Jarum jam sudah menunjukkan angka 11.27 Wib hampir tengah malam. Janeta duduk melamun di sudut kamarnya yang temaram. Ia menduduki sebuah kursi yang menghadap ke sebuah meja di mana sebuah laptop nampak menyala.
“Ini cek kontan senilai 55 juta rupiah, kamu boleh pergi sekarang ke bank untuk mencairkan uang ini dan jangan lupa kembali besok pagi untuk memulai tugasmu! Dan kamu hanya libur satu hari dalam seminggu yaitu di hari Selasa!”Kata-kata Shania siang tadi di ucapkan Janeta berulang kali sehingga ia hafal kalimat itu dengan sempurna.“Hari Selasa..!??”“Ada apa dengan hari Selasa?”“Mengapa Shania memintaku libur pada hari Selasa? Mengapa Shania tidak memilih libur pada hari Minggu sebagai hari libur Nasional bahkan dunia?”“Ooh, pasti ada cerita di balik peristiwa. Tapi apa ya?” Janeta memijit pelipisnya tanda ia tengah berfikir keras. Puluhan pertanyaan menyerang otaknya. Tangannya lalu menyambar sebuah permen mint di atas meja lalu membuka bungkusnya dan memasukkan benda yang berasa manis sembriwing itu ke mulutnya. Kemudian Janeta melanjutkan berselancar di alam pemikirannya sambil meletakkan kedua kakinya memanjang ke atas meja. Kursinya ia mundurkan sedikit agar bisa lebih rilex. Beberapa belas menit memeras otaknya, Janeta kemudian menurunkan kakinya dan mengingsut kursi yang ia duduki agar lebih dekat ke bibir meja di depannya.“Aku akan memeriksa laman f******k Shania.” gumam Janeta lalu bergegas mengutak-atik keyboard laptopnya dan langsung menuju aplikasi f******k. Tak lama kemudian ia sudah memeriksa status yang pernah di tulis oleh Shania di laman media sosialnya itu.Selasa, 7 Desember 2021.Seminggu sudah kepergianmu, alam seakan tak bergeming, dunia membisu dan pembunuhmu berdansa dalam di atas duka yang entah kapan ada obatnya.Janeta menggulir roda mouse laptopnya untuk memeriksa postingan Shania sebelumnya.Selasa, 30 November 2021.Selamat jalan Kak Lusy. Selasa berdarah yang tak akan pernah lenyap dalam ingatan. 😭“Ooh, hari Selasa adalah hari kematian Nyonya Lusy. Hmm, sepertinya hari Selasa Shania memiliki kegiatan khusus hingga ia tidak mau di ganggu pada hari itu.” Janeta mengangguk-anggukkan kepalanya.Petunjuk jam di sudut layar laptop Janeta sudah menunjukkan awal hari baru, Senin.“Pagi ini adalah hari pertama aku bekerja pada Shania. Dan besok adalah hari Selasa yang merupakan hari pertama liburku.” gumam Janeta lalu menutup layar laptopnya dan bersiap untuk tidur. Ia sengaja beristirahat lebih cepat agar paginya bisa datang tepat waktu di rumah Shania untuk bekerja sebagai pengurus tanaman hias. Padahal di hari biasa Janeta biasa tidur setelah suara Adzan subuh berkumandamg.*“Selamat pagi, Nyonya!” Janeta menyapa majikan barunya setelah ia sampai di halaman rumah Shania yang cukup luas. Saat itu tepat jam 8 pagi.Shania menoleh, pandangan matanya cukup asing bagi Janeta. Begitu tajam dan penuh selidik, ia menatap Janeta yang datang dengan mengenakan kemeja lengan panjang dan celana jeans sedikit kusam, di tambah topi bundar yang mungkin terbuat dari akar gantung pohon beringin. Penampilan seorang perawat tanaman yang cukup sempurna.Dengan perlahan Shania berjalan mendekati Janeta yang berdiri di pinggir taman yang berada di sisi kiri rumah besar milik Shania. Seorang pengasuh segera mendekati dua orang anak kecil yang mungkin sedang berolah raga pagi bersama Shania tadi.