Home / Romansa / Ibu, Aku Mau Ayah / Bab 2. Hancur, Habis, Lenyap

Share

Bab 2. Hancur, Habis, Lenyap

last update Last Updated: 2022-03-05 07:45:29

Bis melaju lebih lambat. Hujan cukup deras mengguyur jalanan. Adisti memperhatikan rumah-rumah yang berjajar di sepanjang jalan yang dilalui bis itu. Tatapannya nanar. Sedih dan gelisah, itu yang dia rasakan. Semua hancur. Kehidupan yang menyenangkan yang dia miliki berantakan dalam sekejap. Dan itu karena ada bayi dalam kandungannya.

Pikiran Adisti berlari pada hari saat dia mengetahui dirinya berbadan dua, dan dia ungkapkan pada sahabatnya, Arin.

“Kamu hamil? Kok bisa?” Tatapan terkejut dari sahabatnya menghujam pada Adisti.

“Tapi itu benar, Rin.” Adisti dengan bingung melihat Arin.

“Kamu ga jaga? Ga minta itu Om pakai pengaman? Kamu bukannya juga biasa minum pil?” Arin menggeleng keras. Tidak percaya dengan yang Adisti katakan.

“Dia ga pernah mau pakai pengaman. Aku, seingatku aku ga lupa, tapi .…”

“Disti! Kenapa kamu seteledor ini?” Arin tampak menyesal mendengar kabar kehamilan Adisti. “Kamu tahu apa artinya itu? Kamu ga bisa kuliah dengan kondisi kayak gini. Kamu ga mungkin juga minta Om Ramon tanggung jawab. Disti … ini bencana!”

 Kata-kata Arin membuat Adisti makin kalang kabut.

“Gugurkan saja bayi itu. Kamu belum siap menjadi ibu, dan memang tidak mungkin!”

Itu kalimat terakhir yang Adisti dengar dari Arin. Sejak itu Adisti tidak lagi berkomunikasi dengan temannya itu.

Hujan masih turun, meskipun tidak sederas sebelumnya.

Adisti mengusap matanya yang sesekali basah. Jika bisa, ingin sekali dia lenyap dari muka bumi. Agar semua kekacauan yang terjadi di hidupnya berlalu.

“Arin .…” gumam Adisti lirih. Tangannya membuka ponsel dan melihat galeri foto. Wajah ceria sahabatnya muncul di sana.

Arin yang mengenalkan Adisti pada dunia malam. Arin yang menunjukkan nikmatnya menjadi kesayangan pria beristri yang rindu pelukan gadis belia. Awalnya Adisti takut melangkah. Arin memastikan yang mereka lakukan hanya ingin bersenang-senang. Dengan cara itu, mudah mendapat banyak uang tanpa harus menyusahkan orang tua lagi.

Entah kenapa, Adisti bisa terhanyut dan ikut dalam permainan itu. Mengenal pria tampan, mapan, dan penuh pesona rasanya seperti gadis hebat. Apalagi dia pria yang cukup dikenal dan berpengaruh di banyak kalangan. Adisti bisa minta apa saja yang dia mau, dengan gampang pria itu mengirim sejumlah uang. Hanya satu imbalannya, tubuh Adisti.

“Rasanya begitu luar biasa bisa berada di sisi pria hebat. Ternyata … semua kini habis sudah. Aku bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Kenapa aku begitu bodoh? Tidak sadar, hanya tubuhku saja yang dia butuhkan. Saat aku mengandung anaknya, dia menolakku.” Penyesalan semakin dalam menghujam di dada Adisti.

Bis terus melaju, malam makin dalam, hari hampir berganti. Tak sedetik pun mata Adisti terpejam. Meski kepala pening mata terasa mata berat, semua kejadian yang Adisti alami, hingga diusir sang ayah kembali terpampang di pikirannya. Tangisan ibu yang tak rela dia pergi pun muncul di sana. Senyum manis Adinda dan lambaian tangannya, tak ketinggalan.

“Maafkan aku … maafkan aku …,” ucap Adisti lirih.

Hujan perlahan reda. Malam semakin larut. Mata Adisti belum juga terpejam.

“Aku lebih baik menghilang dari semua orang. Aib ini tidak akan termaafkan. Aku harus pergi sejauh mungkin, agar semua orang lupa ada wanita jalang bernama Adisti Kayshilla Dewina.”

