"Ayo segera siap-siap," kata Ambu sambil masuk ke kamar Cakra. "Sebentar lagi perlombaan galah asin dimulai."
Galah asin adalah permainan tradisional yang dimainkan tiga sampai lima orang. Biasa dilombakan pada saat bulan purnama. "Kita hidup di abad berapa, Ambu?" Cakra menatap ibunya tanpa gairah. "Orang sudah bolak-balik ke bulan, kita masih berkutat di abad kegelapan." "Permainan galah asin adalah identitas kampung." "Carilah identitas yang lebih bergengsi," sindir Cakra. Ambu memandang heran. "Ada apa denganmu? Biasanya tiap purnama main galah asin sampai larut malam." "Malam ini aku mau menghadiri ulang tahun pacarku." "Sudahlah, lupakan Priscillia. Ia tidak cocok untukmu." "Orang tuanya juga ngomong begitu," sahut Cakra keki. "Kalau angin sudah berhembus, apa bisa berhenti?" Larangan itu muncul lantaran ia anak petani miskin. Padahal mereka yang merasakan bahagia itu. Mereka tidak peduli tahta dan harta. Mereka hanya peduli cinta. Rintangan tidak perlu ada andai orang tuanya dulu tidak menghibahkan harta kepada Erlangga. Cakra seharusnya tidak dikasih tahu, cuma bikin dada sesak. "Aku tidak cocok jadi orang miskin," kata Cakra. "Lihat kulitku putih bersih, beda sekali sama mereka." "Maka itu kamu sering-sering pergi ke sawah," sahut Ambu. "Kulitmu lama-lama sama dengan mereka." Ucapan itu membuat Cakra gondok. Ia diminta pergi ke sawah bukan untuk membantu Abah, supaya warna kulitnya tidak kontras dengan warga. "Ambu mestinya bangga punya anak berbeda rupa dan fisik," dengus Cakra sebal. "Bukan dibikin jelek." "Kamu kelihatan sangat gagah dengan kulitmu yang mulai berubah gelap," puji Ambu. "Kelihatan lebih laki-laki." "Menurut Priscillia kelihatan orang miskinnya." "Ya sudah suruh cari pemuda kaya." Jadi orang tua benar-benar tidak mendukung, gerutu Cakra dalam hati. Ambu mestinya ikhtiar supaya hati orang tua Priscillia luluh. Nama mereka pasti terangkat kalau memiliki besan kaya raya. Tapi itulah orang tuanya. Mereka bangga jadi orang miskin karena terhindar dari perjanjian leluhur. "Buat apa Ambu menyekolahkan aku tinggi-tinggi kalau bercita-cita jadi orang miskin?" celoteh Cakra pedas. "Kawinkan saja aku dengan gadis termiskin di dunia." "Kamu sekolah supaya jadi orang pintar." "Percuma jadi orang pintar kalau Ambu berharap aku jadi orang miskin." "Kamu hanya perlu bersabar tujuh purnama, setelah itu Abah akan minta sebagian harta yang diberikan pada Erlangga." "Kenapa harus menunggu tujuh purnama?" "Untuk memastikan tidak ada yang menjemputmu." "Lalat saja ogah menjemput aku." Sejujurnya Cakra tidak peduli dengan perjanjian itu. Di abad millenium, perjodohan antara bangsa berbeda dimensi hanyalah omong kosong. Lagi pula, ia sudah memiliki perempuan cantik yang segera jadi istri. Cintanya jadi rumit gara-gara masalah harta. "Karena aku orang miskin, maka orang tua Priscillia tidak merestui, dan Ambu suka melihat keadaan itu." "Kau sekarang jadi banyak menuntut." Cakra berusaha mendinginkan hatinya melihat mendung menyelimuti wajah ibunya, ia berkata dengan lunak, "Aku tidak menuntut, hanya panik karena situasi mendesak. Priscilia minta untuk mulai memikirkan pernikahan, sementara aku belum punya pekerjaan." "Bagaimana kamu bisa memikirkan pernikahan kalau orang tuanya tidak setuju?" "Maka itu aku pusing tujuh turunan." Ambu memperhatikan anaknya dengan mata bertabur bintang seolah menemukan harapan besar. "Tujuh turunan?" "Ada apa dengan tujuh turunan?" tanya Cakra kesal. "Ambu mau bahas perjanjian itu lagi? Aku ilfil mendengarnya." "Malam ini adalah