Share

ISTRIKU GILA?
ISTRIKU GILA?
Penulis: Okta Novita

Pilihan Sulit

"Kamu pilih istri yang waras apa enggak bisa? Masih bocah, gila pula!"

Kalimat itu selalu diucapkan oleh Ibu saat Zainab—istriku—mulai berteriak histeris dan mengamuk di dalam kamar. Seorang gadis belia berusia delapan belas tahun yang terpaksa kunikahi karena wasiat dari seorang ayah di penghujung usia. Pernikahan yang harus kujalani meskipun tidak ada cinta sama sekali. Pernikahan sebagai penebus dosa akibat kelalaian berkemudi hingga menghilangkan nyawa seseorang.

Kupandangi wajah ayu Zainab yang sudah tertidur pulas di atas tempat tidur. Cantik, tetapi penuh dengan tekanan. Aku membuatnya terpuruk di usia yang seharusnya menjadi awal untuk menuju cita-cita. Gadis manis dengan lesung pipi yang sebenarnya akan meneruskan pendidikannya ke jenjang Perguruan Tinggi. Namun, semuanya pupus karena kesalahanku.

Aku pun lebih sering menghabiskan waktu untuk menikmati angin malam di balkon kamar. Tidak ada keberanian untuk diri ini menyentuh dan berbuat lebih dengan Zainab meskipun dia sudah sah menjadi istriku. Secangkir kopi hangat selalu menemani saat penyesalan mulai kembali menggerogoti hati.

"Kenapa Bapak belum tidur?" 

Suara lembut seorang perempuan—yang baru satu bulan ini berbagi kamar denganku—menyapa telinga. Aku mendapati Zainab berdiri di ambang pintu balkon. Dua belas tahun jarak usia kami, membuatnya memanggilku dengan sebutan Bapak. Dia tampak seperti perempuan normal lainnya, berusaha menjadi seorang istri yang baik meski tidak ada cinta untukku. 

"Tidak apa-apa, Za. Kamu tidur saja, sebentar lagi hujan. Lagi pula, sudah hampir tengah malam," jawabku. 

Sekali kilatan petir menyambar. Kemudian, diikuti suara menggelegar, membuat Zainab tak mampu mengendalikan emosinya lagi. Perempuan itu kembali histeris, duduk meringkuk di salah satu sudut kamar sambil memeluk kedua lutut. 

Kurengkuh tubuh mungilnya yang bergetar hebat, memeluknya erat. Mencoba memberikan ketenangan yang mungkin tidak seberapa. Zainab divonis mengidap anxiety disorder setelah kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya. Gangguan yang menyerang alam bawah sadar akibat suatu peristiwa hingga membuatnya mengalami trauma berkepanjangan dengan sebuah kejadian.

Ya, Zainab sangat takut pada hujan dan petir karena kejadian kecelakaan yang dialaminya dengan sang ayah terjadi saat hujan lebat disertai petir malam itu. Aku sendiri tidak bisa melupakannya. Kecerobohanku saat berkendara sudah membuat nyawa seseorang melayang.

"Maafkan aku, Za! Maaf," ucapku sambil tetap memeluknya.

"Bapak! Jangan tinggalin Zainab, Pak!" teriaknya dengan air mata yang sudah membasahi pakaianku.

"Maafkan aku, Za!" Aku pun tidak bisa membendung lagi genangan yang mulai memenuhi pelupuk mata. 

***

Hari demi hari, keadaan Zainab semakin memburuk akibat kesibukanku sebagai seorang dosen. Aku terlalu sering meninggalkan gadis manis itu dengan Ibu yang notabene sangat membencinya. Seminar dan panggilan sebagai dosen tamu di luar kota silih berganti datang dan membuatku harus menghadirinya.

"Ceraikan saja perempuan itu, Dan! Dia cuma bikin keluarga kita malu. Ibu selalu digunjingkan kalau punya mantu orang gila." 

Lagi-lagi, Ibu memintaku menceraikan Zainab.

"Zaidan enggak bisa menceraikan Zainab, Bu. Dia amanah yang harus aku jaga sampai kapan pun," bantahku.

"Kalau begitu, bawa dia pergi dari rumah ini! Ibu enggak mau dia ada di sini." 

"Bu, tolong bantu aku untuk menebus dosa yang telah kulakukan!"

"Ibu tahu, Dan. Tapi ... Ibu tetap tidak sudi punya menantu seperti dia. Kamu itu berpendidikan, seorang dosen di universitas ternama. Ibu malu punya menantu gila. Semua tetangga dan teman-teman Ibu menggunjingkan kamu, Dan. Mereka mengira kamu sudah berbuat tidak senonoh pada perempuan gila itu karena usianya masih sangat muda." 

