Cafe sudah benar-benar tutup. Sekarang aku seperti orang bodoh yang menunggu ketidakpastian. Ada yang nyeri di dalam sini. Beginikah rasanya sakit hati? Apa aku ... benar-benar jatuh cinta pada Rafael?
Inilah sebabnya kenapa aku sangat takut untuk mengikat hati dengan lelaki. Aku takut patah hati. Rasanya menyesakkan. Sungguh menyakitkan.
Bulir hangat tiba-tiba saja mengalir dari pelupuk mata. Ah, akhirnya aku menangis karena hal yang paling kutakuti. Aku sungguh benci ini. Aku benci diriku yang lemah ini. Seharusnya aku tidak terlalu berharap Rafael untuk datang.
"Lo jahat, Raf! Gue benci sama lo!" teriakku seperti orang tak waras. Tidak ada siapa-siapa di sini. Suasana sudah sepi. Namun aku masih saja duduk di depan cafe seperti orang tolol.
"Jangan benci gue, Tan. Ntar gue nangis."
Aku mendongak. Melihat sosoknya, ada macam-macam rasa di dalam sini. Bahagia, kesal, kecewa. Ah,
[Toko lagi rame. Gue nggak bisa keluar sekarang.]Aku mengembuskan napas setelah membalas pesan Rafael. Berbohong sedikit tak apalah dari pada nanti dia bertanya macam-macam.Aku kembali bermain bersama Chika. Anak ini sungguh aktif. Dia tak henti-hentinya mengajakku bermain. Meski hanya bermain boneka, tapi bibirku sampai dower karena terus berbicara menjadi dubber si boneka."Tante, aku lapar."Aku menghela napas lega. Akhirnya bocah ini berhenti mengajakku bermain juga. Tak lama setelah dia mengeluh lapar, seorang petugas rumah sakit datang membawakan makanan.Aku menyuapi bocah itu dengan telaten. Sepertinya keadaan anak Ammar ini sudah membaik. Nafsu makannya bagus. Cuma, ya, memang harus benar-benar telaten. Menyuapi sambil mengajaknya bermain. Mungkin begini nanti masa depanku saat aku dan Rafael sudah memiliki anak.Hais, Mayang! Pikiranmu kenapa maki
Jantungku sudah berdebar tak menentu. Inikah akhir dari hidupku? Aku meronta, mencoba melepaskan diri dari orang yang kini membekapku. "Ssstt! Ini aku, Ammar," bisiknya. Aku merasa lega luar biasa. Di saat seperti ini, pertolongan datang tepat waktu. Ammar membawaku bersembunyi di balik pohon besar. Keadaan gelap sepertinya akan sangat memberi keuntungan pada kami. Para perampok itu kemungkinan tidak akan bisa melihat kami di sini. "Sepertinya dah kabur. Ayo kita sikat aja duitnya," celetuk salah seorang rampok. Aku bahkan tidak berani bernapas sekarang. Jika mereka menemukan kami, entah apa yang akan terjadi. Lalu saat suara mereka tidak ada lagi, aku baru sadar jika tangan Ammar masih berada di mulutku. Aku menepuk-nepuk tangannya hingga dia tersadar. "Eh, maaf," ucapnya. Kami berdiri. Ammar keluar dari persembunyian. Aku memegangi ujung kemejan
Kulihat Rafael meletakkan sendoknya ke piring, lalu menatap ke depan dengan sorot mata kesal. Aku jadi ngeri melihat tatapannya itu."Bisa datang ke rumahku? Chika sejak tadi mencarimu. Maaf jika ini terlalu pagi. Tapi dia sepertinya sudah nggak sabar bertemu denganmu."Aku memejamkan mata. Kugigit bibir bawah sebab bimbang melanda. Aku harus menjawab apa?Kulirik lagi Rafael yang ada di sana. Astaga! Kini dia menatapku lagi. Tatapannya tajam menghunjam. Sungguh menakutkan.Dia mengajakku keluar bersama hari ini. Mana mungkin aku bisa mengabaikannya dan memilih pergi ke rumah Ammar? Tapi bagaimana dengan Chika?"Duh, gimana, ya, Mar? Aku kayaknya nggak bisa ke sana hari ini. Aku masih ada urusan penting. Gimana kalau besok aja?"Ammar terdiam cukup lama."Halo, Ammar?" Aku memanggilnya."Begitu, ya? Ya sudah, nggak pa
"Gimana, Pa?" Mama menarik ujung lengan kemeja Papa. Beliau pun sama paniknya dengan aku."Sepertinya kita harus menghubungi Ibu Rafael. Dia juga berhak tahu.""Tapi, Pa. Beliau punya riwayat penyakit jantung. Apa nggak bahaya nanti kalau memberitahu saat keadaan Rafael seperti ini?" Mama berpendapat. Mendengar jawaban Mama, Papa pun terlihat kebingungan."Mayang? Apa yang terjadi?"Aku menoleh. Ammar? Sedang apa dia di sini?"Suamiku kecelakaan. Sekarang kondisinya kritis. Dia membutuhkan donor darah golongan AB. Nggak ada stok sama sekali di sini," jelasku dengan susah payah. Tenggorokan rasanya sakit."AB? Kebetulan sekali. Aku bersedia mendonorkan darah untuk suamimu. Golongan darahku juga AB."Bagai menemukan oase di padang tandus, aku merasa lega luar biasa. Seakan beban yang mengimpit sejak tadi terangkat begitu saja.
