Matahari sudah terik. Waktu menunjukkan pukul satu siang saat Nadya menyelesaikan pekerjaannya di dapur dan duduk di ruang tengah bersama Tasya yang asyik memainkan legonya dengan lesu.
“Bobo yuk, Dek?” tanya Nadya.
Bocah itu menggeleng. Sebaliknya dia justru bertanya, “Ma, Papa kapan pulang?” Mainan yang semula dia mainkan, kini hanya dipukul-pukulkan ke lantai.
“Nanti kalo kerjaan Papa dah selesai, Dek,” jawab Nadya sembari memijat pelipisnya. Matanya terpejam, mencoba mengistirahatkan diri. Tak ada yang memaksanya mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, sulit baginya untuk benar-benar santai menyadari dirinya belum berberes rumah. Itulah yang membuatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah, meski tak ada yang meminta.
“Papa lama! Kenapa Papa nggak ngajak Asya?” ucapnya lagi. Bibir mungil itu mulai mengerucut.
“Karena Papa sekarang kerjanya pindah-pindah. Jadi kasihan Tasya kalo ikut.” Nadya mendesah lelah. Kadang-kadang pertanyaan kritis putrinya sedikit menyebalkan.
“Tapi Tasya mau sama Papa!”
“Iya ... nanti kalo Papa pulang, ya.”
“Tapi, Asya maunya sekarang!” Bocah itu memulai, “Nggak asik! Nggak asik!” pekiknya.
“Sya ....” Nadya mendesah.
“Asya mau sama Papa!” Tasya melempar satu mainannya hingga mencuat cukup jauh.
Nadya terenyak. Dia nyaris terpancing emosi kalau saja tak ingat dengan siapa dia bicara.
Nadya menghela napas. Mengabaikannya.
Baru tiga hari Pramono pergi, Nadya mulai sadar betapa lelahnya mengurus anak dan rumah sendirian. Pekerjaan rumah yang semula dikerjakan bersama, mendadak terasa dua kali lipat banyaknya selama suaminya tak di rumah. Ditambah rengekan Tasya yang berkali-kali tantrum menanyakan sang ayah. Menuntut papanya pulang disertai teriakan histeris. Menekannya pada titik terendah pertahanan diri. Nadya mulai tumbang. Sakit.
Nadya mengakui, dekatnya jarak dengan suami selama ini, menempatkannya pada zona nyaman. Di mana pun, kapan pun dia butuh, Pramono akan sigap turun tangan. Memperlakukannya laiknya ratu.
Pun dalam pengasuhan Tasya. Dengan dasar alasan, kedekatan anak perempuan dengan sang ayah akan membentuk karakter kuat dalam diri anak, menjadikan Nadya lupa—bahwa mungkin akan ada masa seseorang harus jauh dari sosok laki-laki seperti sekarang ini. Karier Pramono yang mulai menanjak, memaksanya pergi ke tempat-tempat baru yang lumayan memakan waktu.
Berada di zona nyaman, menjadikan Nadya nyaris lupa bagaimana cara menghadapi anak sendiri. Hampir satu jam Tasya menangis, dan dia tak tahu bagaimana membuatnya diam. Buntu.
“Asya!” Habis sabar, Nadya meninggikan nada suaranya. Usahanya sukses membuat bocah itu diam dalam sekejap karena terkejut. Namun justru menangis lebih keras.
“Mama udah bilang, Papa belum pulang! Tasya ngerti dong, mama capek, nih!”
“Kalo gitu Asya mau main sama Uncle!” teriaknya akhirnya.
“Apa?” Nadya terpaku. Kedua matanya nyaris keluar saking terkejutnya. Bahunya luruh. “Astaghfirullaah.”
“Asya mau sama Uncle! Sama Uncle! Sama Uncle!”
Nadya membuang muka. Lalu mengusap kepala yang terasa kian berdenyut seiring upaya menahan diri dari luapan emosi. Tak masalah jika dia menangis menanyakan sang ayah yang tak di rumah. Masalahnya, kenapa harus Ali?
Pertanyaan itu mendadak memenuhi tempurung kepala Nadya. Demi alasan apa pun dia tak akan mengizinkan laki-laki itu memasuki rumahnya. Apa kata suami dan tetangga nanti? Hal menarik apa yang membuat laki-laki itu menjadi pilihan lebih baik daripada ibunya sendiri?