Tubuh Ibu luruh ke lantai. Bahunya berguncang diiringi tangis yang memilukan. Aku sudah menyakiti hatinya, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan Zainab yang sudah sah menjadi istriku. 

Pernikahan yang terlaksana secara mendadak di hadapan ayah Zainab yang hampir meregang nyawa. Pernikahan siri yang akhirnya harus kusahkan secara negara karena tidak ingin dianggap lelaki tidak bertanggung jawab. 

Tidak ada pesta ataupun sekadar ucapan selamat. Semua orang justru memandang rendah karena aku dianggap sebagai pedofil yang menikahi gadis di bawah umur. Namun, tetap saja aku yang sudah masuk kepala tiga seakan tidak pantas jika disandingkan dengan Zainab. 

Prang!

Terdengar suara benda jatuh dari lantai dua. Sepertinya, dari kamarku. Aku pun bergegas menaiki tangga. Namun, pemandangan yang di luar dugaan seketika membuat nyaliku sebagai laki-laki melemah. Pergelangan tangan kiri Zainab mengucurkan darah segar dengan tubuh yang tergeletak di atas tempat tidur. Sementara, pecahan kaca dari cermin rias berserakan di lantai. 

Dengan hati-hati kulangkahkan kaki menghampiri Zainab. Membungkus pergelangan tangannya dengan kaus yang kuambil dari lemari, kemudian mengangkat tubuh mungil yang melemas.

***

Aku tidak bisa memaafkan diri sendiri jika sampai terjadi hal buruk pada Zainab. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi sekarang. Itu sebabnya almarhum ayah mertuaku sangat memaksa agar aku menikahi Zainab sebelum embusan napas terakhirnya. 

"Permisi, dengan keluarga Zainab?" Seorang suster menghampiriku yang berdiri bersandar dinding di depan ruang UGD. 

"I--iya, Suster. Saya suaminya," jawabku spontan. 

Suster itu melihatku dari atas ke bawah. Mungkin dia ragu dan heran karena aku mengatakan sebagai suami Zainab karena gadis itu memang berwajah imut layaknya remaja SMA. 

"Ada apa, Sus?" tanyaku mengagetkannya.

"Oh, iya, maaf! Pasien membutuhkan transfusi darah. Namun, golongan darah yang sesuai hanya ada dua kantong. Sedangkan perkiraan dokter, pasien membutuhkan setidaknya tiga kantong darah. Mungkin ada dari kerabat yang golongan darahnya sama?"

"Sa--saya tidak tahu apakah golongan darah kami sama atau tidak, Sus." 

Ah, sial! Pandangan suster itu semakin mengintimidasi setelah mendengar jawabanku. 

"Kalau golongan darah Bapak sendiri apa? Golongan darah istri Bapak B positif." Suara suster itu semakin penuh penekanan. Sinis. 

"B positif?" tanyaku. 

"Iya, lalu golongan darah Bapak apa?"

"Saya juga B positif, Sus."

"Kalau begitu, mari ikut saya!"

Kebetulan macam apa ini? Ternyata, golongan darahku dengan Zainab pun sama setelah awalan nama kami yang juga sama. Takdir yang cukup aneh, tapi nyata karena Tangan Allah yang menggerakkannya. 

Hanya sekitar 250 cc darahku yang diambil. Cukup satu kantong katanya. Aku pun kembali ke ruang UGD untuk melihat kondisi Zainab. Namun, gadis itu rupanya akan dipindahkan ke kamar rawat sesuai permintaanku saat mengisi formulir. 

Kupandangai wajah pucat dengan bibir yang mengering. Sejak semalam, Zainab enggan untuk makan ataupun sekadar minum. Obat dari psikolog yang menanganinya pun tidak ada yang diminum. Zainab lebih sering menyendiri dan tidak mau membuka suara. 

Zainab terbaring lemah dengan pergelangan tangan kiri diperban. Untung nyawanya masih terselamatkan meskipun sempat dalam masa kritis karena terlalu banyak darah yang keluar. 

"Maafkan aku, Za! Hidupmu hancur karena aku."

Aku tepekur menatap lantai keramik berwarna putih tanpa noda. Mengingat kembali kejadian tadi pagi saat menemukan Zainab dalam keadaan tak sadarkan diri. Sama seperti kaca yang pecah dan berserakan. Hatinya pun pasti hancur karena kehilangan seorang ayah yang menjadi pegangannya semenjak kecil. Bahkan harus membuang semua mimpinya dan menikah denganku, laki-laki yang lebih cocok menjadi sosok kakak untuknya. 

