Sepanjang hari aku lebih memilih mengurung diri di dalam kamar ketimbang berbaur dengan saudara-saudaraku. Rasa sakit karena tuduhan mereka masih membekas di hati.
Jam di dinding sudah menunjuk angka tujuh, tapi sampai malam begini Mas Damar belum juga kembali. Apa jangan-jangan dia sengaja meninggalkanku di sini? Aku melangkah malas keluar kamar, beranjak ke halaman berharap Mas Damar segera datang. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Mobil kedua kakakku tak lagi terlihat. Suara mereka juga tak terdengar. Mungkin sedang pergi atau memang sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Ah! Apa peduliku!Saat aku memyendiri di bangku teras, Ibu mendekat lalu meletakkan bobotnya di sebelahku. “Sekar... maafkan Bapak dan kakak-kakakmu ya.” Ibu membuka suara. Aku bergeming menatap lurus ke depan. Mengingat perlakuan, hati ini seperti tersayat kembali. “Kamu mau kan memaafkan mereka?” harap Ibu. Aku mengalihkan pandangan pada wajah sendu di sebelahku. Sorot mata teduhnya berhasil meluluhkan hati. Memaksaku mengangguk meski hati menolak. Tak tega rasanya melihat Ibu sedih. “Sudahlah, Bu. Lupakan saja. Aku sudah memaafkan mereka.” Aku memaksa tersenyum meski terasa sukar. “Terima kasih, Sekar. Di antara anak Ibu, hanya kamulah yang penyabar.” Ibu merengkuh tubuhku lalu memeluk cukup lama. Aku mengurai pelukan saat terdengar deru mesin motor yang sangat khas. Benar dugaanku. Mas Damar yang datang. Dia turun lalu segera mendekat pada kami. “Bapak mana?” tanya Mas Damar. “Palingan di dalam,” jawabku, “itu apa, Mas?” Aku mengamati kantung plastik yang ada di tangan suamiku. “Nanti aku ceritakan,” sahut Mas Damar dingin. “Biar Ibu panggil Bapak dulu. Kalian masuk saja. Jangan di luar. Sudah malam.” Ibu segera beranjak. “Kemasi pakaian kita, Dek! Kita pulang setelah pamit pada Bapak,” perintah suamiku. Aku mengangguk. Kami segera masuk beriringan. Mas Damar duduk di tepian ranjang sementara aku berkemas. Sesekali aku melirik pada benda yang sedari tadi dipegang Mas Damar. Mencoba menerka tanpa berani bertanya. Setelah semua beres, kami segera keluar membawa ransel kami. Bapak dan ibu telah ada di ruang tamu saat kami tiba. Mas Damar segera duduk lalu meletakkan kantong plastik di atas meja. Aku ikut duduk di sebelah suamiku. “Ini untuk mengganti uang Bapak yang hilang. Tapi baru tiga puluh juta. Minggu depan aku akan menggenapinya. Aku mengganti uang Bapak bukan berarti aku mengaku mencuri.” Tanpa basa-basi Mas Damar membuka suara ketus. Membuka plastik itu lalu menyodorkan ke depan Bapak.Aku terperanjat melihat isi bungkusan yang Mas Damar bawa. Bukan masalah uangnya. Hanya saja aku bingung dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu. “Itu uang siapa, Mas?” tanyaku. Mas Damar diam tak menanggapi, terus menatap ke arah Bapak dan Ibu. “Damar, Bapak minta maaf sama kamu dan Sekar. Uang Bapak sudah ketemu,” ucap Bapak seperti merasa bersalah. Mas Damar mengernyit bingung. Dia menatapku sejenak lalu kembali menatap mereka. “Maksud Bapak....” “Iya. Bapak yang lupa taruh. Bapak menyesal sudah menuduh kalian,” sahut Bapak. Mas Damar tersenyum getir tanpa menanggapi permintaan maaf Bapak. “Kamu mau kan Memaafkan Bapak?” tanya Ibu penuh harap. “Tak ada yang perlu dimaafkan, Bu. Bapak enggak salah kok. Kami memang hidup miskin, jadi luwes jika dianggap mencuri,” sindir Mas Damar. “Jangan bicara begitu, Damar. Bapak mengaku salah. Tadi pagi Bapak panik. Jadi enggak bisa berpikir jernih,” sesal Bapak. Aku