Satu pekan setelah pindah dari rumah Ibu, kondisi Zainab perlahan membaik. Aku bersyukur karena tidak sia-sia mengambil cuti selama lima hari dengan imbalan senyum dari gadis berlesung pipi itu. Hari ini pun aku sengaja mengubah jadual kelas agak siang agar bisa mengantar Zainab kembali kontrol ke rumah sakit untuk memastikan kesembuhan luka di pergelangan tangannya. Sekaligus berkunjung ke psikiater yang menanganinya.
"Saya tidak mau ke psikiater, Pak. Saya tidak gila," tolak Zainab. Kulirik sekilas, ia menoleh ke arahku yang sedang fokus menyetir. "Tidak ada yang mengatakan kamu gila, Za. Kamu hanya ada trauma pada suatu kejadian. Nanti hanya akan ngobrol saja," jelasku dengan pandangan lurus ke depan. "Bapak jadi mendaftarkan saya kuliah, 'kan? Saya ingin segera belajar seperti dulu.""Nanti setelah dari rumah sakit, kita langsung ke kampus. Aku ada jadual kelas siang sekalian mendaftarkan kamu. Tapi kamu harus bisa mengejar ketinggalan dua bulan pembelajaran di semester pertama ini karena kamu sedikit terlambat mendaftar. Mungkin kalau bukan saya yang membawamu, tidak akan diterima sampai penerimaan mahasiswa baru tahun depan.""Bapak tidak perlu khawatir! Saya pasti bisa mengejar ketinggalan," sahutnya dengan suara girang. Ah, Za .... Kenapa kamu bisa membuat jantung seorang Zaidan Alhakim berdetak lebih cepat hanya dengan suara dan senyum khas berlesung pipi itu? Sepertinya, aku yang sudah gila. Aku mulai menyukai gadis belia yang menjadi istriku. Mungkin, orang menyangka aku seorang sugar daddy karena di usiaku seharusnya memang sudah berkeluarga dan punya anak. Setelah menyelesaikan semua pemeriksaan di rumah sakit, kami bergegas ke kampus sesuai rencana. Mata indah Zainab berbinar sejak tadi. Kata psikiater pun, mungkin dengan kuliah dan bertemu banyak orang bisa membuat trauma Zainab perlahan menghilang. "Za!" panggilku setelah memarkir mobil di area kampus. "Iya," sahutnya sambil menoleh ke arahku. Ah, gila! Zainab kenapa tiba-tiba berubah secantik ini? Senyumnya merekah kian sempurna. Memahat lekuk wajah yang membuat mataku tidak ingin berpaling. Bahkan, kata yang ingin terucap seakan menguap bersamaan tubuhku yang memanas. "Bapak mau bicara apa?" tegur Zainab sembari melambaikan tangan di depan wajahku. Aku gelagapan, bingung akan bicara apa. "Eh, itu ... apa? Emm, jangan panggil aku bapak di depan pendaftaran nanti! Panggil aku kakak atau mas karena aku bilang akan mendaftarkan adikku."Zainab malah tersenyum semakin lebar. Aduh ... bisa mati jantungan aku! "Siap, Mas," jawabnya lugu.Kamu gak sadar apa, Za? Senyummu sudah mengubah hidupku. Bahkan, aku belum pernah merasakan segugup ini di depan Maira. Rasanya biasa saja saat bersamanya.***Selesai mendaftarkan Zainab, aku harus mengisi kelas sekitar dua jam. Kuminta Zainab untuk menunggu di kantin atau perpustakaan agar dia tidak bosan. Aku benar-benar kagum dengan gadis kecil itu. Dia memang mempunyai bakat luar biasa. Hobinya pun sama denganku--membaca. Setiap hari, dia membuka buku-buku koleksiku sejak SMA yang memang sudah kupindahkan ke rumah baru. Ada beberapa novel, buku kumpulan puisi, dan beberapa buku penunjang materi sastra yang memang menjadi bidangku. Bahkan, dalam satu hari dia bisa menyelesaikan membaca tiga buku. Aku saja satu buku belum tentu selesai dalam satu