“Itu Ricana dan Arkhas.” gumam Janeta di dalam hati sambil melirik sepasang anak kecil yang kini tengah bermain dengan pengasuhnya. Janeta telah mengenal nama dan wajah anak-anak itu dari foto-foto yang di posting Shania di halaman f******k-nya. Dan ia juga pernah mengintip langsung di rumah sakit sesaat sebelum jenazah Lusy di bawa pulang.“Kamu sudah datang?” tanya Shania setelah ia berada di samping Janeta.“Iya Nyonya!” jawab Janeta mengangguk dengan sopan.“Nggak liat apa aku sudah di sini. Pake nanya lagi.” gerutu Janeta di dalam hati.“Baiklah, kamu bisa langsung merawat Kak Lusy dengan sebaik-baiknya.” ucap Shania tersenyum tipis dengan menyebut tanaman hias langka itu dengan panggilan ‘Kak Lusy’.“Baiklah Nyonya!” sahut Janeta lalu bersiap membalikkan badan menuju teras rumah di mana tanaman langka yang di panggil 'Kak Lusy' tersebut, berada.“Sebentar !” seru Shania sebelum Janeta melangkah pergi.Janeta urung melangkahkan kakinya, ia menghadapkan tubuhnya kembali kepada Shania.“Setelah kamu selesai mengurus Kak Lusy, kamu lanjutkan dengan merawat tanaman yang lain.” perintah Shania sambil tangannya menunjuk sekeliling halaman yang banyak tersusun pot-pot yang berisi beragam jenis tanaman.“Baik Nyonya!” kembali Janeta menyahut sopan.“Namun Kak Lusy adalah perioritas utama. Jika sampai Kak Lusy mati...,” Shania memotong kalimatnya dan kini menatap tajam kepada Janeta, bibir atas sebelah kanannya sedikit terangkat. Janeta sampai bergidik melihat perubahan cahaya mata wanita muda yang sebenarnya sangat cantik itu.“Kamu juga akan mati!” desisnya perlahan melanjutkan kalimatnya tadi lalu pergi begitu saja meninggalkan Janeta yang membelalakkan matanya.“Hawa pembunuh yang cukup kental!” catat Janeta di dalam hatinya, lalu ia berjalan menuju rak tempat tanaman hias langka itu berada.“Apa yang harus aku lakukan pada tanaman ini? Aku saja belum pernah merawat tanaman apa pun seumur hidupku.” gerutu Janeta di dalam hatinya. Ia mulai mengambil peralatan yang ia bawa dengan tas ranselnya. Semua alat-alat itu ia beli kemarin sore di sebuah toko yang khusus menjual alat-alat perawat tanaman dan pupuk. Kepada penjual peralatan itu Janeta sempat bertanya bagaimana cara merawat tanaman. Ilmu itulah yang akan Janeta praktekkan sekarang.Dengan gaya yang di buat seprofesional mungkin, Janeta memulai pekerjaannya. Ia mencongkel-congkel tanah di sekeliling tanaman hias langka itu, lalu dengan selang kecil Janeta menyiram tanaman itu dengan sangat hati-hati.“Kamu terlihat cukup profesional!” tiba-tiba sebuah suara datang mengarah ke telinga kiri Janeta.“Eeh..eh Nyonya!” agak tergugup Janeta menjawab. Kehadiran Shania yang tiba-tiba membuatnya cukup kaget.“Sudah lama jadi perawat bunga?” tanya Shania sambil meletakkan kedua tangannya yang sudah di satukan di belakang pinggulnya yang seksi. Celana pendek ketat yang di kenakan Shania di tambah tank top warna merah bata membuat ia benar-benar terlihat sangat sempurna.“Sekitar lima tahun Nyonya!” jawab Janeta sekenanya. Janeta tengah memikirkan kalimat yang dapat memancing Shania untuk bercerita tentang kematian Lusy madu tuanya itu.“Oo..!” Shania membulatkan bibirnya lalu duduk di sebuah bangku yang terbuat dari besi yang ada di teras rumahnya itu. Sinar mata hari pagi sedikit menyentuh ujung lutut Shania yang putih bersih.