malam penjemputan. Aku berharap perjanjian itu berakhir di generasi ketujuh. Jadi kamu bebas." "Yang perlu Ambu pikirkan adalah cintaku segera berakhir kalau tidak menjadi orang kaya, bukan memikirkan perjanjian konyol itu." "Perjanjian leluhur adalah benar adanya. Maka itu kami menyerahkan semua harta sesuai petunjuk orang pintar untuk menanggalkan jati diri selaku klan Bimantara." "Aku jadi ingin bertemu dengan orang pintar itu." "Sudah meninggal." "Semoga tidak masuk neraka karena telah menipu Abah." "Ia orang alim dan tidak memperoleh keuntungan apa-apa." "Sudahlah, aku mau ganti baju. Baiknya Ambu keluar." Cakra muak mendengar cerita itu. Perjanjian leluhur hanya ada di negeri dongeng, sedangkan mereka hidup di negeri nyata. Mereka harus melihat kenyataan kalau cari makan saja harus banting tulang. Cakra tidak sampai hati kalau di hari tua tubuh mereka bungkuk dan kulit hitam legam akibat bekerja keras. Maka itu ia harus memiliki kehidupan mapan untuk menjamin hari tua mereka. Ia berencana pergi ke Timur Tengah jika bulan ini tidak mendapat panggilan kerja. "Baiknya kamu tidak pergi malam ini," pinta Ambu. "Kalau aku tidak pergi, Priscillia memecat aku jadi pacar. Ambu senang melihat aku patah hati?" "Alasan gampang dicari." "Aku tidak punya alasan yang masuk akal, jadi harus datang." Ambu terlihat demikian khawatir. "Tapi anakku...." "Kenapa? Takut utusan kerajaan datang menjemput aku? Tenang saja, mereka tidak diundang. Priscillia hanya mengundang bangsa manusia." Ambu tampak bingung. Ia tidak tega menahan anaknya untuk pergi melihat wajahnya yang demikian bercahaya. Tapi malam ini adalah malam perjanjian. Bagaimana kalau utusan itu dapat membaca tipu muslihat mereka? "Berjanjilah untuk kembali padaku," pinta Ambu sangat berharap. "Aku menunggu dan akan selalu menunggu." Cakra tersenyum kecil. "Jangan pernah berpikir aku akan meninggalkan Ambu dan Abah, kecuali mati." "Berjanjilah pada ibumu." "Aku berjanji." Ambu pergi meninggalkan kamar dengan berat hati. Ia berharap apa yang sudah dilakukan selama dua puluh tiga tahun tidak sia-sia. Ia rela melepas segala atribut kehidupan demi menyelamatkan anaknya. Kesalahan mereka hanya satu; memberi nama belakang Agusti Bimantara, sehingga mengundang pertanyaan anaknya menjelang dewasa. Agusti Bimantara adalah klan bangsawan terkemuka di tanah Pasundan. "Muka Ambu kusut betul kayak selendang belum disetrika," komentar Abah melihat kemunculan istrinya di beranda. "Ada apa?" Ambu duduk di sisinya, dan menjawab, "Anak kita mau pergi ke kota." "Biarkan saja," tukas Abah enteng sambil menyeruput kopi. "Sesekali keluar kampung tidak apa." "Abah tahu malam apa ini?" "Malam Jum'at kliwon." "Malam ini adalah malam perjanjian!" "Kita sudah keluar dari klan Bimantara. Jadi tidak terikat dengan perjanjian leluhur." "Bagaimana kalau mereka tahu tipu daya kita?" "Orang pintar itu sudah menutup ruang dan waktu." "Cermin Mustika bisa saja menembus tabir, dan dapat mengenali anak kita." Abah terdiam seolah membenarkan ucapan istrinya. "Anak kita kalau sudah berdandan kelihatan sekali sebagai putera bangsawan," kata Ambu. "Aku juga." "Kamu tidak pernah berdandan sejak anak kita lahir, dan aku mengganti panggilan dari kang mas jadi Abah. Untuk panggilan ini, aku merasa mengelabui diri sendiri." "Aku juga merasa menipu diri sendiri memanggilmu Ambu, aku lebih suka panggilan nyi mas." "Hatiku mendadak tidak enak," ujar Ambu cemas. "Aku kuatir utusan itu menjemput anak kita di pesta ulang tahun Priscillia. Aku tidak mau pengorbanan kita