*****

Malang.

Adisti sampai di tujuan. Bis berhenti di terminal. Satu per satu penumpang turun meninggalkan kendaraan besar itu, menuju keluar terminal. Hari masih gelap, subuh belum berakhir.

Adisti berhenti di dekat gerbang keluar, melihat ke sekeliling. Tidak ada maksud dia datang ke kota itu. Dia seperti orang linglung yang berkata iya, saat ditanya salah satu pria di depan terminal di kota Semarang, kota asalnya, dia akan ke mana. Saat pria itu menyebut Malang, entah kenapa Adisti mengangguk.

Dan sampailah Adisti di kota kecil yang sedang berkembang itu. Adisti pernah datang ke kota Malang untuk darma wisata dengan kelasnya saat lulus SMP. Itu sudah sekian tahun yang lalu. Tidak banyak yang dia tahu. Tapi hidup barunya akan dia di mulai di kota itu.

“Aku harus ke mana sekarang?” Adisti sekali lagi memandang sekeliling. Suasana di terminal tidak begitu ramai. Setidaknya Adisti harus mencari tempat tinggal. Lalu dia akan mencari pekerjaan, apapun, asal dia bisa bertahan hidup.

“Mbak, mau ke mana?” Seorang pria muda menghampiri dan bertanya. Mungkin dia melihat Adisti tampak bingung.

“Eh, ke … pusat kota, Mas.” Adisti menjawab sambil memperhatikan pria itu.

“Pusat kota? Ke alun-alun? Jam segini, Mbak?” Pria itu tampak heran dengan jawaban Adisti.

“Iya." Adisti berharap pria ini akan memberi informasi yang dia perlukan. “Kalau mencari tempat menginap, seperti kos begitu, paling dekat dengan pusat kota ada, ya?”

Pria itu menjelaskan ini dan itu kepada Adisti. Adisti memperhatikan dan menyimak baik-baik. Ternyata boleh juga. Pria itu memang baik. Itu yang Adisti pikirkan.

Sementara masih bicara, tiba-tiba ada yang menabrak Adisti hingga Adisti hampir terjungkal.

“Maaf, Mbak, nggak sengaja.” Seorang bapak, masih relatif muda juga. Dia sedikit membungkuk lalu dengan cepat berlalu dari situ.

“Ada yang mau ditanya lagi, Mbak?” Pria itu masih di tempatnya.

“Eh, cukup kayaknya. Terima kasih,” ujar Adisti.

“Oke, Mbak. Hati-hati, banyak orang jahat di sekitar sini.” Pria itu tersenyum, lalu berjalan menjauh.

Adisti memegang dadanya mendengar itu. Ah, benar juga. Dia harus hati-hati, dia tidak kenal siapapun di kota itu.

Adisti membuka tas dan mencari ponselnya. Lebih baik dia browsing saja tempat yang sempat diinformasikan pria itu. Mata Adisti terbelalak, Tasnya bolong, cukup lebar. Robek, seperti kena pisau atau silet.

Ponsel tidak ada. Dompet pun lenyap. Adisti mulai gemetar. Apa yang terjadi? Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Pria yang tadi bicara dengannya juga lenyap.

Terngiang kalimat terakhir pria itu. “Hati-hati, banyak orang jahat di sekitar sini.”

“Tidak … Tidak mungkin.” Adisti terpana. Pria itu, dan pria yang menabraknya. Adisti yakin, mereka yang melakukannya.

Adisti seketika merasa lemas. Apa yang bisa dia lakukan? Dia tidak punya uang di tangan. Ada sekian juta yang tersimpan di bank, tapi tidak mungkin dia bisa ambil dengan mudah.  Adisti terduduk di pinggir jalan, kembali menangis.

Lengkap sudah penderitaannya. Diusir ayah, ditolak kekasih gelapnya, dan pergi jauh dari semuanya, membawa dia pada kesialan yang baru.

“Tuhan, aku ingin mati saja … Aku ga bisa hidup seperti ini ….” Dalam hati Adisti berseru, tapi yang keluar di bibirnya hanya isakan. Dadanya terasa sesak. Tubuhnya seakan limbung dan hampir jatuh.