“Oh ya Nyonya, besok hari Selasa apakah saya libur? Saya kan baru bekerja satu hari saja.” tanya Janeta membalikkan badannya menghadap kepada Shania yang sedang mengutak-atik kukunya yang panjang.“Ya !” jawab Shania singkat.‘Baiklah Nyonya, taa...tapi kok mesti hari Selasa Nyonya. Biasanya orang libur bekerja pada hari Minggu.”Shania mengangkat wajahnya yang masam. Ia menatap setajam mata pedang ke wajah Janeta. Janeta buru-buru menundukkan kepalanya.“Maa.. maaf Nyonya!” ucap Janeta lirih.Shania mengalihkan pandangannya ke lain arah hingga Janeta bisa menarik nafas lega.“Hari Selasa adalah hari yang sungguh menyakitkan bagiku.” Akhirnya Shania menjawab. Janeta mengangguk-angguk.“ Aku tidak melakukan kegiatan apa-apa di hari Selasa semenjak kematian Kak Lusy yang bertepatan dengan hari Selasa.” ulas Shania kembali nampak sedih.“Ooh, nampaknya kematian Nyonya Lusy sangat membuat Nyonya terluka.” sahut Janeta sambil melanjutkan pekerjaan tapi matanya tetap mengawasi gerak-gerik dan mimik wajah Shania. Janeta semakin mencurigai Shania.*****“Bu Asiiih....!”Janeta berlari ke jeruji besi yang mengurung Bu Asih. Bu Asih tengah duduk di lantai ruang tahanan.“Mengapa mesti Bu Asih yang menggantikan saya di sini, Bu?”Bu Asih berdiri di dari tempat ia duduk lalu berjalan mendekati Janeta yang berdiri di luar ruang tahanan. Tangan Janeta mencengkram erat besi-besi yang mengurung Bu Asih seakan ingin ia patahkan untuk membebaskan wanita itu.Ratih dan Cecep serta Bu Wati hanya terpaku membisu. Mereka berbaris berjejer di belakang Janeta. Mata mereka sembab dan kini pun masih basah. "Memang Ibu yang seharusnya berada di sini Neng. Ibu yang telah membunuh Pak Warno, bukan Neng." jawab Bu Asih tersenyum sambil menggenggam tangan Janeta yang ia julurkan di antara besi bulat berwarna hitam.“Taa..tapi mengapa Buu? Mengapa Ibu harus melakukan semua ini?”Bu Asih menghela nafas panjang. Ia melepaskan genggaman tangannya di tangan Janeta. Kedua pandangan matanya ia tumbukkan ke lantai ruang tahanan.
“Jaa...jadi Ratih sudah menyerahkan pakaianku itu kepada polisi?” gumam Abbas geram.“Ibunya akan masuk penjara, karena Bu Asihlah yang mendorong Pak Warno masuk ke dalam sumur. Aku hanya bertugas mengamankan anjingnya saja.” Sambung Abbas kembali bergumam. Tanpa sadar ia telah membuka semua rahasia pembunuhan Pak Warno.“Apaaa...? Bi Asih yang membunuh Pak Warno?” Kali ini justru Cecep yang terkejut. Ia mendekati Abbas lalu mengguncang bahu anak muda itu tanpa memperdulikan sepotong kayu yang masih dipegang oleh Abbas. Cecep seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Abbas.Wira hanya terpana mendengar cerita Abbas. Ia tidak cukup mengerti dengan percakapan Cecep dan Abbas. Sementara itu Bik Imah yang juga sudah berada di sana hanya menunduk resah. Sekali-kali ia melirik ke arah Cecep.“Siapa sebenarnya laki-laki ini?” tanya Bik Imah dalam hati.“Bi Asih? Apa kamu mengenal perempuan ya