hari. Aku akan menggali potensinya agar bisa bermanfaat untuk dirinya sendiri dan banyak orang. Kujatuhkan bobot tubuh ke kursi kantor. Cukup melelahkan meskipun hanya mengajar satu kelas saja. Kuambil ponsel dari saku kemeja untuk ....Ah, Zaidan! Aku belum membelikan Zainab ponsel. Bagaimana aku menghubunginya? Di mana dia sekarang? Semoga saja dia mematuhi apa yang kuperintahkan tadi. Aku bergegas menuju kantin untuk mencari Zainab. Nihil, dia tidak di kantin. Astaga, Zaidan! Aku lupa tidak memberinya uang. Jadi, mana mungkin dia di kantin. Aku kenapa jadi pelupa seperti ini? Kaki ini pun mulai melangkah menuju perpustakaan yang letaknya tidak terlalu jauh dengan kantin. Setiap sudut perpustakaan kampus ini kutelusuri. Namun, Zainab juga tidak ada. Ya Allah! Kamu di mana, Za? Jantungku terasa sangat cepat berdetak. Keringat pun mulai membanjiri wajah dan sekujur badan. Aku khawatir jika terjadi sesuatu dengan gadis kecilku. Apalagi, cuaca sudah mulai mendung dan beberapa kali terdengar gemuruh petir. Dia pasti ketakutan. Cukup lama aku berkeliling kampus mencari keberadaan Zainab, tapi sosoknya sama sekali tidak terlihat. Cerobohnya aku! Kenapa aku meninggalkan Zainab sendirian di tempat yang baru dia datangi? "Zainab!" teriakku di sekitar taman kampus. "Kamu di mana, Za!" Kuedarkan pandangan ke semua penjuru. Berharap akan menemukan gadis mungil berlesung pipi itu. "Za--." Ucapanku terhenti saat hujan mulai turun. Aku benar-benar merasa tidak bisa melindungi istriku sendiri. Bagaimana kalau traumanya kambuh? Aku tetap meneruskan pencarian di bawah guyuran hujan. Berharap jika Zainab akan baik-baik saja. "Aaa!"Aku mendengar teriakan perempuan saat kilatan petir menyambar dengan gelegar yang cukup keras. Itu pasti Zainab, tapi dia di mana? Kuikuti arah dari suara teriakan yang masih terdengar meskipun samar. Hingga terlihat sosok yang kucari berjongkok dengan kedua tangan menutup telinga di bawah pohon dekat mobilku terparkir. Jadi, dia menunggu di sana? Gegas kudekati tubuh mungil itu. Kemudian, kupeluk erat. Zainab pun berhenti berteriak dan membalas pelukanku. "Maafkan aku, Za! Tidak seharusnya aku meninggalkanmu sendiri.""Aku takut, Pak," ucapnya dengan nada bergetar. Tubuhnya yang basah kuyup sudah mulai menggigil. "Ayo, kita pulang!"Aku membantunya berdiri untuk masuk ke mobil setelah kubuka pintunya. Namun, Zainab kembali histeris saat kunyalakan mesin mobil. "Ayah!" teriaknya sambil menutup kedua telinga. Napasnya mulai terengah dan air matanya mulai terlihat mengalir. "Tenang, Za! Kita pulang dulu.""Gak! Gak! Bapak sudah membunuh ayah saya! Bapak pembunuh! Bapak pembunuh!" racaunya.Kuraih kedua bahunya dan mengguncangnya pelan. "Maafkan aku, Za! Maaf!" Kembali kurengkuh tubuhnya yang bergetar. Hingga beberapa saat kemudian, tubuhnya lunglai. Zainab pingsan. Kupacu mobil dengan kecepatan sedang. Meskipun khawatir dengan kondisi Zainab, aku tidak ingin melakukan kesalahan lagi dalam berkendara. Apalagi, hujan cukup deras. Sesampainya di rumah, kubawa Zainab ke kamar dan menggantikan pakaiannya. Kemudian, menutup tubuhnya dengan selimut tebal. Aku pun bergegas mandi agar tidak jatuh sakit. Setelah itu, aku berlalu menuju dapur untuk membuat teh panas dan memasak mi instan untuk menghangatkan badan. Tak lupa, aku juga membuatkannya untuk