Share

Perjanjian Leluhur
Perjanjian Leluhur
Penulis: Enday Hidayat

01. Benci Pada Diri Sendiri

Jaka paling benci jadi orang miskin. Tapi kondisi itulah yang lagi dijalani sekarang. Jadi anak tunggal seharusnya membuat ia senang. Tidak ada saingan dalam keluarga. Tapi apa yang dapat dibanggakan?

Ayahnya adalah seorang petani miskin. Tinggal di rumah bilik di kaki gunung, dengan beberapa tetangga yang tidak jauh beda.

Hebatnya petani ini bisa menelurkan anak jadi sarjana. Wisuda bulan kemarin adalah pengukuhan dirinya jadi seorang pengangguran.

Jaka sudah melayangkan lamaran ke beberapa kantor perusahaan, tapi belum ada panggilan. Untuk sementara, ia mencangkul di ladang membantu ayahnya.

Pendidikan tinggi tidak serta merta membuatnya pintar mencangkul. Abah tertawa melihat anaknya duduk kepayahan di bawah pohon jengkol, padahal baru sebentar bekerja.

Ia biasa menggunakan ballpoint untuk menulis di atas kertas, pada saat menggunakan cangkul untuk bekerja di atas lahan tentu perlu kemauan keras.

Abah adalah satu-satunya warga kampung yang bahagia jadi orang miskin. Hidup dalam keterbatasan membuatnya nyaman. Sungguh orang tua aneh, karena durhaka untuk disebut gila.

"Cita-cita Abah akhirnya kesampaian," komentar Ambu. "Hidup tenang jadi orang miskin."

"Jadi orang miskin kok tenang?" sindir Jaka sinis. "Aku tidak suka tiap hari makan petai."

"Kamu bisa makan jengkol kalau tidak suka petai."

"Sama saja!"

Konon Abah keturunan bangsawan. Ia seorang saudagar kaya raya. Hartanya dihibahkan ke orang kepercayaan sejak Jaka lahir, dan memilih tinggal di kampung. Cerita ini membuatnya menyesal lahir ke dunia.

"Abah itu sangat sayang padamu," kata Ambu melihat muka Jaka dilipat kayak kardus bekas. "Maka itu Abah menyerahkan hartanya pada Erlangga. Ia memilih tinggal di kampung jadi petani sederhana."

"Sayang sama anak masa jadi orang miskin?" balik Jaka tidak terima. "Abah membuat anak sengsara seumur-umur."

"Masa depanmu semakin suram kalau bergelimang harta."

Ucapan itu terdengar aneh di telinga Jaka. Orang banyak harta masa depannya pasti cemerlang. Kekayaan adalah jaminan nomor wahid. Tanpa itu masalah gampang datang. Ambu kebanyakan makan ubi jalar sehingga otaknya tidak bisa berpikir jernih.

"Kamu tidak tahu apa yang kami khawatirkan," ujar Ambu dengan wajah berkabut. "Apalah artinya harta kalau kami harus kehilangan dirimu."

Jaka semakin bingung. Ia curiga kalau Abah mendapatkan harta melalui pesugihan, maka itu disedekahkan agar anaknya tidak jadi tumbal. Pesugihan apa kredit rumah bisa dilimpahkan ke orang lain?

"Kamu adalah keturunan kedelapan dari Raden Mas Arya Bimantara." Ambu memandang anaknya dengan sinar mata mengandung misteri. "Leluhurmu itu mengadakan perjanjian dengan penguasa kerajaan jin di tatar selatan Sunda...."

Kemudian mengalir cerita turun-temurun keluarga pada abad 14 lampau.

Raden Mas Arya Bimantara adalah bangsawan terkemuka di jaman Kerajaan Sunda.

Alkisah, ia ikut dalam rombongan Prabu Linggabuana mengantarkan puteri Dyah Pitaloka Citraresmi untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk, raja Majapahit. Rombongan diterima di pesanggrahan Bubat.

Gajah Mada mendesak raja Majapahit untuk menerima Dyah Pitaloka sebagai upeti, bukan pengantin. Sebelum Hayam Wuruk mengeluarkan keputusan, patih Majapahit itu telah mengerahkan pasukan ke pesanggrahan Bubat.

Raja Sunda merasa terhina mendengar titah Gajah Mada dan memutuskan untuk melawan meski membawa prajurit sedikit.

Rombongan Prabu Linggabuana dikabarkan tewas semua, termasuk Dyah Pitaloka yang memilih mengakhiri hidup dengan menancapkan tusuk konde ke jantung.

Raden Mas Arya Bimantara berhasil diselamatkan oleh sahabatnya, yaitu Nyi Ratu Suri, penguasa Kerajaan Pasir Galih. Sejak itu ia berikrar untuk mempererat hubungan antar keturunan mereka, dimana dalam setiap generasi ada pasangan terpilih untuk menjadi suami istri.

Pada generasi kedelapan, Jaka terpilih untuk mewakili klan Bimantara.

"Ambu tahu dari mana kalau aku pasangan terpilih?" tanya Jaka di akhir dongeng ibunya.

"Kamu satu-satunya lelaki pada generasi kedelapan dari klan Bimantara," sahut Ambu.

Entah ada berapa keluarga dari klan Bimantara saat ini. Mereka tinggal di beberapa kota dan jarang sekali berhubungan. Barangkali perjanjian leluhur membuat mereka hidup terpisah untuk menyelamatkan diri.

"Lalu apa hubungannya dengan harta yang dihibahkan sama Erlangga?" selidik Jaka ingin tahu. "Beruntung sekali orang itu."

Ia tidak kenal bentuk wajahnya. Tapi sudah bisa diterka hidupnya pasti dikelilingi perempuan cantik dengan minuman anggur terkenal dari Perancis.