Aku memeluk Rafael erat. Menumpahkan segala rasa rindu yang membuncah semenjak dia sakit.Rafael mengurai pelukan. Kini kami saling menatap lekat."Saya nggak tahu apa yang kamu bilang itu benar atau enggak. Jadi, selama ingatan saya belum pulih, sebaiknya kita nggak melakukan hubungan suami istri dulu.Hah? Aku sungguh ingin tertawa kencang sekarang. Apa dia pikir saat ini aku berharap melakukan itu dengannya?"Heh, bocah! Dari dulu justru gue yang suka ngomong begitu. Lagak lu sok bijak banget sekarang. Bikin empet tahu nggak!" balasku ketus. Namun hati rasanya sungguh sakit. Kenapa ini semua harus terjadi padanya di saat aku sudah memiliki keberanian untuk membuka hati?Wajah Rafael tampak heran."Tidur sana lo! Kalau nggak mau tidur di ranjang, tidur aja di sofa!" Aku berlalu ke kamar mandi lagi. Seperti kemarin, aku ingin menumpahkan tangis di sana.
Sejak tadi Rafael terus menatapku yang berada di belakang meja kasir. Di depannya kusuguhkan sepiring bronis. Bukannya dimakan, dia hanya bertopang dagu dengan mata tak lepas dariku. Aku jadi salah tingkah sendiri."Itu dimakan bronisnya. Enak tahu buatan gue," ucapku untuk mengalihkan perhatiannya."Enakan juga mandangin elu, Tan," jawabnya sambil senyum-senyum. Kalau begini terus, yang ada aku bisa makin salah tingkah."Kita pulang aja, ya. Lo masih butuh banyak istirahat." Aku menarik tangannya. Dia menurut seperti anak kecil."Kenapa ngajakin pulang? Mau malam pertamaan sekarang, ya?"Aku sontak melepaskan tangannya. "Mana ada? Ya udah, kita balik ke toko lagi aja." Aku sudah berniat masuk lagi. Tapi Rafael menahan."Bercanda, kok. Kita ke taman aja, ya." Dia menggandeng tanganku. Jujur aku masih trauma pergi ke tempat itu. Di sana Rafael mengalami
"Ya udah, kita tidur aja. Nggak usah mikirin Talita lagi. Toh sekarang Ibunya juga udah sembuh." Aku mengajak Rafael untuk berbaring. Dia merengkuh tubuhku seakan-akan aku ini tidak boleh jauh darinya. "Tan, kita nggak malam pertama lagi?" Aku tertawa. "Perasaan tadi siang udah, deh. Masa namanya masih malam pertama?" Dia mengeratkan pelukan di perutku. "Ya masihlah. Tadi, kan, siang. Malamnya belum. Jadi ini masih malam pertama." Oh, astaga! Dia benar-benar pintar memainkan kata-kata. "Gue ngantuk, Raf. Besok aja, ya." "Elah, Tan, pelit amat. Ya udah, deh. Gue tidur aja." Pelukannya terlepas. Rafael merubah posisinya. Kini dia membelakangiku. Eh, dia ngambek? Aku mendekat. Kuciumi tengkuk lehernya hingga dia berbalik lagi. Lalu seperti tadi siang, kami kembali melakukan malam pertama, kata Rafael. Das
Saat laki-laki itu mulai mencekal tanganku, kucoba untuk menendang senjatanya. Dia memekik. Wajahnya berubah merah. Sepertinya sangat kesakitan. Rasakan!"Kurangajar!" Masih dengan wajah menahan sakit, laki-laki itu mencoba bangkit. Aku melangkah mundur. Mataku menatap berkeliling, mencari apa saja yang mungkin bisa kugunakan untuk menghentikan laki-laki buas ini.Di sana ada vas bunga. Perlahan aku berjalan miring menuju meja. Tanganku menyambar cepat benda yang terbuat dari kaca itu. Saat kulayangkan tanganku padanya, tanganku justru ditangkap. Sial!Tawanya menggelegar seolah telah menang. Tidak sampai di situ, dia merebut vas bunga dari tanganku. Tanpa aba-aba, vas itu sudah melayang di pelipisku. Badanku terhuyung. Rasanya sakit sekali. Perlahan ada yang terasa hangat mengalir di pipi.Ini darah!Dengan mata yang mulai mengabur, dapat kulihat laki-laki itu menatapku makin bu