Share

BAB 4

Aku berbalik arah, berniat kembali ke dalam, tapi ternyata mereka semua ikut keluar kecuali ibu. 

“Puas kalian telah memfitnah kami!” bentakku menatap nyalang pada mereka. 

“Memfitnah bagaimana? Semua bukti mengarah pada kalian. Jadi jangan terus mengelak.” Mas Rendy balas membentak. 

“Bukti? Bukti yang mana? Apa hanya karena kami miskin jadi bisa dianggap maling? Dasar kalian picik!” Aku mengumpat, melampiaskan kemarahan. 

“Sekar!” Hardik bapak. 

Aku tersentak kaget, tapi dengan cepat amarah kembali menguasai pikiran. Berjalan mendekat pada lelaki yang sangat kuhormati.

“Sekar pikir Bapak akan bijak menyikapi hal ini. Tapi ternyata salah. Bapak juga ikut-ikutan menuduh. Sekar kecewa sama Bapak!” tegasku berurai air mata. 

Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat sempurna di pipi sebelah kiri. Refleks, aku memekik memegangi pipiku yang terasa memanas. 

“Ini yang suamimu ajarkan? Dulu kamu tak pernah berkata kasar pada Bapak. Tapi setelah menikah justru kebalikannya. Bapak menyesal telah menikahkan kalian,” maki Bapak setelah menamparku. 

Sakit karena tamparan tak sebanding dengan sakit di dalam hati. Kecewa karena Bapak ikut merendahkan Mas Damar. 

“Coba kamu dulu nikah sama kenalan kami yang anak orang kaya. Pasti kamu akan hidup makmur. Enggak kayak sekarang.  Sudah hidup miskin, durhaka pula pada orang tua,” ejek Mbak Arum. 

“Kenapa enggak Mbak saja yang menikah sama dia. Kenapa Mbak memilih Mas Rendy yang berasal dari keluarga biasa?” Aku menatap sinis pada kakak iparku yang terperangah kaget. 

Entah ke mana perginya sopan santun yang selama ini kupunya. Yang jelas, aku bebanku sedikit berkurang karena telah melampiaskan. 

“Sekar!” Mas Rendy membentak. Dia mengangkat tangan ingin menamparku, tapi tak jadi. Hanya berhenti di awang-awang. 

“Kenapa berhenti, Mas! Kalau mau tampar ya tampar saja!” tantangku. 

Suasana menegang seketika. Deru nafas yang terdengar memburu, mendominasi waktu. Lengang. 

“Bapak... uangnya ketemu,” Setengah berlari, Ibu berteriak dari arah dalam. 

Sontak semua dari kami menatap pada Ibu. 

“Ini uangnya, Pak! Sudah ketemu,” ucap sambil memberikan kantong plastik berwarna hitam. 

Aku sedikit bernafas lega karena tuduhan mereka tak terbukti, tapi hati ini masih terasa nyeri. 

Bapak menerima kantong plastik itu lalu melongok isinya. “Syukurlah... uang kita enggak jadi hilang, Bu.” 

“Memangnya ketemu di mana?” tanya Bapak. 

Ibu tak langsung menjawab. Dia menatap kedua anak dan menantunya yang mulai memucat. 

“Di kolong ranjang,” jawab Ibu.

Aku memicingkan mata, merasa ada yang janggal dengan jawaban Ibu. Kolong ranjang? Ah! Bagaimana mungkin? Tadi pas aku lihat di kolong ranjang tak ada apa-apa. Kenapa sekarang bisa ketemu di sana? 

“Coba hitung dulu, Pak!” perintahnya kemudian.

Tanpa menunggu lama, Bapak mengeluarkan isi kantong itu lalu mulai menghitung. Sejenak aku mengesampingkan kejanggalan itu. Lebih memilih memperhatikan Bapak dari sudut yang agak jauh.

“Kok kurang lima juta sih?” gumam Bapak seusai menghitung. 

“Masa sih? Coba dihitung lagi, Pak!” Ibu menggumam seolah tak percaya. 

Bapak menurut. Dia kembali menghitung uangnya. Namun, raut kecewa kembali tersirat dari wajah Bapak. 

“Sama, Bu. Uangnya tinggal empat puluh lima juta,” keluhnya. 

Ibu kembali menatap anak lelaki dan menantunya bergantian. 

“Aku enggak tahu, Bu! Bukan aku yang mengambil,” sahut Mas Rendy ketakutan.

Bapak mengalihkan pandangan pada anak keduanya. “Siapa juga yang bilang kamu yang ambil?” 

Wajah Mas Rendy semakin pias. Dia gelagapan seolah ada yang sedang disembunyikan. Pun dengan tiga kroninya. Wajah mereka tak kalah pias.

“Sudahlah, Pak. Mungkin kemarin Bapak salah menghitung,” ujar Ibu menengahi. 

Aku berjalan masuk berniat menjauh dari mereka. Namun, baru saja sampai di depan pintu Bapak memanggilku. 

“Sekar... maafkan Bapak ya,” Bapak mendekat padaku. 

“Enggak apa-apa, Pak. Anggap saja Bapak tak pernah menamparku.” Aku tersenyum getir. 

Ibu menatapku penuh selidik, kemudian meraih tanganku yang sejak tadi masih memegangi pipi. Dia terkejut saat melihat pipiku. Barangkali bekas tamparan Bapak masih terlihat memerah. 

“Bapak menampar Sekar?” cecar Ibu.  

“Tadi Bapak Emosi. Maaf,” akunya. 

“Bapak kelewatan.” Ibu menatap kecewa pada suaminya lalu berganti menatap kedua anak lelaki dan menantunya, “kalian juga sama!” 

Mencoba abai, aku menjauh dari mereka. Berjalan menuju kamar lalu segera mengunci pintu dari dalam. 

Suara Bapak dan Ibu terdengar bersahutan memanggil namaku dari luar kamar. Membujuk agar aku membuka pintu, tapi aku tak kunjung melakukannya.

Kuhempaskan tubuh di atas ranjang, berusaha menepikan kecewa dalam dada. Aku tak lagi peduli  dengan sakit hatiku. Pun dengan tuduhan yang mereka lontarkan. Namun, bagaimana dengan Mas Damar? Apa dia masih bisa sabar? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status