Hamil di luar nikah karena sebuah hubungan gelap adalah aib bagi keluarga. Adisti diusir ayahnya, ditolak kekasih gelapnya, dan terpaksa pergi jauh meninggalkan kota kelahirannya. Dia menjadi single mother, berjuang untuk melahirkan dan membesarkan anaknya, Felicia. Kehidupan layak yang Adisti kejar demi putrinya. Namun, ketika Felicia menanyakan di mana ayahnya, membuat hati Adisti seakan menabrak dinding yang tinggi. Membawa Felicia kepada ayahnya adalah tidak mungkin. Mendapatkan cinta baru, bukan hal mudah mengingat masa lalu Adisti yang kelam. Jatuh hati pada Vernon, pimpinannya di kantor, makin membawa kerumitan baru dalam hidup Adisti dan Felicia. Mungkinkah Felicia akan mendapatkan kasih sayang seorang ayah? Mampukah Adisti meraih Vernon dan menemukan cinta sejati serta kebahagiaan bagi putrinya? Apakah memang masa lalu harus menjadi penghalang untuk memperoleh kehidupan yang penuh harapan indah? Waktu ... bisakah menjawabnya?
View MoreâAnak tidak tahu diri!â
Plakk!!
Gamparan keras mendarat di pipi mulus Adisti. Tangan kuat dan kekar sang ayah, kembali membuat gambar di pipi mulus itu. Lengkap, kiri dan kanan, pipi wanita belia itu kena sasaran. Tubuh Adisti oleng, dia terguling, dan hampir terjerembab ke lantai.
âMas! Cukup! Sudah!â Sang ibu segera menunduk, memeluk erat putrinya agar tidak lagi mendapat pukulan dari ayah yang sedang kalap.
âKamu masih mau membelanya? Hah?!â sentak ayah dengan mata melotot, tangan terkepal, dan wajah merah padam.
âDia anak kita, Mas. Tolong, maafkan Disti .âŚâ Tangis ibu meledak, dengan tangan makin kuat memeluk putrinya.
âIni akibatnya karena kamu tidak becus mengurus anak!â Amarah ayah belum berkurang. Ibu pun kena getahnya. âKamu terlalu memanjakan dia, memberi kebebasan tanpa aturan. Lihat hasilnya!â
âMas, sudah ⌠semua sudah terjadi. Mas, tolong âŚ.â Dengan air mata berderai, ibu meminta belas kasihan ayah.
âAku tidak sudi mengakui anak yang kurang ajar! Mulai hari ini, buat aku, Adisti bukan putriku. Satu jam waktumu untuk membereskan barang-barangmu, dan tinggalkan rumah ini!â Tatapan geram ayah meluap makin tak terkendali.
Adisti tak percaya mendengar itu. Ayah yang selama ini dia banggakan, dengan lantang mengusirnya? Ibu pun terkejut hingga dia melepaskan pelukan dan menatap suaminya dengan wajah terperangah.
âRumahku tidak layak dihuni wanita murahan, perebut suami orang, hingga hamil di luar nikah.â Suara ayah merendah, tapi kata-katanya sangat menyakitkan. âKamu dengar? Aku tidak perlu mengulang ucapanku. Kamu sudah memilih jalan hidupmu, urus saja dirimu sendiri.â
Adisti makin tergugu. Tangisnya makin jadi. Kacau, panik, bingung, dan beragam rasa bergulung-gulung di dadanya.
"Maafkan aku, Ayah ... Maafkan aku ...." Dengan dada terasa sesak, Adisti mengucapkan maaf berulang kali tanpa berani memandang ayahnya.
Pria tinggi dan berbadan gempal tiu tidak bergeming. Sama sekali dia tidak tersentuh dengan permohonan maaf putrinya.
âMas!â Ibu tak bisa menahan pilu. Dia memandang suaminya dengan wajah sedih, memelas, tapi juga marah. "Jangan begini. Gimana juga Disti putri kita."
âKalau kamu tidak rela, silakan kamu ikut dengannya. Kamu kira aku tak bisa mengurus adik Adisti tanpa kamu?â Dengan kalimat itu ayah melangkah meninggalkan kamar Adisti. Kemudian terdengar bum! Pintu dibanting.
Tangis Adisti kembali deras. Ibunya memeluknya lagi dengan kuat.
âMaafkan aku, Bu. Maafkan aku. Aku harus pergi.â Dengan tubuh lemas, Adisti melepas pelukan ibunya. Dia bangun dan mengambil ransel dari dalam lemari. Dia memasukkan pakaiannya sembarangan, seberapa yang muat dalam ransel itu.