Hingga hari semakin terang, Adisti masih di tempatnya. Kendaraan mulai lebih banyak yang berlalu lalang. Seperti yang lalu, saat Adisti duduk di pinggir jalan tak jauh dari kantor megah kekasih gelapnya, tak satupun yang peduli.

“Aku lapar sekali.” Adisti membuka tasnya. Hanya ada air mineral di sana. Tidak ada pilihan, Adisti meneguknya hingga habis.

Dengan rasa lunglai, Adisti bangun, mengangkat ranselnya, dan mulai berjalan. Tidak tahu akan ke mana, hanya berjalan saja, menjauh dari terminal.

Hampir setengah jam memaksa kakinya melangkah, Adisti merasa makin lemas. Kepalanya pusing tiba-tiba. Tidak mampu lagi menahan tubuhnya, Adisti terguling dan jatuh di pinggir jalan. Pingsan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu, Aku Mau Ayah   Extra Moment - Ibu, Makasih Buat Ayahku

    Vernon tersenyum tidak ada henti. Melihat tingkah Adisti begitu girang, menikmati kebersamaan mereka di negeri yang indah dengan suasana romantis, sangat menyenangkan. Adisti merasa seperti dibawa ke surga saja merasakan segala hal yang tidak pernah dia bayangkan dan pikirkan akan terjadi di hidupnya. Kebaikan dan ketulusan Vernon menerima dia apa adanya, dan menyayangi Felicia , membuat Adisti ingin memberikan membahagiakan Vernon. Semua yang dia limpahkan belum tentu bisa membalas yang Vernon telah berikan untuknya dan Felicia. "Terima kasih buat semuanya, Mas. Aku kayak Cinderella aja. Semua yang ga kepikir aku nikmati karena jadi istri anak sultan." Adisti memeluk pinggang Vernon. Vernon tersenyum, tidak menjawab, hanya membalas pelukan Adisti. Pelukan itu cukup sebagai jawaban, Vernon bahagia bersama Adisti. Bulan madu berlalu. Vernon dan Adisti kembali ke tanah air, kembali ke Malang, dan pada kehidupan nyata mereka. Rumah Vernon telah dirombak sesuai dengan kebutuhan sebuah

  • Ibu, Aku Mau Ayah   Extra Moment - Totally Yours

    Pesta usai. Vernon dan Adisti bersiap meninggalkan Malang dan segera meluncur. Adisti bertanya Vernon mengajaknya ke mana, Vernon masih saja menjawab rahasia. Percuma sekalipun Adisti merayu dan meminta Vernon memberitahu. "Ibu, Ayah! Hati-hati di jalan!" Tangan kecil Felicia melambai ke arah mobil yang mengantar Vernon dan Adisti ke bandara. Adisti dan Vernon membalas lambaian itu dengan senyum bahagia. "Gonna miss you, Sweet heart!" Adisti berkata dengan senyum masih tertinggal. "Ga usah khawatir lagi. Cia bisa tinggal di mana saja dia mau. Dengan Papa dan Mama, Ayah dan Ibu, Kak Virni atau Ernita? Aman." Vernon memegang tangan Adisti dan mengusapnya dengan lembut. "Iya. Terlalu banyak cinta buat Cia. Aku ga usah khawatir. Mas Benar," ujar Adisti dengan hati lega. Bandara, lalu pesawat. Berdua dengan Vernon, ah, selalu saja penuh kejutan. Di bandara baru Adisti tahu, tujuan mereka adalah ke Jakarta. Tidak sampai tiga jam kemudian, mereka sudah sampai di tujuan, salah satu hotel

  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 138. Sweet Moment With You

    Adisti refleks mengerjap beberapa kali mendengar pertanyaan itu. Kenapa si ibu jadi mirip sama Si Bos tampan, bisa gini kelakuannya? "Haa ... haa ... Vernon benar. Kalau sedang kaget atau gugup, kamu memang lucu." Savitri menoleh pada Vernon. Apa? Vernon cerita apa saja soal Adisti pada Savitri? Degdegan makin jadi di dada Adisti. "Jujur, aku bergumul lama. Berpikir panjang dan tidak segera menjawab permintaan Vernon dan Mas Varen untuk memberi restu kalian bersama." Savitri kembali serius. "Mas Varen dan aku bicara banyak sekali. Melihat hari ini, yang telah lalu, dan nanti akan seperti apa." Adisti memandang Savitri. Ini sesuatu yang sangat penting yang dia harus pahami. "Pertama, aku harus berterima kasih pada Mbak Tya." Arah mata Savitri beralih ke sebelah kanan Adisti, pada Adistya. Wanita itu pun memandang lurus pada Savitri. "Seandainya dulu Mbak Tya bersama Mas Varen, aku tidak akan ada di sini sekarang. Bersama anak lelaki kebanggaan kami. Aku tahu, Mbak Tya begitu berj

  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 137. Kejutan Apa Lagi?

