Share

TIDUR BERSAMA IBU

TIDUR BERSAMA IBU 

BAB KE :  8

Di ambang pintu, Tina tidak mengetuk seperti perkiraan Faiz. Cukup sekali dorong, pintu itu telah terbuka. Mereka masuk tanpa salam.

Faiz merapat mengikuti langkah Ibunya dari belakang, dengan kedua tangan berpegangan pada baju Tina. Sekali-kali mata Faiz mengintip lewat punggung Ibunya.  

Menyapu ruang depan mencari sosok Darto. Entah kenapa ada rasa malas di hati Faiz untuk bertemu dengan Darto. Untunglah di dekat meja ruang depan, sosok itu tak terlihat.

Walau menurut Tina, Om Darto sudah jadi baik. Tapi Faiz tetap tidak berani bertemu dengannya. Faiz takut di pelototin.

Tina terus melangkah menuju ruang tengah yang berbatas dengan dapur dan kamar mandi. Sebelum memasuki ruang tengah, Faiz menghentikan langkahnya. Sehingga bagian baju Tina yang dipegang Faiz seperti ditarik dari belakang.

Tina pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang menatap Faiz.

"Aku tidak mau ke sana, Bu! Aku mau langsung tidur saja," kata Faiz dengan tatapan penuh keraguan dan rasa takut.

Mendengar kata-kata Faiz yang memelas dan melihat sorot matanya, Tina memaklumi. Ternyata Faiz belum bisa meyakini apa yang disampaikan Tina tadi.

"Owh, ya nggak pa-pa, Sayang! Ayo kita ke kamarmu. Ibu juga mau tidur di sana. Kita tidur bersama malam ini, ya?" kata Tina setelah terdiam sesaat.

Tina sempat berpikir, sekarang bukan waktu yang tepat untuk mempertemukan Mas Darto dengan Faiz.

Mas Darto jelas tidak akan merubah cara menatapnya pada Faiz. Tatapan yang selalu tajam tanpa senyum dengan raut wajah dingin. 

Tatapan seperti inilah yang diartikan Faiz dan Dudun dengan melotot itu. Kalau dipaksakan, bisa-bisa Faiz mengikuti apa kata Dudun tadi....

Kabur!

Senyum lepas dari mulut Faiz tanpa sadar, mendengar apa yang keluar dari mulut Ibunya.

Sayang?

Ibu menyebut Faiz dengan kata sayang? Kata yang sangat dirindukannya sekian lama, kini keluar dari mulut sang Ibu. Sungguh, malam ini Faiz merasa sangat beruntung sekali.

Rasa keberuntungan itulah yang membuat senyum Faiz terus mengembang. Mengikis rasa ragu dan takut yang tadi bermain di wajahnya. Bahkan dia sampai melupakan keberadaan Om Darto dalam rumah ini.

"Ayo, Bu! Kita ke kamarku!" seru Faiz dengan wajah berseri sambil menarik tangan Tina. Dia berjalan dengan cepat, ingin segera berada di atas ranjang dan terlelap dalam pelukkan Ibu.

"Ayo," jawab Tina sambil mengikuti tarikkan Faiz. Senyum lepas dari bibir Ibu muda itu.

Tina berjalan seperti terseret oleh anaknya. Sebab Faiz berjalan seperti berlari sambil menarik tangan sang Ibu. 

Kini Faiz lah yang menuntun di depan, diikuti Ibunya yang berjalan rada miring seperti orang bungkuk, yang membuat Tina merasa lucu dengan cara berjalannya itu.

Diperlakukan Faiz demikian, timbul kebahagiaan yang menyelusup di hati Tina. Kebahagiaan yang belum pernah dia rasakan selama ini. Kebahagiaan yang disebabkan oleh seorang anak. Tanpa sadar, tawa kecil Tina pun lepas.

Mungkin inilah tawa tulus berbalut kebahagiaan Tina yang pertama sejak kelahiran Faiz. 

Ya, dulu waktu mengetahui anak yang dilahirkannya adalah laki-laki. Bukan rasa suka cita yang dirasakan Tina menyambut si jabang bayi, yang lebih sembilan bulan dalam perutnya. 

Tapi, kekecewaan! Kekecewaan yang dirasakan! Kecewa karena anaknya berjenis kelamin laki-laki. Andai kata waktu itu yang lahir seorang perempuan, mungkin cerita ini tidak ada.

Mungkin hal itu terjadi karena kebencian Tina terhadap adik tirinya dulu. Yang dari lahir telah membuat Tina tersisih, tersisih dari kasih sayang Bapak. 

Karena itulah, Tina sangat malas mengurus Faiz. Kewajibannya pada Faiz hanyalah sebuah keterpaksaan yang dirasakan Tina. Bahkan lebih sering dia mengabaikan Faiz.

Terkadang ada rasa bersalah dan menyesal di hati Tina, atas segala sikapnya itu. Tapi hanya sesaat! Saat berikutnya, timbul lagi kekesalannya bila melihat Faiz. 

Apakah ini yang dinamakan trauma?

Entahlah!