Zainab. "Aaa!"Terdengar teriakan Zainab dari kamar. Teh panas dan mi instan yang sudah matang pun kutinggalkan begitu saja di dapur untuk menghampiri Zainab. "Ada apa, Za?" tanyaku panik setelah masuk ke kamar. "Bapak ngapain tadi?" Zainab balik bertanya. "Aku di dapur, masak mi instan dan buat teh panas. Memangnya kenapa?""Bapak kan, yang menggantikan pakaian saya. Lalu--."Ucapan Zainab menggantung. Aku tahu apa yang dia maksud. Pasti dia mengira kalau aku sudah melakukan hal yang wajar dilakukan suami istri. Aku tertawa dalam hati melihat wajah panik Zainab sambil membungkus tubuhnya dengan selimut hingga leher. "Bagaimana kalau saya nanti hamil?" ucapnya lagi dengan nada lirih. "Kalau kamu hamil, memangnya ada yang salah? Kamu kan, perempuan bersuami.""Bapak!" Aku yang tadinya masih mematung di ambang pintu kamar, mulai mendekatinya. Kemudian, duduk di tepi tempat tidur. "Ada apa? Belum ikhlas melayani suami?"Aku mulai menikmati kehidupan baru bersama keluarga kecil tercinta. Zainab, Zahira, dan Zaki adalah segalanya tanpa bisa digantikan siapa pun. Sesaat, kami kembali merasakan kesedihan karena Ayah Hasyim kembali memilih untuk pergi ke Sumatra. Alasan utama beliau adalah memberikan kesempatan untuk kami agar lebih dekat. Namun, untungnya Zainab bisa menerima keputusan sang ayah meskipun ada kesedihan dari sorot matanya. Zainab berperan penuh dalam pengasuhan Zahira dan Zaki. Aku selalu mendapatkan pemandangan menyenangkan saat pulang kantor karena tiga orang tercinta sedang belajar dan bermain bersama. Ah, rasanya tidak ada lagi yang aku inginkan selain melihat senyum indah ketiganya. Ini sudah sangat sempurna di saat setiap kesalahan yang pernah kulakukan diberikan maaf tanpa ada syarat. "Mas," panggil Zainab pelan. Sekarang, kami sedang berada di kamar. Terasa hangat napasnya di leherku karena dia meletakkan dagu di bahu kiriku. "Kenapa, Sayang? Sedikit lagi selesai, kok, kerjaann
Perjuangan panjangku menyembuhkan tiga orang tercinta yang hampir saja mencapai titik depresi tidaklah mudah. Zainab masih begitu terpukul dengan keguguran untuk kedua kalinya, sedangkan Zahira dan Zaki trauma akibat kekerasan fisik yang diterima mamanya, juga mereka menjadi ketakutan saat melihat darah. Sempat Zahira dan Zaki menangis cukup lama hanya karena melihat nyamuk yang ditepuk dan membekaskan darah di lenganku. Betapa besar efek dari insiden yang diperbuat Dio. Untungnya, Angga datang tepat waktu dan bisa meringkus kakak angkat Zainab itu.Alhamdulillah, di bulan keempat sejak kejadian itu, kondisi psikis orang-orang terkasihku mulai membaik. Zainab pun mulai mau mengurus restoran peninggalan Mama Hervina dan restoran peninggalan Ibu secara bergantian. Sementara urusan Perusahaan Konstruksi Aditama diserahkan kepadaku. Sekarang, kami pun tinggal di rumah yang kubeli dengan keringat sendiri. Mereka bahkan tampak lebih nyaman di rumah yang tidak semewah rumah keluarga Aditam