    Adisti tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Ernita juga datang bersama dengan Felicia. "Kamu yang antar Cia ke sini? Ah, Mas Vey!" Adisti memutar badan menoleh ke arah Vernon. Pasti semua sudah Vernon atur diam-diam. "Apa? Aku? Aku kenapa?" Vernon berpura-pura bingung tak mengerti. "Makasih banyak kejutannya. Ini benar-benar hari penuh keajaiban buat aku. Makasih banyak, Mas." Adisti tersenyum lebar. Dia memeluk Ernita. Hati Adisti meluap dengan syukur. "Erni, kenalkan ibuku." Masih memeluk Ernita, Adisti mengenalkan Adistya pada sahabatnya. "Erni ini teman paling baik buat aku, Bu. Dia yang setia bantu aku." "Nak Erni. Aku Adistya. Panggil saja Ibu." Adistya tersenyum ramah. "Terima kasih banyak sudah jadi teman buat anak Ibu." "Iya, Ibu. Senang bisa kenal Ibu Adisti. Ibu sama Adis mirip banget, hee ..." Ernita tersenyum lebar. "Cia, kasih salam buat Eyang Putri," kata Vernon pada Cia. "Eyang ..." Gadis kecil itu memegang tangan Adistya dan mencium punggung tangan Adistya

  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 136. Pelukan Paling Hangat

    Semua yang ada di ruangan itu tidak ada yang bicara. Bagian yang paling penting dari persidangan sedang disampaikan. Adisti makin menunduk dalam-dalam dengan debaran dan detak jantung makin kuat melaju. Adistya pun sama, tak mampu dia menahan gelisah, kuatir dengan keputusan yang akan menambah kepedihan hidupnya di masa tua. "... dinyatakan tidak melakukan semua yang dituntut oleh ..." "Disti ..." Seketika Adistya menoleh. Adisti pun dengan cepat melihat ke arah ibunya. "Kamu dengar? Ayahmu ..." Air mata mengucur dari kedua mata Adistya, tapi senyum paling bahagia bergulir di bibirnya. "Iya, Bu ... Ayah bebas ... Ayah ga bersalah ..." Butiran bening yang sedari tadi menggumpal di ujung mata Adisti, akhirnya runtuh. Adisti memeluk ibunya erat. Keduanya bertangisan tak bisa ditahan lagi. Tidak terdengar keras, tetapi isakan bergantian meluncur dari bibir ibu dan anak itu. "Sayang ..." Adisti menegakkan kepalanya. Dia melepas pelukan Adistya dan menoleh ke belakang. Vernon berdiri

  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 135. Hari Itu, Akhirnya ...

    Adisti menegakkan punggungnya, menunggu putri kecilnya bicara. "Ibu ... aku ga apa-apa. Baru bangun tidur." Suara Felicia masih serak. "Ahh, syukurlah. Ibu khawatir saja, kalau kamu kenapa-napa." Adisti merasa lega dia salah mengira. Vernon dan Adistya pun ikut lega mendengar kalimat lanjutan Adisti. "Baru ditinggal belum sehari, udah kalang kabut. Yakin, mau ditinggal lama bocah cantik kesayangan ini?" Suara Ernita terdengar. Seperti biasa, ceria, sedikit tajam, tapi penuh ketulusan. "Iya, ga pernah pergi jauh dan lama. Kepikiranlah, Er." Adisti merajuk. "Udah, aman di sini. Bentar lagi mau aku ajak jalan. Ya, kan, Cia? Kita ke mana?" Ernita bicara pada Felicia. "Alun-alun! Mau belik es krim dan main di playground! Asyik!!" Suara Felicia kembali ceria. "Baiklah, selamat bersenang-senang. Jangan lupa ajak Kak Hanny, biar ga kayak monitor kumputer itu mukanya." Adisti bergurau. "Hee ... hee ... pasti. Dia akan jemput. Oke, kami siap-siap, ya? Bye, Ibu!" Ernita menutup panggilan

