“Jaa...jadi Ratih sudah menyerahkan pakaianku itu kepada polisi?” gumam Abbas geram.
“Ibunya akan masuk penjara, karena Bu Asihlah yang mendorong Pak Warno masuk ke dalam sumur. Aku hanya bertugas mengamankan anjingnya saja.” Sambung Abbas kembali bergumam. Tanpa sadar ia telah membuka semua rahasia pembunuhan Pak Warno.“Apaaa...? Bi Asih yang membunuh Pak Warno?” Kali ini justru Cecep yang terkejut. Ia mendekati Abbas lalu mengguncang bahu anak muda itu tanpa memperdulikan sepotong kayu yang masih dipegang oleh Abbas. Cecep seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Abbas.Wira hanya terpana mendengar cerita Abbas. Ia tidak cukup mengerti dengan percakapan Cecep dan Abbas. Sementara itu Bik Imah yang juga sudah berada di sana hanya menunduk resah. Sekali-kali ia melirik ke arah Cecep.“Siapa sebenarnya laki-laki ini?” tanya Bik Imah dalam hati.“Bi Asih? Apa kamu mengenal perempuan ya“Bu Asiiih....!”Janeta berlari ke jeruji besi yang mengurung Bu Asih. Bu Asih tengah duduk di lantai ruang tahanan.“Mengapa mesti Bu Asih yang menggantikan saya di sini, Bu?”Bu Asih berdiri di dari tempat ia duduk lalu berjalan mendekati Janeta yang berdiri di luar ruang tahanan. Tangan Janeta mencengkram erat besi-besi yang mengurung Bu Asih seakan ingin ia patahkan untuk membebaskan wanita itu.Ratih dan Cecep serta Bu Wati hanya terpaku membisu. Mereka berbaris berjejer di belakang Janeta. Mata mereka sembab dan kini pun masih basah. "Memang Ibu yang seharusnya berada di sini Neng. Ibu yang telah membunuh Pak Warno, bukan Neng." jawab Bu Asih tersenyum sambil menggenggam tangan Janeta yang ia julurkan di antara besi bulat berwarna hitam.“Taa..tapi mengapa Buu? Mengapa Ibu harus melakukan semua ini?”Bu Asih menghela nafas panjang. Ia melepaskan genggaman tangannya di tangan Janeta. Kedua pandangan matanya ia tumbukkan ke lantai ruang tahanan.
Janeta, seorang detektif yang usianya tidak terlalu muda. Wanita yang berumur 28 tahun tersebut masih betah hidup melajang karena hidupnya frustasi semenjak kedua orang tuanya menjadi korban pembunuhan oleh orang tak dikenal (OTK) sekitar 10 tahun yang lalu. Pelaku pembunuhan tidak berhasil ditemukan polisi karena minimnya bukti yang didapatkan pada tubuh korban serta tidak adanya saksi yang melihat kejadian itu.Sampai saat ini, Janeta masih ingin memburu pembunuh kedua orang tuanya itu dan menyeretnya ke penjara. Untuk itu Janeta mengabdikan hidupnya menjadi seorang detektif swasta yang di bentuknya bersama pamannya Rusmidi seorang polisi yang sudah memasuki masa pensiun. Sepak terjang mereka sukses membantu tugas polisi dalam menyibak banyak kasus pembunuhan yang rumit. Dengan menemukan pelaku kejahatan, Janeta merasa puas bisa memberikan keadilan pada korban dan keluarganya.*Malam mulai larut, jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.15 wib. Janeta memacu sepeda motornya
Shania mematut tanaman kecil yang unik dalam sebuah pot kecil yang baru saja di terimanya dari tangan Janeta.“Hm, ini tanaman hias yang tidak mudah untuk berkembang biak. Berasal dari gunung Cedarberg yang ada di Afrika Selatan. Tanaman ini sungguh langka dan sangat sulit di temukan keberadaannya dan konon kabarnya mempunyai daya magic yang mampu memberikan perlindungan.” gumam Shania dengan wajah berseri menggantikan rona kusut yang sebelumnya terlihat jelas.“Hmm..he..hmm.” gumam Janeta tidak jelas. Shania ternyata lebih mengetahui secara detail tentang tanaman hias yang sedang ia tawarkan itu.“Aku akan membayarnya dan sekali gus membayar jasamu untuk merawat tanaman ini! Kamu harus datang ke rumahku setiap hari dan usahakan tanaman ini bertunas dalam waktu secepat mungkin!” sederetan perintah keluar begitu saja dari bibir seksi wanita cantik berkulit putih bersih itu.“Taa.. tapi.. Nyonya!” Janeta tidak menerus
