Share

8. Jalang

Author: Bintu Ikhwani
last update Last Updated: 2022-03-07 01:50:46

Akan ada masa kita menyesal pada apa yang telah terjadi. Itulah sebab, pentingnya memikirkan dengan baik sebelum menentukan pilihan. Menghindari penjara berupa “andai-andai” yang tak mungkin terulang lagi.

Tepat pukul sebelas malamnya, kajian walimah selesai. Setelah seharian hatinya terguncang oleh pertemuan dengan Ali, Nadya memutuskan pulang. Dia beruntung karena Tasya biasanya akan rewel jika tidur bukan di rumahnya, dan kini dia memiliki alasan pulang.

“Nggak nginep aja, Nduk?” Dinar bertanya penuh harap.

“Maunya, Bu, tapi tahu kan, Tasya susah tidur di tempat asing.”

Dinar mengangguk. Meski firasatnya sebagai orang tua terlalu terasah untuk dibohongi setelah melihat mata sembab putrinya lagi sejak bertemu Ali. Dinar tahu itu. Tak hanya itu, dia juga sempat melihat Ali menyusul Nadya duduk di teras, beberapa jam lalu.

Dan memang di sanalah. Tepat di halaman rumah tak jauh dari rumah mertua Dinar, seorang lelaki tengah diam-diam memandang putrinya di balik gelapnya malam. Pemuda berhati lembut yang harus menyesali keterlambatannya memperjuangkan cinta dan berakhir dengan patah hati tak berujung.

Ali.

“Sedang apa, Nak?” tanya Bu Roro yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, mengejutkan putra sulungnya yang tengah menatap jauh.

Ali terenyak. Buru-buru dia berpaling dari sekumpulan orang yang tengah berpamitan di halaman rumah Minarti. Laki-laki itu menatap sekilas sang ibu, sebelum kembali berpaling ke arah lain.

“Cari angin, Bu,” jawabnya, “Ibu kenapa belum tidur?” Ali balik bertanya. Laki-laki itu bangkit, mendekati sang ibu yang kedapatan menoleh ke arah teras Minarti. Lalu mendorong pundaknya perlahan, memaksanya berbalik dan kembali masuk.

“Nadya, ‘kan?” tebak Roro akhirnya.

Ali tak langsung menjawab. Lalu berakhir dengan gelengan saat melihat sang ibu memandangnya dengan tatapan menuntut.

“Jangan bohong, kamu, Al. Ibu lihat kamu bawa anaknya siang tadi.”

Ali menghela napas dalam, “Apa nggak ada yang bisa Ali sembunyikan dari Ibu?” tanyanya putus asa seraya menjatuhkan diri di atas kursi. Tangan kirinya meraih bantal busa cream lalu menggunakannya sebagai bantalan kepala.

“Ali, mereka sudah bahagia,” jelas Roro sekali lagi, setelah entah sudah berapa kali.

“Ali tahu, Ibu.” Ali memejamkan mata.

“Lalu, kamu kapan?”

Tak ada jawaban. Setelahnya Ali memilih bungkam karena Roro akan mengungkit semua nama gadis yang pernah dia kenalkan dan tak satu pun dari mereka tertarik dia dekati.

Sebaliknya benaknya justru menerawang jauh pada perempuan berambut panjang tergerai itu. Perempuan yang dia sadari masih menyimpan cinta begitu dalam. Dan kini, dia mulai menyesal telah menolak membawanya lari kala itu.

***

Usai menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya melangkah menuju dapur karena mencium aroma kopi. Benar saja, Pramono tengah berdiri di tepian kabin kompor, dengan dua cangkir kopi di depannya. Satu yang pekat untuk dirinya sendiri dan satu lagi Nadya tahu betul untuk siapa.

“Belum ngantuk, Mas?” Nadya mendekat dan menarik satu kursi.

“Belum, Mas masih mau ngobrol banyak sama kamu.”

Nadya mengulum senyum. “Kalo gitu ke sofa aja yuk. Kita sambil nonton film.”

Nadya beranjak setelah meraih satu gelas dari meja dapur dan meletakkannya di meja ruang tengah. Dia kemudian melangkah ke kamar untuk mengganti pakaian dengan yang lebih nyaman.

Sebuah dress rayon dengan potongan dada berbentuk V dan elastic di belakangnya, menjadi pilihan Nadya kali ini. Itu gaun favorit Pramono karena menampakkan dengan sempurna lekuk tubuh Nadya.