sia-sia." "Lalu apa usaha kita?" "Aku tidak bisa melarang pergi karena pesta itu adalah pesta pacarnya. Anak kita suka sekali party dance. Maka itu kita harus cari akal agar ia gagal pergi." Abah berpikir sejenak, kemudian bangkit dari duduknya sambil berkata, "Kasih tahu kalau ia keluar kamar." "Abah mau ke mana?" "Menguras bensin motor." "Pasti ketahuan. Ia baru mengisi full." "Tenang. Ada cara lain." Seumur-umur Abah belum pernah berbuat culas. Apa boleh buat, semua demi kebaikan anaknya. Ia agak gemetar saat mencopot sebuah kabel yang tersembunyi. "Abah lagi apa?" tanya Cakra yang tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Abah gelagapan. Ambu pasti lupa kasih kode. Dasar. "Eee...Abah...Abah...minta...bensin...ya bensin untuk obor main galah asin." "Terang bulan begini masa pakai obor?" "Kalau tertutup mega, pasti gelap." "Ambil saja semuanya." Abah melotot. "Terus kamu naik apa?" "Taksi online." Abah bengong. "Priscillia sudah booking untuk antar jemput. Bagaimana kurang enaknya coba? Dibelikan baju bagus, dikasih uang saku, disuruh kecup bibir pas tiup lilin. Abah begini dulu sama Ambu?"Raden Manggala bersama beberapa pembantu dekatnya mengadakan perjamuan makan malam yang dihadiri dua ratus istrinya. Perempuan-perempuan muda dan cantik itu pergi ke Puri Abadi secara sukarela tanpa sepengetahuan suami atau orang tua sehingga dikabarkan diculik. Kebiasaan jelek warga kampung Luhan adalah menyebarkan berita tanpa menyaring dahulu kebenaran berita itu. Memicu kegaduhan dengan berbagai modus diakui sebagai hak asasi bangsa Luhan. Mereka bangsa yang bodoh. Bangsa yang mencontek sepenuhnya kebebasan dengan mengangkangi norma yang ada. Bangsa Luhan terlihat maju padahal sesungguhnya tengah menuju kehancuran hakikat. "Perjuangan takkan pernah padam laksana api abadi," kata Raden Manggala. "Kita tinggalkan para pecundang yang menginginkan imbalan semata. Aku akan berusaha memberikan kehidupan yang lebih baik bagi kalian." Semua wanita yang menghadiri perjamuan tidak tahu kalau hidangan mewah di hadapan mereka adalah hasil rampokan. Mereka mengira semua itu hasil usaha p
Cakra banyak memiliki waktu senggang. Ia sudah memantau keadaan di jazirah tirta dan jazirah bentala dengan ilmu Selubung Khayali, situasi cukup kondusif. Kelompok pergerakan di kerajaan Segara bukan ancaman serius secara global, skalanya sangat kecil. Maka itu Cakra tidak keberatan ketika istana mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam untuk janji suci mereka. "Pesta itu untuk rakyat," kata Nawangwulan. "Kita tidak perlu hadir sepanjang waktu." Mereka meninggalkan kemeriahan pesta dan memilih beristirahat di kamar pengantin. "Adakah kearifan lokal di jazirah tirta yang terlewati?" tanya Cakra. "Di jazirah bentala, malam pertama disaksikan oleh ayah dan ibu mertua." "Di jazirah tirta malam pertama dihabiskan putera mahkota di pesanggrahan ibu mertua, sebagai hadiah perkawinan." Sebuah tradisi yang sangat memanjakan Cakra. Ratu Pagedongan sangat menawan dan segar sehingga usia hanya bilangan. Cakra berlagak bodoh. "Maksudmu numpang tidur di ranjang ibu mertua?" "Ranjang bu
