Share

Bab 6

"Huft, ternyata ngerjain orang itu menegangkan," ujarku langsung menghenyakkan bokong pada kursi. Membuka tutup botol, menegak air minum yang ada di dalamnya. 

Satu persatu orang-orang mulai berdatangan menghampiri tempat duduk mereka masih-masing. 

Bisa aku dengar jika mereka datang seraya membahas apa yang baru saja terjadi di toilet yang letaknya berada di dekat grup A. Sedangkan aku, berada di grup G dengan ketua grup yang tak lain adalah mantan suamiku sendiri. 

Ih, malas sekali harus bertemu setiap hari dengannya. Bersikap santun pada pria yang sudah menggoreskan banyak luka dalam hidupku. 

"Lin, kamu berantem dengan Mbak Amira?" 

Aku menoleh pada teman satu grup yang langsung menghampiri mejaku. 

"Ih, berantem apaan?" ujarku mengerutkan kening, mengedikkan bahu.

"Itu, di grup A rame pada ngomongin kamu. Katanya kamu jorokin Qiusi mereka sampai bokongnya basah kena air di toilet," ujar Nela lagi. 

Aku menarik tangan temanku itu agar merendahkan tubuhnya. Berbisik di telinga dia mengakui perbuatanku. 

"Astaga Alina, cari masalah aja, lu. Tuh, lihat orang-orang melihat ke arah kamu, Lin."

Aku mengedikkan bahu. Tidak peduli dengan drama yang dibuat si Amira. Sudah biasa, dia akan terus membuat orang-orang di grupnya tidak menyukaiku dan membela dia yang katanya menjadi istri muda paling teraniaya. 

"Bodo amat, Nel. Sudah biasa, 'kan kalau pihak sana membela anggotanya?" ucapku pada Nela. 

"Iya, sih. Tapi, ya jangan cari masalah lah. Kamu 'kan sudah bukan siapa-siapa Pak Haikal lagi. Nanti orang-orang malah benci kamu dan peduli dia."

"Iya, iya. Enggak lagi, deh. Untuk hari ini saja, hari berikutnya lebih dari itu."

"Dasar." Nela melirikku tajam, dan aku balas dengan menaik turunkan alis padanya. 

Aku tidak akan memukul kalau dia tidak mencubitku duluan. Sudah jelas sekali jika Amira yang mencari gara-gara tadi. Selama ini aku diam, tapi rasanya kediamanku terlalu menguntungkan dia. 

Tidak ada salahnya sekarang aku ingin mencoba melawannya.

Bel tanda masuk sudah berbunyi. Aku disibukkan dengan setumpuk pekerjaan yang kemarin aku tinggalkan. Sudah biasa seperti ini. Tidak masuk satu hari, hari berikutnya pasti keteter. 

"Ekhem!"

Aku menoleh ke samping kiri yang ternyata ada seseorang tengah berdiri memperhatikanku. Aku abai, pura-pura tidak mengetahuinya. 

"Istirahat nanti, temui aku," ujarnya membungkukkan badan seolah tengah mengoreksi pekerjaanku. 

"Tidak mau," kataku menolak. 

"Jangan membantah, Alina. Kamu harus membayar perbuatanmu kepada istriku tadi."

Oh, ternyata Mas Haikal sudah tahu kalau aku mengerjai istrinya. Bagus, biar laki-laki rakus itu tahu, aku tidaklah selemah yang dia pikirkan. 

"Istrimu duluan yang mulai," kataku tanpa melihatnya. 

"Temui aku di parkiran pada saat jam istirahat. Kalau tidak, aku akan memecatmu dan aku pastikan kamu dan anakmu tidak akan bisa makan sekalian," ancam Mas Haikal membuatku geram. 

Bukan takut akan ancamannya, tapi benci dengan kata-kata dia yang seolah Saffa itu hanyalah anakku. 

BRAKK!

Tangan yang sedari tadi sudah terkepal kuat, aku gebrakan pada meja panjang yang berada di sampingku. Aku berdiri dengan tatapan tajam pada pria yang pernah aku gilai itu. Menarik napas panjang, memejamkan mata lalu ....

"Mbak Amira! Suamimu mengajakku rujuk! Aku, gak sudi ...!" teriakku dengan sekencang mungkin.

Sontak saja, perbuatanku itu mengundang perhatian banyak pasang mata. Bukan hanya menoleh, orang-orang yang sedari tadi sibuk dengan pekerjaannya bersorak membuat suasana terasa sangat panas. 

Wajah Mas Haikal merah padam. Dengan menahan rasa kesal, dia langsung berjalan ke depan seraya mengusap keningnya. 

