Share

Ibu, Aku Mau Ayah
Ibu, Aku Mau Ayah
Penulis: Ayunina Sharlyn

Bab 1. Meninggalkan Semuanya

“Anak tidak tahu diri!”

Plakk!!

Gamparan keras mendarat di pipi mulus Adisti. Tangan kuat dan kekar sang ayah, kembali membuat gambar di pipi mulus itu. Lengkap, kiri dan kanan, pipi wanita belia itu kena sasaran. Tubuh Adisti oleng, dia terguling, dan hampir terjerembab ke lantai.

“Mas! Cukup! Sudah!” Sang ibu segera menunduk, memeluk erat putrinya agar tidak lagi mendapat pukulan dari ayah yang sedang kalap.

“Kamu masih mau membelanya? Hah?!” sentak ayah dengan mata melotot, tangan terkepal, dan wajah merah padam.

“Dia anak kita, Mas. Tolong, maafkan Disti .…” Tangis ibu meledak, dengan tangan makin kuat memeluk putrinya.

“Ini akibatnya karena kamu tidak becus mengurus anak!” Amarah ayah belum berkurang. Ibu pun kena getahnya. “Kamu terlalu memanjakan dia, memberi kebebasan tanpa aturan. Lihat hasilnya!”

“Mas, sudah … semua sudah terjadi. Mas, tolong ….” Dengan air mata berderai, ibu meminta belas kasihan ayah.

“Aku tidak sudi mengakui anak yang kurang ajar! Mulai hari ini, buat aku, Adisti bukan putriku. Satu jam waktumu untuk membereskan barang-barangmu, dan tinggalkan rumah ini!” Tatapan geram ayah meluap makin tak terkendali.

Adisti tak percaya mendengar itu. Ayah yang selama ini dia banggakan, dengan lantang mengusirnya? Ibu pun terkejut hingga dia melepaskan pelukan dan menatap suaminya dengan wajah terperangah.

“Rumahku tidak layak dihuni wanita murahan, perebut suami orang, hingga hamil di luar nikah.” Suara ayah merendah, tapi kata-katanya sangat menyakitkan. “Kamu dengar? Aku tidak perlu mengulang ucapanku. Kamu sudah memilih jalan hidupmu, urus saja dirimu sendiri.”

Adisti makin tergugu. Tangisnya makin jadi. Kacau, panik, bingung, dan beragam rasa bergulung-gulung di dadanya.

"Maafkan aku, Ayah ... Maafkan aku ...." Dengan dada terasa sesak, Adisti mengucapkan maaf berulang kali tanpa berani memandang ayahnya. 

Pria tinggi dan berbadan gempal tiu tidak bergeming. Sama sekali dia tidak tersentuh dengan permohonan maaf putrinya.

“Mas!” Ibu tak bisa menahan pilu. Dia memandang suaminya dengan wajah sedih, memelas, tapi juga marah. "Jangan begini. Gimana juga Disti putri kita."

“Kalau kamu tidak rela, silakan kamu ikut dengannya. Kamu kira aku tak bisa mengurus adik Adisti tanpa kamu?” Dengan kalimat itu ayah melangkah meninggalkan kamar Adisti. Kemudian terdengar bum! Pintu dibanting.

Tangis Adisti kembali deras. Ibunya memeluknya lagi dengan kuat.

“Maafkan aku, Bu. Maafkan aku. Aku harus pergi.” Dengan tubuh lemas, Adisti melepas pelukan ibunya. Dia bangun dan mengambil ransel dari dalam lemari. Dia memasukkan pakaiannya sembarangan, seberapa yang muat dalam ransel itu.

Ibunya segera mendekat dan memegang tangan Adisti. Dia menahan agar Adisti tidak melanjutkan niatnya pergi.

“Ibu akan membujuk ayahmu. Sabar sedikit, Disti.” Dengan wajah pilu, ibu memandang Adisti.

“Bu, aku telah melakukan dosa besar, aku membuat malu keluarga ini. Ayah benar, aku ga pantas ada di tengah kalian.” Adisti tahu, jika ayah sudah memutuskan, hampir tidak mungkin dia merubahnya lagi.

“Kamu mau ke mana? Disti?” Ibu tidak mengira Adisti menuruti saja perkataan ayahnya. “Besok amarah ayahmu pasti mereda. Datang dan minta maaf lagi, dia akan luluh.”

“Maafkan aku, Bu. Aku tahu, apa yang kulakukan tidak termaafkan.” Adisti tidak akan berdebat dengan ayahnya lagi. Keputusannya sudah bulat, pergi dari rumah itu.

Adisti mengangkat bawaannya. Dia menuju kamar ayahnya yang tertutup. Dia tahu sang ayah ada di dalam. Adisti mengetuk-etuk. Tidak ada jawaban. Adisti menguatkan hati. Dia menarik nafas dalam, sebelum mengucapkan kata pamit.