Urung bangkit, Nadya menunduk saat tiba-tiba dadanya terasa nyeri. Desir-desir halus muncul seiring hadirnya wajah Ali yang tengah tersenyum, terlintas begitu saja dalam benak.

‘Astaga.’

Nadya memejam demi menyingkirkan bayangan itu. Pandangannya lalu tertuju pada parfum di meja. Meraih lalu meletakkannya kembali setelah menyemprotkannya ke tubuh. Lalu pada lipstik warna merah menyala dan mengulaskannya sedikit tebal ke bibir.

Rambut yang semula terikat, dia urai dan mengacaknya sedikit. Dengan frustrasi, setengahnya karena merasa usahanya menyingkirkan Ali dari benak tak membuahkan hasil, Nadya bangkit dan melangkah buru-buru keluar.

Di ruang tengah, Pramono sudah asyik dengan filmnya. Ruang tamu mendadak berubah seperti bioskop. Layar besar di depan sana memancarkan cahaya dari film yang sedang ditonton.

Nadya menggeleng saat melihat sekilas film apa yang tengah diputar. Horor adalah temanya. Tapi adegan di dalamnya justru memperlihatkan betapa dewasa film itu.

Setiba di sofa, Nadya menyusul duduk dengan kaki menyilang. Menampakkan paha bersihnya tanpa dia sadari. Kemudian meraih cangkir di meja dan mulai menyesap isinya sedikit.

Aroma kopi semakin menguat sesaat setelah cairan kental itu masuk ke kerongkongan. Nikmat. Nadya menyukainya.

“Udah baikkan?” Pramono memulai.

Pertanyaan dari suaminya justru membuat Nadya terenyak. Lalu memicing pada detik berikutnya. “Baikkan?”

Pramono mengangguk. “Mas lihat kamu pucat, Mas kira nggak enak badan.”

Menyadari kekhawatiran sang suami, Nadya tersenyum malu. “Cuma capek, Mas.” Dia bohong lagi.

Laki-laki di samping Nadya menoleh. Dipandanginya wajah sang istri lekat. Bias cahaya dari layar besar itu membuat kulit yang memang sudah bersih semakin berkilau. Salah satu alasan Pramono merasa begitu beruntung mendapatkan Nadya meski tahu mustahil Nadya tak memiliki penggemar kala itu.

Mengabaikan layar televisi di depan sana, Pramono mendekatkan wajah ke arah istrinya.

Nadya tahu betul gelagat itu. Nadya masih diam, sebelum—entah bagaimana bayangan Ali tiba-tiba menyelinap, lagi. Membuatnya memalingkan muka tanpa disadari.

Pramono tertegun sesaat. Sorot penuh tanya tampak jelas di matanya. Tangan kirinya meraih wajah Nadya, dan kembali mendekat. Nadya memejam.

Pramono mulai bergerilya. Nadya menggeliat setiap kali bibir tipis suaminya melekat di kulit.

Seperti dendam kesumat. Malam itu Pramono beringas melampiaskan semua hasrat yang terjeda.

***

Pramono mengenakan lagi pakaiannya. Sementara Nadya memilih berselimut membelakanginya. Sebuah kecupan melayang di pipi disusul pelukan dari belakang.

Nadya menghela napas dalam. Berharap sesak yang sejak tadi bersarang segera berlalu dari relungnya.

Perjumpaan dengan Ali menggelincirkan ingatan Nadya kembali pada kenangan lama, entah untuk kali berapa. Menjerembapkan dirinya ke dalam luka, yang baru disadari belum sembuh sepenuhnya. Hingga tanpa terasa air matanya mulai menitik. Kian deras seiring detik berlalu.

‘Aduhai ....  Aku bukan perempuan jalang. Tetapi bagaimana bisa ragaku melayani Pramono sedang benakku memikirkan Ali?’

Nadya terisak saat mengingat dirinya merasa menjadi penghianat ulung kehidupan indah dambaan setiap wanita.

“Kenapa, Dek?” Tiba-tiba Pramono bertanya. Nadya lupa soal isak yang biasanya membuat tubuh berguncang.

Tak ingin suaminya curiga, dihapusnya air mata cepat. “Nggak apa-apa, Mas, cuma ... capek,” jawabnya karena memang benar-benar lelah. Seharian, hatinya dirundung gelisah dan malamnya dia menjadi jalang di hadapan suami sendiri.

Pramono bangkit. Dia berjalan ke luar, lalu kembali dengan segelas air di tangan. “Minumlah,” ucapnya seraya mengulurkan air itu pada Nadya.

