambil tersenyum.

“Alhamdulillah. YES! YUHU!”  Awan berteriak. Seluruh mata tertuju ke arah Awan.

“Teh, Mang! Lamaranku ke gadis cantik ini diterima!” teriak Awan menegur beberapa penjual yang berjualan sambil mengepalkan tangannya riang.

“Selamat ya Pak dokter kasep!” sambut mereka senang. Wuri tersenyum melihat tingkah Awan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status