Apa jadinya, jika cinta yang kau kira telah hilang terhapus waktu, tiba-tiba muncul kembali? Kau yakin sudah melupakannya, namun kenangan itu mengoyak ingatanmu kembali. Menjerembapkan dirimu dalam hasrat tak terbendung. Kau ingin menolaknya, tapi keinginanmu lebih besar untuk menerimanya. Itulah yang terjadi pada Nadya. Setelah berupaya menahan diri, pertahanan Nadya harus tumbang oleh ketidakmampuannya dalam menjaga hati. Nadya terjebak dalam cinta terlarang. Bagaimana akhir kisahnya? Bacalah.
View MoreSetelah menunggu hampir dua jam, waktu menunjukkan pukul tujuh malam saat akhirnya Nadya mendengar deru mesin mobil berhenti di halaman rumahnya.
Meski begitu ingin keluar lalu mengomel; atas sikap menyebalkan seseorang sore tadi. Juga atas keterlambatan yang seolah disengaja, Nadya memilih menahan diri sampai orang yang ditunggu masuk.
Namun, semenit ... dua menit ... tiga menit ... sampai entah pada menit ke berapa, tak juga terlihat tanda-tanda seseorang akan muncul.
Gusar, wanita itu bangkit. Dia melangkah cepat menembus pintu utama rumahnya, dan berhenti tepat di teras.
Pandangannya tertuju pada mobil yang terparkir di halaman. Seseorang di dalamnya masih duduk di jok kemudi dengan tubuh mencondong kiri. Pria itu menegak tak lama kemudian. Dua jarinya memijat kedua mata yang terpejam. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat.
Laki-laki itu membuka mata. Dan segera terpaku tepat ketika menyadari keberadaan perempuan yang berdiri di teras dengan kedua tangan terlipat di dada.
Pandangan mereka beradu. Seperti tengah tenggelam dalam lautan hati masing-masing, mereka menatap tajam satu sama lain. Nadya dengan kemarahan yang bergumul di dadanya. Dan Ali dengan kerinduannya yang mendalam. Seolah jaraknya mampu menenggelamkan siapa pun yang menyelam ke dalamnya.
Wanita di teras membuang muka. Dengan langkah panjang, Nadya berjalan mendekati mobil. Membuka kasar pintunya, lalu mengulurkan tangan, bermaksud meraih Tasya di jok kiri.
“Biar aku.” Belum sampai Nadya menarik putrinya, Ali lebih dulu mencekal lengannya. Pandangan mereka kembali beradu. Kali ini disertai sorot tak suka dari perempuan itu.
Nadya mencoba mengurainya. “Tidak!”
“Nadya!”
Tak mau kalah, Ali mencengkeram wanita itu lebih kuat. Lagi ... laki-laki itu menatap tajam. Tatapan yang hanya dalam beberapa detik saja dengan mudah menembus ke jantung perempuan itu dan membuatnya membeku seketika.
“Biar aku,” bisik Ali di antara geraham beradu. Perlahan dilepasnya lengan wanita itu.
Nadya tertawa skeptis. Tak ada pilihan kecuali menuruti laki-laki itu dengan mundur perlahan.
Dengan gerakan terlatih, Ali membopong bocah yang terlelap itu dan membawanya masuk dalam rumah mendahului Nadya.
Sementara Nadya memilih berbelok ke dapur.
Dengan napas memburu, diraihnya sebuah gelas. Serampangan menuang air dan menenggaknya hingga tandas. Hati yang awalnya diliputi kecemasan memikirkan ke mana putrinya, kini berganti kemarahan akibat sikap laki-laki itu.
Gigi gerahamnya bergemeletuk. Belum selesai Nadya mengatur napas, di belakangnya, Ali muncul tiba-tiba dan kembali mencekal kasar tangan kirinya. Pandangan mereka kembali menghunus satu sama lain. Nadya tahu, Ali sangat marah.
Ngilu, Nadya berusaha menarik lengannya. Namun, dia keliru jika mengira bisa lolos begitu saja. Cengkeraman Ali terlalu kuat hingga upaya melepaskan diri nyaris membuatnya terpelanting ke kiri.
Tak puas hanya dengan mencekal, kini Ali menarik wajah wanita itu demi mengunci kedua matanya. Dadanya naik turun dengan cepat. Rahangnya sekeras batu.
“Siapa yang mengizinkanmu melibatkan Annisa, ha?” geram Ali. “Apa pilihanku melajang, membuatmu rugi?” Pandangan mereka kembali mengunci.
