Share

BAB 3

Aвтор: Putri putri
last update Последнее обновление: 2022-07-12 20:00:45

3.

“Jangan berlagak bodoh. Cepat kembalikan uang Bapak!” seru Mas Rendy. 

“Aku tidak mengambil uang itu!” Mas Damar menggeram. Tangannya terkepal. Tubuhnya bergetar seolah sedang menahan kemarahan. 

“Jangan bohong! Mengaku saja. Daripada nanti kami laporkan ke polisi,” tekan Mas Rafly. 

Mas Damar mendekat pada kakak pertamaku. Diraihnya kerah baju Mas Rafly lalu mencengkeram erat. Dia mengangkat tangan bersiap melayangkan tinju. 

“Jangan, Mas!” Aku menjerit, merangkul suamiku berusaha meredam amarahnya. 

“Hentikan!” bentak Bapak yang sedari tadi terdiam. 

Perlahan Mas Damar menurunkan tangan lalu melepas cengkeraman. Nafasnya masih memburu, tapi suara gemeletuk giginya tak lagi terdengar. 

“Kita sedang tertimpa musibah, tapi malah kalian bertengkar kayak anak kecil!” marah Bapak. 

Suasana hening seketika. Hanya ketegangan yang tersisa di antara kami. 

“Aku yakin Damar yang ambil uang itu, Pak!” Mas Rafly kembali menuduh suamiku. 

“Apa kamu punya bukti?” Bapak menatap penuh selidik pada Mas Rafly. 

Mas Rafly tergagap. Namun, dalam hitungan detik wajahnya kembali tenang. 

“Kami memang tidak punya bukti, tapi siapa lagi kalau bukan dia.” Mas Rafly mengarahkan telunjuknya pada suamiku, “Di antara anak bapak hanya mereka yang hidup susah. Bapak tahu sendiri aku pegawai Bank, jadi tidak mungkin aku yang ambil. Kalau aku mau curi, di tempat kerjaku banyak uang. Buat apa mencuri uang kalau hanya lima puluh juta.” 

“Iya. Aku sekarang sudah menjadi ASN. Tentu saja tak kekurangan uang,” sela Mas Rendy. 

“Kami memang petani, tapi bukan berarti kami pencuri,” sanggahku tak terima. 

“Sudah... sudah... jangan saling tuduh begitu. Bisa saja uangnya diambil orang,” lerai Ibu. 

“Tidak mungkin, Bu. Pencuri mana berani masuk kalau tahu banyak orang. Sudah pasti Damar yang ambil.” Mas Rafly bersikukuh menganggap kami pelakunya. 

“Iya. Bisa jadi mereka mengambil saat kita pergi makan. Bukankah hanya mereka yang ada di rumah?” tambah Mas Rendy. 

Suamiku yang tadi sempat tenang, kini kembali meronta berusaha meraih apa pun dari Mas Rendy, Namun kakakku menghindar. Sekuat tenaga aku mencegah agar tak sampai Mas Damar main tangan. 

“Bajingan kamu, Mas!” maki suamiku. 

“Damar!” Bapak membentak menatap marah pada suamiku. “jaga ucapanmu!” 

Mas Damar kaget mendengar suara Bapak sementara kedua kakakku tersenyum cengengesan. 

“Tapi, Pak....” 

“Diam!” 

Baru saja suamiku membuka suara, Bapak langsung memotong. Suasana kembali lengang. Hanya terdengar deru nafas kami yang tak beraturan. 

“Kalau kamu butuh uang, kenapa enggak jujur saja. Bapak enggak jadi umrah juga enggak apa-apa. Uang itu dibagi rata buat kalian.” Bapak membuka suara menurunkan nada bicaranya. 

“Jadi Bapak percaya kami yang ambil uang itu?” cecarku. 

“Ya mau bagaimana lagi. Semua bukti mengarah pada kalian. Hanya kalian yang ada di rumah saat kami pergi makan,” jawab Bapak. 

Aku mengusap dada berusaha menenangkan hati. Tak percaya dengan apa yang baru saja tertangkap indra pendengaran. Bapak yang selama ini sangat kuhormati sampai hati bicara seperti itu. 

Sebisa mungkin aku menahan tangis agar tak sampai pecah. Namun, sekuat apa pun mencoba, air mata tetap terjatuh. Semua yang kudengar terlalu menyakitkan. 

Mas Damar merengkuhku. Kali ini dia yang berusaha menenangkanku. 

“Tidak mungkin, Pak. Mereka tidak mungkin melakukan itu.” Ibu membela. 