"Diam! Semuanya diam dan kembali bekerja!"

"Kerja kerja kerja!" 

Suara ketua grup terdengar saling bersahutan menghentikan anak buahnya yang masih mengomentari aksiku. Sedangkan di sana, wajah seorang wanita terlihat menahan amarah menatap tajam ke arahku. 

Ini baru permulaan, nanti mereka akan mendapatkan kejutan yang lebih besar dari ini, tentunya yang tidak akan pernah orang-orang itu bayangkan sebelumnya. 

Tunggu saja. 

*

Waktu pulang sudah tiba. Aku segera keluar dari pabrik untuk menemui Mama yang datang menjemputku dengan Saffa. 

Tadi, pada saat istirahat makan siang Mama menelepon dan akan langsung membawaku pergi jalan-jalan. 

Sebenarnya badanku cukup lelah untuk pergi jalan-jalan, tapi aku tidak kuasa untuk menolak keinginan Mama. Apalagi, Mama bilang untuk menyenangkan hati Saffa yang ingin membeli boneka baru. 

"Mama!" seru anakku seraya bertepuk tangan. 

Aku berlari kecil menghampiri mereka yang tengah berdiri di sebrang jalan tepat di samping mobil milik Mama. 

Sengaja Mama memakai kaca mata hitam serta masker agar petinggi pabrik ini tidak mengenali orang tuaku itu. 

"Halo, Sayang," ujarku menyapa putri kecil yang menggemaskan itu.

Jika dibandingkan dengan beberapa garmen milik papa, pabrik ini termasuk paling kecil dan letaknya pun bukan di pusat kota. Dan baru kali ini aku melihat Mama datang ke sini selama hampir lima tahun bekerja. 

Para karyawan pun rata-rata tidak ada yang tahu bagaimana wajah pemilik PT. AA Garment. Yang mereka tahu, bosnya itu sangat sibuk hingga tidak ada waktu untuk datang berkunjung melihat tempat usaha ini. Selalu mengirimkan utusan di setiap ada pertemuan. 

Padahal alasan yang sebenarnya ialah karena ada aku di sini. Papa tidak mau semua orang tahu jika aku adalah putri mereka. Saking marahnya papa, ia sampai melarangku menyebut namanya di lingkungan hidupku. 

"Silahkan kamu menikah dengan laki-laki itu, tapi jangan pernah mengakui kami sebagai orang tuamu. Tinggalkan atribut putri Dinata dan pergi hanya sebagai Alina," ucap Papa kala itu. 

Bodohnya, aku tetap pergi meskipun orang tua tidak meridhoi. Dan hasilnya, sudah aku nikmati. 

"Saffa, ikut jemput Mama?" ucapku seraya berjongkok mengecup pucuk kepala putriku. 

"Iya. Kata Oma, kita akan jalan-jalan."

"Waaah, benarkah?" 

"Iya, Mama!" ujar Saffa antusias.

Aku tertawa senang melihat wajah bahagia Saffa. Rasa lelahku seketika hilang dengan hanya melihat senyuman Saffa. 

Mama sudah masuk terlebih dahulu ke dalam mobil, bersiap untuk mengendarai roda empatnya. 

Saat aku membuka pintu, Saffa terlepas dari peganganku dan langsung berlari menyebrangi jalan sambil berteriak memanggil seseorang yang tengah membukakan pintu mobil untuk istrinya. 

"Ayah ...!" 

Mas Haikal membalikkan badan, lalu segera berjalan mengelilingi mobil hingga akhirnya masuk ke dalam tunggangannya dan pergi meninggalkan putriku yang berdiri di tengah jalan. 

Ubun-ubunku seketika mendidih melihat pemandangan itu. Bohong, jika tadi Mas Haikal tidak melihat Saffa. 

Sudah sangat jelas, jika dia membalikkan badan melihat ke arah putrinya. Namun, kesombongan dia membuat mata hatinya tertutup. Mas Haikal memilih pergi tanpa ingin menyapa Saffa sebentar saja. 

"Kurang ajar!" ujar Mama geram. 

Buru-buru aku lari untuk mengambil putriku yang masih mematung melihat kepergian ayahnya. Hingga akhirnya aku dikejutkan dengan suara teriakan orang-orang ketika melihat sebuah motor melaju kencang ke arah Saffa. 

"Awaaass!"

"Saffa ...!"

Bersambung

Comments (7)
goodnovel comment avatar
Fathurrahman Gesek
lanjut melihat kesadisan haikal
goodnovel comment avatar
Andre Djiparem
keren sangat
goodnovel comment avatar
Rinaray Uyahmandaun
selanjutnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status