Share

YANG MISKIN ITU KAMU, MAS!
YANG MISKIN ITU KAMU, MAS!
Penulis: Ariesa Yudistira

Istri Rasa Pembantu

"W*, cepet bawa minumannya ke sini! Para tamu sebentar lagi datang!" titah Bu Ratno, ibu mertuaku.

"Iya, Buk," jawabku yang dari tadi sibuk mengangkat tumpukan piring untuk hidangan para tamu.

Hari ini adalah hari pertunangan Risma, adik iparku. Istilah orang Jawa "sisetan". Katanya dia akan menikah dengan pengusaha properti kaya raya. Aku sedari subuh sibuk membantu Bik Lastri, ART kami, menyiapkan berbagai hidangan untuk menyambut kedatangan mereka.

Aku bergegas mengambil sewadah besar penuh sop buah yang sudah kusiapkan, lalu membawanya ke depan. Berulang kali aku menyeka keringat, karena belum beristirahat sedetikpun dari subuh.

"Jangan lupa, gelasnya juga kamu taruh sini, ya?" perintah ibu mertuaku lagi.

Aku mengangguk, lalu bergegas ke belakang untuk mengambil yang dia minta. Dalam perjalanan ke dapur, kulihat Mas Indra, suamiku, sudah berpakaian rapi bersiap menyambut tamu yang datang.

"Dek, Risma manggil kamu, tuh. Butuh bantuan dandan," titahnya.

"Tapi kerjaanku masih banyak, Mas," jawabku.

"Bantu Risma dulu, kasihan sebentar lagi calon suaminya datang," ucap Mas Indra lagi.

Aku membuang napas, lalu mengangguk. Aku bahkan belum sempat mandi. Bagaimana nanti aku akan ikut menyambut tamu?

Aku berjalan menuju kamar Risma. Risma terlihat sudah berdandan sangat cantik dengan balutan kebaya modern berbentuk gaun.

"Mbak, untung Emak cepet dateng. Tolong bersihkan sepatuku, dong, Mbak," katanya begitu melihatku.

"Loh, bukannya kemarin kamu beli yang baru, Ris?" tanyaku.

"Aku salah beli ukuran, Mbak. Gak nyaman banget dipakek. Aku mau pakek yang kubeli seminggu yang lalu aja," ucapnya.

Aku membuang napas, lalu pergi ke ruangan yang ada di sebelah kamarnya. Di ruangan itu penuh dengan berbagai macam gaun, tas dan sepatu mewah yang berjejer. Maklum, Risma adalah artis terkenal yang sedang naik daun.

Aku mengambil sepatu miliknya. Sejak dia jadi artis, sudah menjadi tugasku untuk menyiapkan segala sesuatu keperluannya. Katanya belum menemukan asisten yang bisa dipercaya, jadi lebih enak meminta bantuanku.

Setelah kubersihkan, aku memberikan sepatu high heels itu padanya.

"Pakein dong, Mbak. Nanti gaunku kusut," perintahnya lagi.

Aku hanya bisa menarik napas panjang, lalu memakaikan dia sepatu itu. Batinku perih, karena adik ipar yang seharusnya menghormatiku memperlakukanku seperti pembantunya. Aku hanya bisa bersabar saja.

"Najwa!"

Belum selesai aku memakaikan sebelah sepatu Risma, terdengar suara ibu mertuaku berteriak-teriak memanggilku.

"Iya, sebentar, Buk!"jawabku, sambil cepat-cepat menyelesaikannya.

Setelah selesai aku bergegas ke depan, menemui Ibu mertuaku.

"Kamu kemana saja, sih? Bukannya Ibuk menyuruhmu mengambil gelas minuman?" omelnya.

Aku hanya diam tak menjawab, percuma menjelaskan. Aku sudah sangat terbiasa dengan itu semua.

"Setelah menyiapkan gelas, kamu stand by di dapur. Nanti kalau para tamu butuh sesuatu kamu harus siap," ucap Ibu mertuaku lagi.

"Tapi, Buk...."

"Tapi apa? Bik Lastri akan kerepotan kalau sendirian! Lagian kamu gak perlu ikut ke acara, bisa malu-maluin suamimu nanti."

Aku langsung terdiam. Malu-maluin? Ya Allah, segitunya mereka.