Suasana riuh di rumah mewah Keluarga Aditama menemani hariku. Rumah dengan halaman seluas lapangan sepak bola ini dipasang tenda agar mampu menampung sekitar lima ratusan anak panti asuhan beserta pengurusnya. Acara yang diadakan sebenarnya sangat sederhana. Hanya berbuka puasa bersama yang akan diisi dengan dongeng anak, juga ceramah singkat dari seorang ustaz. Namun, persiapan harus sebaik mungkin agar tidak mengecewakan. Ayah sengaja kuminta untuk membawa Zahira dan Zaki ke rumahku agar mereka tidak terganggu dengan keramaian persiapan di rumah. Sebenarnya, aku juga menyuruh Zainab ikut, tapi perempuan itu memang dasarnya keras kepala hingga menolak perintah suami sendiri. Katanya ingin menemaniku, padahal dia masih perlu banyak istirahat. Meskipun kuturuti permintaannya, tidak kuizinkan dia keluar dari kamar. Aku melihat Zainab sedang duduk di kasur dengan laptop di pangkuannya. Saat kuhampiri, dia sedang membuka e-mail dan terlihat nama Dio menjadi si pengirim pesan. Aku duduk
Hanya semalam Zainab dirawat karena kondisinya sudah membaik. Di rumah, dia disambut haru dua bocah manis yang langsung berlari menghambur begitu membuka pintu. Zahira dan Zaki begitu mencemaskan keadaan mamanya karena keduanya dilarang untuk menyusul ke rumah sakit sebelumnya. Kamarku dan Zainab pun kembali dipindah ke lantai bawah karena untuk menghindari risiko jika perempuan hamil itu harus naik-turun tangga. "Mama, Kakak sama Adek tadi bantuin Mbak Suci sama Mbak Lita beresin kamar Mama. pasti Mama suka." Zahira begitu girang bercerita. "Iya? Wah, pasti jadi bagus kamar mama," sahut Zainab antusias. "Ayuk, Ma! Lihat kamar Mama!" Kini, Zaki yang lebih bersemangat sambil menarik tangan Zainab. Aku memapah istri cantikku perlahan mengikuti Zahira dan Zaki yang sudah berlari terlebih dahulu menuju kamar Zainab. Semuanya terlihat bahagia. "Bagus, kan, Ma, Pa?" tanya Zahira. Dia sudah duduk di tepi tempat tidur ekstra besar yang ada di tengah-tengah kamar. "Bagus sekali, Sayang.
Zainab sedang berkutat di dapur bersama Suci untuk menyiapkan makanan berbuka puasa. Dia sudah tampak lebih sehat sekarang dan mulai bisa beraktivitas normal. "Mbak Zainab istirahat saja, biar saya yang lanjutkan memasak. Sudah hampir selesai, kok. Saya nggak tega lihat Mbak terlalu lama berdiri. Sudah lebih dari satu jam, loh." Suci berucap saat melihat Zainab mulai memijit-mijit pinggang. "Iya, Mbak Suci, pinggang sama perut tiba-tiba nggak enak banget rasanya. Aku tinggal, ya," pamit Zainab dan dijawab dengan anggukan oleh Suci. Zaidan yang baru saja masuk ke rumah, melihat sang istri yang duduk sendirian di sofa ruang tengah. Keningnya mengerut cukup dalam seraya mendekat kepada Zainab yang sedang mengelus perut. "Kenapa, Sayang? Sakit? Hei, wajahmu juga agak pucat." Zaidan mengangkat dagu Zainab, lalu menatap dengan seksama. Zainab menggeleng seraya berkata, "Enggak apa-apa, Mas. Cuma rasanya mual, tapi nggak bisa dikeluarin.""Jangan bilang kalau kamu puasa lagi hari ini,"
Di kehamilan yang memasuki bulan keempat ini, Zainab tampak mulai berisi. Memang kebahagiaan berpengaruh besar pada fisik seseorang dan itu sudah terbukti. Sepasang suami-istri itu sudah berdamai dengan keadaan dan saling memaafkan hingga tidak ada lagi beban di hati. Sore ini, Zainab akan memeriksakan kandungannya untuk kali pertama setelah kedatangan Zaidan. Zahira dan Zaki pun turut serta karena mereka begitu antusias dengan kehadiran sang calon adik. Rasa penasaran juga begitu besar di benak dua bocah itu tentang bagaimana cara adik mereka bisa ada dalam perut sang mama. Zahira dan Zaki begitu girangnya melihat layar USG empat dimensi di samping Zainab berbaring. Bahkan, suara detak jantung adik mereka yang terdengar begitu cepat membuat keduanya terkagum-kagum. "Itu, Dedek deg-degan, ya, Bu Dokter?" tanya Zahira dan ditanggapi dengan lembut oleh sang dokter yang masih memutar probe di perut Zainab. "Iya, Sayang. Itu, suara detak jantung adiknya Kakak Cantik." Dokter itu mengu