Putus asa, dibiarkannya Tasya menangis hingga puas. Itu lebih baik daripada meminta bertemu dengan orang yang bahkan ingin dia hindari.
Nadya menoleh saat Tasya kembali berteriak di antara tangisannya. Beberapa barang dia lempar, berserakan, nyaris memenuhi lantai.
“Mama Nakal! Mama Nakal!”
Nadya menarik napas dalam. Berusaha menghadirkan kesadaran penuh, karena itulah yang dibutuhkan dalam pengasuhan anak.
Tak bisa dipungkiri, ketika emosi orang tua tidak stabil, maka begitu pula yang terjadi pada anak di bawah tujuh tahun. Tapi, bagaimana bisa stabil, saat kelelahan dan tekanan mendera secara bersamaan? Nadya berharap, suaminya di rumah ... dia paling tahu cara membuat Tasya tenang.
Nadya menoleh. Dilihatnya bocah itu masih menangis. Saat kelelahan, sering kali hati menjadi lebih sensitif dari biasanya. Satu sisi hatinya merasa marah. Sisi hati yang lain, kasihan.
Namun, bukan ibu namanya kalau rasa kesal menahan hati untuk mengasihi. Tak tega melihat wajah sembab putrinya, Nadya mendekat.
“Dek, papa kan, kerja. Nggak bisa pulang sekarang.” Masih memegangi sebelah kepalanya, Nadya berusaha membuat Tasya mengerti.
Sialnya, bujukan demi bujukan tak juga membuat Tasya paham dan diam. Bocah itu masih menjawab dengan tangisan dan kalimat yang sama: “Mama Nakal!”
Penat dan bising, membuat Nadya merindukan istirahat. “Astaghfirullaah, terus maunya Tasya apa? Mama capek dengar kamu nangis! Mama pusing, Dek!” bentaknya, sekali lagi tersulut emosi.
Alih-alih diam, tangisnya justru kian histeris. Tak hanya melempar barang barang, kali ini dia bahkan berguling di lantai.
Nadya menjatuhkan dirinya di lantai. Dia tahu, saat anak Tantrum, sikap orang tua seharusnya memberi kesempatan. Tapi itu sudah terlalu lama. Nadya merasa kelelahan mendengar suara bising saat kondisi tubuh sedang tak baik-baik saja.
Pandangan Nadya tertuju ke meja, saat ponsel terdengar berdering. Mengabaikan pening di kepala, Nadya bangkit dan meraih ponsel itu.
“Ya, Mas?” jawabnya.
“Lagi apa, Sayang?” tanya suara di ujung sana, lembut seperti biasanya.
“Mama Nakal! Mama Nakal!”
Belum sempat Nadya menjawab, Tasya kembali berteriak memecah konsentrasi untuk menjawab pertanyaan di ujung sambungan telepon. Memancing Pramono untuk bertanya, “Tasya kenapa, Dek?”
Nadya terisak. Habis sabar, Nadya meluapkan semuanya pada laki-laki itu. Tentang keadaan, keletihan, juga Tasya.
“Maaf, Mas, aku capek. Tasya ngamuk terus dari tadi. Mas kapan pulang sih?”
Terdengar helaan napas dalam di ujung sambungan telepon. “Biar Mas yang ngomong sama Tasya.”
Nadya menyerahkan ponsel itu pada putrinya. Untunglah anak itu menurut. Ponsel diberikan dan bocah itu mulai tenang, menyimak suara di ujung sana.
“Mama nakal,” ucap Tasya singkat, sebelum kembali diam dengan wajah menunduk. Isak-isak pelan masih terdengar.
—
“Main sama papa,” ucapnya lagi.
—
“Nggak mau!” sahutnya dengan sedikit tekanan. Tangisnya nyaris pecah kembali sebelum reda entah dengan kalimat apa di ujung sana.
—
Detik berikutnya, setelah diam beberapa saat, dia kembali berucap, “Mama nakal! Tasya mau sama Uncle Ali,” ucapnya lagi.
