“Anak tidak tahu diri!”
Plakk!!
Gamparan keras mendarat di pipi mulus Adisti. Tangan kuat dan kekar sang ayah, kembali membuat gambar di pipi mulus itu. Lengkap, kiri dan kanan, pipi wanita belia itu kena sasaran. Tubuh Adisti oleng, dia terguling, dan hampir terjerembab ke lantai.
“Mas! Cukup! Sudah!” Sang ibu segera menunduk, memeluk erat putrinya agar tidak lagi mendapat pukulan dari ayah yang sedang kalap.
“Kamu masih mau membelanya? Hah?!” sentak ayah dengan mata melotot, tangan terkepal, dan wajah merah padam.
“Dia anak kita, Mas. Tolong, maafkan Disti .…” Tangis ibu meledak, dengan tangan makin kuat memeluk putrinya.
“Ini akibatnya karena kamu tidak becus mengurus anak!” Amarah ayah belum berkurang. Ibu pun kena getahnya. “Kamu terlalu memanjakan dia, memberi kebebasan tanpa aturan. Lihat hasilnya!”
“Mas, sudah … semua sudah terjadi. Mas, tolong ….” Dengan air mata berderai, ibu meminta belas kasihan ayah.
“Aku tidak sudi mengakui anak yang kurang ajar! Mulai hari ini, buat aku, Adisti bukan putriku. Satu jam waktumu untuk membereskan barang-barangmu, dan tinggalkan rumah ini!” Tatapan geram ayah meluap makin tak terkendali.
Adisti tak percaya mendengar itu. Ayah yang selama ini dia banggakan, dengan lantang mengusirnya? Ibu pun terkejut hingga dia melepaskan pelukan dan menatap suaminya dengan wajah terperangah.
“Rumahku tidak layak dihuni wanita murahan, perebut suami orang, hingga hamil di luar nikah.” Suara ayah merendah, tapi kata-katanya sangat menyakitkan. “Kamu dengar? Aku tidak perlu mengulang ucapanku. Kamu sudah memilih jalan hidupmu, urus saja dirimu sendiri.”
Adisti makin tergugu. Tangisnya makin jadi. Kacau, panik, bingung, dan beragam rasa bergulung-gulung di dadanya.
"Maafkan aku, Ayah ... Maafkan aku ...." Dengan dada terasa sesak, Adisti mengucapkan maaf berulang kali tanpa berani memandang ayahnya.
Pria tinggi dan berbadan gempal tiu tidak bergeming. Sama sekali dia tidak tersentuh dengan permohonan maaf putrinya.
“Mas!” Ibu tak bisa menahan pilu. Dia memandang suaminya dengan wajah sedih, memelas, tapi juga marah. "Jangan begini. Gimana juga Disti putri kita."
“Kalau kamu tidak rela, silakan kamu ikut dengannya. Kamu kira aku tak bisa mengurus adik Adisti tanpa kamu?” Dengan kalimat itu ayah melangkah meninggalkan kamar Adisti. Kemudian terdengar bum! Pintu dibanting.
Tangis Adisti kembali deras. Ibunya memeluknya lagi dengan kuat.
“Maafkan aku, Bu. Maafkan aku. Aku harus pergi.” Dengan tubuh lemas, Adisti melepas pelukan ibunya. Dia bangun dan mengambil ransel dari dalam lemari. Dia memasukkan pakaiannya sembarangan, seberapa yang muat dalam ransel itu.
Ibunya segera mendekat dan memegang tangan Adisti. Dia menahan agar Adisti tidak melanjutkan niatnya pergi.
“Ibu akan membujuk ayahmu. Sabar sedikit, Disti.” Dengan wajah pilu, ibu memandang Adisti.
“Bu, aku telah melakukan dosa besar, aku membuat malu keluarga ini. Ayah benar, aku ga pantas ada di tengah kalian.” Adisti tahu, jika ayah sudah memutuskan, hampir tidak mungkin dia merubahnya lagi.
