Saat laki-laki itu mulai mencekal tanganku, kucoba untuk menendang senjatanya. Dia memekik. Wajahnya berubah merah. Sepertinya sangat kesakitan. Rasakan!
"Kurangajar!" Masih dengan wajah menahan sakit, laki-laki itu mencoba bangkit. Aku melangkah mundur. Mataku menatap berkeliling, mencari apa saja yang mungkin bisa kugunakan untuk menghentikan laki-laki buas ini.
Di sana ada vas bunga. Perlahan aku berjalan miring menuju meja. Tanganku menyambar cepat benda yang terbuat dari kaca itu. Saat kulayangkan tanganku padanya, tanganku justru ditangkap. Sial!
Tawanya menggelegar seolah telah menang. Tidak sampai di situ, dia merebut vas bunga dari tanganku. Tanpa aba-aba, vas itu sudah melayang di pelipisku. Badanku terhuyung. Rasanya sakit sekali. Perlahan ada yang terasa hangat mengalir di pipi.
Ini darah!
Dengan mata yang mulai mengabur, dapat kulihat laki-laki itu menatapku makin bu
"Kita ke rumah sakit saja, ya?" tawarku."Enggak usah, Tan. Tolong ambilin obat gue di laci nakas. Kayaknya masih ada."Dengan gerak cepat, aku membuka laci nakas. Obatnya dari rumah sakit masih banyak. Apa dia tidak meminumnya?"Obat lo masih banyak ini, Raf. Nggak lo minum emang?" Aku duduk di tepi ranjang setelah membawa obat dan mengambil gelas berisi air putih dari atas nakas.Rafael bangkit sambil memegangi kepalanya. "Setelah ingatan gue pulih, obatnya nggak gue minum lagi."Aku mendengkus kesal. "Dasar ceroboh! Udah makan belum tadi?""Makan roti di toko tadi.""Gue ambilin nasi, ya?"Dia menggeleng lagi. "Gue mau minum obatnya aja."Dia mengambil obat dan gelas dari tanganku. Lalu berbaring lagi setelah obat berhasil dia telan. Ternyata mau bagaimanapun, dia tetap saja bocah yang bandel.
"Fir, saya ada urusan sebentar. Tolong handel toko lagi," ucapku pada Fira. Dia mengangkat jempolnya sebagai tanda setuju.Gegas aku menuju ke mobil. Pikiranku mendadak cemas mendengar suara Talita ada di sana. Aku takut jika dia mempengaruhi Rafael lagi.Mobil kupacu dengan kecepatan tinggi. Sebelah tanganku mencoba menghubungi Rafael kembali. Namun tidak ada jawaban. Pikiranku makin kalut. Apa yang dilakukan wanita binal itu sebenarnya?**Langkahku cepat melangkah ke dalam toko tempat Rafael bekerja. Mataku menatap berkeliling. Mengamati satu persatu manusia yang ada di sana. Namun tak ada penampakan Rafael. Ke mana dia?"Mbak istrinya Rafael, kan?" Aku menoleh. Teman Rafael rupanya yang bertanya."Iya. Rafael di mana, ya?""Tadi ada perempuan datang ke sini, Mbak. Dia memaksa bertemu sama Rafael. Padahal si Rafael lagi di toilet. Tapi
POV RAFAELMenikah dengan perempuan yang usianya jauh diatasku sama sekali tak pernah terlintas dalam pikiran. Terlebih lagi aku memiliki kekasih yang sepantaran denganku. Hanya saja sekarang semua sudah berakhir di antara kami. Dia ternyata ... seorang wanita malam.Istriku saat ini memang jauh lebih tua, tapi pemikirannya masih manja seperti anak kecil. Dia masih sangat perlu untuk dibimbing. Bukan hanya sifatnya, badannya juga kecil. Sangat nyaman untuk dipeluk. Ah, aku suka itu.Semakin hari, rasa cintaku semakin besar padanya. Sampai-sampai, saat tengah bekerja pun kusempatkan untuk menghubunginya. Namun saat kami melakukan panggilan video, mantan kekasihku datang."Ngapain lo ke sini?" tanyaku ketus. Muak sekali melihat wajahnya yang sok polos."Gue minta maaf, Raf. Tapi please! Buat kali ini tolongin nyokap gue." Talita menangkupkan kedua tangan di depan dada. Dia memohon
Aku hampir gila karena mencari Mayang. Sampai saat ini belum ada titik terang darinya. Sebagai seorang suami, aku merasa tidak becus. Apa dia sudah makan sekarang? Apa dia mengingatku sekarang? "El, polisi sudah bergerak. Kita tunggu saja kabar baik dari mereka." Papa menepuk pundakku. Memberikan informasi yang sama sekali tidak bisa membuatku tenang. "Aku nggak bisa diam saja di sini, Pa. Aku akan mencari Mayang lagi." "Seenggaknya kamu makan dulu, El. Sejak semalam kamu belum makan. Nanti kamu bisa sakit kalau terus memforsir diri." Aku mengangguk pelan. Papa merangkul bahuku menuju ke dalam rumah. Di ruang makan, Mama mertua tengah menyiapkan sarapan. Wajah beliau tampak sembab. Sepertinya beliau menangis semalaman. Jelas saja. Beliau ibunya. Jika terjadi sesuatu pada Mayang, beliaulah yang paling hancur. Mama mengangkat wajah menatapku. Senyum
