Dinar akhirnya mengerti alasan terkuat Pramono membawa Tasya ke Bandung, alih-alih menitipkan gadis kecil itu kepada sang nenek, adalah untuk menutupi aib keluarga dari penilaian masyarakat—yang pasti akan tidak baik.Sudah menjadi rahasia umum bagaimana buruknya dampak dari komentar negatif bagi psikis anak-anak. Bagaimana perasaan tertolak akan menghadirkan kebencian dalam hati seorang anak kepada sang ibu, dan menodai rasa kasih di hatinya di kemudian hari.Bagaimana pun buruknya perbuatan Nadya, Pramono tak ingin putrinya sampai membenci sang ibu—lebih tepatnya—membenci putrinya sendiri, dewasa nanti. Dinar paham itu. Dan mulai menerima alasan menantunya. Itulah kenapa dia kini begitu rindu sang cucu. Dan andai tak cukup tahu diri, dia pun ingin Tasya tetap di rumah bersama sang ayah yang terlanjur dianggap seperti anak sendiri.Pramono, pemuda gagah yang datang dengan kerendahan hati menawarkan diri untuk menjadi suami dari sang putri. Oh ... andai waktu bisa diputar kembali, Di
Usai menidurkan Tasya, Ratna berencana menceritakan percakapannya dengan Dinar sore tadi kepada Pramono. Waktu menunjukkan pukul delapan malam saat Ratna keluar dari kamar Tasya dan melihat di ruang tamu Pramono sedang menelepon seseorang. Dengan wajah tampak begitu letih, sesekali tangannya menyugar rambut lalu memijit pelipisnya pelan. Perempuan itu mengendap mendekati sang suami dan berhenti setelah jarak hanya tersisa kurang dari dua meter. “Kau sudah panggil dia?” ... “Ya. Aku akan datang. Kau pastikan saja dia menungguku.” ... Dahi Ratna mengerut begitu saja. ‘Pastikan dia menunggu?’ Ratna bertanya-tanya. ‘Siapa yang menunggu?’ Perempuan itu melanjutkan langkah begitu yakin Pramono sudah mengakhiri teleponnya. “Siapa, Mas?” tanyanya. Seperti tak menyangka ada yang mendekat, Pramono tersentak kaget. Dia lantas meletakkan ponsel di meja dan menoleh. “Hana. Head editor di kantor.” Ratna memicing. “Malam-malam begini?” “Ya. Dia sempat telepon sore tadi, aku tak dengar.” Ra
“Pagi, Kak Nisa,” sapa Dewi ketika melihat Annisa membuka pintu kantor NAF dan menyelip masuk. “Pagi,” jawab Annisa. Namun, langkahnya kemudian terhenti di lobi saat pandangannya menangkap sebuah mobil mewah berhenti di halaman parkir. Sedetik setelahnya seorang wanita anggun melangkah keluar dan berdiri tak jauh dari pintu pengemudi. Annisa memicing. Itu Nadya. Tapi dia jelas tahu laki-laki yang mengantarnya bukan Pramono atau Ali. Dan mobil itu terlalu mewah untuk dikatakan sebagai sebuah angkutan umum. ‘Siapa laki-laki itu?’ Dahi Annisa mengernyit. Lalu dengan buru-buru melanjutkan langkahnya masuk. *** Di halaman parkir, Nadya keliru jika berharap laki-laki yang mengantarnya akan segera pergi. Setelah beberapa saat menunggu, dari jok kemudi, Edwin bahkan masih memandanginya, seakan ada sesuatu di wajah wanita itu yang sayang untuk dilewatkan. Terjebak dalam suasana canggung, Nadya berdeham pelan demi mengurai gugup. “Pergilah. Aku harus segera masuk,” ucapnya setengah berbis
“Bapak, editor yang kemarin saya beri tahu sudah menunggu di ruangan. Apa bapak jadi datang,” tanya Hana melalui sambungan telepon. “Tentu. Aku sudah berada di depan pintu ruanganku. Kau belum selesai bicara dengan Annisa?” Seketika terdengar derit kursi. Pramono menebak asistennya itu baru saja berdiri. “O—oh. Sa—saya akan segera kembali.” “Aku membayarmu bukan untuk mengobrol, Hana. Kerjakan tugasmu!” “B—baik.” Samar terdengar derap langkah di ujung sambungan telepon. Pramono memutus sambungan telepon. Dengan satu tangan terselip di saku, pandangannya kembali tertuju pada wanita bergaun biru yang duduk di seberang meja kerjanya. Beberapa kali wanita itu tampak mengedar pandang ke sekeliling ruangan, lalu berhenti pada jam di tangan. Beruntung Pramono sempat menyuruh orang untuk menurunkan semua foto dan nama di meja, dan wanita itu tak sempat melihat apa-apa atau rencananya akan kacau. Kemudian seperti telah menghitung waktu mundur, wanita itu tampak melihat jam di tangannya l
