"Za!" panggilku sesaat setelah mobil berhenti di tempat parkir kampus.
"Iya," jawabnya dengan mata yang kembali berbinar. Kamu memang masih tergolong remaja, Za. Cantik meskipun tanpa polesan wajah sama sekali. Beberapa saat aku kembali terpesona dengan wajah cantik istri kecilku. "Ini buat pegangan. Kamu bisa pakai untuk jajan atau membeli sesuatu yang kamu butuhkan." Kuserahkan beberapa lembar uang berwarna merah untuknya. "Apa tidak kebanyakan, Pak? Ayah biasanya kasih saya uang saku cuma sepuluh ribu, paling banyak dua puluh ribu."Aku tersenyum mendengar jawaban yang keluar dari mulutnya. Zainab benar-benar gadis yang sangat lugu. Aku semakin mengaguminya. "Kamu itu istriku, Za. Kamu berhak mendapat nafkah dariku.""Ini saya terima ya, Pak. Mau saya tabung buat beli handphone." Dimasukkannya uang itu secara asal di dalam tasnya. "Kalau handphone, nanti aku belikan setelah pulang dari kampus. Nanti, kalau kamu sudah selesai duluan, tunggu aku di perpustakaan atau kantin. Jangan seperti kemarin!" pesanku. Zainab hanya mengangguk, lalu membuka pintu. "Saya duluan ya, Pak!" pamitnya. "Jangan lupa pesanku. Tunggu di perpustakaan atau kantin."Zainab mengacungkan dua jempol ke arahku. Dia gadis manis yang sudah membuat laki-laki tiga puluh tahun ini mati kutu. Hampir gila hanya karena suara cemprengnya. Namun, dalam sekejap, dia juga bisa membuatku menjadi seorang pecundang saat traumanya kembali. Ingatan akan kecelakaan malam itu tidak akan pernah membuatku tenang sebelum melihat Zainab bahagia. Kelas pertama kali ini sangat berbeda karena ada mahasiswi baru yang menjadi pengalih perhatianku. Aku yang biasanya mengajar dengan tegas dan suara keras, kini menjadi lebih slow dan bersahaja. Kalau orang bilang jaim alias jaga image. Zainab memperhatikan dengan seksama. Wajahnya tampak serius mengikuti pelajaran. Bahkan, beberapa pertanyaan yang tidak bisa dijawab mahasiswa lain, dia bisa menjawabnya. Hingga kelas selesai, aku bisa bernapas lega karena terhenti dari kepura-puraan. Namun, belum sempat aku keluar dari kelas, tampak beberapa mahasiswa laki-laki mendekati Zainab. Ada yang memanas di hati ini. Hey, Zainab istriku! Ingin sekali aku mengatakannya di depan umum, tapi Zainab sudah meminta untuk merahasiakan status pernikahan kami. Kalau aku melakukannya, sudah dipastikan Zainab akan marah dan mungkin akan membenciku. "Ehem!" Aku berdeham cukup keras.Zainab melihat sekilas ke arahku, lalu beranjak dari duduk dan keluar dari kelas tanpa menyapaku. Ah, Za .... Tidak tahukah kamu kalau hatiku terasa diiris-iris dengan pisau. Atau lebih tepatnya dicincang. Sakitnya tuh di sini.Ups! Aku malah menyanyikan lagu dari Cita Citata. ***Selesai mengajar, aku mencari Zainab ke perpustakaan terlebih dahulu. Gadisku terlihat sedang serius membaca buku.Gegas aku melangkah mendekatinya, tapi seorang laki-laki tiba-tiba duduk di samping Zainab dan memberikan satu buah buku pada di depan Zainab. Zainab terlihat sangat antusias dan tersenyum lebar. Kedua tanganku mengepal melihat kedekatan Zainab dengan mahasiswa itu. Entah rasa apa ini? Apakah tergolong dalam rasa cemburu? Ah, Za! Apakah aku benar-benar mulai mencintaimu hanya dalam waktu singkat? Dadaku memanas melihatmu tertawa di depan laki-laki lain. Kuyakinkan diri jika mereka hanyalah berteman. Setelah menarik napas cukup dalam untuk menenangkan diri, aku mulai melangkah mendekat pada gadis mungilku. "Ayo, pulang!" ajakku setelah sampai di depan Zainab. Zainab melihatku dengan tatapan tidak suka. Sementara, mahasiswa yang duduk di sampingnya langsung berdiri dan tersenyum ke arahku. "Selamat