“Kamu mau ke mana? Disti?” Ibu tidak mengira Adisti menuruti saja perkataan ayahnya. “Besok amarah ayahmu pasti mereda. Datang dan minta maaf lagi, dia akan luluh.”
“Maafkan aku, Bu. Aku tahu, apa yang kulakukan tidak termaafkan.” Adisti tidak akan berdebat dengan ayahnya lagi. Keputusannya sudah bulat, pergi dari rumah itu.
Adisti mengangkat bawaannya. Dia menuju kamar ayahnya yang tertutup. Dia tahu sang ayah ada di dalam. Adisti mengetuk-etuk. Tidak ada jawaban. Adisti menguatkan hati. Dia menarik nafas dalam, sebelum mengucapkan kata pamit.
"Ayah ... maafkan aku ... Aku ... aku ...." Adisti seolah tak mampu mengeluarkan satu kata lagi. Air mata kembali berderai. "Aku pamit ... Aku ...."
Tidak ada suara apapun dari dalam kamar. Adisti menghapus air matanya, lalu berbalik dan melangkah keluar rumah. Ibu pun hanya bisa menangis saat melihat putri sulungnya dengan hati pilu melangkah keluar rumah. Hancur berkeping-keping rasa hatinya.
“Kakak, bye … hati-hati .…” Suara manja adik Adisti. Dia melambai pada kakaknya yang dengan hati gamang melangkah semakin jauh.
Adinda, adik Adisti satu-satunya. Usia Adinda sudah enam belas tahun, tetapi pikirannya masih seperti anak berumur delapan tahun. Dia perlu perhatian khusus karena kondisinya. Di ujung jalan, Adisti masih sempat menoleh, tampak Adinda masih melambai dengan tersenyum. Dia tidak benar-benar mengerti apa yang tengah terjadi.
*****
“Om, tolong aku, aku ga tahu mau ke mana. Bayi ini anak Om. Om harus tanggung jawab,” Adisti menarik lengan pria berumur hampir empat puluh tahun itu. Wajah Adisti memelas memandang pria dengan postur tinggi dan hidung mancung di depannya.
“Lepaskan! Kamu mau membuat skandal? Siapa yang membayar kamu?” sentak pria itu, sambil sedikit mendorong Adisti agar pegangan wanita muda itu terlepas.
“Om?” Adisti terbelalak. Tak dia percaya, kata-kata itu yang dia dengar! Adisti dibayar untuk membuat skandal?
“Aku sudah punya istri dan anak. Bisa-bisanya kamu datang mengatakan hal yang tidak-tidak. Sekuriti! Bawa perempuan ini keluar!” Suara pria itu lebih keras berseru.
Dengan cepat dua orang sekuriti kantor itu mendekat. Mereka memaksa Adisti keluar. Dengan derai air mata Adisti meninggalkan tempat itu. Harapan satu-satunya adalah laki-laki yang menjalani hari-hari bersamanya. Pria itu hampir dua tahun menjalin hubungan khusus dengan Adisti.
Beberapa pegawai kantor memperhatikan kejadian itu. Tatapan mereka terperangah dan sinis kepada Adisti. Tampak mereka berbisik-bisik, entah apa yang mereka bicarakan. Yang pasti bukan hal baik, tentang gadis yang tiba-tiba datang membuat kericuhan di kantor besar dan megah di tengah kota itu.
Adisti berjalan dengan lesu dan merasa tubuhnya limbung, menjauh dari kantor. Dia duduk di pinggir jalan, di bawah pohon akasia. Di depannya, jalan raya masih cukup ramai. Kendaraan lalu lalang tanpa henti. Tidak ada yang peduli pada wanita muda yang hampir putus asa dengan hidupnya.
“Aku harus bagaimana? Aku mau ke mana?” ucap Adisti lirih sambil mengusap kedua pipinya yang basah.
