Share

9. Dinasnya Pramono

Matahari sudah terik. Waktu menunjukkan pukul satu siang saat Nadya menyelesaikan pekerjaannya di dapur dan duduk di ruang tengah bersama Tasya yang asyik memainkan legonya dengan lesu.

“Bobo yuk, Dek?” tanya Nadya.

Bocah itu menggeleng. Sebaliknya dia justru bertanya, “Ma, Papa kapan pulang?” Mainan yang semula dia mainkan, kini hanya dipukul-pukulkan ke lantai.

“Nanti kalo kerjaan Papa dah selesai, Dek,” jawab Nadya sembari memijat pelipisnya. Matanya terpejam, mencoba mengistirahatkan diri. Tak ada yang memaksanya mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, sulit baginya untuk benar-benar santai menyadari dirinya belum berberes rumah. Itulah yang membuatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah, meski tak ada yang meminta.

“Papa lama! Kenapa Papa nggak ngajak Asya?” ucapnya lagi. Bibir mungil itu mulai mengerucut.

“Karena Papa sekarang kerjanya pindah-pindah. Jadi kasihan Tasya kalo ikut.” Nadya mendesah lelah. Kadang-kadang pertanyaan kritis putrinya sedikit menyebalkan.

“Tapi Tasya mau sama Papa!”

“Iya ... nanti kalo Papa pulang, ya.”

“Tapi, Asya maunya sekarang!” Bocah itu memulai, “Nggak asik! Nggak asik!” pekiknya.

“Sya ....” Nadya mendesah.

“Asya mau sama Papa!” Tasya melempar satu mainannya hingga mencuat cukup jauh.

Nadya terenyak. Dia nyaris terpancing emosi kalau saja tak ingat dengan siapa dia bicara.

Nadya menghela napas. Mengabaikannya.

Baru tiga hari Pramono pergi, Nadya mulai sadar betapa lelahnya mengurus anak dan rumah sendirian. Pekerjaan rumah yang semula dikerjakan bersama, mendadak terasa dua kali lipat banyaknya selama suaminya tak di rumah. Ditambah rengekan Tasya yang berkali-kali tantrum menanyakan sang ayah. Menuntut papanya pulang disertai teriakan histeris. Menekannya pada titik terendah pertahanan diri. Nadya mulai tumbang. Sakit.

Nadya mengakui, dekatnya jarak dengan suami selama ini, menempatkannya pada zona nyaman. Di mana pun, kapan pun dia butuh, Pramono akan sigap turun tangan. Memperlakukannya laiknya ratu.

Pun dalam pengasuhan Tasya. Dengan dasar alasan, kedekatan anak perempuan dengan sang ayah akan membentuk karakter kuat dalam diri anak, menjadikan Nadya lupa—bahwa mungkin akan ada masa seseorang harus jauh dari sosok laki-laki seperti sekarang ini. Karier Pramono yang mulai menanjak, memaksanya pergi ke tempat-tempat baru yang lumayan memakan waktu.

Berada di zona nyaman, menjadikan Nadya nyaris lupa bagaimana cara menghadapi anak sendiri. Hampir satu jam Tasya menangis, dan dia tak tahu bagaimana membuatnya diam. Buntu.

“Asya!” Habis sabar, Nadya meninggikan nada suaranya. Usahanya sukses membuat bocah itu diam dalam sekejap karena terkejut. Namun justru menangis lebih keras.

“Mama udah bilang, Papa belum pulang! Tasya ngerti dong, mama capek, nih!”

“Kalo gitu Asya mau main sama Uncle!” teriaknya akhirnya.

“Apa?” Nadya terpaku. Kedua matanya nyaris keluar saking terkejutnya. Bahunya luruh. “Astaghfirullaah.”

“Asya mau sama Uncle! Sama Uncle! Sama Uncle!”

Nadya membuang muka. Lalu mengusap kepala yang terasa kian berdenyut seiring upaya menahan diri dari luapan emosi. Tak masalah jika dia menangis menanyakan sang ayah yang tak di rumah. Masalahnya, kenapa harus Ali?

Pertanyaan itu mendadak memenuhi tempurung kepala Nadya. Demi alasan apa pun dia tak akan mengizinkan laki-laki itu memasuki rumahnya. Apa kata suami dan tetangga nanti? Hal menarik apa yang membuat laki-laki itu menjadi pilihan lebih baik daripada ibunya sendiri?

Putus asa, dibiarkannya Tasya menangis hingga puas. Itu lebih baik daripada meminta bertemu dengan orang yang bahkan ingin dia hindari.

Nadya menoleh saat Tasya kembali berteriak di antara tangisannya. Beberapa barang dia lempar, berserakan, nyaris memenuhi lantai.

“Mama Nakal! Mama Nakal!”

Nadya menarik napas dalam. Berusaha menghadirkan kesadaran penuh, karena itulah yang dibutuhkan dalam pengasuhan anak.

Tak bisa dipungkiri, ketika emosi orang tua tidak stabil, maka begitu pula yang terjadi pada anak di bawah tujuh tahun. Tapi, bagaimana bisa stabil, saat kelelahan dan tekanan mendera secara bersamaan? Nadya berharap, suaminya di rumah ... dia paling tahu cara membuat Tasya tenang.

Nadya menoleh. Dilihatnya bocah itu masih menangis. Saat kelelahan, sering kali hati menjadi lebih sensitif dari biasanya. Satu sisi hatinya merasa marah. Sisi hati yang lain, kasihan.