Melihat Ibunya tertawa, Faiz pun ikut tertawa. Mereka terlihat seperti seorang Ibu dan anak yang sedang becanda.

Apa lagi setelah mereka sampai dekat ranjang, Faiz menaikinya dengan melompat, Tina pun melakukan hal yang sama.

Brakkkk!

Brakkkk!

Dua suara keras dari ranjang terdengar, saat tubuh mereka terhempas dengan jarak hampir bersamaan. Tawa lepas dari mulut mereka. Tawa penuh kegembiraan.

Disaat tawa mereka mereda, Faiz memeluk Ibunya. Aroma farfum yang khas menguar dari tubuh Tina, membuat Faiz semakin membenamkan wajah dengan manja di bahu Tina.

Sikap Faiz yang manja itu, sekarang malah menimbulkan rasa sayang di hati Tina. Tidak seperti biasanya ... seperti waktu dulu. Bila melihat Faiz bermanja-manja dengan Ayahnya. Maka rasa muak dan bencilah yang timbul dihati Tina.

Penyesalan kembali hadir. Kenapa tidak dari dulu diambilnya kesempatan ini. Kesempatan untuk menikmati kebahagiaan bersama anak. 

Kesempatan yang selama ini telah di sia-siakannya. Kebahagiaan yang lebih enam tahun dia abaikan. 

Semua itu karena dendam, dan juga sikapnya yang tidak menerima dengan apa yang telah dianugrahkan Tuhan.

Ternyata dendam dan rasa sakit hati, akan membawa kita pada keburukan, membuat kita tidak bisa berpikir secara realistis, dan jauh dari bahagia.

Hanya menyalahkan orang lain, sehingga lupa dengan kekurangan diri sendiri. 

Bila tubuh sakit, tak ada lagi yang enak untuk dinikmati. Begitupun dengan hati! Bila dia telah sakit, tak ada satupun kebahagiaan yang bisa masuk ke sana. Walau kebahagiaan itu telah hadir di depan mata. Tapi karena hati sakit, maka mata tak mampu menangkapnya.

Bagaimana pula kita akan bersyukur dengan anugerah Tuhan, sementara anugerah yang seharusnya membahagiakan itu luput dari mata dan gagal masuk ke hati. Kebahagiaan itu akhirnya lewat tanpa dapat di nikmati. 

Itulah sekarang yang disesali Tina, kenapa dia harus terbelenggu oleh sebuah kebencian dan rasa sakit hati. Sehingga membuat dia lupa untuk mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan, berupa anak seperti Faiz.

Perlahan tangan Tina membelai rambut Faiz, hatinya membatin.

Maafkan Ibu, Nak!

Maafkan karena selama ini, Ibu telah menyia-nyiakanmu. Tak setetespun air susu Ibu masuk dalam perutmu, yang menjadi darah dan daging bagimu.

Maafkan Ibu....

Yang lebih memilih membuang air susu, di tengah lengking tangis laparmu.

Maafkan Ibu, Nak....

Atas semua kekasaran yang pernah Ibu lakukan. Peluk cium yang engkau harapkan, caci maki yang Ibu lontarkan.

Kasih sayang yang engkau rindukan, cubit dan pukulan yang engkau dapatkan. Kehangatan yang engkau dambakakan, justru sikap dingin yang Ibu berikan. 

Nak... 

Betapa besarnya dosa Ibu ... walau tak setetespun kasih sayang yang Ibu berikan untuk mu. Tapi, masih tega juga Ibumu ini merenggut  satu-satunya kebahagiaan yang kau miliki.

Ayah.....

Ibulah yang membuat Ayahmu pergi, Nak!

Tanpa terasa, ada cairan hangat yang merembes dari bola mata Tina. Dengan cepat dia mengusap mata itu, agar bening air matanya tidak tumpah di pipi.

Faiz merenggangkan pelukkannya. Mata bocah itu menatap dengan dalam wajah Ibu.

"Ibu," panggilnya pelan.

"Iya," jawab Tina.

"Ibu menangis?"

Tina hanya menjawab dengan gelengan.

"Tapi, kenapa wajah Ibu sedih dan mata Ibu seperti kaca? Apakah Ibu ingat Ayah? Aku juga suka sedih bila ingat Ayah yang tak pulang-pulang. Ibu sabar, ya?"

Ada getir di hati Tina mendengar itu. Dialah penyebab kesedihan yang berkepanjangan pada Faiz.

"Maafkan Ibu, Nak!" Kalimat itu yang ingin di ucapkan Tina. Namun tenggorokannya terasa sulit untuk berkata. Tina memaksakan untuk tersenyum demi menanggapi ucapan Faiz.

Setelah itu, hening.

"Bu!" Faiz kembali memanggil.

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Tina. Hanya belaian dan tatapan mata yang dia berikan untuk merenspon panggilan Faiz.

"Aku sangat senang malam ini. Aku bahagia bisa tidur bersama Ibu, bisa ngobrol dan becanda bersama."

"Ibu juga senang, Ibu juga bahagia karena malam ini kita bisa tidur bersama," jawab Tina seperti berbisik.