“Tidak mungkin bagaimana, Bu? Damar saja sekarang tak lagi mengelak,” kata Mas Rafly. 

Suamiku menatap kedua kakakku lalu mengalihkan pandangan pada laki-laki yang biasa kupanggil Bapak. 

“Aku diam bukan berarti mengaku. Percuma saja mengelak karena kalian semua terus merendahkan,” tegas Mas Damar. 

“Halah! Banyak alasan kamu. Cepat kembalikan uang Bapak!” cibir Mas Rendy. 

Mas Damar diam. Dia hanya menatap kecewa pada Bapak dan kedua kakakku. 

“Mengambil hak orang lain itu tidak baik, Nak! Tak akan membawa keberkahan,” tutur Bapak sok bijak. 

“Terserah kalian mau bilang apa. Yang jelas aku bukan pencuri.” Mas Damar melepas pelukan. Dengan terburu-buru dia keluar kamar Bapak. 

“Mas!” teriakku lalu mengejarnya. 

Aku sempat melihat kedua kakak iparku sedang tersenyum-senyum di depan kamar Bapak. Entah apa yang mereka pikirkan.

Saat sampai di depan rumah, Mas Damar sudah ada di atas motor lalu segera memacu kendaraannya. Aku mencoba memanggilnya, tapi tak digubris. 

Aku yakin dia sangat kecewa dengan keluargaku, tapi kenapa meninggalkanku sendiri? Apa yang akan dia lakukan? 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   BUDE TAKUT

    ...“Kamu kok doain yang jelek-jelek buat aku sih, Yan! Aku ini kakakmu.” Bude suci memasang wajah kesal. Kentara sekali kalau dia khawatir ucapan Tante Yani di dengar Tuhan.“Lagian siapa suruh Mbak Suci makan uang sumbangan? Dosanya besar, Mbak. Bisa sengsara sampai tujuh turunan,” sahut Tante Yani santai. Astaga! Tante semakin menakuti Bude. Sepertinya ini sebuah kesengajaan agar Bude lekas menggenapi uang itu. Sejenak kuperhatikan wajah Bude dan Pakde yang seperti tak ada darah. Sesekali pakde menggaruk tengkuk seperti sedang kebingungan. Salah siapa berani ambil risiko itu. “Jadi bagaimana? Kalian tetap mau makan uang itu? Jangan gara-gara dua puluh juta hidup kalian sengsara. Belum lagi kalau azab datang cepat. Bisa makin menderita,” cecar Tante Yani saat mereka tak kunjung bicara. Bude dan suaminya saling tatap. Entah apa maksud mereka, tapi yang jelas setelah itu Bude beranjak meninggalkan kami lalu kembali dengan kotak perhiasan di tangannya. Diletakkan kotak itu di atas

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   Masih berulah

    Selepas perginya Bude dan Pakde, kami langsung ke dapur mempersiapkan menu untuk nanti malam. Ya, nanti malam tujuh hari meninggalnya kakek sekaligus doa bersama yang terakhir. Om Bram juga turut membantu. Rupanya laki-laki itu suka meringankan pekerjaan Tante Yani. Kata Tante, kadang malah Om Bram yang masak kalau pas dia sakit. Hebat. “Tan, kalau besok Bude enggak memberikan uang itu, apa Tante serius akan melaporkan ke polisi?” tanyaku di sela aktivitas dapur. “Tentu saja tidak, Sekar. Biar bagaimanapun Budemu tetap kakakku, jadi aku tak setega itu.” Perempuan itu menjeda aktivitasnya sejenak demi untuk melempar senyum padaku. “Tapi kenapa tadi Om dan Tante ngotot mau laporin mereka?” cecarku lagi. “Kami hanya menggertak saja. Mbak Suci kan paling takut kalau berurusan sama polisi. Lagian, ini juga demi kebaikan mereka juga kan?” sahut Om Bram yang sedang menata gelas di atas nampan. Aku mengangguk paham. Rupanya mereka berdua punya hati yang lembut dibalik ketegasan pada Bud