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan tumben sekali aku tidak mendapati satu pun rumah makan atau restoran masakan Padang yang masih buka. Sementara Zainab sudah tampak gelisah. Sepertinya, dia sedang mengidam dan kecewa karena keinginannya belum terpenuhi. "Tadi sebelum aku mau ikut, Mas mau pergi ke mana?" tanya Zainab tiba-tiba. "Enggak ke mana-mana, cuma jalan kaki aja di sekitar rumah," jawabku sambil tetap fokus ke depan. "Kalau begitu, kita pulang saja sekarang." Zainab berkata pelan. Aku menoleh sekilas, tapi Zainab sudah membuang muka ke kiri. Aku tidak tega kalau seperti ini. Perempuan hamil yang tidak kesampaian keinginannya saat mengidam sepertinya sangat tersiksa meskipun mitos tentang anak yang ileran itu sudah banyak terbantahkan. "Katanya pengen makan nasi Padang? Ini, Mas masih cari, Sayang." Aku mencoba untuk tetap berkata dengan tenang. "Udah satu jam kita muter-muter aja, Mas. Udah pada tutup. Aku juga udah capek, mau tidur. Pinggang juga pegel kalau
Memaafkan memang bukan hal mudah, tapi itu bisa diusahakan sejalan dengan hati yang ikhlas. Aku tahu jika kemarahannya padaku masih jauh lebih kecil daripada cintanya. Hingga pastinya, perempuan di hadapan ini akan memberikan kehangatan lagi secepatnya. Begitu banyak yang kurindukan darinya. Tawanya dengan lesung pipit yang manis, mata indahnya yang sering berkedip lucu, bibirnya yang mengerucut jika marah, bahkan sikap kekanak-kanakan dan manjanya sangat ingin kulihat lagi sekarang. Akan tetapi, baru saja aku sudah melihat salah satu dari itu. Begitu antusiasnya Zainab memakan manisan buah yang kubawa hingga habis dan dia mengucapkan terima kasih dengan senyuman berlesung pipitnya. Setelah diletakkannya mangkuk ke nakas, aku langsung memeluknya. Menghidu aroma tubuhnya dengan mata terpejam bisa membuat hati ini tenang. Sambil mengusap lembut kepalanya, aku berbisik, "Terima kasih, Sayang. Dengan melihat kamu makan selahap itu, mas sangat bahagia."Alhamdulillah, Zainab sudah tidak
Zainab terus melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua. Setibanya di rumah, dia langsung meninggalkan Zaidan yang sudah dihadang putra-putri mereka. Zahira dan Zaki menghambur kenpelukan sang papa begitu laki-laki itu menapakkan kaki di rumah megah peninggalan Herman Aditama. Meskipun Zaidan menanggapi dan memeluk putra-putrinya, tapi pandangannya mengikuti sosok Zaianab. Masih tidak ada kata yang perempuan itu ucapkan untuk menjawab pertanyaan dari sang suami. "Papa dari mana saja? Kenapa kerjanya lama dan jauh? Kakak sama Adek kangen." Zahira sudah cemberut sambil berucap manja. Zaidan pun bingung ingin menjawab bagaimana. "Iya, Sayang. Maafkan papa, ya. Papa kerjanya kejauhan, ya. Mulai sekarang, papa kerjanya di dekat sini lagi saja, ya. Biar bisa selalu sama-sama dengan Zahira dan Adek Zaki."Dua bocah berusia lima tahun dan empat tahun itu tampak girang sambil melompat-lompat. Kemudian, mencium pipi Zaidan bersamaan. "Kakak sama Adek sudah mandi belum? Bau asem!" Zaida