—
Mendengar nama itu, gelisah mendadak menyerang hati Nadya. Tapi, itu belum seberapa dibanding ketakjuban melihat Tasya langsung tenang setelah bicara dengan sang ayah.
Seketika dia merasa seperti manusia bodoh yang kehilangan akal sampai tak terpikir menelepon suaminya.
***
Nadya meletakkan kepalanya di sandaran sofa cream tak jauh dari Tasya. Memijit kepala di tengah aktivitas memperhatikan bocah yang tengah asyik bermain lego, membentuknya menjadi hewan.
“Papa bilang, Uncle Ali mau ke sini, Ma,” ucap Tasya sambil lalu.
Nadya terkekeh. Bukan pada ucapan itu, tapi untuk pikiran yang mengira Pramono menggunakan kebohongan untuk menenangkan putrinya. Lalu menggeleng heran, karena hal sesederhana itu tak terpikirkan olehnya.
“Oya?” sahut Nadya, menarik bibirnya tipis. Mendengarkan apa pun celoteh Tasya, asal dia tenang. Asal dia senang.
Namun ... itu tadi, sebelum deru mesin mobil terdengar di halaman. Pandangan Nadya tertuju pada pintu utama rumah mereka, lalu berpaling psda Tasya yang memandangnya dengan tatapan tak mengerti.
Gelisah karena merasa kalimat putrinya mulai benar, Nadya bangkit. Dia melangkah ke jendela, untuk memsendirinya sendiri.
Itu bukan mobil Pramono. Lalu mobil siapa?
Nadya masih berdiri di tepi jendela menunggu seseorang yang mungkin akan keluar dari kendaraan itu.
Nadya membelalakkan mata. Dan, bagai guntur yang menggelegar, debar jantung Nadya mendadak gaduh. Tubuhnya memanas, mendapati yang keluar dari mobil itu adalah Ali.
Nadya menoleh pada Tasya di tengah ruangan. Dia segera ingat kata-kata Tasya belum lama tadi dan mulai membenarkannya. Seketika muncul pula prasangka bahwa suaminyalah yang melakukan ini.
‘Apa dia gila?’
Tapi, bagaimana Pramono cara menghubungi Ali?
Nadya menggeleng ketika menyadari kemungkinan itu sangat kecil. Kerutan di dahinya semakin dalam karena benaknya dipenuhi tanya, ada urusan apa Ali sampai datang? Sudah kehilangan akalkah dia sampai berani datang ke rumah perempuan bersuami?
Detik berikutnya, terdengar seseorang mengucap salam. Belum sampai pintu dibuka, Tasya sudah berteriak, “Uncle ... !”
Nadya menepuk jidat dan mengumpat dalam hati.
To be continue ...
“Halo, Al,” Pramono menyapa Ali yang kedapatan tengah duduk sendirian di jajaran kursi tamu yang hampir kosong. Sebagian besar tamu sudah meninggalkan acara, menyisakan beberapa orang saja. Ali menoleh. “Yo.” “Sendirian aja?” Pram kembali bertanya. Lalu menyusul duduk di samping Ali setelah meraih satu gelas teh hangat di meja tak jauh dari mereka. Ali mengangguk. Di tangannya ponsel masih menyala. Dan segera dia masukkan ke saku. Pramono yakin dia sempat melihat foto seorang bocah bergaun putih dengan rambut terikat, yang diambil dari arah samping. Sekilas, tampak mirip Tasya. “Thanks, tadi sudah membawa Tasya main.” Pramono meletakkan teh yang baru disesapnya ke atas meja, “tak menyangka, Tasya akan secepat itu akrab dengan orang asing.” Ali mengangguk samar. “Bukan masalah. Tasya anak penurut, walaupun sedikit keras kepala.” Ali menarik sebelah bibirnya. “Persis seseorang.” Pramono sempat menangkap ekspresi itu. Dan itu sedikit mengganggunya. Tepatnya, pada kalimat, ‘persis