Beberapa saat kemudian di luar sudah terdengar suara beberapa mobil berdatangan. Para tamu calon besan sudah datang. Mereka membawa berbagai macam seserahan. Lagi-lagi aku yang repot mengurus semuanya.

Ibu mertua dan suamiku langsung menyambut mereka dengan ramah. Memang benar-benar keluarga Sultan, terlihat dari penampilan mereka.

Risma juga menyambut keluarga besar calon suaminya itu, dan mengiringi mereka masuk ke dalam rumah. Ibu mertuaku bergegas mendekatiku yang masih sibuk mengurus barang-barang seserahan.

"Najwa, cepat kamu ke dapur sana," bisiknya.

Aku mengangguk, lalu perlahan berjalan menuju dapur. Masih bisa kudengar mereka semua saling berbicara.

"Loh, ini kakaknya Risma?" tanya calon besan ibu mertuaku sambil menunjuk ke arah Mas Indra. "Apa sudah menikah? Di mana istrinya?"

"Belum, Jeng," sahut ibu mertuaku. "Dia masih mau fokus berkarir, mau adiknya yang menikah duluan."

Mas Indra tampak mengangguk sambil tersenyum, mengiyakan perkataan ibunya.

Astaghfirullah, perih hati ini Ya Allah. Selama ini aku dianggap apa? Dengan hati hancur aku melangkah menuju dapur. Aku duduk bersandar di samping jendela, melepas kepenatan. Masih terdengar suara para orang kaya itu berbicara dan tertawa. Sesaat kemudian, gawaiku berdering. Aku segera mengangkatnya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam, apa benar ini Nona Najwa Saraswati?"

"Benar, Pak," jawabku.

"Kami sudah melihat desaign yang anda kirimkan, dan kami tertarik. Kami berniat mengontrak Anda. Sebagai jaminan dan uang muka, kami akan segera mentransfer uang 500 juta langsung ke rekening anda."

Alhamdulillah ya, Allah, ternyata hasil usaha yang kutekuni tanpa sepengetahuan suamiku dan keluarganya membuahkan hasil! Aku akan bangkit, aku tidak mau hidup seperti ini terus!

.

.

.

"Non Najwa gak makan? Dari pagi kerja terus bantuin Bibik," tanya Bik Lastri saat aku sibuk mencuci piring.

Aku tersenyum.

"Nanti aja, Bik. Nunggu para tamu pulang. Kerjaan masih banyak," jawabku.

Bik Lastri berjalan menengok ke arah ruang tengah tempat berkumpulnya tamu, kemudian kembali ke dapur.

"Non Najwa makan saja dulu, mumpung Nyonya lagi sibuk sama calon besannya. Biar Bibik yang nerusin nyucinya," kata Bik Lastri lagi.

"Terima kasih, Bik," ucapku sambil tersenyum.

Memang perut ini rasanya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi, minta diisi. Dari subuh sampai sekarang terus bekerja, sampek lupa belum makan sedikitpun.

Aku segera mengambil nasi dan lauk sisa para tamu, lalu duduk di meja makan. Gawaiku berdering. Satu pesan masuk dari Bank. Uang muka yang dijanjikan Pak Tomo, direktur perusahaan properti terbesar se Asia tenggara itu sudah masuk. Aku tersenyum, karena itu berhasil menghilangkan rasa lelahku.

"Najwa!"

Aku hampir tersedak karena kaget. Kulihat ibu mertuaku sudah menatapku sambil berkacak pinggang.

"Enak, ya, makan sambil mainan hape! Dari tadi dipanggil bukannya datang! Itu kue di atas meja hampir habis. Cepat ambil lagi!" titahnya.

Aku yang baru separuh memakan makananku akhirnya terpaksa mengikuti perintahnya lebih dulu. Cepat-cepat aku memotong beberapa kue lapis legit dan menatanya dalam piring, lalu membawanya ke depan.

"Loh, Najwa?"

Aku tersentak kaget, lalu menatap orang yang memanggilku. Rupanya calon suami Risma.

"Kamu Najwa Saraswati, kan?" tanyanya lagi.

Aku tak langsung menjawab, hanya mengerutkan kening seraya menatap pria tinggi berparas tampan itu.