Dengan bantuan energi intisari roh, Cakra berhasil memindahkan harta di kediaman adipati ke rumah Adinda yang kini kosong. "Aku butuh kereta barang untuk mengangkut ke istana," kata Cakra. "Warga kampung Luhan pasti curiga kalau aku sewa kereta barang. Apakah aku minta bantuan Nawangwulan saja?" Ratu Kencana muncul di kamar tirakat. Cakra tersenyum senang. "Kebetulan!" seru Cakra. "Kebetulan apa?" sergah Ratu Kencana. "Kebetulan kau ingin digampar?" "Aku butuh kereta barang untuk mengangkut harta karun ke istana. Dapatkah kau menciptakan binatang penarik bertenaga super?" "Tidak ada ilmu yang bisa menciptakan makhluk hidup, tapi kau bisa menciptakan tiruannya." "Betul juga! Lalu kau datang mau apa?" Plak! Plak! "Aku ingin menamparmu!" geram Ratu Kencana. "Aku menjadi gunjingan di semua jazirah gara-gara kau!" Pasti soal bercinta lagi, batin Cakra kecut. Ratu itu sangat jengkel dibilang mentransfer ilmu lewat kemesraan. "Kau mestinya memberi klarifikasi
Kampung Luhan gempar. Penggerebekan rumah Adinda oleh pasukan elit Kotaraja sangat mengejutkan. Gelombang protes muncul secara sporadis. Mereka menganggap penangkapan lima puluh wanita dan beberapa petugas keamanan sangat beraroma politis. Adipati Butong laksana kebakaran jenggot, padahal tidak berjenggot. Ia bukan meredam massa yang berdemo di depan kantor kadipaten, malah semakin membangkitkan amarah. "Tenang! Tenang! Beri saya kesempatan untuk berbicara!" Warga berusaha diam, kebanyakan orang tua perempuan yang ditangkap. "Saya tidak tahu apa-apa dalam peristiwa itu! Istana tidak berkoordinasi dengan saya! Saya akan melancarkan protes keras pada istana!" "Bukan protes! Bebaskan anak kami! Mereka tidak bersalah!" "Pasukan elit sudah berbuat sewenang-wenang! Mereka membawa anak kami ke Kotaraja untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak mereka lakukan!" "Bebaskan anak kami!" "Bebaskan istri kami!" "Tenang! Tenang! Beri saya waktu untuk menyelesaik
"Selamat pagi, Tuan Khong!" Seluruh pelayan di dapur mengangguk hormat menyambut kedatangan kepala koki di pintu masuk. "Ada yang sakit pagi ini?" "Tidak ada, Tuan Khong." "Bagus." Khong mendatangi Chan Xian yang tengah menyiapkan minuman hangat. "Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Khong. "Pagi terindah bagiku," jawab Chan Xian. "Kau pasti mendapat gift universe lagi." Pelayanan kamar yang memuaskan akan menerima uang tip besar dari tamu. Chan Xian adalah primadona di penginapan termewah di Butong. Chan Xian terlihat sangat ceria, padahal hatinya menderita. "Aku dapat sepuluh gift universe pagi ini. Entah karena pelayanan yang memuaskan atau karena kecantikan diriku." "Perempuan cantik selalu memuaskan." Khong adalah kepala koki mata keranjang. Beberapa asisten koki sering tidur dengannya. Chan Xian pasti sudah jadi korban kalau bukan puteri mahkota. Semua pegawai menaruh hormat kepadanya. Chan Xian menjadi asisten koki secara sukarela. Ia tinggal di rumah mewah dengan
Hari sudah pagi. Cakra bangun dan pergi mandi, kemudian berpakaian. Jie masih tertidur pulas di pembaringan. Cakra menghubungi Nawangwulan lewat Sambung Kalbu. "Sayang...!" pekik puteri mahkota Segara gembira. "Ada apa menghubungi aku?" "Aku ada informasi penting," sahut Cakra. "Lima puluh istri Manggala akan mengadakan pertemuan rahasia di rumah Adinda, kepala front office kastil Mentari, dengan modus party dance." "Sayang ... kau berada di kampung Luhan?" "Ikan paus membawa diriku ke mari." "Ia ratu siluman. Ia sering menolong kesatria yang ingin berkunjung ke negeriku." "Tapi jutek banget." Nawangwulan tertawa lembut. "Ia biasanya minta upah ... barangkali ia sungkan karena kau adalah calon garwaku, ia jadi bete." "Dari mana ia tahu aku calon garwamu?" "Seluruh penghuni samudera sudah tahu kabar itu, dan Ratu Paus bukan sekedar tahu, ia mengenal sosokmu." Upah yang diminta pasti bercinta. Edan. Bagaimana ia bercinta dengan ikan paus? Siluman ikan biasanya hanya berubah