Mataku mengerjap pelan. Samar-samar aku mendengar orang berbincang. Ah, kepalaku rasanya berat sekali. Aku mencoba bergerak, tapi ternyata tangan dan kakiku diikat. Mulutku pun disumpal. Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Tempat ini begitu pengap. Tidak ada jendela satu pun. Hanya ada dua lubang ventilasi udara berukuran kecil di atas sana. Syukurlah. Setidaknya itu bisa memenuhi pasokan oksigen untukku bernapas. "Setelah ini apa yang harus kita lakukan?" Aku mendengar seorang laki-laki berbicara. "Kita tinggalkan saja dia di sini. Ingat! Kamu jangan datang lagi ke sini. Biarkan dia membusuk di sini tanpa ada yang tahu." Itu suara Talita. Ya, aku hafal benar suara wanita malam itu. Jadi, dia berniat menyingkirkanku? Dia benar-benar gila. "Tapi, kenapa lo berambisi mau habisin dia?" Laki-laki itu bertanya lagi. "Dia udah rebut cowok gue. Dia juga u
Aku mendekatkan wajah pada Mama yang duduk di sebelah. "Mama undang Ammar?" Mama menatap ke arah pintu. Tampak terkejut, lalu menggeleng. "Enggak, May. Mama nggak ngundang dia. Buat apa coba? Saudara bukan, apa bukan, ngapain diundang?" Aku kembali duduk tegak. Kulihat Rafael yang sedari tadi duduk anteng di sebelahku sudah tidak ada. Rupanya dia menghampiri Ammar di depan sana. Perasaanku sudah tak karuan. Takut jika terjadi keributan di antara mereka. Susah payah, aku mencoba berdiri. Di saat yang bersamaan, Papa lebih dulu menyusul mereka. Aku menghela napas lega. Setidaknya jika ada Papa, mereka tidak akan macam-macam. Akhirnya mereka bertiga masuk ke dalam bersamaan. Dapat kulihat Papa sudah tampak akrab dengan Ammar. Mungkinkah mereka saling kenal? Tapi kurasa mereka baru bertemu sekali ini. Ceramah telah usai. Acara dilanjutkan dengan pembagian santunan. Setelahn
Astaga! Kenapa di mana-mana ada orang itu? Maksudku bukan Chika, tapi Ammar. Kenapa dia seperti mengikutiku? Apa memang benar seperti itu? Tapi untuk apa? Chika yang baru saja turun dari mobil berlari dan langsung memeluk pinggangku. Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya. Sekilas kulirik Rafael di sampingku. Dia tampak tak suka melihat Ammar datang. "Chika lagi jalan-jalan, ya?" tanyaku pada bocah itu. "Iya, Tante. Papa yang ajak," jawabnya polos. Apa benar ini sebuah kebetulan? Atau memang ada maksud lain dari Ammar? Laki-laki itu mendekat. Dia melempar senyum manis. "Kebetulan banget ketemu di sini. Sepertinya kita memang selalu bertemu. Pertanda apa kira-kira?" Aku memalingkan wajah. Merasa risih mendengar ucapan Ammar yang mulai aneh akhir-akhir ini. Rafael terlihat makin kesal. Dia berjalan lebih dulu menuju taman. Dia duduk di salah satu bangku yang ada di sana.
Malam, aku dan Rafael memilih untuk makan di luar. Aku terlalu lelah untuk memasak. Rafael pun tak mempermasalahkannya. Justru menurutnya, jika kami sering keluar berdua, cinta akan semakin lekat.Aku melingkarkan tangan di pinggang kekarnya. Merasakan otot-ototnya yang kencang, membuat hatiku berdesir. Rasanya aku jatuh cinta berkali-kali pada pemuda ini. Aku jadi menyesal, kenapa tidak dari dulu saja mengenalnya?"Lo mau makan apa, Tan?" tanyanya sedikit menoleh ke belakang."Apa ajalah. Gue nggak terlalu lapar juga, kok. Soalnya di toko gue nyomotin kue mulu," sahutku sambil terkekeh."Pantesan badan lu agak lebaran.""Masa? Gendut, dong, gue?" Aku mendadak panik sendiri."Ya enggak. Mana ada badan segitu gendut. Yang ada jadi tambah seksi," jawabnya sambil nyengir. Terlihat jelas di kaca spionnya.Aku mencebik. Lalu menunjuk warung na