Sebuah kendaraan hitam, mengkilat, menunjukkan kelasnya yang elegan, lewat di depan Adisti. Mobil Ramon. Adisti hanya memandang saja, hingga mobil itu makin jauh.
Tuuttt!! Ponsel Adisti berdering. Adisti nenerima panggilan itu.
“Aku mengirim di rekeningmu sejumlah uang. Cukup besar. Ini terakhir kali aku berhubungan denganmu. Jangan pernah muncul lagi di hadapanku. Kita tidak saling kenal. Kalau kamu tidak bisa merawat bayimu, gugurkan saja.”
Klik. Panggilan terputus.
“Apa? Ini ….” Bergetar suara Adisti mengatakan itu. Adisti menundukkan kepala dalam-dalam dan menangis sejadi-jadinya.
Dia tidak peduli orang-orang yang lewat, entah yang berkendara atau berjalan kaki memperhatikannya. Hancur berkeping-keping. Semua buyar. Segala kebahagiaan yang dia miliki lenyap. Ayahnya membuang dirinya. Kekasih yang dia anggap pria hebat dan penuh cinta, melihat dia begitu hina.
Beberapa waktu Adisti masih berjuang menghentikan tangisnya. Berulang kali dia menarik nafas panjang, melonggarkan dadanya yang semakin sesak.
“Tuhan … ampuni aku … aku tahu aku sudah melakukan kesalahan besar .…” doanya di dalam hati. “Tapi … aku tidak mungkin membunuh anakku sendiri. Tidak mungkin ….”
Dengan hati hancur Adisti berdiri. Dia angkat ranselnya, juga tas kecil dia selempangkan dari bahunya.
“Aku harus apa? Harus bagaimana?” ucap Adisti di tengah tangisnya.
Bis melaju lebih lambat. Hujan cukup deras mengguyur jalanan. Adisti memperhatikan rumah-rumah yang berjajar di sepanjang jalan yang dilalui bis itu. Tatapannya nanar. Sedih dan gelisah, itu yang dia rasakan. Semua hancur. Kehidupan yang menyenangkan yang dia miliki berantakan dalam sekejap. Dan itu karena ada bayi dalam kandungannya.Pikiran Adisti berlari pada hari saat dia mengetahui dirinya berbadan dua, dan dia ungkapkan pada sahabatnya, Arin.“Kamu hamil? Kok bisa?” Tatapan terkejut dari sahabatnya menghujam pada Adisti.“Tapi itu benar, Rin.” Adisti dengan bingung melihat Arin.“Kamu ga jaga? Ga minta itu Om pakai pengaman? Kamu bukannya juga biasa minum pil?” Arin menggeleng keras. Tidak percaya dengan yang Adisti katakan.“Dia ga pernah mau pakai pengaman. Aku, seingatku aku ga lupa, tapi .…”“Disti! Kenapa kamu seteledor ini?” Arin tampak menyesal mendengar kabar ke
Lima tahun berlalu. Gadis kecil dengan rambut sepunggung itu memegang gaunnya dan mengibar-ibarkannya ke kiri dan kanan dengan riang. Senyum indah menghiasi bibir mungil di wajahnya. “Sayang, lihat!” Panggilan itu membuat si gadis kecil mengangkat kepala, memandang ke depan. Senyumnya makin lebar, dan sambil bertepuk tangan dia melihat ibunya datang membawa kue ulang tahun yang cantik, lengkap dengan lima lilin di atasnya. “Makasih, Ibu!” ujarnya girang. “Selamat ulang tahun, Felicia Lovelita. Sudah berapa sekarang umur kamu?” ucap ibunya dengan senyum penuh kebahagiaan. “Lima! Aku udah gede!” sahut Felicia riang. Dia mengangkat tinggi lima jari tangan kanannya. “Iya! Udah gede. Makin cantik seperti Ibu Disti.” Seorang wanita kira-kira enam puluhan tahun menghampiri mereka berdua. “Bu Meity .…” Adisti menoleh pada wanita itu. “Ayo, Cia tiup lilinnya, lalu kita berdoa buat Cia,” kata Meity. Mereka duduk mengelilingi meja di ruangan itu. Adisti meletakkan kue di depan Felicia.
