Share

YANG MISKIN ITU KAMU, MAS!
YANG MISKIN ITU KAMU, MAS!
Author: Ariesa Yudistira

Istri Rasa Pembantu

last update Last Updated: 2022-03-17 19:36:34

"W*, cepet bawa minumannya ke sini! Para tamu sebentar lagi datang!" titah Bu Ratno, ibu mertuaku.

"Iya, Buk," jawabku yang dari tadi sibuk mengangkat tumpukan piring untuk hidangan para tamu.

Hari ini adalah hari pertunangan Risma, adik iparku. Istilah orang Jawa "sisetan". Katanya dia akan menikah dengan pengusaha properti kaya raya. Aku sedari subuh sibuk membantu Bik Lastri, ART kami, menyiapkan berbagai hidangan untuk menyambut kedatangan mereka.

Aku bergegas mengambil sewadah besar penuh sop buah yang sudah kusiapkan, lalu membawanya ke depan. Berulang kali aku menyeka keringat, karena belum beristirahat sedetikpun dari subuh.

"Jangan lupa, gelasnya juga kamu taruh sini, ya?" perintah ibu mertuaku lagi.

Aku mengangguk, lalu bergegas ke belakang untuk mengambil yang dia minta. Dalam perjalanan ke dapur, kulihat Mas Indra, suamiku, sudah berpakaian rapi bersiap menyambut tamu yang datang.

"Dek, Risma manggil kamu, tuh. Butuh bantuan dandan," titahnya.

"Tapi kerjaanku masih banyak, Mas," jawabku.

"Bantu Risma dulu, kasihan sebentar lagi calon suaminya datang," ucap Mas Indra lagi.

Aku membuang napas, lalu mengangguk. Aku bahkan belum sempat mandi. Bagaimana nanti aku akan ikut menyambut tamu?

Aku berjalan menuju kamar Risma. Risma terlihat sudah berdandan sangat cantik dengan balutan kebaya modern berbentuk gaun.

"Mbak, untung Emak cepet dateng. Tolong bersihkan sepatuku, dong, Mbak," katanya begitu melihatku.

"Loh, bukannya kemarin kamu beli yang baru, Ris?" tanyaku.

"Aku salah beli ukuran, Mbak. Gak nyaman banget dipakek. Aku mau pakek yang kubeli seminggu yang lalu aja," ucapnya.

Aku membuang napas, lalu pergi ke ruangan yang ada di sebelah kamarnya. Di ruangan itu penuh dengan berbagai macam gaun, tas dan sepatu mewah yang berjejer. Maklum, Risma adalah artis terkenal yang sedang naik daun.

Aku mengambil sepatu miliknya. Sejak dia jadi artis, sudah menjadi tugasku untuk menyiapkan segala sesuatu keperluannya. Katanya belum menemukan asisten yang bisa dipercaya, jadi lebih enak meminta bantuanku.

Setelah kubersihkan, aku memberikan sepatu high heels itu padanya.

"Pakein dong, Mbak. Nanti gaunku kusut," perintahnya lagi.

Aku hanya bisa menarik napas panjang, lalu memakaikan dia sepatu itu. Batinku perih, karena adik ipar yang seharusnya menghormatiku memperlakukanku seperti pembantunya. Aku hanya bisa bersabar saja.

"Najwa!"

Belum selesai aku memakaikan sebelah sepatu Risma, terdengar suara ibu mertuaku berteriak-teriak memanggilku.

"Iya, sebentar, Buk!"jawabku, sambil cepat-cepat menyelesaikannya.

Setelah selesai aku bergegas ke depan, menemui Ibu mertuaku.

"Kamu kemana saja, sih? Bukannya Ibuk menyuruhmu mengambil gelas minuman?" omelnya.

Aku hanya diam tak menjawab, percuma menjelaskan. Aku sudah sangat terbiasa dengan itu semua.

"Setelah menyiapkan gelas, kamu stand by di dapur. Nanti kalau para tamu butuh sesuatu kamu harus siap," ucap Ibu mertuaku lagi.

"Tapi, Buk...."

"Tapi apa? Bik Lastri akan kerepotan kalau sendirian! Lagian kamu gak perlu ikut ke acara, bisa malu-maluin suamimu nanti."

Aku langsung terdiam. Malu-maluin? Ya Allah, segitunya mereka.