Ibunya segera mendekat dan memegang tangan Adisti. Dia menahan agar Adisti tidak melanjutkan niatnya pergi.
âIbu akan membujuk ayahmu. Sabar sedikit, Disti.â Dengan wajah pilu, ibu memandang Adisti.
âBu, aku telah melakukan dosa besar, aku membuat malu keluarga ini. Ayah benar, aku ga pantas ada di tengah kalian.â Adisti tahu, jika ayah sudah memutuskan, hampir tidak mungkin dia merubahnya lagi.
âKamu mau ke mana? Disti?â Ibu tidak mengira Adisti menuruti saja perkataan ayahnya. âBesok amarah ayahmu pasti mereda. Datang dan minta maaf lagi, dia akan luluh.â
âMaafkan aku, Bu. Aku tahu, apa yang kulakukan tidak termaafkan.â Adisti tidak akan berdebat dengan ayahnya lagi. Keputusannya sudah bulat, pergi dari rumah itu.
Adisti mengangkat bawaannya. Dia menuju kamar ayahnya yang tertutup. Dia tahu sang ayah ada di dalam. Adisti mengetuk-etuk. Tidak ada jawaban. Adisti menguatkan hati. Dia menarik nafas dalam, sebelum mengucapkan kata pamit.
"Ayah ... maafkan aku ... Aku ... aku ...." Adisti seolah tak mampu mengeluarkan satu kata lagi. Air mata kembali berderai. "Aku pamit ... Aku ...."
Tidak ada suara apapun dari dalam kamar. Adisti menghapus air matanya, lalu berbalik dan melangkah keluar rumah. Ibu pun hanya bisa menangis saat melihat putri sulungnya dengan hati pilu melangkah keluar rumah. Hancur berkeping-keping rasa hatinya.
âKakak, bye ⌠hati-hati .âŚâ Suara manja adik Adisti. Dia melambai pada kakaknya yang dengan hati gamang melangkah semakin jauh.
Adinda, adik Adisti satu-satunya. Usia Adinda sudah enam belas tahun, tetapi pikirannya masih seperti anak berumur delapan tahun. Dia perlu perhatian khusus karena kondisinya. Di ujung jalan, Adisti masih sempat menoleh, tampak Adinda masih melambai dengan tersenyum. Dia tidak benar-benar mengerti apa yang tengah terjadi.
*****
âOm, tolong aku, aku ga tahu mau ke mana. Bayi ini anak Om. Om harus tanggung jawab,â Adisti menarik lengan pria berumur hampir empat puluh tahun itu. Wajah Adisti memelas memandang pria dengan postur tinggi dan hidung mancung di depannya.
âLepaskan! Kamu mau membuat skandal? Siapa yang membayar kamu?â sentak pria itu, sambil sedikit mendorong Adisti agar pegangan wanita muda itu terlepas.
âOm?â Adisti terbelalak. Tak dia percaya, kata-kata itu yang dia dengar! Adisti dibayar untuk membuat skandal?
âAku sudah punya istri dan anak. Bisa-bisanya kamu datang mengatakan hal yang tidak-tidak. Sekuriti! Bawa perempuan ini keluar!â Suara pria itu lebih keras berseru.
Dengan cepat dua orang sekuriti kantor itu mendekat. Mereka memaksa Adisti keluar. Dengan derai air mata Adisti meninggalkan tempat itu. Harapan satu-satunya adalah laki-laki yang menjalani hari-hari bersamanya. Pria itu hampir dua tahun menjalin hubungan khusus dengan Adisti.
Beberapa pegawai kantor memperhatikan kejadian itu. Tatapan mereka terperangah dan sinis kepada Adisti. Tampak mereka berbisik-bisik, entah apa yang mereka bicarakan. Yang pasti bukan hal baik, tentang gadis yang tiba-tiba datang membuat kericuhan di kantor besar dan megah di tengah kota itu.
Adisti berjalan dengan lesu dan merasa tubuhnya limbung, menjauh dari kantor. Dia duduk di pinggir jalan, di bawah pohon akasia. Di depannya, jalan raya masih cukup ramai. Kendaraan lalu lalang tanpa henti. Tidak ada yang peduli pada wanita muda yang hampir putus asa dengan hidupnya.
âAku harus bagaimana? Aku mau ke mana?â ucap Adisti lirih sambil mengusap kedua pipinya yang basah.
Sebuah kendaraan hitam, mengkilat, menunjukkan kelasnya yang elegan, lewat di depan Adisti. Mobil Ramon. Adisti hanya memandang saja, hingga mobil itu makin jauh.