Nadya menerima gelas itu, lalu meneguk isinya hingga tandas.

Di depannya Pramono memandang dengan wajah dipenuhi rasa bersalah. “Maaf. Harusnya tadi kamu bilang kalau ...” ucapnya.

Merasa meminta hak di waktu yang tidak tepat, Nadya tahu, Pramono menyesal.

Perempuan itu menatap kedua mata teduh di hadapannya. Lalu seketika pandangannya kembali berembun. Lihat, meski hanya dalam benak, bagaimana bisa seseorang mengkhianati laki-laki sebaik dia?

Nadya menggeleng. “Maaf, Mas.”

“Maaf kenapa?” Pramono menyimak.

Tangannya membetulkan letak selimut Nadya, menutupi punggung yang terbuka. Lalu menyibak helaian rambut yang menutup sisi wajah ke belakang, melewati bahu.

Kali ini, Nadya menunduk. “Buat ... semuanya,” lanjutnya terdengar begitu berat.

Tak mengerti dengan sikap istrinya yang tak biasa, Pramono menatapnya lekat. “Kamu beneran hamil kali, Dek? Kita periksa besok, ya?”

Nadya kembali menggeleng. “Mas, ‘kan besok harus pergi,” cegahnya, “maaf, Insya Allah nggak apa-apa. Aku cuma capek aja kok.”

Pramono menghirup napas dalam, tanpa menoleh sedikit pun dari istrinya. “Ini ... bukan gara-gara ...” kalimatnya menggantung.

Laki-laki itu kemudian membuang pandang di antara helaan napas berat, “Lupakan. Tidur, yuk. Besok Mas harus berangkat pagi. Mana tenang kalau keadaan kamu begini?” ujarnya sambil mengusap pipi Nadya dengan ibu jari.

To be continue ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   136. Last Part Season 2

    Usai makan malam, dan menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya termenung di ujung ruang tamu. Remote di pangkuan. Televisi menyala di ujung ruangan. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ada hal yang membuat dia enggan dengan mudah menerima kebaikan Pramono. Salah satunya, dosa yang dia perbuat. Nadya malu. Dia merasa tak tahu diri jika menerima kebaikan Pramono begitu saja, sementara tangannya telah begitu jahat mencabik hati laki-laki baik itu. Hal yang juga sekali lagi akhirnya Nadya sesali, adanya lebam biru di pipi Tasya yang ternyata akibat ulah Ratna, wanita yang selama ini menampakkan wajah lembutnya di hadapan Pramono, yang seolah sanggup menggantikan kedudukan istri mana pun. Nadya menunduk. ‘Ini semua salahku. Andai aku tak menanggapi Ali. Andai aku tak menyerahkan kehormatanku begitu saja ... mungkin ini semua tak akan terjadi. Dan jika ada yang pantas dihukum, maka itu adalah aku,’ bisik Nadya dalam hati. Dia menangis dalam diam. “Apa yang kau pikirkan?” Dari arah dapur,

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   135. Mengubah Niat

    “Mas baik-baik saja?” tanya Annisa pada Pramono tepat ketika membuka pintu kamar rawatnya. Setelah sempat melirik sebentar, alih-alih menanggapi, laki-laki itu justru berpaling dari gadis yang mendekat ke arahnya. “Jadi Nadya bersamanya, sekarang?” tanya Pramono tak terkejut. Annisa mengedikkan bahu, seolah ada jawaban, ‘Begitulah’ pada gerakan itu. “Hanya untuk minta maaf. Tak ada yang lain,” jawabnya datar. Sontak laki-laki di bed menoleh. Dahinya berkerut begitu saja. “Minta maaf? Untuk?” “Mbak Nadya merasa apa yang menimpa Ali—kalian adalah salahnya.” Laki-laki itu menatap skeptis, lalu terkekeh pada detik berikutnya. Ekspresi wajahnya berubah begitu getir. “Korban sesungguhnya bukan dia,” ucapnya di antara geraham beradu. “Bukan dia yang seharusnya mendapatkan permintaan maaf itu, kau tahu bukan?” “Mas, Nisa pikir bukan itu maksud Mbak Nadya.” “Lalu apa?” Annisa menelan ludah sebelum mulai bicara, “Dia hanya merasa Ali tak perlu mendapat pukulan itu.” Kerutan di dahi Pra

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   134. Semakin Keruh

    Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   133. Persaingan Dua Lelaki

    “Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   132. Kedatangan Edwin

    Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   131. Perbincangan dengan Shofwa

    “Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status