Pagi ini Hayu sedang bersiap, apapun masalah yang sedang dihadapinya saat ini, dia harus mengesampingkannya, dia butuh uang untuk hidup, dan juga dia harus bangkit dari keterpurukkannya.
Dia tidak mau larut dalam kesedihan, Bisma bukanlah lelaki yang pantas untuk dia tangisi. Lebih baik dia menangisi dosa-dosa yang dia perbuat tiap hari, daripada menangisi lelaki tak tahu diri itu.Hayu turun dari kamarnya, dia tertegun saat melihat Candra yang sudah duduk di ruang makan bersama ibunya.‘Gercep juga Pak Candra, pandai mengambil situasi yang sedang terjadi saat ini.’“Selamat Pagi, Hayu. Kamu pasti lupa kalau pagi ini kita ada memeting klien di hotel Straw.”Hayu menepuk keningnya, dia melupakan hal itu, pantas saja bosnya sudah sidak sepagi ini, dia merasa bersalah karena tadi sempat berpikir bahwa Candra datang hanya untuk memanfaatkan situasi saat ini, nyatanya pemikirannya itu salah.“Selamat Pagi, Pak. Maaf, Pak , saya benar-benar lupa, tapi berkas-Candra sempat melongo menerima perlakuan Hayu barusan, tubuhnya membeku.“Are you currently seducing me?”Hayu terkekeh, bagaimana mungkin candra melontarkan kalimat yang menurutnya terlalu berani itu.“Saya mana berani, Pak. Saya masih ngeri dan trauma, takut, Pak. Kita beda kasta, Pak.”Hayu melanjutkan menyuapi atasannya dan juga dirinya, hingga roti di kotak makan itu habis, tepat saat mereka sampai dilobi hotel. Hayu memicingkan matanya, meyakinkan apa yang dilihatnya saat ini, dia bahkan mengabaikan panggilan Candra, saking terlalu fokus dengan apa yang dilihatnya.“Hayu, Yu, “ panggil Candra, dia bahkan menepuk bahu Hayu karena kesal, perempuan di sampingnya itu melamun, entah apa yang dia lamunkan.Hayu terjengit kaget, dia tergagap. “A-a-pa, Pak. Maaf, saya tidak mendengar panggilan pak Candra. Bisa diulangi lagi perintahnya.”“Kamu seperti habis melihat hantu, Hayu, kamu melihat apa, saya jadi kepo, deh.”“Nanti juga Bapak tahu, ayo
Pak Adibrata segera meninggalkan Hayu dan Candra. Dia tidak mau mami Jelita ngambek dan marah padanya karena sibuk dengan Candra dan Hayu. “Hayu, sekarang aku tanya padamu, apa kamu yakin tidak mau bercerita apapun denganku? makin ke sini, aku makin mengerti dengan pola pikir mereka yang menurutku nol adab itu.” “Untuk apa saya menceritakan aib saya sendiri, Pak. Bukankah seharusnya saya menutup aib saya sebaik-baiknya dan serapat-rapatnya. Bahkan di dalam agama kita saja, kita dilarang mengumbar aib sendiri.” Candra memutar bola matanya malas. Apa yang diucapkan Hayu memang benar, tapi niatnya hanya ingin membantu gadis itu agar dia tak terlalu sedih. “Apa kamu masih ingat tawaran saya. Apa kamu tidak ingin memberi pelajaran pada mereka agar tahu rasanya seperti apa direndahkan orang lain? Tawaranku masih berlaku, aku juga bisa membantu kamu mewujudkan apa yang kamu inginkan.” Candra menaik-turunkan alisnya menggoda Hayu, kali ini dia sungguh tulus membantunya,
“Candra!”Dia menoleh, suara itu adalah suara mamanya. Segera candra berdiri dan menyongsongnya.“Ma, kok, tumben Mama ada di sini, ayo makan siang bersama kami,” ajak Candra pada mamanya. Hayu pun berdiri menyalami Mama Candra, Selamat Siang, Bu.”“Siang Hayu, silakan duduk, maaf, Ibu mengganggu kalian berdua. Tadi Ibu habis bertemu dengan teman Ibu di sini, tak sengaja melihat kalian, ya sudah, Ibu hampiri saja kalian. Ibu tidak mengganggu kalian, kan?” tanyanya menggoda putra dan sekretarisnya.“Ma, nggak usah aneh-aneh, Candra sedang berjuang, tapi belum tahu hasilnya.”Hayu yang mendengar itu pun menunduk dalam, telinganya memanas, mungkin sekarang wajahnya sudah merona, mendengar perkataan bosnya yang cerewet itu.“Jangan menggodanya Candra, Hayu malu, kamu mau sekretarismu yang cantik ini kabur, kembali ke mantan kekasihnya itu.”Hayu berdeham, bisa-bisanya mereka berdua membahas dirinya secara terang-terangan.“Hayu, Ibu tidak s
Hayu dan Candra kembali ke kantor. Candra sudah terlebih dulu masuk ruangannya, sedang Hayu masih harus mondar-mandir mengurusi segala hal yang akan mereka butuhkan untuk proyek mereka selanjutnya. Dengan langkah cepat Hayu menuju ruangan Bosnya. Hayu mengetuk pintu, melangkah masuk ke ruangan Candra, heelsnya menggema di ruangan Candra, membuat Candra yang sibuk menatap layar komputernya mendongak menatap Hayu. “Bagaimana semua, beres?” Hayu mengangguk, menyerahkan setumpuk berkas pada sang atasan. “Kerja bagus, aku tahu kamu bisa diandalkan. Langkah selanjutnya, aku sudah mengirimkan surel padamu, jadi sekarang, kamu bisa cek surel kamu, kita pikirkan strategi apalagi yang akan kita lakukan, semakin cepat semakin baik, apalagi sekarang Bisma yang menjabat sebagai CEO, papinya sedang terjerat panah asmara hingga membuatnya lupa diri, itu artinya kesempatan kita kali ini akan lebih besar.” Hayu mengangguk-angguk mengerti, dia bukannya balas dendam dengan mantan k