Tak kuasa menerima tatapan itu, Nadya memejam. Namun, lagi-lagi dia keliru jika mengira Ali akan membiarkannya lolos lagi. Tangan kanannya terangkat, mencekal dagu Nadya lebih kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
Wanita itu kian tersudut. Dahinya mengernyit. Antara ketakutan dan kesakitan, keduanya terlihat jelas di wajah Nadya.
“Aku tak pernah memaksamu menerimanya, bukan? Tidak sekali pun!
Bahkan, ketika aku bisa saja membawa kau lari, aku memilih membiarkanmu menikah dengan Pram. Apa masalahmu, ha?” Ali terus maju.
Sebaliknya, Nadya semakin surut ke belakang. Kedua tangannya kembali berupaya mendorong laki-laki itu, namun sia-sia.
Ali baru berhenti ketika Nadya terimpit dan bersandar pada kabinet dapur. Butir-butir air mata yang menggantung di pelupuk matanya.
Tak lagi tajam, pandangan Ali Nadya meredup, saat menyadari titik-titik bening di kedua mata Nadya mulai menitik.
Ali mengurai cekalannya. Tak lagi dengan cengkeraman, kali ini dia menarik dagu Nadya dengan telunjuknya.
Dari jarak begitu dekat, dipandanginya setiap inci wajah ayu Nadya. Cahaya membias dari kedua mata yang mengembun. Kedua pipi merah yang menggambarkan paduan antara malu dan haru. Dan bibir basahnya yang entah bagaimana, membuatnya ingin mengecap lalu terhanyut ke dalam surga itu.
‘Astaga.’ Ali menjatuhkan kepalanya di pundak Nadya. Kedua tangannya bertumpu di kabin—mengapit Nadya di antaranya. Dalam-dalam laki-laki itu menarik napasnya, hingga aroma khas Nadya terhidu. Melenakan. Ali menikmatinya.
“Jangan paksa aku, Nadya ....” Ali berucap setelah beberapa menit berlalu dalam hening, “mencintaimu saja sudah cukup menguras energiku. Jangan melibatkan orang lain dan memaksa aku memelihara perasaannya juga.”
Ali menghela napas sekali lagi. Dalam waktu begitu singkat, harum tubuh perempuan itu menjelma bagai candu. Mendorong Ali untuk menghela lebih dalam, demi menghirup lebih banyak. Hingga wangi itu merasuk dalam ingatan dan terpatri kuat di sana.
Tubuh Nadya berguncang. Butir-butir bening kian deras luruh dari kedua matanya.
Nadya menggeleng lemah di antara isak tertahan. “Aku cuma punya satu tempat, Mas ....
Abaikan seberapa besar cintaku untuk dia. Faktanya tak ada tempat untuk laki-laki lain—sebagaimana laki-laki bisa menempatkan bahkan empat sekaligus,” kalimat Nadya terjeda isak.
“Mendapat cinta darimu, memang tak ada ruginya, tapi itu beban bagiku. Kamu melukai perasaanku yang selama ini berusaha kuat mengabaikan rasa ini—setelah semuanya kandas.
Kamu tahu?
Andai ada aku yang lain, aku pun tidak rela menyerahkan kamu pada yang lain.” Nadya kembali menggeleng tak berdaya.
“Jadi menurutmu aku harus bagaimana? Aku cuma mau kamu bangkit. Melupakan masa lalu kita dan menikah dengan wanita lebih baik ....
Lalu bahagia ....
Tak lebih.”
Nadya terisak-isak. Napasnya tersengal seakan beban berat baru saja ditimpakan ke atas dadanya. Membuatnya kepayahan membawa diri hingga terjerembap pada luka lama yang belum terobati.
Guncangan dari tubuh perempuan itu, memaksa Ali mengangkat wajahnya. Sungguh, tak ada manusia yang ingin melukai orang yang dikasihi untuk ke sekian kali, begitu pun Ali.
Laki-laki itu meraih helai rambut Nadya yang terlepas dari ikatan, lalu menyelipkannya di belakang telinga.
“Kalau begitu, tinggalkan Pramono, pergilah bersamaku!” ucap Ali lirih di antara wajah sayu yang kini hanya menyisakan jarak beberapa senti saja.
“Apa?” Nadya menatap nanar pria itu. Jelas itu pikiran yang gila. Bagaimana mungkin dia mengatakan itu sekarang, setelah selama ini? Nadya menggeleng putus asa. Lalu kembali menunduk dengan isak kian menyedihkan.