Namun, bukan ibu namanya kalau rasa kesal menahan hati untuk mengasihi. Tak tega melihat wajah sembab putrinya, Nadya mendekat.

“Dek, papa kan, kerja. Nggak bisa pulang sekarang.” Masih memegangi sebelah kepalanya, Nadya berusaha membuat Tasya mengerti.

Sialnya, bujukan demi bujukan tak juga membuat Tasya paham dan diam. Bocah itu masih menjawab dengan tangisan dan kalimat yang sama: “Mama Nakal!”

Penat dan bising, membuat Nadya merindukan istirahat. “Astaghfirullaah, terus maunya Tasya apa? Mama capek dengar kamu nangis! Mama pusing, Dek!” bentaknya, sekali lagi tersulut emosi.

Alih-alih diam, tangisnya justru kian histeris. Tak hanya melempar barang barang, kali ini dia bahkan berguling di lantai.

Nadya menjatuhkan dirinya di lantai. Dia tahu, saat anak Tantrum, sikap orang tua seharusnya memberi kesempatan. Tapi itu sudah terlalu lama. Nadya merasa kelelahan mendengar suara bising saat kondisi tubuh sedang tak baik-baik saja.

Pandangan Nadya tertuju ke meja, saat ponsel terdengar berdering. Mengabaikan pening di kepala, Nadya bangkit dan meraih ponsel itu.

“Ya, Mas?” jawabnya.

“Lagi apa, Sayang?” tanya suara di ujung sana, lembut seperti biasanya.

“Mama Nakal! Mama Nakal!”

Belum sempat Nadya menjawab, Tasya kembali berteriak memecah konsentrasi untuk menjawab pertanyaan di ujung sambungan telepon. Memancing Pramono untuk bertanya, “Tasya kenapa, Dek?”

Nadya terisak. Habis sabar, Nadya meluapkan semuanya pada laki-laki itu. Tentang keadaan, keletihan, juga Tasya.

“Maaf, Mas, aku capek. Tasya ngamuk terus dari tadi. Mas kapan pulang sih?”

Terdengar helaan napas dalam di ujung sambungan telepon. “Biar Mas yang ngomong sama Tasya.”

Nadya menyerahkan ponsel itu pada putrinya. Untunglah anak itu menurut. Ponsel diberikan dan bocah itu mulai tenang, menyimak suara di ujung sana.

“Mama nakal,” ucap Tasya singkat, sebelum kembali diam dengan wajah menunduk. Isak-isak pelan masih terdengar.

“Main sama papa,” ucapnya lagi.

“Nggak mau!” sahutnya dengan sedikit tekanan. Tangisnya nyaris pecah kembali sebelum reda entah dengan kalimat apa di ujung sana.

Detik berikutnya, setelah diam beberapa saat, dia kembali berucap, “Mama nakal! Tasya mau sama Uncle Ali,” ucapnya lagi.

Mendengar nama itu, gelisah mendadak menyerang hati Nadya. Tapi, itu belum seberapa dibanding ketakjuban melihat Tasya langsung tenang setelah bicara dengan sang ayah.

Seketika dia merasa seperti manusia bodoh yang kehilangan akal sampai tak terpikir menelepon suaminya.

***

Nadya meletakkan kepalanya di sandaran sofa cream tak jauh dari Tasya. Memijit kepala di tengah aktivitas memperhatikan bocah yang tengah asyik bermain lego, membentuknya menjadi hewan.

“Papa bilang, Uncle Ali mau ke sini, Ma,” ucap Tasya sambil lalu.

Nadya terkekeh. Bukan pada ucapan itu, tapi untuk pikiran yang mengira Pramono menggunakan kebohongan untuk  menenangkan putrinya. Lalu menggeleng heran, karena hal sesederhana itu tak terpikirkan olehnya.

“Oya?” sahut Nadya, menarik bibirnya tipis. Mendengarkan apa pun celoteh Tasya, asal dia tenang. Asal dia senang.

Namun ... itu tadi, sebelum deru mesin mobil terdengar di halaman. Pandangan Nadya tertuju pada pintu utama rumah mereka, lalu berpaling psda Tasya yang memandangnya dengan tatapan tak mengerti.

Gelisah karena merasa kalimat putrinya mulai benar, Nadya bangkit. Dia melangkah ke jendela, untuk memsendirinya sendiri.

Itu bukan mobil Pramono. Lalu mobil siapa?

Nadya masih berdiri di tepi jendela menunggu seseorang yang mungkin akan keluar dari kendaraan itu.

Nadya membelalakkan mata. Dan, bagai guntur yang menggelegar, debar jantung Nadya mendadak gaduh. Tubuhnya memanas, mendapati yang keluar dari mobil itu adalah Ali.

Nadya menoleh pada Tasya di tengah ruangan. Dia segera ingat kata-kata Tasya belum lama tadi dan mulai membenarkannya. Seketika muncul pula prasangka bahwa suaminyalah yang melakukan ini.

‘Apa dia gila?’

Tapi, bagaimana Pramono cara menghubungi Ali?

Nadya menggeleng ketika menyadari kemungkinan itu sangat kecil. Kerutan di dahinya semakin dalam karena benaknya dipenuhi tanya, ada urusan apa Ali sampai datang? Sudah kehilangan akalkah dia sampai berani datang ke rumah perempuan bersuami?

Detik berikutnya, terdengar seseorang mengucap salam. Belum sampai pintu dibuka, Tasya sudah berteriak, “Uncle ... !”

Nadya menepuk jidat dan mengumpat dalam hati.

To be continue ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status