“Ndra,” panggil Hayu dengan suara seraknya. Suara khas bangun tidur. Candra menoleh, menatap hayu dan menulis senyum.“Hm, sudah bangun?”Hayu mengangguk, “Ini dimana? Masih lama ya, kenapa belum sampai, apa kita terjebak macet?”Candra mengangguk, rasanya adem, mendengar Hayu memanggil namanya tanpa embel-embel bapak. Ingin rasanya dia merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya.“Tidurlah lagi, kalau kamu masih mengantuk, sepertinya ini akan lama, sebaiknya kamu telepon Ibu dulu, kasihan beliau pasti khawatir.”Hayu mengangguk, dia menuruti perintah atasannya itu, segera mengambil ponselnya dan menelepon ibunya. Mengatakan padanya untuk tidak menunggu Hayu, karena Hayu dalam perjalanan pulang ke rumah dalam keadaan jalanan yang macet parah.Hayu melirik jam di tangannya, hampir pukul sepuluh malam, berati perjalanan mereka kali ini benar-benar lama sekali. “Ndra, apa kamu lelah, ini ada apa sebenarnya kenapa, tumben macet sampai sepanjang ini, apa ada pe
“Ndra, please listen to me!”Candra mendudukkan kembali tubuhnya di kursi pengemudi, dia diam dan mulai menghidupkan mesin mobilnya. Mengabaikan Bisma yang masih saja menggedor-gedor kaca mobil Hayu. Dengan kecepatan penuh, Candra melajukan kendaraannya meninggalkan cafe tersebut, dia baru memelankan laju kendaraannya setelah agak lumayan jauh dari cafe.“Maaf, Ndra, kamu harus terlibat hubungan toxic ini.”“Kenapa baru sadar, setelah sekian tahun kalian bersama,” ucapnya kesal.“Kenapa kamu jadi emosi, jangan menyulut emosiku, Ndra. Aku masih slow, lho, ini. Kamu tahu, rasanya jatuh cinta bukan? Jatuh cinta itu bikin orang bodoh.”“I know, makanya aku nggak mau jatuh cinta, aku maunya menikah dulu baru jatuh cinta, biar enggak bodoh-bodoh amat, aku nggak mau ditinggalkan,” ujar Candra tanpa menoleh sedikit pun ke arah Hayu.“Ndra, sepertinya aku akan mengabulkan kabar yang beredar di luaran sana, jadi kamu bersiap-siaplah aku akan memanfaatkan kamu se
Hayu dan Candra saling melempar tatapan, bagaimana mungkin, wanita itu sekarang ada di depan rumahnya, entah apa maunya kali ini, apa masih belum puas dia merendahkan Hayu. Baru saja Hayu senang karena ibunya bahagia dengan adanya Candra di antara mereka berdua, tapi pagi ini, dia harus menghadapi biang masalah yang mau tak mau, dia harus meladeninya, dia tidak mau ibunya sampai bersedih lagi. Hayu menghampirinya, “Ada apa Mbak Jelita kemari, kita tidak memiliki urusan apapun, bukan? Kalau ada yang perlu dibicarakan lebih baik kita ke tempat lain, atau mau di kantor juga boleh, di sana ada kafetaria.” Jelita mengangguk, dia segera masuk ke dalam mobilnya, meninggalkan rumah Hayu. Hayu sedikit agak lega karena Jelita mau menuruti kemauannya. Dia menghampiri ibunya dan mengajak Candra berangkat. Ibu Hayu tak bertanya apapun, dia seolah—olah acuh tak acuh, meski di dalam benaknya banyak tanya yang ingin dia tanyakan pada putrinya. Hayu masuk ke dalam mobil Candra, dia d
Jelita membuka pesan yang dikirimkan Candra padanya.[Aku peringatkan padamu! Jangan usik Hayu! Jika tidak, kamu akan berurusan denganku, sebaiknya kamu jaga kekasihmu itu agar tak menemuinya! Katakan padanya untuk menjadi pria sejati, bukan seorang pecundang.]Jelita menghela nafasnya, dia tak suka dengan pesan yang dikirimkan Candra padanya, pesan yang mengatakan bahwa dia akan berhadapan dengan sahabatnya yang dulu begitu memujanya itu. Pertemanan mereka yang sudah terjalin bertahun-tahun, akhirnya menjadi terpecah belah hanya karena perempuan. Perempuan yang sama, yang hanya seorang sekretaris, dan bukan dari kalangan mereka, yang hanya orang biasa saja.Jelita tertawa miris, menertawakan dirinya yang tampak menyedihkan, kalah dengan perempuan yang bukan selevel dengannya.Jelita keluar dari kafetaria, tujuan utamanya adakah ke kantor Bisma, dia ingin tahu apa yang dilakukan calon suaminya itu di kantor, kenapa akhir-akhir ini dia mendengar selentingan yang t