Share

Bab 4. Pertengkaran Tuan Fidel Dengan Shania.

Sesosok bayangan terlintas di ruang tamu. Janeta melihat Shania bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam rumahnya. Janeta meneruskan pekerjaannya merawat tanaman walau perhatiannya utuh tertuju pada seluruh gerakan yang terjadi di dalam keluarga Shania.

“Sudah mau berangkat, Pa?” terdengar suara Shania mungkin kepada suaminya. Janeta makin menyaringkan pendengarannya namun dengan gaya yang tidak mencurigakan.

“Yah, aku mungkin akan langsung ke Surabaya dan empat hari di sana.” terdengar jawaban Tuan Fidel dengan suara berat dan nge-bass.

“Lho, kok ke Surabaya sih Pa? Bukankah besok ada pengajian dari semua karyawan dan karyawati Kak Lusy. Masa Papa nggak kelihatan di acara itu.” Shania membantah suaminya.

“Pengajian itu akan tetap berjalan ada atau tiada aku. Bukankah kamu bisa mengaturnya sendiri. Bik Imah juga bisa membantu kamu.” sanggah Tuan Fidel.

Janeta memiringkan kupingnya mencoba membayangkan ekpresi wajah Tuan Fidel saat ini. Apakah ia sedih? Ataukah biasa-biasa saja.

“Aku nggak ngerti jalan pikiranmu, Pa. Kak Lusy baru saja meninggal dengan cara yang sangat tragis, kok bisanya kamu bersikap santai seperti itu?” terdengar helaan nafas prihatin Shania.

Janeta mengingsut langkahnya menuju taman yang berada persis dekat ruang tamu. Disana mungkin ia bisa sedikit mengintip. Dengan berpura-pura asyik menyiram tanaman, Janeta mengawasi ruang tamu dengan ekor matanya yang tajam.

“Sudahlah Shania. Cukup sudah sandiwaramu. Aku muak melihat wajah sok baik hatimu itu.”

Deg

Jantung Janeta bergetar hebat mendengar suara Tuan Fidel yang cukup keras. Sepertinya ia sengaja menaikkan volume suaranya agar bisa di dengar dengan jelas dari jarak agak jauh.

“Hei Pa ! Maksudmu apa? Sok baik kepada siapa?” Shania berteriak juga cukup keras.

“Kamu masih mencurigai kalau aku terlibat pembunuhan Kak Lusy..?”

“Ya Allah, sadar Pa, Kak Lusy itu sudah ku anggap seperti Kakakku sendiri. Mana mungkin aku tega melakukan itu kepadanya.” jawab Shania bertubi-tubi.

“Mana ada di dunia ini dua orang yang bermadu dalam rumah tangga bisa merasa bersaudara? Heeh..!” suara Tuan Fidel makin sinis.

“Mau bukti apa lagi kamu Pa, aku bahkan rela memberikan Arkhas darah dagingku kepada Kak Lusy karena dia tidak punya anak. Ibu mana yang mau berbuat seperti itu kalau bukan karena alasan aku menganggap Kak Lusy adalah Kakakku sendiri.” dengan nada sewot Shania membela diri.

“Huuh..! Buktinya dua hari sebelum kematian Lusy, kamu kesal dan marah kepadanya karena Arkhas jatuh dari tempat tidur. Kamu malah bertengkar dengan Lusy.” pertengkaran Tuan Fidel dengan Shania semakin panas.

“Lha, walaupun aku dan Kak Lusy sudah seperti saudara, bisa jadi ada pertengkaran. Sedangkan orang yang bersaudara kandung saja sering bertengkar kemudian berbaikan lagi. Aku hanya minta Kak Lusy lebih hati-hati menjaga Arkhas. Itu saja, tak lebih!” tandas Shania cukup panjang.

“Sudaaaah...!! Diaaam kamuu..!” kamulah yang telah membunuh Lusy. Tapi kamu terlalu pintar hingga polisi melepaskanmu! Seharusnya saat ini kamu sudah di penjara..!” bentak Tuan Fidel.

Praaaaang....!!

Suara benda terdengar di hempaskan ke lantai dan membuat suasana pagi itu cukup menegangkan.

Ricana berlari memasuki rumah dan gadis cilik itu bergegas memeluk Shania ibunya.

“Aku tidak terima kamu menuduhku, Pa..! Aku bukan pembunuh. Aku bukan pembunuuuuuh....!!” teriak Shania histeris menjerit-jerit.

“Nyonya! Ada apa ini Nyonya..? Tidak baik ribut seperti ini.” suara asing terdengar menimpali pertengkaran mereka. Suaranya sangat halus dan lembut menyapa Shania yang menangis sesugukan.