"Boleh aku mencium Ibu?"

Haru kembali menyelimuti hati Tina mendengar permintaan Faiz. Hubungan Ibu dan anak seperti apakah ini? Sehingga untuk mencium saja Faiz harus minta ijin? 

Ternyata telah begitu jauh Tina menjaga jarak dan membatas hatinya dengan Faiz. Ibu macam apakah aku? Ada sesak yang bergolak di dada Tina. 

Dia hanya mengangguk, tak kuat dia mengeluarkan suara untuk menjawab permintaan Faiz, sesak di dada itu membuat matanya kembali berkaca-kaca.

Tina mengangkat wajah, membiarkan Faiz mencium kedua pipinya.

"Aku sayang sama Ibu," ucap Faiz setelah mencium pipi Ibunya.

"Ibu juga sayang sama Faiz," jawab Tina. Suaranya serak menahan gejolak yang ada di dalam dada. Kemudian Tina pun mencium kedua pipi Faiz. 

Ciuman Tina membuat senyum lepas dari bibir bocah itu. Senyum yang mengembang seperti bunga di musim semi.

"Aku juga menyanyangi Ayah. Ibu harus sayang juga sama Ayah, ya?" ucap Faiz ketika kepalanya kembali menyentuh bantal.

Tina tidak dapat menjawab itu, dia hanya diam. Ingin rasanya dia memutar wajah, biar tidak berhadapan dengan Faiz. 

Berhadapan dengan jarak yang teramat dekat seperti ini, sulit bagi Tina untuk menyembunyikan kesedihannya. Apa lagi, bila bola mata mereka bertemu. Kesedihan itu semakin dalam menjalar ke jiwa.

"Aku ingin tidur seperti ini lagi dengan Ibu, tapi juga ada Ayah bersama kita. Kita tidur bertiga di ranjang ini," bisik Faiz.

Sekali lagi Tina tidak menjawab ucapan Faiz. Tina berusaha untuk tersenyum. Namun senyuman itu hanya membentuk sebuah lengkungan yang patah.

Hening....

"Ibu, kenapa Ayah tidak pulang-pulang?" tanya Faiz memecah keheningan sesaat yang terjadi di antara mereka.

"Ibu juga tidak tahu," jawab Tina pelan dengan desah. Ada nyeri di hati karena harus berbohong.

"Apakah Ayah tidak mau pulang karena takut di omelin, Ibu?" tanya Faiz lagi dengan polos. 

Tina memutar otak untuk menjawab pertanyaan Faiz itu.

"Tidak ... Ayah tidak mau pulang, bukan karena takut karena Ibu omelin," jawab Tina akirnya.

Hatinya membatin, Ayahmu tidak mau pulang bukan karena takut, tapi karena betapa jahatnya Ibumu ini, Nak!

"Lalu, kenapa Ayah tidak pulang-pulang?"

"Ibu tidak tahu, tapi besok kita akan berangkat mencari Ayah," jawab Tina, untuk menghindari pertanyaan Faiz selanjutnya.

Jawaban ini sangat menguntungkan Tina, karena itu sekaligus menyampaikan pada Faiz bahwa besok dia akan meninggalkan rumah ini. Faiz tentu akan bersedia ikut.

Jawaban Tina itu juga membuat kebahagiaan tersendiri bagi Faiz. Artinya tidak lama lagi, dia akan bertemu Ayah. 

Rindunya akan segera berakhir.

"Betul, Bu?! Apakah Pak De ama Dudun akan ikut bersama kita?" tanya Faiz antusias, sehingga suaranya agak keras. Tina menempelkan jari telunjuk di bibir Faiz. Bocah itu melepaskan senyum yang dikulum.

"Tidak ... hanya kita saja! Ibu, kamu dan Om Darto."

Mendengar nama Darto disebut, wajah Faiz langsung berubah. Entah kenapa dia merasa tak nyaman dengan orang itu.

Mencari Ayah, adalah sesuatu yang membuat Faiz bahagia, yang membuat Faiz bersemangat! Tapi, kalau bersama Om Darto....

Benar-benar menyebalkan!

"Sudah malam, ayo tidur! Biar besok kita tak kesiangan," kata Tina ingin mengakhiri pembicaraan mereka. 

Tina melihat perubahan yang terjadi di wajah Faiz, ketika dia menyebut nama Mas Darto tadi. Tina tidak ingin membuat  hati Faiz gundah kembali. Makanya dia mengajak Faiz segera tidur.

Tangan Tina menepuk-nepuk pantat Faiz. Dalam hati dia membatin. Maafkan Ibu, Nak! Ibu terpaksa berbohong lagi. Bahkan tidak hanya berbohong, bahka malam ini, Ibu juga akan mengkianatimu ... mezholimu. Ibu terpaksa melakukannya! Maafkan Ibu....

Mata Faiz mulai terasa berat dan perlahan menutup. Sesaat kemudian dia lelap dalam mimpi yang indah. 

Apakah bentuk kezholiman dan pengkhianatan Tina terhadap anaknya? Cerita ini masih....

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status