Batu yang cukup besar tempat Abbas dan Wira duduk berjuntai dipayungi sebatang pohon besar yang cukup rindang. Daun-daun pohon itu melindungi keduanya dari sengatan matahari yang sudah mulai naik.Namun tanpa disadari mereka berdua, ada sesosok manusia yang bersembunyi di balik pohon besar itu. Ia tengah mendengarkan percakapan Abbas dan Wira.“Lalu apa yang kamu dapatkan dari kebodohanmu ini, Abbas? Apakah ini membuatmu kaya raya?” Agak sedikit kesal Wira bertanya kepada Abbas.Kembali Abbas menunduk. Dan kali ini malah semakin dalam. Lalu ia menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan berulang kali.“Yang Abbas dapatkan malah pengkhianatan. Abbas ternyata hanya diperalat oleh mereka.” Kali ini intonasi suara Abbas cukup keras. Tangannya terkepal.“Sudah kuduga!” jawab Wira lesu.“Paman!”“Ya..” Wira menyahuti keponakannya.“Ternyata Salma adalah selingkuhan Tuan Fidel.”“Tu.. Tuan Fidel siapa?” terbelalak mata Wira bertanya kepada Abbas.“Tuan
Kedua lelaki itu dipersilahkan Janeta untuk membersihkan badannya. Nampaknya mereka berdua memang membawa pakaian ganti hingga Janeta tidak perlu repot-repot memikirkan masalah itu.Janeta menyiapkan beberapa hidangan di meja makan. Dirinya yakin kedua orang tamunya itu tidak makan dengan teratur beberapa hari ini.“Maaf kedatangan kami telah membuat Neng sibuk.” ucap lelaki berpeci yang kini telah merubah panggilannya terhadap Janeta. Mungkin dia sudah mulai merasa akrab. Sedangkan Gunawan terlihat hanya terdiam di atas kursi rodanya. Pasti pikiran lelaki paruh baya itu masih tertuju kepada Salma putrinya yang kini sedang menjalani proses hukum di kantor polisi. Janeta dapat memahami kegundahan hati Gunawan. Mereka bertiga kini sudah berhadapan di meja makan milik Janeta. Janeta melemparkan senyuman kepada kedua lelaki itu.“Silahkan dinikmati hidangan seadanya, Pak!” ucap Janeta. Di atas meja sudah tertata rapi semangkuk besar nasi, telur dadar dan tumis bayam serta samba
“Tolong Pak! Jangan bawa Anak saya. Jika Anak saya di penjara, siapa yang akan merawat dan memberi saya makan, Pak!” seorang lelaki yang duduk di atas kursi roda terus memohon kepada polisi yang akan membawa Salma ke kantor polisi. Sedangkan seorang gadis juga duduk di atas kursi roda karena sebelah kakinya sudah di amputasi. Ia menunduk dan menangis dan mencoba menggapai bahu Gunawan yang tak lain adalah ayah kandungnya.Selama ini Salma memang di paksa mencari uang oleh ibu tirinya yang serakah. Sedangkan ayahnya cacat karena kecelakaan di tempat kerja. Mau tak mau Salma harus mencari uang sebanyak mungkin bagai mana pun caranya. Kalau tidak, ibu tirinya tidak akan mau mengurusi ayahnya dan juga mengancam akan membuang adik-adiknya. Walau pun berbeda ibu, Salma sangat menyayangi kedua adiknya buah perkawinan ayahnya dan ibu tirinya tersebut.Salma kini hanya bisa termenung. Ia menyadari bahwa mungkin saja hidupnya akan berakhir di penjara karena kejahatan y
“Syukurlah Anda sudah sehat kembali, Nyonya!”“Terima kasih Tuan Morat. Anda sudah banyak membantu saya.” jawab Nyonya Shania tersenyum kepada Tuan Morat yang satu-satunya orang yang diberi izin untuk menemuinya. Hal itu karena Tuan Morat merupakan kuasa hukum Nyonya Shania. Jadi ia sangat mempunyai kepentingan untuk bertemu dengan kliennya guna menanyakan apa yang terjadi sebenarnya terhadap Nyonya Shania.“Sebenarnya apa yang terjadi, Nyonya? Sudah bisakah Nyonya mengingat semua kejadian sebelum Nyonya jatuh pingsan karena meminum racun yang mematikan itu?” Tuan Morat mulai mengorek keterangan dari Nyonya Shania sambil menyalakan rekaman di ponselnya.“Pagi itu saya bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Saya menunggu kehadiran Janeta yang datang sudah terlambat.”“Sekitar jam berapa itu, Nyonya?” tanya Tuan Morat.“Sekitar jam 8.30 pagi.” jawab Shania sambil mengingat-ingat kejadia