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   mereka panik

    Sampai di rumah kami langsung mengembalikan mobil milik tetangga. Setelah itu baru berjalan kaki pulang. Om Bram menatap heran ke arah kami berdua. Rupanya dia sudah pulang kantor. “Kalian dari mana? Kok jalan kaki?” tanya Om Bram sembari menyeruput kopi di depannya.“Dari rumah Mbak Suci,” jawab Tante. “Ngapain?” Om Bram mengernyitkan kening, menatap penuh selidik pada kami berdua. “Begini, Pah....” Tante Yani mengisahkan apa yang telah kami lakukan seharian ini. Juga perjuangan kami mengorek informasi. Pokoknya, Tante begitu semangat bercerita. Om Bram menggeleng perlahan. Mungkin dia tak menyangka kakak iparnya akan berbuat senekat itu. Atau, dia memang sudah menebak ini bakal terjadi?“Kakakmu itu sudah sangat keterlaluan. Harus di kasih pelajaran dia!” Om Bram mendengkus sambil sesekali mengatur nafasnya yang tak beraturan. “Iya! Kita laporkan polisi saja, Pah!” timpal Tante. Ah! Rupanya Tante serius dengan ucapannya. Satu keluarga akan saling memusuhi karena uang.“Tapi, T

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   ANCAMAN

    “Dasar Mbak Suci! Bikin malu saja!” Bude mendengkus kesal sembari memukul setir. Bukan hanya dia yang kesal, aku juga. Tapi, aku memilih diam ketimbang membuat emosinya semakin tak terkontrol. Wajar jika Tante Yani marah. Ia telah ditipu habis-habisan sama kakak kandungnya sendiri. Yang aku enggak habis pikir, kenapa mereka berbohong? Apa benar yang kutakutkan selama ini? “Kita ke mana, Tan?” tanyaku memecah keheningan. “Ke rumah Mbak Suci lagi. Biar kulabrak dia sekalian!” sahutnya. Tante membelokkan mobilnya ke arah jalan yang tadi kami lewati. Kakinya menginjak pedas gas hingga kendaraan melesat cepat. Aku sampai khawatir kalau Tante tak konsentrasi menyetir dan akhirnya membahayakan kami. “Pelan dong, Tan. Bahaya!” ujarku sembari menepuk-nepuk pundaknya. Tante menurut. Dia sedikit memelankan laju kendaraan meski masih terbilang ngebut. Untung saja jalanan tak terlalu ramai. Tak berselang lama, kami telah sampai di halaman rumah Bude. Tante Yani buru-buru turun kemudian sete

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   TERNYATA

    Perlahan, mobil bude mulai merangkak meninggalkan pelataran parkir. Selang beberapa saat Tante mulai menginjak pedal gas membuntuti Bude dari jarak yang tak terlalu jauh. Sedikit tenang karena kami memakai mobil orang, jadi tak perlu khawatir ketahuan. Sekitar setengah jam kemudian, mobil Bude berhenti di halaman rumah yang kami datangi tadi. Tante menghentikan laju kendaraan di bahu jalan demi mengajakku bicara. “Bagaimana sekarang? Apa kita langsung ke sana?” tanya Tante Yani. “Iya... enggak apa-apa. Yang penting Tante jangan kebawa emosi ya. Tenang!” jawabku. “Ok!” Tante Yani kembali melajukan mobil lalu berhenti tepat di sebelah mobil Bude. Bude dan suaminya yang sudah sampai teras menghentikan langkah lalu berbalik menatap kami. Tampak dia mengerutkan dahi. Mungkin asing dengan mobil yang kami kendarai. Kami turun lalu berjalan santai ke arah teras. Mereka terkejut saat menyadari kami yang datang. “Yani... Sekar.... ngapain kalian ke sini?” tanya Bude kaget. “Mau memastik

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   CURIGA

    Sepeninggal mereka, aku bangkit berniat masuk ke kamar, tapi Tante Yani memanggilku. “Duduk dulu sebentar, Sekar,” ujar Tante dengan nada suara lirih. Agaknya dia ingin menyampaikan sesuatu yang penting.Menurut, kembali kuhempaskan bobot di atas sofa. Duduk menghadap Tante sembari menatap lekat padanya. “Ada apa, Tan?” tanyaku. “Sini aku bisikkin,” perintah Tante sembari melambaikan tangan. Penasaran, Aku berpindah duduk tepat si sebelahnya. Sampai-sampai lengan kami saling bersentuhan. “Kamu curiga enggak sama Bude, Sekar? Jangan-jangan dia mau menggunakan uang itu untuk kebutuhannya sendiri,” bisik Tante Yani. Kontan saja aku sedikit menjauh sembari menatap lekat padanya. Ternyata Tante juga punya pemikiran yang sama denganku. “Iya sih, Tan. Tapi mau bagaimana lagi,” keluhku. Sejenak, kami sama-sama diam larut dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Tante membuka suara yang membuat aku terkejut. “Aku ada ide.” Tante berteriak sembari mengangkat satu tangannya ke atas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status