Tuuttt!! Ponsel Adisti berdering. Adisti nenerima panggilan itu.
âAku mengirim di rekeningmu sejumlah uang. Cukup besar. Ini terakhir kali aku berhubungan denganmu. Jangan pernah muncul lagi di hadapanku. Kita tidak saling kenal. Kalau kamu tidak bisa merawat bayimu, gugurkan saja.â
Klik. Panggilan terputus.
âApa? Ini âŚ.â Bergetar suara Adisti mengatakan itu. Adisti menundukkan kepala dalam-dalam dan menangis sejadi-jadinya.
Dia tidak peduli orang-orang yang lewat, entah yang berkendara atau berjalan kaki memperhatikannya. Hancur berkeping-keping. Semua buyar. Segala kebahagiaan yang dia miliki lenyap. Ayahnya membuang dirinya. Kekasih yang dia anggap pria hebat dan penuh cinta, melihat dia begitu hina.
Beberapa waktu Adisti masih berjuang menghentikan tangisnya. Berulang kali dia menarik nafas panjang, melonggarkan dadanya yang semakin sesak.
âTuhan ⌠ampuni aku ⌠aku tahu aku sudah melakukan kesalahan besar .âŚâ doanya di dalam hati. âTapi ⌠aku tidak mungkin membunuh anakku sendiri. Tidak mungkin âŚ.â
Dengan hati hancur Adisti berdiri. Dia angkat ranselnya, juga tas kecil dia selempangkan dari bahunya.
âAku harus apa? Harus bagaimana?â ucap Adisti di tengah tangisnya.
Vernon tersenyum tidak ada henti. Melihat tingkah Adisti begitu girang, menikmati kebersamaan mereka di negeri yang indah dengan suasana romantis, sangat menyenangkan. Adisti merasa seperti dibawa ke surga saja merasakan segala hal yang tidak pernah dia bayangkan dan pikirkan akan terjadi di hidupnya. Kebaikan dan ketulusan Vernon menerima dia apa adanya, dan menyayangi Felicia , membuat Adisti ingin memberikan membahagiakan Vernon. Semua yang dia limpahkan belum tentu bisa membalas yang Vernon telah berikan untuknya dan Felicia. "Terima kasih buat semuanya, Mas. Aku kayak Cinderella aja. Semua yang ga kepikir aku nikmati karena jadi istri anak sultan." Adisti memeluk pinggang Vernon. Vernon tersenyum, tidak menjawab, hanya membalas pelukan Adisti. Pelukan itu cukup sebagai jawaban, Vernon bahagia bersama Adisti. Bulan madu berlalu. Vernon dan Adisti kembali ke tanah air, kembali ke Malang, dan pada kehidupan nyata mereka. Rumah Vernon telah dirombak sesuai dengan kebutuhan sebuah
Pesta usai. Vernon dan Adisti bersiap meninggalkan Malang dan segera meluncur. Adisti bertanya Vernon mengajaknya ke mana, Vernon masih saja menjawab rahasia. Percuma sekalipun Adisti merayu dan meminta Vernon memberitahu. "Ibu, Ayah! Hati-hati di jalan!" Tangan kecil Felicia melambai ke arah mobil yang mengantar Vernon dan Adisti ke bandara. Adisti dan Vernon membalas lambaian itu dengan senyum bahagia. "Gonna miss you, Sweet heart!" Adisti berkata dengan senyum masih tertinggal. "Ga usah khawatir lagi. Cia bisa tinggal di mana saja dia mau. Dengan Papa dan Mama, Ayah dan Ibu, Kak Virni atau Ernita? Aman." Vernon memegang tangan Adisti dan mengusapnya dengan lembut. "Iya. Terlalu banyak cinta buat Cia. Aku ga usah khawatir. Mas Benar," ujar Adisti dengan hati lega. Bandara, lalu pesawat. Berdua dengan Vernon, ah, selalu saja penuh kejutan. Di bandara baru Adisti tahu, tujuan mereka adalah ke Jakarta. Tidak sampai tiga jam kemudian, mereka sudah sampai di tujuan, salah satu hotel