siang, Pak," sapanya sopan. "Siang," balasku. Kemudian, pandanganku beralih pada Zainab. "Ayo, pulang! Aku buru-buru."Zainab mulai merapikan bukunya dan memasukkannya dalam tas. "Aku duluan, Ham," pamitnya pada mahasiswa yang berdiri di sampingnya. Sepanjang perjalanan pulang, Zainab diam membisu dan memalingkan muka ke sebelah kiri. Suasana di dalam mobil ini rasanya sangat dingin karena tidak ada senyum berlesung pipi yang biasanya membuat jantungku memompa darah lebih cepat. "Kamu marah?" tanyaku membuka percakapan dengan tetap fokus ke arah jalan. "Saya tahu diri, kok. Di sini, saya hidup menumpang sama Bapak. Jadi, saya harus mengikuti apa pun permintaan Bapak." Zainab menjawab tanpa melihat ke arahku. "Kamu sudah makan?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Saya berusaha menerapkan ajaran dari Ayah dan Ibu. Seorang istri tidak akan makan sebelum suaminya makan atau paling tidak harus makan bersama."Aku tertegun mendengar jawaban dari Zainab. Gadis semuda itu sudah memahami arti sebuah hubungan pernikahan. Bahkan, dia sudah fasih menerapkannya pada diri sendiri. Aku memutar balik haluan saat melewati salah satu Mal. Aku akan mengajaknya makan siang dahulu sekaligus membelikannya beberapa kebutuhan yang tidak kuketahui sekaligus memenuhi janji untuk membelikannya handphone. "Kita makan siang dulu sekalian beli handphone buat kamu. Ayo, turun!" ajakku setelah mobil terparkir dengan cantik. Zainab bergeming dan tidak merespon ajakanku. Baiklah, memang aku yang lebih dewasa harus mengalah. Aku keluar terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk Zainab. Namun, gadis itu tetap tidak menggubris. "Kamu mau jalan sendiri atau aku gendong?"Zainab mendelik, melihatku dengan tatapan tajam. Kemudian, keluar dari mobil tanpa menyambut uluran tanganku. Sebuah restoran seafood menjadi tujuanku. Perut ini terasa kosong setelah terbakar rasa cemburu pada istri kecilku. "Kamu mau makan apa, Za?" tanyaku sambil membolak-balik buku menu yang disodorkan waithers. "Terserah Bapak saja."Ah, Zainabku benar-benar marah dengan sikapku tadi. Akhirnya, kupesan dua menu kepiting dan dua jus lemon serta air mineral. Wajahnya masih saja cemberut dan enggan melihatku. "Kamu marah?" "Enggak, siapa yang marah?" sahutnya ketus. "Itu ketus begitu jawabnya. Kamu suka sama mahasiswa yang di perpus tadi?" tanyaku menyelidik. "Ih, Bapak kepo! Saya mau suka sama siapa juga bukan urusan Bapak," jawabnya tanpa peduli dengan perasaanku. Ah, gila! Ini benar-benar gila. Aku gila karena seorang perempuan yang lebih pantas menjadi adikku. Dan sekarang, aku yang memilih diam daripada hati ini semakin sakit mendengar pengakuan Zainab. Mungkin, memang tidak akan ada cinta dari Zainab untukku. Laki-laki yang sudah membuat ayahnya meninggal. Saat makanan yang kupesan sudah datang, nafsu makanku justru sudah hilang. Namun, Zainab makan dengan layaknya tanpa peduli aku yang sedang dilanda cemburu.Selesai makan, aku langsung mengajak Zainab ke counter handphone dan membiarkannya memilih yang disukainya. Kemudian, dilanjutkan membelikannya laptop untuk kepentingan kuliahnya. Aku tak lagi banyak bicara. Hanya menyuruhnya memilih, lalu membayarnya. Aku juga mengajaknya ke supermarket Mal dan membiarkannya membeli kebutuhan pribadinya sekaligus membeli keperluan dapur termasuk sayur mayur. "Terima kasih, Pak. Saya belum pernah punya barang-barang mahal seperti ini," ucapnya dalam perjalanan pulang. "Ya," jawabku singkat. ***Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamar untuk merebahkan badan. Cukup lelah berkeliling Mal seluas itu. Entah