Tubuh Adisti makin terasa gemetar. Dia menutup mata dengan kedua tangan seketika, karena takut luar biasa melihat yang terjadi di depan matanya. Tiba-tiba, pria tampan dan gagah itu sudah berada di tengah jalan. Dengan cepat dia mengangkat Felicia lalu membawanya ke tepi. Motor yang hampir menabrak Felicia masih berhenti. Pengendaranya memperhatikan Felicia. Karena sudah aman, dia segera berlalu dari tempat itu. "Kamu tidak apa-apa?" Vernon menurunkan Felicia, lalu memberikan botol minuman gadis kecil itu. Felicia menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan ketakutan. "Adikmu baik-baik saja. Beri dia minum. Lain kali hati-hati," ujar Vernon pada Adisti. Suaranya tegas, tapi tidak galak. Dia berdiri dan berjalan ke arah mobilnya. Adisti bisa melihat pria itu begitu dekat. Tampan sekali. Bentuk wajah, hidung, mata, dan bibir. Perfect. "Makasih, Om!" Felicia masih sempat berucap terima kasih. Vernon menoleh, melambai, lalu masuk ke dalam mobil. Segera mobil melaju meninggalkan tempat i
"Selamat siang, Pak." Adisti menyapa pria yang berdiri di sampingnya dan sedikit ke belakang. "Kalau kamu mau coba masuk ke perusahaan itu, masa depan kamu akan bagus, Adisti." Pria yang sudah berambut putih itu tersenyum pada Adisti. "Apa mungkin saya diterima, Pak?" Adisti bertanya. "Buat saja lamaran dan CV. Prof. Hamdani siap memberikan rekomendasi. Kamu salah satu mahasiswa terbaik di sini. Sangat pantas kamu mendapat kesempatan masuk di perusahaan itu," jawab Prof. Hamdani. "Tapi saya masih ada kuliah, dan skripsi baru mulai menyusun." Adisti memandang dosen senio itu. "Buat kamu, dua mata kuliah dan kerja skripsi apa yang susah. Justru dengan bekerja di sana, jika mungkin jadi tempat penelitian kamu. Coba cari apa ada benang merah dengan yang kamu tulis." Prof. Hamdani meyakinkan Adisti. Dosen itu juga adalah dosen pembimbing Adisti. "Baik, Prof. Saya akan coba." Adisti mengangguk. Ada rasa senang, tapi juga degdegan. Ini akan jadi pengalaman baru buatnya. "Temui aku dua
Adisti berbalik dengan cepat, Dadanya berdegup kencang. Adisti tidak tahu bagaimana membahasakan kelakuan sepasang kekasih itu. Wanita itu, Adisti ingat dia. Pria itu, Adisti juga ingat. Pria tampan yang menyelamatkan Felicia. Mereka bermesraan di lorong kantor yang sepi. "Ya Tuhan ... mereka sudah gila ...," ujar Adisti dalam hati. Dia tidak ingat lagi dia harus melakukan wawancara. Lebih baik dia kembali ke bawah, memastikan semuanya. Dan yang utama, menetralkan dadanya yang masih bergemuruh tidak karuan menyaksikan adegan panas di tempat tak seharusnya. Baru saja Adisti akan memencet tombol lift, terdengar seseorang bicara. "Mbak, mau ke mana?" Adisti memutar badannya. Seorang pria kira-kira empat puluh tahun, posturnya kecil dan kurus dengan hidung bangir, berkacata mata menatapnya. Dia tampak rapi dan licin. Dengan jas yang dia kenakan, Adisti yakin pria itu pegawai yang punya jabatan di kantor itu. "Eh, aku ... sebenarnya dipanggil wawancara, tapi aku tidak tahu di mana ruan