"Ini aku, Davian, teman SMA kamu dulu," ucapnya.

Tiba-tiba ibu mertuaku datang mendekat ke arah kami.

"Ada apa ini, Nak Vian?" tanyanya sambil melirikku tajam.

Davian tersenyum pada calon mertuanya itu.

"Ini, Buk. Bukankah dia Najwa Saraswati? Jika benar dia teman Vian waktu SMA dulu," ucapnya.

"Ah, Nak Vian pasti salah orang. Dia ini ART kami, gak pernah sekolah," jawab Ibu mertuaku sambil mendelik padaku, menyuruhku pergi.

Astaghfirullah, aku hanya bisa menarik napas dalam-dalam dan beranjak pergi. Masih bisa kudengar mereka membicarakan ku saat aku berjalan ke arah dapur.

"Masak sih, Buk, Vian salah? Mirip banget loh, Buk. Tapi gak mungkin juga kalau Najwa yang kukenal jadi ART. Dia itu cerdas, juga pintar melukis. Dia pasti sudah sukses sekarang."

Aku baru ingat memang punya teman sekelas bernama Davian waktu masih SMA. Tak kusangka kami bertemu di rumah ini.

"Ya iya lah, Nak Vian. Gak mungkin kan, Nak Vian punya teman yang tidak berpendidikan."

Ya Allah, Buk. Aku memang miskin, tapi orang tuaku sudah memberikanku pendidikan yang terbaik hingga bangku kuliah. Bukankah Ibuk yang menyuruhku berhenti kuliah dan fokus menjadi ibu rumah tangga? Kenapa sekarang jadi menuduhku tidak berpendidikan? Aku hanya bisa mengelus dadaku yang sesak.

"Mas," panggilku saat Indra masuk ke dalam dapur untuk mengambil air putih dingin dari dalam kulkas.

"Kenapa, Dek?" tanyanya.

"Masak Ibuk bilang pada calon besannya kalau aku ART di rumah ini, Mas," ucapku, mencoba mengadu. "Terus kenapa tadi Mas juga bilang kalau belum menikah?"

Mas Indra meneguk minumannya, lalu menatapku.

"Mau gimana lagi, dong, Dek. Keluarga Davian itu orang terpandang, pemilik bisnis properti terbesar seAsia Tenggara. Ini saja Papanya gak bisa hadir karena sibuk. Mas harus menjaga kehormatan keluarga kita juga dong."

"Menjaga kehormatan keluarga dengan tidak mengakui ku sebagai istri, Mas?" tanyaku dengan dada sesak. "Apa aku begitu memalukan, Mas?"

Mas Indra memegang pundak ku.

"Sudahlah, Dek. Kamu nurut saja, ya? Kalau nanti mereka sudah menikah, dia pasti tahu sendiri kok," ucapnya.

Aku hanya bisa diam, tak tahu harus berkata apa lagi. Sikapnya itu berbeda jauh dari setahun yang lalu, saat kami belum menikah. Dia bahkan berhasil meyakinkan orang tuaku akan memberiku kehidupan yang layak, tanpa perlu susah payah bekerja. Sekarang nyatanya, aku seperti babu tanpa gaji.

Keluarga besar Davian akhirnya berpamitan pulang, setelah acara selesai. Aku segera membereskan ruang tengah dengan Bik Lastri. Tanpa sadar aku menatap Davian yang sedari tadi juga memperhatikanku.

"Kok kamu ngelihatin Mbak Wawa terus, sih, Yang," protes Risma kesal saat menyadari calon suaminya itu memperhatikanku.

"Ah, enggak, kok," sahut Davian gugup, sambil meneruskan langkah mereka keluar dari ruangan.

Setelah mengantar keluarga itu pulang dari teras depan,  Risma bergegas mendekatiku.

"Mbak genit banget, sih, ngelihatin calon suamiku terus!" ucapnya.

Belum sempat aku menjawab, Mas Indra datang mendekat.

"Siapa yang ngelihatin siapa, Ris?" sahut Mas Indra. Wajahnya terlihat memerah karena menahan marah.

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Heri Mardani
ganga sabar mbak najwa
goodnovel comment avatar
Ridwan
mantap bingit
goodnovel comment avatar
Denok Brahma
alur cerita natural enak di baca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status