"Ayah ... maafkan aku ... Aku ... aku ...." Adisti seolah tak mampu mengeluarkan satu kata lagi. Air mata kembali berderai. "Aku pamit ... Aku ...."

Tidak ada suara apapun dari dalam kamar. Adisti menghapus air matanya, lalu berbalik dan melangkah keluar rumah. Ibu pun hanya bisa menangis saat melihat putri sulungnya dengan hati pilu melangkah keluar rumah. Hancur berkeping-keping rasa hatinya. 

“Kakak, bye … hati-hati .…” Suara manja adik Adisti. Dia melambai pada kakaknya yang dengan hati gamang melangkah semakin jauh.

Adinda, adik Adisti satu-satunya. Usia Adinda sudah enam belas tahun, tetapi pikirannya masih seperti anak berumur delapan tahun. Dia perlu perhatian khusus karena kondisinya. Di ujung jalan, Adisti masih sempat menoleh, tampak Adinda masih melambai dengan tersenyum. Dia tidak benar-benar mengerti apa yang tengah terjadi.

*****

“Om, tolong aku, aku ga tahu mau ke mana. Bayi ini anak Om. Om harus tanggung jawab,” Adisti menarik lengan pria berumur hampir empat puluh tahun itu. Wajah Adisti memelas memandang pria dengan postur tinggi dan hidung mancung di depannya.

“Lepaskan! Kamu mau membuat skandal? Siapa yang membayar kamu?” sentak pria itu, sambil sedikit mendorong Adisti agar pegangan wanita muda itu terlepas.

“Om?” Adisti terbelalak. Tak dia percaya, kata-kata itu yang dia dengar! Adisti dibayar untuk membuat skandal?

“Aku sudah punya istri dan anak. Bisa-bisanya kamu datang mengatakan hal yang tidak-tidak. Sekuriti! Bawa perempuan ini keluar!” Suara pria itu lebih keras berseru.

Dengan cepat dua orang sekuriti kantor itu mendekat. Mereka memaksa Adisti keluar. Dengan derai air mata Adisti meninggalkan tempat itu. Harapan satu-satunya adalah laki-laki yang menjalani hari-hari bersamanya. Pria itu hampir dua tahun menjalin hubungan khusus dengan Adisti.

Beberapa pegawai kantor memperhatikan kejadian itu. Tatapan mereka terperangah dan sinis kepada Adisti. Tampak mereka berbisik-bisik, entah apa yang mereka bicarakan. Yang pasti bukan hal baik, tentang gadis yang tiba-tiba datang membuat kericuhan di kantor besar dan megah di tengah kota itu.

Adisti berjalan dengan lesu dan merasa tubuhnya limbung, menjauh dari kantor. Dia duduk di pinggir jalan, di bawah pohon akasia. Di depannya, jalan raya masih cukup ramai. Kendaraan lalu lalang tanpa henti. Tidak ada yang peduli pada wanita muda yang hampir putus asa dengan hidupnya.

“Aku harus bagaimana? Aku mau ke mana?” ucap Adisti lirih sambil mengusap kedua pipinya yang basah.

Sebuah kendaraan hitam, mengkilat, menunjukkan kelasnya yang elegan, lewat di depan Adisti. Mobil Ramon. Adisti hanya memandang saja, hingga mobil itu makin jauh.

Tuuttt!! Ponsel Adisti berdering. Adisti nenerima panggilan itu.

“Aku mengirim di rekeningmu sejumlah uang. Cukup besar. Ini terakhir kali aku berhubungan denganmu. Jangan pernah muncul lagi di hadapanku. Kita tidak saling kenal. Kalau kamu tidak bisa merawat bayimu, gugurkan saja.”

Klik. Panggilan terputus.

“Apa? Ini ….” Bergetar suara Adisti mengatakan itu. Adisti menundukkan kepala dalam-dalam dan menangis sejadi-jadinya.

Dia tidak peduli orang-orang yang lewat, entah yang berkendara atau berjalan kaki memperhatikannya. Hancur berkeping-keping. Semua buyar. Segala kebahagiaan yang dia miliki lenyap. Ayahnya membuang dirinya. Kekasih yang dia anggap pria hebat dan penuh cinta, melihat dia begitu hina.

Beberapa waktu Adisti masih berjuang menghentikan tangisnya. Berulang kali dia menarik nafas panjang, melonggarkan dadanya yang semakin sesak.

“Tuhan … ampuni aku … aku tahu aku sudah melakukan kesalahan besar .…” doanya di dalam hati. “Tapi … aku tidak mungkin membunuh anakku sendiri. Tidak mungkin ….”

Dengan hati hancur Adisti berdiri. Dia angkat ranselnya, juga tas kecil dia selempangkan dari bahunya.

“Aku harus apa? Harus bagaimana?” ucap Adisti di tengah tangisnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status