Pintu terbuka. Hal pertama yang terlihat adalah sorot teduh di bawah topi hitam. Dahi lebar. Alis tebal. Hidung mancung. Bibir tipis lengkap dengan senyumnya yang meski samar, namun Nadya bisa melihatnya dengan jelas. Rahang tegas dengan jenggot tipis yang terarsir, menambah gagah sosok Ali yang Nadya kenal dulu. Menawan. Terutama kedua mata yang hampir selalu menyipit saat tersenyum, namun entah bagaimana bagi Nadya justru bagai lautan dalam yang siap menenggelamkan kapan saja. Nadya berdengap. Dia nyaris kehabisan napas setiap kali memandang wajah itu, dulu. Dan, bagaimana mungkin hal yang sama terjadi lagi sekarang? “Uncle ...” Tasya memanggil. Ali menoleh. Nadya tergagap. Panggilan Tasya seketika memecah keheningan di antara mereka. Nadya nyaris lupa ada Tasya di antara mereka. Tak butuh waktu lama untuk Tasya berada dalam gendongan Ali. Sebuah kecupan mendarat di pipinya, bocah itu tergelak akibat rasa geli. Ali kembali memandang Nadya dengan senyum samar. Seakan pertemuan
“Jadi, apa boleh kubawa Tasya?” Nadya berpaling. Jelas saja tidak. Dan Ali tahu itu. “Aku dibayar untuk menjaga anakmu, suka atau tidak suka.” Nadya mendengkus. Dia bangkit. Mengabaikan pening yang berdenyut setiap kali melangkah, Nadya berjalan memasuki kamar dan duduk di tepian ranjang dengan kedua tangan mengepal. Hatinya geram menerka apa yang sebenarnya Pramono pikirkan. Membiarkan laki-laki lain datang saat istri sendirian di rumah, apa dia sudah gila? Nadya meraih ponsel yang tergeletak di atas meja rias, dan mulai menggulirkan ibu jari mencari nama kontak orang yang belum lama meneleponnya tadi. Nada sambung mendengung berkali-kali. Pramono tak kunjung mengangkatnya. Hingga pada putaran ke enam, terdengar sapaan salam di ujung sana. “Assalamualaikum, ada apa, Sayang. Mas lag—“ Belum selesai Pramono mengucap, Nadya memotongnya, “Apa Mas gila?” ucapnya ketus. Gerahamnya beradu. Debar jantungnya berkejaran. Begitu marah sampai tubuhnya bergetar. “Dek, kenapa kok tiba-tiba
Nadya tersentak bangun saat antara sadar dan tidak dia merasa seseorang baru saja keluar dari kamarnya. Seiring kesadaran yang mulai terkumpul, pandangannya mengedar. Tak ada siapa pun di sana. Artinya, itu hanya perasaannya saja. Namun prasangka itu segera lenyap, tepat ketika pandangannya tertuju pada pintu kamar. Dia yakin benar, tidak betul-betul menutupnya tadi. Lalu, benarkah ada seseorang? Siapa? Mas Pram kah? Nadya bertanya-tanya. Tepat ketika menurunkan kakinya dari ranjang, Nadya menyadari sebuah selimut telah menutupinya. Kini dia yakin, seseorang memang baru keluar dari kamarnya. Nadya mengusap wajah. Dia merasa, hanya terlelap sebentar. ‘Jam berapa sekarang?’ Gelisah, Nadya melangkah turun. Cahaya berdenyar, memenuhi ruangan sesaat setelah ditekannya sakelar lampu. Wajah yang semula sedikit segar, seketika berubah pias begitu menoleh ke dinding. Waktu menunjukkan pukul setengah enam sore. Dua jam sudah dia tertidur. Dan itu jelas bukan waktu yang singkat. ‘Astaga,
“Asya mau ikut Uncle.” Ali mengulum senyum saat terlintas lagi bayangan Tasya yang merengek meminta ikut dengannya. Bagaimana bahagianya diinginkan seorang anak mendadak memenuhi hati, menagih rasa untuk juga memiliki. Bagaimana bisa dia jatuh cinta pada anak yang bukan darah dagingnya? Apa karena ada bagian dari Nadya di sana? Ali memarkirkan mobilnya. Tepat setelah dia melangkah keluar dan berbelok menuju, seorang wanita muncul di depannya. “Dari mana, Al?” Andini. Langkah Ali terhenti. Pandangannya memindai wanita itu sesaat sebelum mencoba melewatinya. “Aku menunggumu hampir satu jam.” Wanita itu menahan lengan Ali. Ali menghela membuang napas kasar. “Tak ada yang menyuruhmu menunggu, bukan?” “Ibu yang nyuruh,” sahut Roro dari arah pintu. “Bukan kebiasaanmu pulang terlambat. Dari mana kamu, Al?” “Ada urusan, Bu.” Ali menarik lengannya dari cekalan Andini dan melanjutkan langkah masuk. Namun, langkahnya kembali terhenti saat mendengar ibunya bertanya: “Jadi baby sitter Tas