“Aku tak keberatan menerima Tasya, bahkan biaya hidupnya ....”
“Mas!” Nadya berseru lirih, “Bukan aku. Tapi Annisa. Dia perempuan yang baik.”
Ali mengabaikannya. Embusan napasnya terasa hangat menyentuh kulit wajah Nadya.
“Dia bukan Nadya.
Tak ada yang sama seperti Nadya.
Aku mau ... Nadya.” Ali meraih tangan kiri perempuan itu, mengecupnya lembut.
Oh ... lihat betapa mudahnya hati rapuh. Pertahanan Nadya pecah kembali. Dia tergugu di hadapan Ali untuk ke dua kalinya setelah enam tahun berlalu.
“Tega kamu, Mas. Tega sekali Mas mempermainkan perasaanku sampai sedalam ini!” ucapnya di sela tangis. Kedua tangannya terangkat menutupi wajah yang kacau. Lalu melingkar di pundak laki-laki itu ketika merasakan hangat pelukan merengkuh tubuhnya.
Ya, dialah.
Dialah wanita itu. Dialah raga yang selama ini ingin didekapnya dengan penuh cinta. Dengan penuh kasih.
Lembut, lancang Ali mengecup dahinya.
Kedua pipinya ....
Dan ... debar jantungnya kian memburu ketika pandangannya tertuju pada bibir basah itu. Jarak yang semula tersisa beberapa senti, kini hilang sepenuhnya. Ya, di sana. Ali menyesap penuh kerinduan. Begitu hangat. Begitu lembut. Begitu mesra.
Nadya bersandar lemah. Air matanya kembali berjejalan saat menyadari memang masih sedalam itu cintanya untuk Ali. Cinta lama yang kini dia biarkan masuk dan menjamah apa yang menjadi milik suaminya. Sesuatu yang seharusnya terjaga dengan baik, dia serahkan begitu saja pada laki-laki lain, atas nama cinta.
Cinta? Cinta seperti apa yang berani melanggar batasan?
To be continue ...
Usai makan malam, dan menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya termenung di ujung ruang tamu. Remote di pangkuan. Televisi menyala di ujung ruangan. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ada hal yang membuat dia enggan dengan mudah menerima kebaikan Pramono. Salah satunya, dosa yang dia perbuat. Nadya malu. Dia merasa tak tahu diri jika menerima kebaikan Pramono begitu saja, sementara tangannya telah begitu jahat mencabik hati laki-laki baik itu. Hal yang juga sekali lagi akhirnya Nadya sesali, adanya lebam biru di pipi Tasya yang ternyata akibat ulah Ratna, wanita yang selama ini menampakkan wajah lembutnya di hadapan Pramono, yang seolah sanggup menggantikan kedudukan istri mana pun. Nadya menunduk. ‘Ini semua salahku. Andai aku tak menanggapi Ali. Andai aku tak menyerahkan kehormatanku begitu saja ... mungkin ini semua tak akan terjadi. Dan jika ada yang pantas dihukum, maka itu adalah aku,’ bisik Nadya dalam hati. Dia menangis dalam diam. “Apa yang kau pikirkan?” Dari arah dapur,
“Mas baik-baik saja?” tanya Annisa pada Pramono tepat ketika membuka pintu kamar rawatnya. Setelah sempat melirik sebentar, alih-alih menanggapi, laki-laki itu justru berpaling dari gadis yang mendekat ke arahnya. “Jadi Nadya bersamanya, sekarang?” tanya Pramono tak terkejut. Annisa mengedikkan bahu, seolah ada jawaban, ‘Begitulah’ pada gerakan itu. “Hanya untuk minta maaf. Tak ada yang lain,” jawabnya datar. Sontak laki-laki di bed menoleh. Dahinya berkerut begitu saja. “Minta maaf? Untuk?” “Mbak Nadya merasa apa yang menimpa Ali—kalian adalah salahnya.” Laki-laki itu menatap skeptis, lalu terkekeh pada detik berikutnya. Ekspresi wajahnya berubah begitu getir. “Korban sesungguhnya bukan dia,” ucapnya di antara geraham beradu. “Bukan dia yang seharusnya mendapatkan permintaan maaf itu, kau tahu bukan?” “Mas, Nisa pikir bukan itu maksud Mbak Nadya.” “Lalu apa?” Annisa menelan ludah sebelum mulai bicara, “Dia hanya merasa Ali tak perlu mendapat pukulan itu.” Kerutan di dahi Pra
Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang
“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin
Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak
“Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments