Bu Ratno, ibu mertuaku, langsung berdiri begitu melihat Pak Tomo datang, begitu juga dengan Risma. Aku melihat Mas Indra masih asyik mengobrol dengan wanita itu, saking asyiknya sampai tidak menyadari kedatangan kami.
"Selamat siang, Pak Tomo," sapa Ibu mertuaku ramah.
Risma juga langsung mencium tangan calon Papa mertuanya itu.
"Selamat siang, Bu Ratno. Senang bertemu dengan Anda hari ini. Mohon maaf kemarin saya tidak bisa hadir," jawab Pak Tomo.
"Tidak apa-apa, Pak," ucap Ibu mertuaku masih dengan keramah tamahannya. "Saya tahu Bapak pasti sibuk."
Sesaat kemudian dia tampak melihat ke arahku. Risma juga terlihat memperhatikanku dari ujung kepala hingga kaki. Dadaku berdesir, mungkinkah mereka mengenaliku?
"Loh, ini siapa, Pak?" tanya Ibu mertuaku sambil menunjuk ke arahku.
Alhamdulillah, ternyata mereka tidak mengenaliku. Itu karena mereka tak pernah sekalipun melihat aku berdandan. Yang mereka lihat setiap hari hanya perempuan kucel berdaster yang setiap hari hanya bisa disuruh-suruh, babu gratisan.
"Oh, ini rekan kerja baru saya," jawab Pak Tomo. "Tadi kami sedang meeting, jadi sekalian saya ajak dia makan siang."
Aku hanya tersenyum dan mengangguk kecil memberi hormat. Ibu mertuaku tampak mengangguk mengerti.
Risma mendekati Davian. Aku bisa menangkap pembicaraan mereka meskipun berbisik.
"Siapa itu, Yang? Kok rekan kerja Papa kamu masih muda gitu? Cantik lagi," bisik Risma.
"Iya, dia desainer yang baru Papa kontrak," jawab Davian.
"Awas ya, Yang, kalau kamu macam-macam sama dia," ancam Risma.
"Ya enggak lah, Sayang. Kamu kenapa jadi cemburu begitu? Kita kan sudah bertunangan. Gak mungkin aku melirik wanita lain."
Dalam hati aku tertawa geli mendengar pembicaraan mereka. Syukurlah Davian tidak bilang kalau aku teman SMAnya. Kalau tidak, Risma pasti curiga.
Pak Tomo tiba-tiba mengarahkan pandangannya ke arah Mas Indra yang masih asyik bercanda ria dengan si wanita. Ibu mertuaku yang menyadarinya langsung berjalan ke arah puteranya itu.
"Indra, itu ada Pak Tomo," ucapnya pada Mas Indra.
Indra baru tersadar dan lekas berdiri, begitupun wanita itu. Ibu mertuaku mengajak mereka menemui Pak Tomo, lalu memperkenalkan mereka.
"Perkenalkan, Pak, ini Indra kakaknya Risma, dan ini Susan, calon istrinya."
Bagai disambar petir di siang bolong jantungku berdegup kencang mendengar penuturan Ibu mertuaku. Dadaku sesak seketika. Calon istri? Sejak kapan? Lalu aku ini dianggap apa?
Mas Indra segera mengulurkan tangannya, dan disambut oleh Pak Tomo. Seketika dia membulatkan mata saat bertatapan mata denganku. Apa mungkin Mas Indra yang sudah bertahun-tahun mengenalku juga tidak tahu aku adalah istrinya? Apakah amarahku tak bisa terlihat olehnya?
Dia ragu-ragu mengulurkan tangannya, seraya tersenyum. Aku pun menyambut tangannya dengan dingin.
"Saya Indra," ucapnya, yang ternyata juga tak mengenaliku. Sekarang aku sadar dia tidak pernah memperhatikanku sebagai istrinya.
"Mari kita duduk, kita mulai makan siang," ajak Pak Tomo.
Kami semua duduk melingkar di meja bulat besar yang ada di restoran itu. Para pelayan mulai menghidangkan berbagai macam makanan.
Posisi dudukku langsung berhadapan dengan Mas Indra yang duduk di samping wanita bernama Susan itu. Sesekali aku melirik ke arahnya, yang dengan perhatiannya mengambilkan makanan untuk Susan. Hatiku sakit, karena selama menjadi istrinya aku tidak pernah diperhatikan seperti itu.
"Bagaimana dengan tawaran saya untuk menjadikan Risma sebagai ikon perusahaan ini, Pak?" Ibu mertuaku memulai pembicaraan di tengah waktu makan. "Dia kan sudah jadi artis terkenal yang tidak diragukan lagi kecantikannya, calon mantu Bapak lagi."
Pak Tomo berdehem, lalu mengusap mulutnya dengan tisu.
"Masalah itu, saya belum menemukan yang cocok," jawabnya.
"Maksud Bapak Risma kurang cantik, begitu?" tanya Ibu mertuaku, tampak sekali raut kecewa di wajahnya.
"Bukan seperti itu. Perusahaan saya bukan hanya di bidang properti, tapi juga fashion. Risma hanya sesuai untuk menjadi ikon di perusahaan fashion saya, sedangkan saya sedang mencari seseorang yang berwajah natural, hingga bisa dijadikan ikon untuk keduanya."
Ibu mertuaku tampak membuang napas, terlihat begitu kesal anak perempuan kesayangannya ditolak oleh seorang Pak Tomo.
"Ngomong-ngomong soal wajah yang natural, kayaknya Davi punya seseorang untuk direkomendasikan deh, Pa," ucap Davian tiba-tiba.
"Yang bener?" sahut Pak Tomo. "Siapa?"
Davian tersenyum sejenak. Risma tampak menatap kesal ke arah tunangannya itu.
"Besok biar Davi coba dapatkan fotonya, lalu Davi tunjukkan ke Papa," jawab Davian lagi.
Pak Tomo tampak mengangguk-angguk.
"Baiklah, Papa tunggu."
Aku yang sedari tadi hanya diam mendengarkan, akhirnya sedikit membuka suara.
"Maaf, Pak. Saya rasa saya harus pamit, karena ada pekerjaan lain yang harus saya lakukan," ucapku pada Pak Tomo, dengan nada suara yang agak kubuat-buat, biar keluarga Mas Indra tidak curiga.
"Begitu, ya? Ya sudah, kalau begitu," jawab Pak Tomo ramah. "Terima kasih untuk kerjasamanya. Saya tunggu karya kamu berikutnya."
"Baik, Pak," aku mengangguk hormat, berpamitan pada mereka semua.
Aku cepat-cepat memesan taksi online, pulang ke rumah secepatnya. Aku harus segera sampai ke rumah sebelum mereka pulang. Tak lupa di tengah perjalanan aku membeli beberapa macam makanan untuk Bik Lastri.
Sepanjang perjalanan aku terus berpikir, keluarga yang selama ini kuanggap bisa menjadi tempatku mengabdikan diri ternyata tidak pernah menganggapku ada. Bahkan Mas Indra, suami yang dengan tulus kucintai tidak pernah menganggapku sebagai istri, dan berpaling pada wanita lain di belakangku.
Air mataku jatuh, tapi cepat-cepat kuusap dengan kasar. Jika memang Mas Indra tidak pernah mencintaiku, lalu apa maksud sebenarnya dia menikahiku? Sebelum membulatkan tekad ku untuk berpisah darinya, aku harus mencari tahu lebih dulu.
Najwa masih belum bisa menghilangkan keterkejutannya melihat Indra menampar Risma di depannya. Risma memegang pipinya yang memerah dan perih."Apa yang kamu lakukan, Indra?" tanya Najwa.Indra tak langsung menjawab. Dia membuang napas, lalu menatap Najwa."Bisakah kamu meninggalkan kami berdua sebentar?" tanyanya.Najwa sesaat menatap Risma yang terlihat shock, lalu berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu.Indra mendekati Risma, lalu duduk di depannya."Ini pertama kalinya Kakak memukulku," ucap Risma lirih, dengan suara gemetar karena tangis."Seharusnya Kakak melakukannya dari dulu," ucap Indra kemudian. "Kakak sudah gagal menjadi seorang kakak, suami, dan anak yang baik."Risma men
"Najwa," Davian masih berusaha. melepaskan pelukan Risma, tapi dia tak kunjung mau melepasnya. "Aku bisa jelaskan."Najwa mengatupkan bibir, lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan hati kalut, tanpa menunggu penjelasan Davian. Ah, cemburukah dia? Padahal dia dan Davian belum mempunyai ikatan apapun. Tapi tak bisa dipungkiri hatinya kesal. Kenapa Davian tak memberinya kabar jika dia sudah pulang, dan malah bersama dengan Risma?Najwa bergegas kembali ke tempat Mamanya dan duduk di sampingnya."Kamu dari mana?" tanya Farah pada puterinya itu.Najwa membuang napas, lalu mencoba tersenyum pada Mamanya."Dari toilet, Ma," jawabnya berbohong.Tiba-tiba televisi dinding yang ada di ruangan itu menampilkan sebuah berita. Awalnya Najwa tak tertarik. Tapi ketika nama
Najwa membawa Indra masuk ke dalam panti dan merawat luka-lukanya. Indra duduk sambil memangku Bintang, sambil menceritakan apa yang sebenarnya terjadi."Jadi anak ini ... ," Najwa membulatkan mata mendengar perkataan Indra."Dia bukan anakku," jawab Indra. "Aku menikah dengan Susan untuk menutupi hutang Ibuk pada mereka. Susan membutuhkanku untuk menutupi kehamilannya. Kami sudah membuat kesepakatan dari awal."Najwa terdiam, tak tahu apa yang harus dia katakan. Indra menatap Najwa penuh arti."Sekarang kamu tahu, aku tidak pernah mengkhianatimu. Aku bahkan tidak pernah menyentuh Susan sedikitpun," ucapnya.Najwa memalingkan muka. Dia takut hatinya goyah karena hal itu. Dia menelan saliva, lalu membuang napas berat."Lalu apa rencanamu sekarang, Mas?" tanyany
Bulan berlalu, musim berganti. Najwa berdiri di depan tanah milik orang tuanya. Dia menatap sekeliling tempat itu. Secara tidak langsung tanah itu telah berperan besar dalam kehidupannya. Karena tanah itu, terjadi pernikahan tidak bahagia antara dia dan Indra. Karena tanah itu dia mengenal Pak Tomo dan Farah, orang tua kandungnya. Karena memperjuangkan tanah itu, dia bisa seperti sekarang ini. Hidup memang seperti roda, yang terus berputar.Kini di hadapannya berdiri sebuah masjid besar, dan sebuah panti asuhan yang dia bangun dengan hasil keringatnya sendiri. Najwa tersenyum bangga atas apa yang telah dia capai saat ini."Nduk," Ibunya menepuk pundaknya, menyadarkannya dari lamunan. "Ayo masuk. Semua warga sudah berkumpul di dalam. Kamu kan harus melakukan penyerahan tanah dan masjid ini untuk warga sekitar."Najwa menggenggam jari ibunya yang berada di pundakny
"Pergi? Pergi ke mana Davi?" tanya Pak Tomo sambil mendekati puteranya itu.Davian tersenyum seraya menatap Papanya."Davi ingin mewujudkan impian Davi yang dulu, Pa," ucapnya."Menjadi seorang chef?" tanya Pak Tomo dengan mata yang membulat.Davian tersenyum, seraya mengangguk."Tidak, Davi. Papa tidak mengijinkan," sahut Pak Tomo. "Tidak ada yang boleh pergi lagi. Mulai sekarang kita akan hidup bersama, sebagai keluarga. Tidak ada yang boleh pergi."Davi sesaat melirik ke arah Najwa, lalu menatap Papanya lagi."Davi tidak bisa menjadikan Najwa saudara Davi," ucap Davi lirih.Pak Tomo tersentak, lalu memegang kedua pundak Davian."Apa maksudmu, Davi?
"Ibuk! Ibuk!" Indra menggoncang tubuh Ibunya yang masih tak sadarkan diri.Pak Tomo segera memanggil anak buahnya untuk membantu mengangkat tubuh Bu Ratno dan juga memanggil ambulan. Mereka membawa Bu Ratno keluar dari ruangan itu, melewati Najwa yang ada di depan pintu.Indra menghentikan langkah sebentar ketika sampai di samping Najwa."Maafkan aku, Najwa," ucapnya tanpa rasa malu sedikitpun.Najwa tak menjawab, hanya membuang muka. Indra meneruskan langkahnya meninggalkan ruangan itu.Pak Tomo berjalan mendekati Najwa."Kamu kenapa nekad keluar dari rumah sakit?" tanya Pak Tomo."Maafkan saya karena sudah lancang, Pak. Saya harus menghentikan Bapak untuk menotariskan tanah itu ke saham Bapak, " jawab Najwa. "Tanah itu mi