Beberapa saat kemudian di luar sudah terdengar suara beberapa mobil berdatangan. Para tamu calon besan sudah datang. Mereka membawa berbagai macam seserahan. Lagi-lagi aku yang repot mengurus semuanya.

Ibu mertua dan suamiku langsung menyambut mereka dengan ramah. Memang benar-benar keluarga Sultan, terlihat dari penampilan mereka.

Risma juga menyambut keluarga besar calon suaminya itu, dan mengiringi mereka masuk ke dalam rumah. Ibu mertuaku bergegas mendekatiku yang masih sibuk mengurus barang-barang seserahan.

"Najwa, cepat kamu ke dapur sana," bisiknya.

Aku mengangguk, lalu perlahan berjalan menuju dapur. Masih bisa kudengar mereka semua saling berbicara.

"Loh, ini kakaknya Risma?" tanya calon besan ibu mertuaku sambil menunjuk ke arah Mas Indra. "Apa sudah menikah? Di mana istrinya?"

"Belum, Jeng," sahut ibu mertuaku. "Dia masih mau fokus berkarir, mau adiknya yang menikah duluan."

Mas Indra tampak mengangguk sambil tersenyum, mengiyakan perkataan ibunya.

Astaghfirullah, perih hati ini Ya Allah. Selama ini aku dianggap apa? Dengan hati hancur aku melangkah menuju dapur. Aku duduk bersandar di samping jendela, melepas kepenatan. Masih terdengar suara para orang kaya itu berbicara dan tertawa. Sesaat kemudian, gawaiku berdering. Aku segera mengangkatnya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam, apa benar ini Nona Najwa Saraswati?"

"Benar, Pak," jawabku.

"Kami sudah melihat desaign yang anda kirimkan, dan kami tertarik. Kami berniat mengontrak Anda. Sebagai jaminan dan uang muka, kami akan segera mentransfer uang 500 juta langsung ke rekening anda."

Alhamdulillah ya, Allah, ternyata hasil usaha yang kutekuni tanpa sepengetahuan suamiku dan keluarganya membuahkan hasil! Aku akan bangkit, aku tidak mau hidup seperti ini terus!

.

.

.

"Non Najwa gak makan? Dari pagi kerja terus bantuin Bibik," tanya Bik Lastri saat aku sibuk mencuci piring.

Aku tersenyum.

"Nanti aja, Bik. Nunggu para tamu pulang. Kerjaan masih banyak," jawabku.

Bik Lastri berjalan menengok ke arah ruang tengah tempat berkumpulnya tamu, kemudian kembali ke dapur.

"Non Najwa makan saja dulu, mumpung Nyonya lagi sibuk sama calon besannya. Biar Bibik yang nerusin nyucinya," kata Bik Lastri lagi.

"Terima kasih, Bik," ucapku sambil tersenyum.

Memang perut ini rasanya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi, minta diisi. Dari subuh sampai sekarang terus bekerja, sampek lupa belum makan sedikitpun.

Aku segera mengambil nasi dan lauk sisa para tamu, lalu duduk di meja makan. Gawaiku berdering. Satu pesan masuk dari Bank. Uang muka yang dijanjikan Pak Tomo, direktur perusahaan properti terbesar se Asia tenggara itu sudah masuk. Aku tersenyum, karena itu berhasil menghilangkan rasa lelahku.

"Najwa!"

Aku hampir tersedak karena kaget. Kulihat ibu mertuaku sudah menatapku sambil berkacak pinggang.

"Enak, ya, makan sambil mainan hape! Dari tadi dipanggil bukannya datang! Itu kue di atas meja hampir habis. Cepat ambil lagi!" titahnya.

Aku yang baru separuh memakan makananku akhirnya terpaksa mengikuti perintahnya lebih dulu. Cepat-cepat aku memotong beberapa kue lapis legit dan menatanya dalam piring, lalu membawanya ke depan.

"Loh, Najwa?"

Aku tersentak kaget, lalu menatap orang yang memanggilku. Rupanya calon suami Risma.

"Kamu Najwa Saraswati, kan?" tanyanya lagi.

Aku tak langsung menjawab, hanya mengerutkan kening seraya menatap pria tinggi berparas tampan itu.

"Ini aku, Davian, teman SMA kamu dulu," ucapnya.

Tiba-tiba ibu mertuaku datang mendekat ke arah kami.

"Ada apa ini, Nak Vian?" tanyanya sambil melirikku tajam.

Davian tersenyum pada calon mertuanya itu.

"Ini, Buk. Bukankah dia Najwa Saraswati? Jika benar dia teman Vian waktu SMA dulu," ucapnya.

"Ah, Nak Vian pasti salah orang. Dia ini ART kami, gak pernah sekolah," jawab Ibu mertuaku sambil mendelik padaku, menyuruhku pergi.

Astaghfirullah, aku hanya bisa menarik napas dalam-dalam dan beranjak pergi. Masih bisa kudengar mereka membicarakan ku saat aku berjalan ke arah dapur.

"Masak sih, Buk, Vian salah? Mirip banget loh, Buk. Tapi gak mungkin juga kalau Najwa yang kukenal jadi ART. Dia itu cerdas, juga pintar melukis. Dia pasti sudah sukses sekarang."

Aku baru ingat memang punya teman sekelas bernama Davian waktu masih SMA. Tak kusangka kami bertemu di rumah ini.

"Ya iya lah, Nak Vian. Gak mungkin kan, Nak Vian punya teman yang tidak berpendidikan."

Ya Allah, Buk. Aku memang miskin, tapi orang tuaku sudah memberikanku pendidikan yang terbaik hingga bangku kuliah. Bukankah Ibuk yang menyuruhku berhenti kuliah dan fokus menjadi ibu rumah tangga? Kenapa sekarang jadi menuduhku tidak berpendidikan? Aku hanya bisa mengelus dadaku yang sesak.

"Mas," panggilku saat Indra masuk ke dalam dapur untuk mengambil air putih dingin dari dalam kulkas.

"Kenapa, Dek?" tanyanya.

"Masak Ibuk bilang pada calon besannya kalau aku ART di rumah ini, Mas," ucapku, mencoba mengadu. "Terus kenapa tadi Mas juga bilang kalau belum menikah?"

Mas Indra meneguk minumannya, lalu menatapku.

"Mau gimana lagi, dong, Dek. Keluarga Davian itu orang terpandang, pemilik bisnis properti terbesar seAsia Tenggara. Ini saja Papanya gak bisa hadir karena sibuk. Mas harus menjaga kehormatan keluarga kita juga dong."

"Menjaga kehormatan keluarga dengan tidak mengakui ku sebagai istri, Mas?" tanyaku dengan dada sesak. "Apa aku begitu memalukan, Mas?"

Mas Indra memegang pundak ku.

"Sudahlah, Dek. Kamu nurut saja, ya? Kalau nanti mereka sudah menikah, dia pasti tahu sendiri kok," ucapnya.

Aku hanya bisa diam, tak tahu harus berkata apa lagi. Sikapnya itu berbeda jauh dari setahun yang lalu, saat kami belum menikah. Dia bahkan berhasil meyakinkan orang tuaku akan memberiku kehidupan yang layak, tanpa perlu susah payah bekerja. Sekarang nyatanya, aku seperti babu tanpa gaji.

Keluarga besar Davian akhirnya berpamitan pulang, setelah acara selesai. Aku segera membereskan ruang tengah dengan Bik Lastri. Tanpa sadar aku menatap Davian yang sedari tadi juga memperhatikanku.

"Kok kamu ngelihatin Mbak Wawa terus, sih, Yang," protes Risma kesal saat menyadari calon suaminya itu memperhatikanku.

"Ah, enggak, kok," sahut Davian gugup, sambil meneruskan langkah mereka keluar dari ruangan.

Setelah mengantar keluarga itu pulang dari teras depan,  Risma bergegas mendekatiku.

"Mbak genit banget, sih, ngelihatin calon suamiku terus!" ucapnya.

Belum sempat aku menjawab, Mas Indra datang mendekat.

"Siapa yang ngelihatin siapa, Ris?" sahut Mas Indra. Wajahnya terlihat memerah karena menahan marah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
Dimas Adrian
bodoh bgt sih sarjana kok mau"nya di jadiin Babu sama suami & klgnya,cinta sah" saja,bodoh jangan!
goodnovel comment avatar
Heri Mardani
ganga sabar mbak najwa
goodnovel comment avatar
Ridwan
mantap bingit
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • YANG MISKIN ITU KAMU, MAS!   Akhir ( END)

    Najwa masih belum bisa menghilangkan keterkejutannya melihat Indra menampar Risma di depannya. Risma memegang pipinya yang memerah dan perih."Apa yang kamu lakukan, Indra?" tanya Najwa.Indra tak langsung menjawab. Dia membuang napas, lalu menatap Najwa."Bisakah kamu meninggalkan kami berdua sebentar?" tanyanya.Najwa sesaat menatap Risma yang terlihat shock, lalu berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu.Indra mendekati Risma, lalu duduk di depannya."Ini pertama kalinya Kakak memukulku," ucap Risma lirih, dengan suara gemetar karena tangis."Seharusnya Kakak melakukannya dari dulu," ucap Indra kemudian. "Kakak sudah gagal menjadi seorang kakak, suami, dan anak yang baik."Risma men

  • YANG MISKIN ITU KAMU, MAS!   Hilangnya Saingan

    "Najwa," Davian masih berusaha. melepaskan pelukan Risma, tapi dia tak kunjung mau melepasnya. "Aku bisa jelaskan."Najwa mengatupkan bibir, lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan hati kalut, tanpa menunggu penjelasan Davian. Ah, cemburukah dia? Padahal dia dan Davian belum mempunyai ikatan apapun. Tapi tak bisa dipungkiri hatinya kesal. Kenapa Davian tak memberinya kabar jika dia sudah pulang, dan malah bersama dengan Risma?Najwa bergegas kembali ke tempat Mamanya dan duduk di sampingnya."Kamu dari mana?" tanya Farah pada puterinya itu.Najwa membuang napas, lalu mencoba tersenyum pada Mamanya."Dari toilet, Ma," jawabnya berbohong.Tiba-tiba televisi dinding yang ada di ruangan itu menampilkan sebuah berita. Awalnya Najwa tak tertarik. Tapi ketika nama

  • YANG MISKIN ITU KAMU, MAS!   Pulang

    Najwa membawa Indra masuk ke dalam panti dan merawat luka-lukanya. Indra duduk sambil memangku Bintang, sambil menceritakan apa yang sebenarnya terjadi."Jadi anak ini ... ," Najwa membulatkan mata mendengar perkataan Indra."Dia bukan anakku," jawab Indra. "Aku menikah dengan Susan untuk menutupi hutang Ibuk pada mereka. Susan membutuhkanku untuk menutupi kehamilannya. Kami sudah membuat kesepakatan dari awal."Najwa terdiam, tak tahu apa yang harus dia katakan. Indra menatap Najwa penuh arti."Sekarang kamu tahu, aku tidak pernah mengkhianatimu. Aku bahkan tidak pernah menyentuh Susan sedikitpun," ucapnya.Najwa memalingkan muka. Dia takut hatinya goyah karena hal itu. Dia menelan saliva, lalu membuang napas berat."Lalu apa rencanamu sekarang, Mas?" tanyany

  • YANG MISKIN ITU KAMU, MAS!   Perputaran Roda

    Bulan berlalu, musim berganti. Najwa berdiri di depan tanah milik orang tuanya. Dia menatap sekeliling tempat itu. Secara tidak langsung tanah itu telah berperan besar dalam kehidupannya. Karena tanah itu, terjadi pernikahan tidak bahagia antara dia dan Indra. Karena tanah itu dia mengenal Pak Tomo dan Farah, orang tua kandungnya. Karena memperjuangkan tanah itu, dia bisa seperti sekarang ini. Hidup memang seperti roda, yang terus berputar.Kini di hadapannya berdiri sebuah masjid besar, dan sebuah panti asuhan yang dia bangun dengan hasil keringatnya sendiri. Najwa tersenyum bangga atas apa yang telah dia capai saat ini."Nduk," Ibunya menepuk pundaknya, menyadarkannya dari lamunan. "Ayo masuk. Semua warga sudah berkumpul di dalam. Kamu kan harus melakukan penyerahan tanah dan masjid ini untuk warga sekitar."Najwa menggenggam jari ibunya yang berada di pundakny

  • YANG MISKIN ITU KAMU, MAS!   Kejujuran

    "Pergi? Pergi ke mana Davi?" tanya Pak Tomo sambil mendekati puteranya itu.Davian tersenyum seraya menatap Papanya."Davi ingin mewujudkan impian Davi yang dulu, Pa," ucapnya."Menjadi seorang chef?" tanya Pak Tomo dengan mata yang membulat.Davian tersenyum, seraya mengangguk."Tidak, Davi. Papa tidak mengijinkan," sahut Pak Tomo. "Tidak ada yang boleh pergi lagi. Mulai sekarang kita akan hidup bersama, sebagai keluarga. Tidak ada yang boleh pergi."Davi sesaat melirik ke arah Najwa, lalu menatap Papanya lagi."Davi tidak bisa menjadikan Najwa saudara Davi," ucap Davi lirih.Pak Tomo tersentak, lalu memegang kedua pundak Davian."Apa maksudmu, Davi?