Jalanan lumayan ramai. Adisti sedikit kesal, karena perjalanannya menuju sekolah Felicia tidak sangat lancar. Banyak pertanyaan bergerilya di pikirannya. Apa yang terjadi? Apa yang Felicia lakukan pada temannya? Adisti gelisah dan cemas. Jika terjadi sesuatu dengan anak orang, bisa jadi masalah pasti. "Cia, kamu buat apa sama temanmu?" ujar Adisti dengan rasa campur aduk. Tiba di sekolah. Adisti berlari kecil menuju ke kelas Felicia. Belum sampai di kelas, Adisti bertemu salah satu guru dan diberitahu jika Felicia ada di kantor kepala sekolah. Hati Adisti makin tidak tenang. Bergegas dia menuju kantor kepala sekolah. "Aduh, ini anak! Sampai kepala sekolah juga yang ngurus. Ihh ...." Adisti tidak bisa membayangkan situasinya. Pasti yang terjadi sangat buruk. Bagaimana bisa Felicia senakal itu? Adisti sampai di depan ruang kepala sekolah. Di dalam ibu kepala duduk berhadapan dengan Felicia. Gadis kecil itu menunduk sambil melipat kedua tangannya, disatukan di atas lututnya. "Permisi
Mata Adisti terbelalak. Dia mendapat pesan jika dia diterima sebagai pegawai di perusahaan besar itu. Holding Company. Perusahaan yang bukan saja bergerak di satu bidang usaha. Ada setidaknya empat sekaligus bidang usaha yang ditangani perusahaan PT. Pertiwi Merdeka. Adisti tersenyum lebar, tetapi juga berdebar-debar tidak karuan di hatinya. "Kenapa?" Ernita menatap Adisti. "Aku diterima. Senin aku mulai kerja." Adisti membalas tatapan Ernita dengan wajah memerah. "Tuh, kan? Pasti kamu diterima. Mantap juga, mereka bisa mengerti kondisi kamu sebagai mahasiswa. Kuharap benar-benar tidak masalah jika nanti kamu harus cukup sering ke kampus. Apalagi kalau sudah mendekati sidang skripsi." Ernita mengutarakan yang dia pikirkan. "Ya, kamu benar. Aku harus memikirkan itu. Jangan sampai, nanti malah aku keteteran." Adisti mengangguk. "Ah, Erni, aku ga sabar, jadi pegawai kantor akhirnya. Beneran, aku degdegan tapi pingin cepat mulai." "Good luck, Dis. Semangat. Masa depan di depan mata."
Meity memegang kedua tangan Felicia. Dia tersenyum manis, menatap bola bening dan jernih gadis kecil yang cantik itu. "Sayang, orang dewasa itu beda dengan anak-anak. Mereka punya masalah itu lebih macam-macam. Ada yang mudah diselesaikan, ada yang tidak. Kalaupun mereka sudah selesai masalahnya, belum tentu bisa berteman lagi. Kalau bisa berteman, belum tentu bisa bertemu lagi." Felicia memicingkan matanya. Wajahnya lucu sekali. Terlihat serius memikirkan yang Meity ucapkan. "Itu, berarti ... ayah dan ibuku, udah baikan, tapi ga bisa berteman? Ga bisa bertemu?" Felicia mencoba menyimpulkan yang Meity katakan. "Hm-mm. Seperti itu. Tapi, Cia tetap bisa hidup baik. Ada Ibu yang sayang Cia, ada Nenek juga sayang Cia. Ga usah sedih." Meity mengusap pipi Felicia dengan lembut. Adisti lega mendengar yang Meity tuturkan pada putrinya. "Jadi, aku memang ga bisa ketemu Ayah?" tanya Felicia. Dia mencoba memahami, tapi rasa sedih mendarat lagi di ujung hatinya. "Iya, Cia. Ga bisa." Adist