"Kenapa Bapak menyelamatkan saya? Saya ingin menyusul Ayah." Zainab menangis tanpa suara. Hanya lelehan air mata yang mengalir dan membasahi bantal berwarna putih. Meskipun pedih, aku bersyukur Zainab sudah sadar. 

"Jangan katakan itu, Za! Kamu pasti bisa menjalani hidup ini. Aku akan selalu ada di sampingmu," kataku penuh penyesalan. Aku paling tidak bisa melihat perempuan menangis. 

"Bapak tidak perlu berkorban terlalu banyak untuk saya. Tolong ceraikan saya! Saya tidak ingin menjadi beban untuk Bapak."

"Kamu bukan beban, Za. Kamu amanah yang harus aku jaga sampai kapan pun."

"Jangan korbankan martabat keluarga Bapak hanya untuk perempuan gila seperti saya!"

"Tidak ada yang mengatakan kamu gila, Za. Kamu istriku sekarang."

Zainab tidak lagi menjawab perkataanku. Dia memalingkan wajah ke arah lain. 

"Ayah," lirihnya. Namun, aku masih bisa mendengarnya. 

Aku semakin diliputi rasa bersalah. Bayangan ayah mertuaku saat sakaratul maut setelah mengucapkan kata dah pada pernikahanku dan Zainab kembali membayang. Kecerobohan yang membuatku menjadi seorang pembunuh. 

Aku tersentak saat sebuah getaran terasa di paha. Kuambil ponsel yang memang sedari tadi di saku celana. Sebaris huruf yang terpampang membuat mata ini membulat disertai detak jantung yang lebih cepat. Apakah aku harus menerima panggilan ini? 

Bismillah ... kugeser lambang telepon berwarna hijau setelah keluar dari kamar rawat Zainab. 

"Assalamualaikum, Mas!"

Suara yang tidak asing kembali menggetarkan hatiku. 

"W*--waalaikumsalam," jawabku gugup.

"Mas Zaidan kenapa? Kok, suaranya bergetar begitu? Mas sakit?" tanyanya lembut. 

"Aku sehat, Ra. Ada apa?" Kucoba berucap dengan tenang. 

"Sampai kapan Mas Zaidan menggantung hubungan kita? Malah sebulan ini susah dihubungi. Abah sama Ambu sudah nanyain terus."

Dia adalah Maira, gadis yang kucintai sejak berstatus mahasiswa. Dan sudah lebih dari enam tahun kami menjalin hubungan sejak hari wisuda S1. Bahkan, hubungan kami sudah direstui oleh orang tuaku dan orang tuanya. Namun, sejak satu tahun yang lalu, Maira harus kembali ke kampung halamannya di Sukabumi karena sang ibu menderita sakit jantung dan menginginkan putrinya tinggal. Dia pun merelakan pekerjaannya sebagai guru SMA di Jakarta ini dan mengabdikan dirinya sebagai seorang guru SMP di desanya. 

"Mas!" 

Aku kembali tersadar dari lamunan saat suara merdu itu menyentak. Apa yang harus kukatakan pada Maira? 

"Apa kita bisa bertemu, Ra? Ada yang ingin aku katakan."

"Mas Zaidan mau melamar aku? Langsung datang ke rumah saja, Mas," sahutnya kegirangan. 

Ah, Maira! Sampai sekarang pun aku masih mencintaimu. Namun, sudah ada Zainab di sampingku yang tidak mungkin kutinggalkan. 

"Aku mau kita bicara berdua saja, Ra."

"Tapi aku gak bisa ke Jakarta, Mas. Ambu tidak bisa ditinggalkan. Kalau Mas ke sini, apa tidak akan melakukan lamaran sekalian? Kan, bulan lalu Mas Zaidan udah mau melamar, tapi malah gak jadi." Suara Maira terdengar lebih lirih. Ada kekecewaan di sana. 

"Maafkan aku, Ra. Malam itu, aku kecelakaan saat perjalanan ke rumahmu."

"Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Sepertinya, alasan kecelakaan itu bukan alasan utama. Tadi, Ibu meneleponku sambil menangis. Apa yang sebenarnya terjadi?" cecarnya hingga membuat mulutku terkunci. 

"Ibu bilang apa, Ra?"

"Ibu hanya bilang kalau dia ingin aku yang menjadi menantunya."

Tut .... 

Seketika panggilan telepon terputus. Apa mungkin Ibu sudah mengatakan tentang pernikahanku dan Zainab? 

Maira, sampai kapan pun kamu tetap menjadi cinta pertamaku. Aku hanya menjalankan amanah pada Zainab.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status