"Abah bertanya pada orang pintar bagaimana cara mengelabui perjanjian itu, katanya Abah harus merubah nasib jadi orang miskin. Dengan begitu kamu tidak terlihat di cermin ajaib kerajaan jin."

"Pasti ada konspirasi," kata Jaka curiga. "Paranormal itu pasti orangnya Erlangga."

"Kita lihat saja, apakah bulan ini kamu ada yang menjemput?"

"Siapa yang sudi menjemput aku? Bryan saja benci lihat cowok miskin. Hampir tiap hari aku diseruduk."

Bryan adalah kerbau semata wayang untuk membajak sawah, sahabat yang pemarah setiap kali mendengar curhatnya. Ia sebenarnya ingin unfriend, tapi tidak punya teman lagi di dunia ini. Ada pacar satu, namanya Nabila, itu juga tidak direstui orang tua karena perbedaan kasta.

Jaka jadi benci pada diri sendiri!

Kemudian Ambu bercerita kalau sudah tiba waktunya, utusan dari kerajaan jin akan datang di malam bulan purnama untuk menjemput calon pengantin.

Seperti yang terjadi pada Paman Wikudara, klan generasi ketujuh. Ia dijemput oleh empat orang berpakaian dandy dengan modus mengajak dinner. Sejak itu ia tidak pernah pulang ke rumah.

 

"Tahunya utusan kerajaan jin dari mana?" tanya Jaka. "Bisa saja Paman Wiku diculik anak buah saingan bisnisnya."

"Kejadiannya begitu di setiap generasi," jawab Ambu. "Aku tahu dari nenekmu sebelum meninggal."

Jaka selaku kid jaman now tentu saja tidak percaya dengan cerita turun-temurun itu. Yang jelas, memberikan harta secara cuma-cuma kepada orang lain adalah sebuah kebodohan. Jaman now banyak terjadi pertumpahan darah sekedar untuk uang receh.

"Aku curiga orang tuaku mengarang cerita agar aku tidak kecewa dengan namaku, Jaka Agusti Bimantara, nama itu terlalu mewah untuk orang miskin," keluh Jaka sambil mengusap tanduk kerbau. "Bagaimana menurutmu, Bryan?"

Kerbau melenguh keras sehingga lidahnya terlihat dan menanduk Jaka. Pemuda yang berjongkok di pematang itu spontan jatuh terjengkang ke sawah.

"Kau juga ternyata tidak setuju," gerutu Jaka seraya membersihkan tubuh yang belepotan lumpur. "Namaku diganti saja jadi Jaka...Duh Gusti Blangsak Tiara Tara!"

Kerbau kembali menerjang. Jaka lagi-lagi jatuh terduduk di lumpur.

"Kau benci aku ngomong blangsak, Bryan?" geram Jaka keki. "Kau benci aku jadi orang miskin? Aku juga benci!"

Kerbau menundukkan kepala siap-siap menyeruduk lagi. Jaka bangkit dan berlari menghindar. Binatang itu mengejar. Bokongnya kena seruduk dan jatuh nyungsep ke sawah. Mukanya belepotan lumpur.

"Sudah, Bryan!" sergah Abah yang lagi duduk beristirahat di dangau. "Kasihan anakku!"

Ajaib. Kerbau berhenti mengejar dan duduk santai di lumpur. Abah kelihatan berwibawa di hadapan binatang itu, namun receh dalam kehidupan. Ia sudi bersusah payah mengolah lahan cuma untuk mencari secentong nasi, padahal bisa ongkang-ongkang kaki jika mengambil sebagian harta yang diberikan pada Erlangga.

"Ada satu pertanyaan mengganjal di hatiku," kata Jaka selesai membersihkan tubuh di pancuran, dan duduk di sisi ayahnya. "Mengapa Paman Wiku yang terpilih mewakili generasi ketujuh? Apa lebih ganteng dari Abah?"

"Aku bangsa manusia," sahut Abah santai. "Jadi tidak tahu kriteria calon suami untuk puteri kerajaan jin."

"Susah banget mengakui kalau Abah lebih jelek dari Paman Wiku."

"Kurang ajar sekali kamu berani menghina ayahmu."

"Maka itu tetangga menyebutku Jaka Slebor karena kurang ajar, konyol, slengean."

"Aku adalah ayahmu."

"Yang bilang ayahnya kerbau siapa?"

"Aku membawamu sejak lahir ke kampung ini untuk diselamatkan dari utusan kerajaan jin, bukan untuk meledekku di saat besar."

Barangkali hanya kerbau yang percaya kisah takhayul itu, karena di sawah ini hanya ada mereka bertiga. Ia jadi ingin pergi ke kota untuk menyelidiki Erlangga. Ia curiga cerita ini berasal dari keluarga mereka sehingga Abah terperdaya!

"Kesalahan besar kalau kamu tidak mempercayai cerita ini," ujar Abah. "Penjemputan untuk calon terpilih sudah terjadi di setiap generasi."

"Kesalahan terbesarku adalah lahir dari keluarga takhayul sehingga tercipta kisah takhayul."

Wajah Abah terlihat muram.

"Kamu tidak boleh bicara begitu, anakku."

Jaka jadi penasaran untuk menunggu bulan purnama tiba. Ia berharap utusan itu benar-benar datang dan akan dimintai bantuan, siapa tahu bisa bikin surat sakti agar diterima kerja.

"Jangan anggap bercanda cerita ini," tegur Abah mengingatkan. "Aku sudah mengorbankan segalanya agar tidak kehilangan anakku."

Jaka tidak bercanda. Ia tidak percaya!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sofya Bowta
bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status