  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 134. Keputusan Tak Terpikirkan

    Adisti seketika merasa ada titik terang hadir di depan mata. Dia berlari kecil ke arah ruang tamu. "Sayang! Kok diam?" Vernon terdengar bicara lagi. "Mas, ada tamu. Aku temui dulu. Nanti aku telpon Mas Vey." Adisti menutup telpon. Dia simpan ponsel di saku celananya. Di depannya tepat berdiri dua makhluk paling bisa dia andalkan selama ini. Hanny dan Ernita. "Kalian memang pahlawan hidupku." Adisti memandang keduanya dengan senyum lebar. "Hah?" Ernita mengangkat kedua alisnya. "Kamu sehat?" Hanny mengerutkan keningnya. "Kak Hanny ... yang makin cakep dan macho ... Ernita, sahabatku ... yang paling baik dan murah hati ..." Adisti melebarkan kedua tangan seolah ingin merangkul dua sejoli itu dengan sekali raup. "Kamu kenapa, sih? Bikin bingung tahu!" Ernita maju dua langkah dan mencermati wajah Adisti. "Aku akan jelakan. Tapi ..." Adisti memutar badan, mengambil tempat duduk di kursi yang paling dekat dengannya. Ernita ikut duduk, di samping Adisti. Hanny maju tiga langkah, bel

  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 133. Kabar Persidangan

    Setengah jam kemudian, Adisti kembali dengan pastel buatannya. Isi pastel sesuai yang Savitri minta, telur dan wortel. Adisti menyuguhkan di depan Savitri yang sok tidak peduli, masih sibuk dengan majalah yang dia pegang. "Bu, silakan, mumpung mash panas." Adisti meletakkan piring berisi lima pastel di meja. Tidak lupa Adisti membawa tisu dan dia taruh di sebelah piring. "Kamu bawa satu piring penuh, yakin aku cocok dengan rasa pastel kamu?" Savitri meletakkan majalah di kursi sebelahnya. Aroma khas pastel, harum semerbak di gazebo. Dari aromanya sepertinya akan nikmat. "Mudah-mudahan, Bu." Adisti masih berdiri, menunggu perintah. Savitri memungut satu pastel dengan selembar tisu. Semakin dekat hidung, semakin menggoda dari bau harumnya. Savitri menggigit bagian ujung. "Hmm ...." Savitri memggumam sementara mengunyah. Matanya sedikit melebar. "Apakah sesuai selera, Bu?" tanya Adisti. "Rasa pastel." Savitri melirik Adisti, lalu menggigit lagi pastel di tangannya. "Iya ..." Adis

  • Ibu, Aku Mau Ayah   Bab 132. Tidak Semudah Itu, Adisti!

    Savitri makin lekat menatap Adisti. Kali yang kesekian kembali mereka berhadapan dan berdebat soal Vernon. Adisti kekeh akan tetap di sisi Vernon, sedangkan Savitri juga tidak mau melunakkan hati. "Bu, saya minta maaf sekali lagi. Tetapi hati saya sudah bulat, menerima Mas Vernon. Sebelumnya juga tidak pernah terpikir oleh saya bisa mendapatkan perhatian Mas Vernon. Karena saya juga sadar, saya dan Mas Vernon seperti bumi dan langit bedanya. "Tapi, hati saya tidak bisa berbohong. Mas Vernon telah memberikan hatinya buat saya, maka saya tidak akan menyia-nyiakan itu. Saya akan menjadi pendamping yang baik. Saya janji." Adisti berkata dengan tenang dan lancar. Padahal di dadanya juga gemuruh tak bisa ditahan. "Tentu saja kamu mau, Adisti. Terlalu banyak keuntungan yang kamu dapatkan dengan bersama Vernon. Mudah sekali ditebak. Bahkan tidak perlu berpikir," ujar Savitri. Perih dan sakit mendengar itu. Tetapi Adisti tak bisa menangkis jika orang akan menilai demikian terhadap hubungann

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status