apa yang akan dilakukan Zainab, aku tidak peduli. Aku hanya ingin memupus rasa ingin memilikinya agar tidak bertambah besar kekecewaan di hati ini. Kulepas pakaian dan hanya menyisakan celana boxer, lalu menyalakan AC untuk mendinginkan panas di dada. Kudengar derit pintu saat kesadaran ini masih sedikit tersisa meskipun mata sudah terpejam. Sepertinya Zainab masuk ke kamar ini.Ah, biar sajalah. "Aaa!"Aku yang hampir saja terlelap, langsung membuka mata karena mendengar teriakan Zainab. Aku takut jika traumanya kambuh lagi. "Aaa!"Teriakannya terdengar lagi dari dalam kamar mandi di kamar ini. Aku pun bergegas menghampirinya. Namun, pintu kamar mandinya terkunci dari dalam. "Ada apa, Za? Buka pintunya!" teriakku sambil menggedor pintu kamar mandi berulang kali. "Ada kecoa, Pak!" teriaknya dari dalam. "Buka pintunya!"Klik! Dalam hitungan detik, pintu itu terbuka dan seketika Zainab menghambur dalam pelukanku. Tubuhnya yang basah dan hanya terbungkus handuk membuatku menelan saliva beberapa kali. Sabar, Zaidan! Sabar! Detak jantungku tak mampu terkontrol dan napas ini pun terasa sesak menahan gejolak alami seorang laki-laki. "Aaa!" Zainab kembali berteriak saat menyadari ada dalam pelukanku.Aku mulai menikmati kehidupan baru bersama keluarga kecil tercinta. Zainab, Zahira, dan Zaki adalah segalanya tanpa bisa digantikan siapa pun. Sesaat, kami kembali merasakan kesedihan karena Ayah Hasyim kembali memilih untuk pergi ke Sumatra. Alasan utama beliau adalah memberikan kesempatan untuk kami agar lebih dekat. Namun, untungnya Zainab bisa menerima keputusan sang ayah meskipun ada kesedihan dari sorot matanya. Zainab berperan penuh dalam pengasuhan Zahira dan Zaki. Aku selalu mendapatkan pemandangan menyenangkan saat pulang kantor karena tiga orang tercinta sedang belajar dan bermain bersama. Ah, rasanya tidak ada lagi yang aku inginkan selain melihat senyum indah ketiganya. Ini sudah sangat sempurna di saat setiap kesalahan yang pernah kulakukan diberikan maaf tanpa ada syarat. "Mas," panggil Zainab pelan. Sekarang, kami sedang berada di kamar. Terasa hangat napasnya di leherku karena dia meletakkan dagu di bahu kiriku. "Kenapa, Sayang? Sedikit lagi selesai, kok, kerjaann
Perjuangan panjangku menyembuhkan tiga orang tercinta yang hampir saja mencapai titik depresi tidaklah mudah. Zainab masih begitu terpukul dengan keguguran untuk kedua kalinya, sedangkan Zahira dan Zaki trauma akibat kekerasan fisik yang diterima mamanya, juga mereka menjadi ketakutan saat melihat darah. Sempat Zahira dan Zaki menangis cukup lama hanya karena melihat nyamuk yang ditepuk dan membekaskan darah di lenganku. Betapa besar efek dari insiden yang diperbuat Dio. Untungnya, Angga datang tepat waktu dan bisa meringkus kakak angkat Zainab itu.Alhamdulillah, di bulan keempat sejak kejadian itu, kondisi psikis orang-orang terkasihku mulai membaik. Zainab pun mulai mau mengurus restoran peninggalan Mama Hervina dan restoran peninggalan Ibu secara bergantian. Sementara urusan Perusahaan Konstruksi Aditama diserahkan kepadaku. Sekarang, kami pun tinggal di rumah yang kubeli dengan keringat sendiri. Mereka bahkan tampak lebih nyaman di rumah yang tidak semewah rumah keluarga Aditam