Adisti refleks mengerjap beberapa kali mendengar pertanyaan itu. Kenapa si ibu jadi mirip sama Si Bos tampan, bisa gini kelakuannya? "Haa ... haa ... Vernon benar. Kalau sedang kaget atau gugup, kamu memang lucu." Savitri menoleh pada Vernon. Apa? Vernon cerita apa saja soal Adisti pada Savitri? Degdegan makin jadi di dada Adisti. "Jujur, aku bergumul lama. Berpikir panjang dan tidak segera menjawab permintaan Vernon dan Mas Varen untuk memberi restu kalian bersama." Savitri kembali serius. "Mas Varen dan aku bicara banyak sekali. Melihat hari ini, yang telah lalu, dan nanti akan seperti apa." Adisti memandang Savitri. Ini sesuatu yang sangat penting yang dia harus pahami. "Pertama, aku harus berterima kasih pada Mbak Tya." Arah mata Savitri beralih ke sebelah kanan Adisti, pada Adistya. Wanita itu pun memandang lurus pada Savitri. "Seandainya dulu Mbak Tya bersama Mas Varen, aku tidak akan ada di sini sekarang. Bersama anak lelaki kebanggaan kami. Aku tahu, Mbak Tya begitu berj
Adisti tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Ernita juga datang bersama dengan Felicia. "Kamu yang antar Cia ke sini? Ah, Mas Vey!" Adisti memutar badan menoleh ke arah Vernon. Pasti semua sudah Vernon atur diam-diam. "Apa? Aku? Aku kenapa?" Vernon berpura-pura bingung tak mengerti. "Makasih banyak kejutannya. Ini benar-benar hari penuh keajaiban buat aku. Makasih banyak, Mas." Adisti tersenyum lebar. Dia memeluk Ernita. Hati Adisti meluap dengan syukur. "Erni, kenalkan ibuku." Masih memeluk Ernita, Adisti mengenalkan Adistya pada sahabatnya. "Erni ini teman paling baik buat aku, Bu. Dia yang setia bantu aku." "Nak Erni. Aku Adistya. Panggil saja Ibu." Adistya tersenyum ramah. "Terima kasih banyak sudah jadi teman buat anak Ibu." "Iya, Ibu. Senang bisa kenal Ibu Adisti. Ibu sama Adis mirip banget, hee ..." Ernita tersenyum lebar. "Cia, kasih salam buat Eyang Putri," kata Vernon pada Cia. "Eyang ..." Gadis kecil itu memegang tangan Adistya dan mencium punggung tangan Adistya
Semua yang ada di ruangan itu tidak ada yang bicara. Bagian yang paling penting dari persidangan sedang disampaikan. Adisti makin menunduk dalam-dalam dengan debaran dan detak jantung makin kuat melaju. Adistya pun sama, tak mampu dia menahan gelisah, kuatir dengan keputusan yang akan menambah kepedihan hidupnya di masa tua. "... dinyatakan tidak melakukan semua yang dituntut oleh ..." "Disti ..." Seketika Adistya menoleh. Adisti pun dengan cepat melihat ke arah ibunya. "Kamu dengar? Ayahmu ..." Air mata mengucur dari kedua mata Adistya, tapi senyum paling bahagia bergulir di bibirnya. "Iya, Bu ... Ayah bebas ... Ayah ga bersalah ..." Butiran bening yang sedari tadi menggumpal di ujung mata Adisti, akhirnya runtuh. Adisti memeluk ibunya erat. Keduanya bertangisan tak bisa ditahan lagi. Tidak terdengar keras, tetapi isakan bergantian meluncur dari bibir ibu dan anak itu. "Sayang ..." Adisti menegakkan kepalanya. Dia melepas pelukan Adistya dan menoleh ke belakang. Vernon berdiri
Adisti menegakkan punggungnya, menunggu putri kecilnya bicara. "Ibu ... aku ga apa-apa. Baru bangun tidur." Suara Felicia masih serak. "Ahh, syukurlah. Ibu khawatir saja, kalau kamu kenapa-napa." Adisti merasa lega dia salah mengira. Vernon dan Adistya pun ikut lega mendengar kalimat lanjutan Adisti. "Baru ditinggal belum sehari, udah kalang kabut. Yakin, mau ditinggal lama bocah cantik kesayangan ini?" Suara Ernita terdengar. Seperti biasa, ceria, sedikit tajam, tapi penuh ketulusan. "Iya, ga pernah pergi jauh dan lama. Kepikiranlah, Er." Adisti merajuk. "Udah, aman di sini. Bentar lagi mau aku ajak jalan. Ya, kan, Cia? Kita ke mana?" Ernita bicara pada Felicia. "Alun-alun! Mau belik es krim dan main di playground! Asyik!!" Suara Felicia kembali ceria. "Baiklah, selamat bersenang-senang. Jangan lupa ajak Kak Hanny, biar ga kayak monitor kumputer itu mukanya." Adisti bergurau. "Hee ... hee ... pasti. Dia akan jemput. Oke, kami siap-siap, ya? Bye, Ibu!" Ernita menutup panggilan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments