BAB KE 6
MENJEMPUT FAIZ
POV : NITA
"Faiz ... jangan menangis! Ibu mu kan telah datang!"Suara Dudun beriring isak membuat aku mengangkat wajah. Dari sela bahu dan leher Faiz aku mengarahkan pandangan pada bocah itu.
Dudun perlahan menghampiri kami, terlihat dari matanya menggulir tetesan bening yang jatuh di pipi. Kedua bahunya turun naik karena sedan sedan.
Faiz ikut menoleh ke arah Dudun, pelukan kami merenggang.
"Aku takut Ibu digampar Om Darto lagi, Dun! Kayak waktu itu," jawab Faiz dengan suka sendu ke arah Dudun.
Saya merasa kaget mendengar jawaban Faiz. Tak ku sangka dia melihat peristiwa itu. Peristiwa yang seharusnya tidak boleh dia saksikan.
Apakah anakku mengalami trauma? Tanyaku dalam hati. Mungkinkah sikap keras kepala Faiz dan antipatinya terhadap Mas Darto karena hal itu? Batinku lagi.
"Tidak ... tidak akan lagi! Hu hu hu... Ibumu sekarang akan tinggal bersama kita. Tak mungkin Om Darto berani ke sini, karena di sini ada Ayahku," ucap Dudun membujuk di sela tangis.
Dia merangkul Faiz, membuat kami lepas.
"Tante jangan menangis? Kasihan Faiz nya ikut-ikutan nangis," kata Dudun saat mata kami bertemu. Sedu sedannya masih terdengar.
Tanganku dengan sigap mengusap pipi, menyeka udara yang ada di sana. Setelah itu kupaksakan tersenyum untuk Dudun.
"Udah ... Tante sudah tidak menangis ... Dudun dan Faiz jangan menangis juga, ya?" kataku, yang di jawab dengan anggukkan oleh kedua bocah itu.
"Boleh ya Pak De, Bu De... Ibu Faiz tinggal bersama kita?" kata Faiz setelah membocorkan Mas Kemal dan bergantian. Wajah Faiz terlihat penuh harap dengan mata sayu.
"Boleh, tidak apa-apa. Biar kita tinggal bersama di rumah ini," jawab Mas Kemal dengan suara serak.
"Iya, Faiz sama Ibu tinggal di sini saja, biar kita berkumpul dan selalu bersama." Mbak Hamilah ikut menimpali. Sekilas aku melihat memerah, berkaca-kaca. Namun, ada di sana.
"Sekarang kita tinggal di sini saja, Bu, bersama Dudun! Om Darto jangan di ajak!" Faiz mengangkat wajahnya yang kini telah berdiri.
Sekali lagi saya melihat senyum, kali ini untuk menanggapi keinginan Faiz, tak ada jawaban yang keluar dari mulutku. Karena aku merasakan tenggorokan kering dan serak, sedangkan di dada ada sesuatu yang membuat sesak.
"Ayo kita duduk di sini," ajak Mas Kemal sambil meraih tangan Faiz, sementara tangan satunya menempel di punggung Faiz.
Mereka berjalan menuju tempat kosong antara meja dan lemari. Dudun mengekor di belakang, Di tempat itu terbentang sebuah tikar pandan. Kemudian kami duduk di sana. Kakak Dudun yang kini telah kelas empat SD. Juga ikut bergabung duduk bersama kami.
"Bagaimana tanggapanmu atas keinginan Faiz itu, Tina? Apakah kamu benar hadir bersama kami di sini? Bagi kami tidak siap menampung. Nanti jika suamimu telah, baru lagi ke sana," ucap Mas Kemal kami setelah kami siap menyambut. .
"Kapan Ayah aku akan pulang, Pak De?" Faiz menyela dengan pertanyaan.
"Nanti... nanti Ayahmu akan pulang! Sabar, ya?" jawab Mas Kemal.
"Kata Pak De, kita yang akan mencari Ayah," balas Faiz.
"Iya, kalau berapa hari lagi Ayahmu belum juga pulang, kita akan mencarinya," terang Mas Kemal.
Aku hanya diam, menunduk dengan pikiran berkecamuk.
"Pikirlah dengan baik! Demi anakmu, Tina! Thoriq itu orangnya sangat baik. Saya yakin dia akan memaafkan dan memaafkanmu kembali, asal kamu berusaha untuk mengubah," lanjut Mas Kemal, sambil membocorkan ke arahku.
Aku masih diam.
"Iya, untuk apa kamu melanjutkan hubungan dengan lelaki seperti Darto itu. Tidak benar kalau laki-laki suka main tangan sama istri." Mbak Hamilah menambahkan.
Aku tetap diam, karena tidak tahu apa yang harus ku katakan.
"Bagaimana, Tina? Kamu menyediakan?" tanya Mas Kemal lagi setelah sewaktu-waktu kami saling diam.
"Sebaiknya malam ini saya dan Faiz kembali dulu ke rumah kami. Tak enak saya sama Mas Darto. Sebab dialah yang menyuruh saya bertemu Faiz. Dia menyesal atas sikapnya selama ini. Dia juga telah meminta maaf dan meminta maaf untuk mengubahnya," jawabku berbohong.
Ya, aku terpaksa berbohong. Karena aku pikir, kalau tawaran itu aku terima, jelas Mas Darto akan menceraikanku.
Sementara Mas Thoriq tidak jelas rimbanya. Kalaupun Mas Thoriq pulang, belum tentu dia mau kembali kepada saya, karena saya telah menyakiti hati.
Belum lagi pandangan masyarakat sini terhadapku. Mau ditaruh di mana mukaku.
Sebenarnya sudah lama aku ingin meninggalkan kampung ini. Karena rasa malu dan tak tahan menghadapi sinisnya sebagai warga. Tapi, aku berjanji oleh perjanjian dengan Mas Thoriq.
Rasanya benar-benar keterlaluan kalau aku juga harus mengkianati perjanjian dengan Mas Thoriq. Karena dia telah rela mengorbankan dirinya. Demi Faiz, demi kebahagiaan anak kami.
Tapi, kini perjanjian itu terpaksa harus ku langgar demi mengikuti keinginan Mas Darto.
Apa boleh buat, mungkin aku memang telah menjadi wanita yang terlalu.
Ah, masa bodolah dengan istilah Bang Haji itu.Tapi, semua terjadi karena saat ini keadaanku sangat terjepit. Seperti menghadapi buah simalakama. Inilah keputusan yang kuambil. Aku harus mengikuti apa kata Mas Darto. Karena dialah suamiku saat ini.
Biarlah sekarang kami pergi meninggalkan kampung ini. Menghilang untuk sementara. Namun suatu saat nanti, Faiz pasti akan menemui Ayahnya. Aku tidak akan memutuskan hubungan darah antara Ayah dan anak.
Terlihat Mas Kemal menarik napas panjang, ada rona kecewa di wajah ketika terinspirasi kutipanku. Begitupun dengan Mbak Hamilah. Mulutnya terlihat sedikit meruncing.
"Apakah kamu yakin dengan apa yang dikatakan Darto?" tanya Mas Kemal pelan.
"Ya, saya yakin, Mas" jawabku, sekali lagi aku harus berbohong.
"Tapi saya tidak percaya dengan omongan orang seperti itu. Kalau Faiz kembali menggoda, mungkin keadaannya tidak akan berubah. Faiz lah yang akan menderita nantinya,"
ucapan Mbak Hamilah seperti pujian.
"Ya, untuk sementara Faiz di sini dulu. Kalau memang Darto yang menyuruh kamu bertemu Faiz, sebaiknya dia datang ke sini. Biar tenang saya melepas," kata Mas Kemal.
Terlihat jelas, kalau Mas Kemal enggan membiarkan aku membawakan Faiz pulang.
"Percayalah pada saya Mbak! Saya berjanji tidak akan pernah memukul Faiz lagi. Saya sangat menyesal dengan sikap saya selama ini," ucapku mengarah pada Mbak Hamilah.
Mbak Hamilah tidak menjawab ucapanku, malah beralih pada Mas Kemal. Seakan meminta pendapat dari suaminya.
Melihat hal itu, aku segera berkata pada Mas Kemal, " izinkan saya membawa anak saya malam ini, Mas. Demi menjaga perasaan Mas Darto, suami saya! Tak enak rasanya bila saya pulang tanpa Faiz."
Sengaja aku berkata seperti itu untuk memberikan penekanan, agar mereka memberikan aku membawakan Faiz malam ini.
Bahkan aku sengaja dibuatkan kata 'suamiku', agar mereka bisa memahami. Bahwa aku akan tetap mempertahankan rumah tanggaku dengan Mas Darto.
"Sebenarnya saya tidak bisa membantu untuk melawan kamu membawa Faiz, karena dia memang anakmu! Tapi, saya juga bertanggung jawab atas keselamatan Faiz, karena dia anaknya Thoriq. Saya dengan Thoriq itu bukan hanya sekedar dari tetangga kecil, bukan hanya sebagai, tapi lebih dari itu. Saya sudah seperti kakaknya. Apa lagi Thoriq itu anak tunggal dan tidak memiliki keluarga sanak. Sejak orang tuanya meninggal, dia jadi sebatang kara. Maka sayalah keluarganya, dan sayalah sanak familinya. Segala urusan Thoriq juga menjadi urusan saya. Jadi saya tidak bisa membiarkan Faiz kamu bawa malam ini, kecuali Faiz menyukaimu," jawab Mas Kemal panjang lebar.
Kata-kata Mas Kemal membuat aku berpikir keras, bagaimana caranya agar Faiz mau pulang bersamaku.
"Faiz, ikut Ibu pulang ya?" Aku coba membujuk Faiz.
"Aku tidak mau ke sana. Di sana ada Om Darto... Ibu saja yang di sini!" jawab Faiz.
"Itu artinya Faiz tidak mau ikut bersama kamu," kata Mas Kemal.
"Mas izinkanlah saya membawa Faiz, setidaknya untuk malam ini. Besok saya akan kembalikan ke sini." Aku memohon pada Mas Kemal dengan wajah memelas.
Aku berusaha untuk menangis demi memancing simpati mereka. Air mata meleleh di pipiku, aku terisak.
"Ibu jangan menangis!" teriak Faiz sambil memelukku.
"Makanya Faiz ikut Ibu ya? Ibu kangen sama Faiz. Ibu ingin malam ini kita tidur bersama," bujukku dengan air mata berurai.
"Tapi, aku tidak mau tinggal bersama Om Darto. Dia galak!" Faiz mengungkapkan mata berkaca-kaca.
" Sekarang Om Darto sudah tidak galak lagi. Dia sudah berjanji sama Ibu, akan mencintai Faiz," kataku berbohong.
"Emang Om Darto berkata seperti itu?" tanya Faiz yang ku jawab dengan anggukkan. Walau hanya mengangguk, tapi itu adalah angguk cerita.
"Tapi, Om Darto meminjam, nggak? Kalau dia juga tidak akan galak sama Ibu?" Kembali Faiz bertanya.
"Iya, dia juga berjanji akan mencintai ibu, mencintai kita," bohongku lagi.
"Kalau begitu, aku mau ikut bersama Ibu...."
"Jangan mau Faiz! Di sini saja, nggak lama lagi mau puasa. Mending di sini, kita bisa sahur dan berbuka bersama. Juga tiap malam tarwehan. Nanti kalau kamu di sana, tidak tarweh lagi seperti puasa yang dulu." Dudun ucapan Faiz.
Ada rasa keki di hati ku melihat ulah Dudun ini. Tapi mau tidak mau aku harus bermuka manis.
"Faiz cuma semalam di sana, Dun? Besok dia Tante antar lagi ke sini," ucapku dengan senyum.
"Jadi Faiz di sana cuma tidur doang?" tanya Dudun ingin memastikan. Aku mengiyakan, tentu dengan senyum tetap di bibir.
"Sekarang Faiz ikut Ibu pulang ya?" ajakku pada Faiz.
Ada keraguan di mata Faiz, dia mengungkapkan Dudun cukup lama, dan beralih pada kedua orang tua Dudun.
Ketika mata Faiz mengarah pada Dudun, bocah itu kepala, memprofokasi Faiz, agar menolak mengajakkanku.
Benar-benar bocah yang menyebalkan!
"Tapi, aku ingin bersama Ibu," kata Faiz, seolah mengerti apa yang di inginkan Dudun.
Mendengar jawaban Faiz, Dudun menunduk, hadir di wajah polos itu.
Tiba-tiba Faiz memeluk Dudun, "aku kangen sama Ibuku...besok aku akan ke sini lagi ya?" kata Faiz pelan.
"Aku takut, nanti kamu dipelototin Om Darto." Dudun membalas ucapan Faiz.
"Om Darto tidak akan melotot kan, Bu?" tanya Faiz.
"Tidak, tidak akan melotot. Om Darto sudah sayang sama Faiz," jawabku berbohong.
"Tapi, benarkah Tante? Besok Faiz di antar lagi ke sini!" kata Dudun padaku, aku mengiyakan. Terpaksa aku harus berbohong lagi.
Ternyata benar! Kalau kita telah berbohong, walau hanya sekali, maka kita akan berbohong lagi untuk menceritakan tentang sebelumnya.
Oleh karena itu janganlah salah bohong! Walau bagaimanapun!
Tapi saya melihat hasil, karena Faiz menyimakku. Mas Kemal dan terpaksa melepaskan Faiz.
"Hati-hati di sana, ya?" pesan Dudun ketika dia melepas Faiz di pintu rumah. Mereka kembali berpelukan, cukup lama.
Air mata meleleh di pipi kedua bocah itu. Terlihat begitu berat mereka untuk berpisah.
Entah kenapa?
Mungkinkah bocah seusia itu punya firasat bahwa mereka tidak akan bertemu lagi? Kalaupun suatu saat mereka bertemu, mungkin usia mereka telah remaja, atau bahkan telah dewasa....
Entahlah....
Bersambung
BAB KE : 7KEINDAHAN BERSAMA IBUMalam itu Faiz di lepas dengan lambaian tangan oleh keluarga Mas Kemal."Hati-hati di sana ya, Faiz! Kalau Om Darto melotot, kabur aja ke sini!" teriak Dudun dalam isak, ketika Tina dan Faiz baru berjalan berapa langkah.Jelas teriakan Dudun itu membuat keki hati Tina. Bocah ini benar-benar tukang hasut kelas berat, batin Ibu Faiz tersebut."Iya, Dun!?" balas Faiz dengan teriakan juga.Dia menoleh ke belakang sambil melambaikan tangan.Dengan cepat Tina meraih tangan Faiz, meraih dengan lembut dan tak melepaskannya. Sehingga mereka berjalan sambil bergandeng tangan.Peringatan Dudun mungkin karena rasa persahabatan yang kental antara mereka. Rasa takut akan terjadi sesuatu yang buruk terhadap Faiz.Apa lagi hati Dudun sedang dipenuhi oleh rasa khawatir. Khawatir tidak akan bertemu lagi dengan Faiz ... khawatir Faiz akan di pelototin Om Darto dan khawa
TIDUR BERSAMA IBUBAB KE : 8Di ambang pintu, Tina tidak mengetuk seperti perkiraan Faiz. Cukup sekali dorong, pintu itu telah terbuka. Mereka masuk tanpa salam.Faiz merapat mengikuti langkah Ibunya dari belakang, dengan kedua tangan berpegangan pada baju Tina. Sekali-kali mata Faiz mengintip lewat punggung Ibunya. Menyapu ruang depan mencari sosok Darto. Entah kenapa ada rasa malas di hati Faiz untuk bertemu dengan Darto. Untunglah di dekat meja ruang depan, sosok itu tak terlihat.Walau menurut Tina, Om Darto sudah jadi baik. Tapi Faiz tetap tidak berani bertemu dengannya. Faiz takut di pelototin.Tina terus melangkah menuju ruang tengah yang berbatas dengan dapur dan kamar mandi. Sebelum memasuki ruang tengah, Faiz menghentikan langkahnya. Sehingga bagian baju Tina yang dipegang Faiz seperti ditarik dari belakang.Tina pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang menatap Faiz."Aku tidak mau ke san
KAPAN AYAH PULANGBAB KE : 9CELEENGAN FAIZSetelah Faiz tidur, perlahan Tina turun dari ranjang. Dia turun dengan hati-hati, memastikan tidak ada suara atau gerakkan yang bisa mengganggu kenyenyakkan Faiz.Bahkan ketika menuju pintu kamar, Tina berjalan dengan mengendap-endap. Menjaga langkahnya agar tidak menimbulkan suara sedikit pun.
KESEDIHAN THORIQBAB KE : 10Bus berjalan pelan di sela perbukitan membelah jalan utama antar provinsi.Medan yang sulit, dengan belokan dan tanjakkan di sisi lereng membuat awak armada harus ekstra hati-hati.Berapa kali penumpang seperti di ayun saat bus merambah area yang tak rata dan menurun.Perjalanan ini sangat berat dan melelahkan bagi sebagian besar penumpang. Wajah mereka begitu kuyu dan terlihat letih.Wajah kuyu dan letih itu juga tersirat dari muka Thoriq. Lelaki yang hanya duduk diam dekat jendela.Bangku di sebelahnya kosong, sehingga sepanjang perjalanan tidak ada orang yang bisa diajak untuk mengobrol.Tapi, andaipun ada.Mungkin dia akan tetap memilih diam, karena Thoriq bukanlah tipe lelaki yang suka banyak bicara. Apa lagi seperti saat ini, dimana dia lebih sibuk dengan pikirannya sendiri.Pikiran yang berkecamuk dengan segala kesedihan. Kes
KAPAN AYAH PULANGBAB KE : 11MIMPI THORIQ18+"Cibora habissss...!""Cibora habissss...!"Teriakan kondektur bus menyadarkan Thoriq dari lamunan. Ternyata mereka telah sampai di sebuah terminal di sebuah Kota Kabupaten.
KAPAN AYAH PULANGBAB KE : 12DERITA THORIQ DI PASAR INDUK18+Setelah melaksanakan shalat Subuh, Thoriq duduk di kaki mushala. Pandangannya menatap jauh dengan pikiran gundah.Jarak antara terminal dengan pasar induk sebenarnya terbilang dekat, namun cukup melelahkan bila ditempuh dengan berjalan kaki.Tapi Thoriq tak punya pilihan, karena tidak sepeserpun uang ada dalam kantongnya. Dia harus jalan kaki agar segera bertemu dengan Tamrin.Setelah menarik napas dalam dan ucapkan Bismillah, Thoriq bangkit dan mulai mengayunkan langkah meninggalkan mushala tempat dia bernaung semalam.Untunglah ada yang memberi tau jalan pintas, hingga Thoriq tidak perlu lagi melangkah di sepanjang trotoar jalan raya yang berdebu. Dan tentu jarak tempuh jadi lebih dekat.Keringat bercucuran dan perut terasa melilit disaat Thoriq memasuki pintu gerbang pasar induk. Haus dan lapar menyatu membuat tubuhnya sedikit lemah.
KAPAN AYAH PULANG?BAB KE : 13PELAJARAN DARI BOCAH KECIL BERNAMA UCIL18+"Om, kenapa menangis?" tanya si bocah penuh keheranan.Thoriq tersentak, dengan cepat dia menyeka air yang membasahi pipinya."Nggak apa-apa," jawab Thoriq berusaha melepas seulas senyum."Nggak apa-apa, kok nangis? Om, sakit?" tanya bocah itu lagi, sambil menatap dalam wajah Thoriq.Jelas keluguan seorang bocah tersirat dari wajahnya yang polos. Ada rasa kasihan yang timbul di hatinya, apa lagi ketika melihat wajah Thoriq yang sedikit pucat dengan bibir kering.Memang wajah Thoriq kelihatan agak pucat, mungkin karena kurang tidur selama dalam perjalanan, belum lagi ditambah rasa letih dan lapar yang sedang dia derita."Tidak ... Om tidak sakit," jawab Thoriq sambil memasukan berapa butir bawang merah ke dalam kantong kresek yang kini telah berada dalam peganggan si bocah.Itulah
KAPAN AYAH PULANG?BAB KE : 14PENDERITAAN THORIQ BELUM BERAKIR18+Mungkin ruangan itu hanya berukuran kurang dari tiga kali tiga meter ... sangat sempit! Bahkan kamar Thoriq di kampung, jauh lebih besar dari ruangan ini.Diruangan itulah Ucil dan Ibunya tinggal, berbaur dengan segala macam benda-benda keperluan se hari-hari.Lemari plastik yang warnanya telah kusam terlihat berdiri agak miring di pojok ruangan. Mungkin karena usianya yang telah tua. Sehingga tidak kuat lagi tegak dengan sempurna menahan beban yang ada di dalamnya.Bagi sebagian orang, lemari seperti itu tidak lagi terpakai dan akan dibuang ke tempat sampah. Tidak demikian dengan keluarga Ucil, lemari kusam itu masih bisa mereka manfaatkan untuk menyimpan pakaian.Di pinggir ruangan, juga terlihat kardus yang berjejer dekat dinding. Entah apa isinya, Thoriq tidak begitu jelas memperhatikan.Mungkin saja di dalam