Pintu tertutup. Bahu yang semula tegak kini luruh seiring deraian air mata yang mengalir di pipi. Nadya merasa terluka entah akibat goresan yang mana. Dia bahkan mulai berpikir, kalau pun ada luka di hatinya saat ini, itu terjadi akibat ulahnya sendiri. Maka tak salah jika dia menerima semua itu. Bahkan ... jika dengan mudah Pramono menemukan yang baru, dia berhak melakukan itu. ‘Jadi kenapa aku harus kecewa?’ Dengan tangan gemetar, Nadya meraih buku dan hasil riset di meja Pramono. Kemudian dengan tubuh setengah terhuyung, perempuan itu melangkah keluar melewati beberapa orang yang memandangnya dengan tatapan tak mengerti, dan bisik-bisik yang tak bisa dia dengar. Nadya mengabaikannya. ‘Air mata sialan!’ umpatnya dalam hati. Satu tangan mengusap pipi dengan ujung jari, mencegah tetes demi tetes air mata itu mengalir lebih banyak. Brak! Buku dan file di tangan Nadya terjatuh. Tubuh perempuan itu terpental dua langkah ke belakang. Sorot matanya kosong, tertuju pada lantai. Nadya be
Hanya sebentar Ratna di kantor. Setelahnya dia pergi karena harus menjemput Tasya. Niat yang semula inisiatifnya sendiri. Namun berakhir harus disesali karena ternyata semua kebaikannya pada anak itu tak mampu membuat Pramono tahu bagaimana perjuangannya. Sekedar untuk berbaik hati menjaga ucapannya agar tak menyakiti. ‘Kenapa aku harus susah-susah di sini, jika itu tak mampu membuatmu melihat bagaimana perjuanganku? Aku bukan Baby Sitter. Aku istrimu. Aku ibu sambung anakmu, baik saat ini atau nanti.’ Ratna mengusap sudut matanya dengan ujung jari. Awalnya Ratna bukan orang yang perhitungan. Dia sempat mencintai Tasya seperti putrinya sendiri setiap kali harapan mendapat cinta dari Pramono akan terwujud. Tapi lihat .... Dengan gamblang, di hadapannya, Pramono bahkan mengakui cintanya pada Nadya tanpa sedikit pun berpikir kata-kata itu akan berarti apa di hati Ratna. Jika kau, apakah akan baik-baik saja? Adakah orang yang bisa benar-benar tulus tanpa pamrih? Harus kuapakan anak ini
Di rumah Pramono, Ratna memandang cukup lama bocah yang terlelap di kamarnya. Ada amarah yang menggumpal di dada, hingga panasnya terasa mampu membakar segala hal yang ada di hadapan. Belum lama tadi, setelah mengatakan pada Tasya ke mana sang ibu, anak itu menangis sejadinya. Begitu bising untuk benak yang sedang ingin menenangkan diri dari kekacauan yang dirasakan. Ratna berada pada titik terendah kesabaran. Geram, didorongnya bocah merengek itu hingga tersungkur di lantai, setelah sebelumnya membentur kaki meja. Bukan hanya tangisan yang kian menjadi. Bahkan kini pipi tembam itu berubah lebam kebiruan. Inilah yang orang katakan, wanita bisa menanggung beban hidup apa pun, tapi tidak dengan luka yang suami torehkan. Ratna menderita oleh luka yang lebih menyakitkan dari saat sebelum dia memutuskan menikah dengan kakak angkatnya. Bukan manusia jika tidak berharap lebih. Ratna lupa pada niat awalnya menikahi Pramono. ‘Aku mencintainya. Untuk itu kau tahu alasanku, bukan?’ ‘Aku men
“Apa setampan itu?” “Ya. Kau puas?” Nadya mendelik. Semu merah di kedua pipi. Suara tawa kembali terdengar. “Mereka adikku,” ucap Edwin sambil menunjuk satu bingkai di sebelahnya. Di sana tiga orang terlihat dalam satu bingkai, satu di antaranya Edwin. “Dua-duanya?” “Ya. Satu dari mereka tinggal di Malaysia meneruskan bisnis ayah. Yang lagi yang perempuan di Jerman, kuliah dan bekerja di sana.” “Kalian keluarga sempurna.” Edwin tersenyum samar. “Tidak sesempurna kelihatannya. Ibuku sering kali harus kesepian saat ayah tak di rumah. Aku yang paling sering kena marah,” sanggahnya lalu terkekeh pelan. “Kepedihan yang akhirnya kurindukan.” Meski berusaha melukis senyum, tapi kedua alis itu adalah bukti perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Nadya bisa melihat itu. “Jika definisi sempurna yang kau maksud adalah harta dan pencapaian yang ada pada kami, maka kau salah besar, Nadya. Sempurnanya sebuah keluarga adalah saat dua manusia yang membina bisa saling mengisi kekosongan peran