Suasana riuh di rumah mewah Keluarga Aditama menemani hariku. Rumah dengan halaman seluas lapangan sepak bola ini dipasang tenda agar mampu menampung sekitar lima ratusan anak panti asuhan beserta pengurusnya. Acara yang diadakan sebenarnya sangat sederhana. Hanya berbuka puasa bersama yang akan diisi dengan dongeng anak, juga ceramah singkat dari seorang ustaz. Namun, persiapan harus sebaik mungkin agar tidak mengecewakan. Ayah sengaja kuminta untuk membawa Zahira dan Zaki ke rumahku agar mereka tidak terganggu dengan keramaian persiapan di rumah. Sebenarnya, aku juga menyuruh Zainab ikut, tapi perempuan itu memang dasarnya keras kepala hingga menolak perintah suami sendiri. Katanya ingin menemaniku, padahal dia masih perlu banyak istirahat. Meskipun kuturuti permintaannya, tidak kuizinkan dia keluar dari kamar. Aku melihat Zainab sedang duduk di kasur dengan laptop di pangkuannya. Saat kuhampiri, dia sedang membuka e-mail dan terlihat nama Dio menjadi si pengirim pesan. Aku duduk
Hanya semalam Zainab dirawat karena kondisinya sudah membaik. Di rumah, dia disambut haru dua bocah manis yang langsung berlari menghambur begitu membuka pintu. Zahira dan Zaki begitu mencemaskan keadaan mamanya karena keduanya dilarang untuk menyusul ke rumah sakit sebelumnya. Kamarku dan Zainab pun kembali dipindah ke lantai bawah karena untuk menghindari risiko jika perempuan hamil itu harus naik-turun tangga. "Mama, Kakak sama Adek tadi bantuin Mbak Suci sama Mbak Lita beresin kamar Mama. pasti Mama suka." Zahira begitu girang bercerita. "Iya? Wah, pasti jadi bagus kamar mama," sahut Zainab antusias. "Ayuk, Ma! Lihat kamar Mama!" Kini, Zaki yang lebih bersemangat sambil menarik tangan Zainab. Aku memapah istri cantikku perlahan mengikuti Zahira dan Zaki yang sudah berlari terlebih dahulu menuju kamar Zainab. Semuanya terlihat bahagia. "Bagus, kan, Ma, Pa?" tanya Zahira. Dia sudah duduk di tepi tempat tidur ekstra besar yang ada di tengah-tengah kamar. "Bagus sekali, Sayang.
Zainab sedang berkutat di dapur bersama Suci untuk menyiapkan makanan berbuka puasa. Dia sudah tampak lebih sehat sekarang dan mulai bisa beraktivitas normal. "Mbak Zainab istirahat saja, biar saya yang lanjutkan memasak. Sudah hampir selesai, kok. Saya nggak tega lihat Mbak terlalu lama berdiri. Sudah lebih dari satu jam, loh." Suci berucap saat melihat Zainab mulai memijit-mijit pinggang. "Iya, Mbak Suci, pinggang sama perut tiba-tiba nggak enak banget rasanya. Aku tinggal, ya," pamit Zainab dan dijawab dengan anggukan oleh Suci. Zaidan yang baru saja masuk ke rumah, melihat sang istri yang duduk sendirian di sofa ruang tengah. Keningnya mengerut cukup dalam seraya mendekat kepada Zainab yang sedang mengelus perut. "Kenapa, Sayang? Sakit? Hei, wajahmu juga agak pucat." Zaidan mengangkat dagu Zainab, lalu menatap dengan seksama. Zainab menggeleng seraya berkata, "Enggak apa-apa, Mas. Cuma rasanya mual, tapi nggak bisa dikeluarin.""Jangan bilang kalau kamu puasa lagi hari ini,"
Di kehamilan yang memasuki bulan keempat ini, Zainab tampak mulai berisi. Memang kebahagiaan berpengaruh besar pada fisik seseorang dan itu sudah terbukti. Sepasang suami-istri itu sudah berdamai dengan keadaan dan saling memaafkan hingga tidak ada lagi beban di hati. Sore ini, Zainab akan memeriksakan kandungannya untuk kali pertama setelah kedatangan Zaidan. Zahira dan Zaki pun turut serta karena mereka begitu antusias dengan kehadiran sang calon adik. Rasa penasaran juga begitu besar di benak dua bocah itu tentang bagaimana cara adik mereka bisa ada dalam perut sang mama. Zahira dan Zaki begitu girangnya melihat layar USG empat dimensi di samping Zainab berbaring. Bahkan, suara detak jantung adik mereka yang terdengar begitu cepat membuat keduanya terkagum-kagum. "Itu, Dedek deg-degan, ya, Bu Dokter?" tanya Zahira dan ditanggapi dengan lembut oleh sang dokter yang masih memutar probe di perut Zainab. "Iya, Sayang. Itu, suara detak jantung adiknya Kakak Cantik." Dokter itu mengu