  • YANG MISKIN ITU KAMU, MAS!   Perpisahan

    "Ibuk! Ibuk!" Indra menggoncang tubuh Ibunya yang masih tak sadarkan diri.Pak Tomo segera memanggil anak buahnya untuk membantu mengangkat tubuh Bu Ratno dan juga memanggil ambulan. Mereka membawa Bu Ratno keluar dari ruangan itu, melewati Najwa yang ada di depan pintu.Indra menghentikan langkah sebentar ketika sampai di samping Najwa."Maafkan aku, Najwa," ucapnya tanpa rasa malu sedikitpun.Najwa tak menjawab, hanya membuang muka. Indra meneruskan langkahnya meninggalkan ruangan itu.Pak Tomo berjalan mendekati Najwa."Kamu kenapa nekad keluar dari rumah sakit?" tanya Pak Tomo."Maafkan saya karena sudah lancang, Pak. Saya harus menghentikan Bapak untuk menotariskan tanah itu ke saham Bapak, " jawab Najwa. "Tanah itu mi

  • YANG MISKIN ITU KAMU, MAS!   Wanita Kampung itu Putriku

    "Apa yang kamu katakan, Bik?" tanya Pak Tomo belum bisa menghilangkan keterkejutannya.Dia berjongkok, sambil memegang kedua pundak Mirna. Davian segera menyadari sesuatu, dan lekas memegang lengan Papanya."Kita minta penjelasannya nanti, Pa. Golongan darah Papa AB, kan? Najwa butuh donor darah agar nyawanya bisa selamat."Pak Tomo segera mengerti. Mereka bertiga bergegas meninggalkan kantor dan meluncur menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan mereka bertiga terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.Sesampainya di rumah sakit Pak Tomo langsung menemui dokter untuk dilakukan pengecekan dan pengambilan darah. Davian dan orang tua Najwa hanya bisa menunggu dengan cemas."Jadi, Najwa itu anak kandung orang tuaku?" tanya Davian lirih, saat duduk di samping Mirna.

  • YANG MISKIN ITU KAMU, MAS!   Terungkap

    Davian menghentikan mobilnya di area parkir rumah sakit. Pikirannya kalut, satu-satunya yang dia ajak bercerita adalah Mamanya. Sebenarnya dia tidak ingin membebani Mamanya lagi dengan pikirannya, tapi saat ini dia benar-benar bingung tentang apa yang harus dia lakukan.Dia berjalan memasuki gedung rumah sakit dan langsung menuju kamar rawat Mamanya. Rupanya Bu Ratno dan Davian ada di sana, duduk di samping Mamanya yang duduk bersandar di atas kasur serba putih itu."Eh, Nak Davian," sapa Bu Ratno saat menyadari kedatangan Davian.Davian menyalami calon ibu mertuanya itu, lalu melirik sekilas ke arah Indra yang duduk di sofa dalam ruangan.Bu Ratno menenteng beberapa lembar contoh amplop undangan di tangannya."Tante mau minta pendapat Mamamu tentang kartu undangan mana yang lebih bagus, ternyata

  • YANG MISKIN ITU KAMU, MAS!   Rencana Pengakuan

    Najwa menunduk, tak tahu harus berkata apa pada Davian. Apa dia memang harus mengatakan hal yang sebenarnya pada Davian? Jika iya, mungkinkah Davian akan kehilangan semua yang dia miliki saat ini?"Davi," ucap Najwa lirih. "Sebenarnya ... aku ini ..."BRAKMereka berdua terkejut karena tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar. Risma masuk ke dalam dan langsung menarik tangan Davian."Apa-apaan kalian, berdua-duaan di sini?" tanya Risma sambil menatap tajam ke arah Najwa."Mbak Wawa kenapa ke sini lagi, sih? Bukannya Mbak Wawa sudah mengundurkan diri?" tanyanya.Najwa tidak menjawab. Dia membuang muka, menyembunyikan matanya yang berembun. Risma mengalihkan pandangan pada Davian."Papamu menyuruh kita pulang. Kita akan membicara

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status