Waktu menunjukkan pukul setengah lima sore dan belum ada tanda-tanda tamu undangan Nadya akan datang. Dilihatnya deretan makanan di meja yang sengaja dipesan delivery agar lebih praktis dan hemat waktu. Lagi pula, daripada jamuan, sepertinya, Nadya lebih butuh persiapan mental untuk menghadapi apa pun yang mungkin terjadi. Bersatunya dua hati, mungkin. Nadya menghela napas dalam sekali lagi. Serakah, barangkali itulah sebutan yang tepat ditujukan padanya, saat satu sisi hatinya tak rela dengan niat mengenalkan Ali pada Annisa. Tapi di sisi lain, dia tak ingin rumah tangganya berantakan hanya karena pikiran dan hati yang kini mulai memihak. Tak peduli kalau pun ada alat pengukur kadar cinta dan cintanya lebih besar pada Ali, fakta bahwa Pramono adalah suaminya dan di rumah tangga mereka ada Tasya yang harus dia prioritaskan dengan segenap kesadaran, tidak bisa diabaikan. Tok-tok! Suara ketukan seketika mengalihkan perhatian Nadya pada gadis kecil dengan lego di depannya. Ternyata Ta
Andai ada aku yang lain, aku pun tak rela menyerahkanmu pada yang lain. -Nadya Arfianti — Ali menenggak minuman bersoda di depannya seperti orang kehausan. Lalu meletakkannya kembali dengan sedikit tekanan. Annisa tersentak kaget, dan menatap bingung laki-laki itu dan Nadya bergantian. “Baiklah, ayo, Sa.” Ali bangkit. “Ya? K—kemana?” tanya gadis itu. “Kemana pun, mewujudkan keinginan kakakmu itu.” Ali menatap Nadya dingin bersamaan dengan tatapan bingung Annisa pada orang yang sama. Nadya mengangguk, isyarat agar Annisa setuju. “Uncle, Uncle, Asya ikut,” rengek bocah di sebelah Ali yang diam-diam menguping mereka. Ali memandang Tasya sesaat lalu menarik bibirnya samar. “Boleh.” Diraihnya bocah empat setengah tahun itu. Sebuah kecupan mesra mendarat di pipinya. Ali melangkah keluar membawa serta Tasya dalam dekapan. Nadya berpaling pada Annisa, menggenggam tangannya erat. “Gih, Sa. Tolong jaga Tasya.” “Tapi, Mbak ...” “Ali laki-laki baik. Kamu lihat sikapnya ke Tasya, ‘kan
“Siapa yang mengizinkan kamu melibatkan Annisa? Ha?” geramnya, “apa pilihanku melajang, membuat kamu rugi?” Sekali lagi pandangan mereka saling mengunci. Menyadari Ali begitu marah, Nadya berpaling. Namun, dia keliru jika mengira Ali akan membiarkannya begitu saja. Demi menahan perempuan itu tak berpaling, dengan tangan kanan Ali mencekal dagunya hingga buku jarinya memutih. “Aku tidak memaksa kamu menerimanya, bukan? Tidak sekali pun.” Ali mengatakan itu untuk dirinya sendiri. Berharap dengan begitu berhenti menyesal dan memulai hidup baru. Berharap dengan begitu dia pun sadar bahwa Nadya tak mungkin lagi dia miliki. “Bahkan ketika aku bisa saja membawa kamu lari, aku memilih membiarkan kamu menikah dengan Pram. Apa masalah kamu, ha?” Sekali lagi ... dia mengatakan itu pada dirinya sendiri. Pandangan mereka mengunci sekarang. Dengan hati kacau, Nadya berusaha mendorong laki-laki di depannya meski berakhir sia-sia karena Ali masih menahan dagu dan lengan kirinya. Nadya melangkah