Jarum jam sudah menunjukkan angka 11.27 Wib hampir tengah malam. Janeta duduk melamun di sudut kamarnya yang temaram. Ia menduduki sebuah kursi yang menghadap ke sebuah meja di mana sebuah laptop nampak menyala.“Ini cek kontan senilai 55 juta rupiah, kamu boleh pergi sekarang ke bank untuk mencairkan uang ini dan jangan lupa kembali besok pagi untuk memulai tugasmu! Dan kamu hanya libur satu hari dalam seminggu yaitu di hari Selasa!”Kata-kata Shania siang tadi di ucapkan Janeta berulang kali sehingga ia hafal kalimat itu dengan sempurna.“Hari Selasa..!??”“Ada apa dengan hari Selasa?”“Mengapa Shania memintaku libur pada hari Selasa? Mengapa Shania tidak memilih libur pada hari Minggu sebagai hari libur Nasional bahkan dunia?”“Ooh, pasti ada cerita di balik peristiwa. Tapi apa ya?” Janeta memijit pelipisnya tanda ia tengah berfikir keras. Puluhan pertanyaan menyerang otaknya. Tangannya lalu
Sesosok bayangan terlintas di ruang tamu. Janeta melihat Shania bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam rumahnya. Janeta meneruskan pekerjaannya merawat tanaman walau perhatiannya utuh tertuju pada seluruh gerakan yang terjadi di dalam keluarga Shania.“Sudah mau berangkat, Pa?” terdengar suara Shania mungkin kepada suaminya. Janeta makin menyaringkan pendengarannya namun dengan gaya yang tidak mencurigakan.“Yah, aku mungkin akan langsung ke Surabaya dan empat hari di sana.” terdengar jawaban Tuan Fidel dengan suara berat dan nge-bass.“Lho, kok ke Surabaya sih Pa? Bukankah besok ada pengajian dari semua karyawan dan karyawati Kak Lusy. Masa Papa nggak kelihatan di acara itu.” Shania membantah suaminya.“Pengajian itu akan tetap berjalan ada atau tiada aku. Bukankah kamu bisa mengaturnya sendiri. Bik Imah juga bisa membantu kamu.” sanggah Tuan Fidel.Janeta memiringkan kupingnya mencoba membayangkan ekpresi w
"Hm, saya juga sedikit pun tidak menyangka Tuan, Nyonya Lusy pergi dengan sangat tiba-tiba.” Tuan Morat menghela nafas prihatin. Wajahnya kusut dan sedih.“Padahal, baru satu bulan ia datang ke kantor saya. Lalu saya mendengar berita yang sangat memilukan ini.” sambung Tuan Morat makin prihatin.“Lusy menemui Tuan Morat sebulan yang lalu?” Tuan Fidel mengangkat wajahnya yang masih basah oleh air mata.Janeta menghentikan gerakan tangannya mencongkel tanah di dalam pot yang berisi tanaman talas. Keningnya berkerut dan ia semakin mempertajam insting pendengarannya.“Yah, Nyonya Lusy datang agak sore ketika itu. Saya baru saja akan meninggalkan kantor namun Almarhumah meminta saya untuk menunggu. Saya memenuhi permintaan Almarhumah dan kami bertemu selama hampir 2 jam.” jawab Tuan Morat menjelaskan.“Ooh, lalu apa yang di sampaikan oleh istri saya sehingga ada pertemuan hampir 2 jam di kantor Tuan Morat? Apakah is
Hari ini adalah hari Selasa. Hari yang di tetapkan sebagai hari libur Janeta oleh Shania.“Apa yang di lakukan Shania hari ini? Aku kok jadi kepikiran terus dan semakin penasaran.” Janeta membolak-balik badannya di atas pembaringan.“Oh, sudah pagi.” desah Janeta ketika ia melirik jam di dinding kamarnya yang menunjukkan pukul 5 pagi. Rasa kantuk yang belum usai membuat Janeta menguap berkali-kali.“Sepertinya aku harus mamantau Shania lebih pagi. Aku tahu Shania adalah tipe wanita yang selalu rutin memulai aktivitasnya di pagi hari. Jam 7 aku sudah harus sampai di sana.”Janeta bangun dari pembaringan dan mengingsut langkahnya menuju kamar mandi. Beberapa saat kemudian ia sudah keluar dengan segar hanya menggunakan handuk yang melilit dari atas dada sampai ke atas lutut. Rambutnya yang panjang sebahu berwarna agak merah bata terlihat basah. Janeta sebenarnya sungguh cantik walaupun ia jarang menonjolkan kecantikann
Dengan wajah pucat pasi Janeta berusaha menjinakkan si guk guk. Ia memberikan senyuman termanis yang ia miliki yang bahkan kepada cowok terganteng sedunia pun belum pernah ia berikan.“Heloo ganteng..! Jangan marah dulu. Kita kan belum berkenalan.” ucap Janeta mencoba merayu si guk guk yang masih saja memandang sangar ke arahnya.Bukannya merubah wajah sangarnya menjadi lebih ramah, si guk guk malah menggeram sambil memamerkan taringnya yang aduhai menyeramkan.“Iii...” Janeta bergidik. Ia mencoba melafal beberapa doa namun tidak mampu jua menurunkan frekwensi kegarangan si guk guk.“Guuk..guuuk..guuk..!” Anjing itu mulai menyalak lagi. Matanya dengan tajam memandang Janeta yang meringkuk di bawah pohon katuk yang cukup rimbun.Tiba-tiba Janeta melihat ada sebuah batu sebesar kepalan tangan tak jauh dari tempatnya duduk berjongkok. Janeta langsung teringat bahwa ia pernah membaca artikel tentang cara menanggulangi anjing g