“Salma, kamu lihat Sal. Suamiku sendiri menuduhku membunuh Kak Lusy. Padahal polisi sudah memeriksaku dan menyatakan aku tidak terlibat.” ratap Shania di sela isak tangisnya.

“Sabarlah Nyonya. Mungkin Tuan hanya sedang tertekan dan stres.” ucap suara milik wanita yang di panggil Salma oleh Shania tadi.

Janeta memanjangkan lehernya untuk dapat sedikit mengintip dari celah kaca yang terbuka. Ia melihat Salma tengah memeluk Shania yang nampak histeris. Ricana gadis kecil Shania nampak kebingungan. Ia memilih untuk merangkul bahu Salma gadis muda yang mungkin umurnya lebih muda dari pada Shania atau setidaknya sebaya.

“Ooh, Saya masih ada di rumah Pak. Kalau mau datang saya akan menunggu anda.” terdengar pula suara Tuan Fidel menjawab telepon dari seseorang.

Langkah kakinya mendekat ke arah Shania yang duduk di atas sofa berpelukan dengan Salma. Janeta menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas.

Ting..!

Satu kedipan mata diberikan Tuan Fidel kepada Salma. Shania yang berposisi memunggung ke arah Tuan Fidel tentu tidak melihatnya.

“Astagaaa...!” Janeta membathin.

Sementara isak Shania makin lirih terdengar mendayu-dayu.

“Sebentar lagi Tuan Morat Pengacara Lusy akan datang. Ia akan membacakan isi wasiat istriku Lusy. Jika semua hak warisan sudah sah ke tanganku, kamu bersiaplah untuk angkat kaki dari rumah ini. Aku tidak sudi melihat pembunuh ikut menikmati harta kekayaan Lusy.” ucap Tuan Fidel sinis.

“Hm, ada yang tidak beres ini. Semakin ke sini, semakin ruwet urusannya. Ternyata banyak masalah yang melatar belakangi peristiwa ini.” gumam Janeta di dalam hati. Ia lalu mengambil sekop yang berukuran mini dan mulai mencongkel-congkel tanah di dalam pot besar yang di huni oleh sebatang talas berdaun lebar dan lebat.

Sekitar setengah jam kemudian, sebuah mobil memasuki perkarangan kediaman Tuan Fidel dan Shania. Mobil itu cukup mewah menandakan bahwa yang datang bukanlah orang yang kere. 

Pintu mobil terbuka keluarlah seorang lelaki berperawakan agak gemuk dan berpenampilan parlente. Memakai jas berwarna biru tua yang sepadan dengan warna celana dan dasinya.

“Wooow Tuan Morat! Sudah lama kita tidak saling bertemu.” sambut Tuan Fidel sangat ramah dan sumringah.

“Hahha.. iya Tuan Fidel. Kita bertemu sekitar enam bulan yang lalu.” jawab lelaki yang di panggil Tuan Morat itu.

“Yaa..yaa, kita bertemu di kantor Tuan Morat ketika istriku Lusy memintaku datang untuk menjelaskan bahwa dirinya telah menandatangani surat wasiat bahwa akan mewariskan semua hartanya kepada aku suaminya jika suatu saat ia tiba-tiba saja meninggal.” ucap Tuan Fidel yang terdengar sumbang di telinga Janeta.

“Mari masuk Tuan Morat. Kami sudah menunggumu.” Tuan Fidel merengkuh bahu Tuan Morat dan mengajaknya memasuki ruang tamu yang luas.

Mereka duduk berkumpul di salah satu set sofa. Di ruang tamu yang luas itu ada dua set sofa mewah berwarna coklat muda dan coklat tua. Sepertinya Shania adalah penyuka warna coklat.

“Sepertinya istri saya sudah memiliki firasat kalau umurnya sudah tidak lama lagi. Saya sungguh terkejut ketika Lusy memutuskan untuk membuat surat wasiat agar semua hartanya di wariskan kepada saya. Huu.hhu.. apalah arti harta yang di tinggalkannya untuk saya Tuan, jika saya harus kehilangan dirinya selamanya.” ratap Tuan Fidel bersimbah air mata. Ia mengucek-ngucek matanya yang terus membasah.

Sementara itu Shania sudah duduk dengan tenang dan memandang arah tak tentu. Salma telah meninggalkan ruang tamu membawa Ricana ikut serta. Ia sadar diri, kehadirannya tidak di butuhkan dalam acara keluarga yang penting itu. Dari dalam sebuah kamar terdengar suara Salma mengajar Ricana mengeja bacaan.

“Oh, gadis itu ternyata guru les Ricana.” tebak Janeta dalam hati.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status