hanya diam tak berani berkomentar. Mas Damar pasti sakit hati dengan ucapan bapak tadi pagi. “Ini uang kamu. Kamu simpan saja. Biar nanti kami yang menggenapi kekurangan untuk biaya umrah.” Bapak menyodorkan kantong plastik berisi uang itu kembali ke depan Mas Damar. “Sekar... Bapak juga minta maaf sama kamu. Bapak terbawa emosi. Jadi enggak sadar sampai menampar kamu,” lanjut Bapak. Mas Damar terperangah mendengar ucapan Bapak. Dia menggeleng berkali-kali. “Jadi gara-gara uang, Bapak sampai main tangan sama anak sendiri?” “Bapak mengaku salah... tolong maafkan Bapak....” Laki-laki yang rambutnya mulai memutih itu tertunduk lesu. Pun dengan aku dan Ibu. Tak berani berkata apa-apa. “Sekar memang anak Bapak. Tapi sekarang dia istriku. Aku lebih berhak atas dirinya. Dan aku enggak suka Bapak kasar sama dia.” Mas Damar menatapku sebentar lalu kembali menatap Bapak. “Sebagai orang tua seharusnya Bapak bijak dalam bertindak. Bukannya malah ikut-ikutan menuduh Mas Rendy dan Mas Rafly. Apalagi tuduhan itu tak terbukti!” Dengan nafas memburu Mas Damar menasihati Bapak. Hening. Kami semua diam. Hanya tangis penyesalan Bapak yang terdengar memilukan. “Sudahlah, Mas. Bapak juga sudah mengaku salah,” ucapku berusaha menenangkan suamiku. Meskipun aku kecewa dengan Bapak, hati ini tetap tak tega melihatnya berurai air mata. Biar bagaimanapun dia orang tuaku sendiri. Mas Damar sedikit tenang. Nafasnya perlahan beraturan. “Aku juga minta maaf sama Bapak dan Ibu karena sudah berbicara keras.” Akhirnya Mas Damar bersikap ksatria. Bapak mengangguk. Tangisnya tak lagi terdengar. Hanya isaknya yang tersisa.“Sekarang sudah malam. Kami pamit mau pulang,” lanjutnya. Mas Damar menarikku untuk berdiri lalu menyambar ransel yang sedari tadi tergeletak.“Tunggu!” Ibu bangkit lalu beranjak ke dalam. Aku dan Mas Damar saling tatap lalu sama-sama mengangkat bahu. Akhirnya kami kembali duduk.Beberapa saat kemudian Ibu kembali dengan kantong plastik berwarna hitam di tangannya. Dia memberikan benda itu padaku. Penasaran, aku membukanya. Aku terkejut saat melihat isi dari kantong plastik di tanganku. Uang? Apa maksudnya Ibu memberikan ini? “Itu uang Bapak yang mau buat biaya umrah. Tolong kalian yang simpan. Ibu takut kalau nanti berkurang lagi,” ucap Ibu. “Berkurang Bagaimana, Bu?” tanya Mas Damar penasaran. Ibu terlihat gugup. “Ya takut kepakai sama Ibu,” jawabnya kemudian. Mas Damar mengambil uang dari tanganku lalu menghitungnya. “Ini tinggal empat puluh lima juta?” tanya Mas Damar setelah selesai menghitung.Ibu mengangguk. “Bu, Sebenarnya uang ini ketemu di mana?” Aku menatap Ibu penuh selidik. “Kan Ibu sudah bilang, ketemunya di kolong ranjang,” jawab Ibu tanpa berani menatapku. “Aku enggak percaya!” tegasku, “ tadi pagi aku juga sempat mencari di bawah kolong ranjang Bapak, tapi tak melihat bungkusan ini,” Ibu terlihat panik. Mas Damar dan Bapak hanya kebingungan. “Ayolah, Bu! Katakan yang sebenarnya,” desakku. Ya. Sejak Ibu menemukan uang ini aku melihat ada yang berbeda dari sikapnya. Seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Hanya saja tadi pagi aku sedang kecewa karena habis ditampar Bapak. Jadi enggak terlalu peduli. Ibu menundukkan pandangan ke bawah. Dia diam tak menjawab. “Baiklah... kalau Ibu tak mau bicara, berarti Ibu yang sengaja memfitnah kami. Ibu menyembunyikan uang itu agar semua orang menuduh kami,” pancingku. Seketika Ibu mengangkat wajah menatapku. “Tidak! Ibu tak mungkin seperti itu,” kilahnya. “Lalu, di mana Ibu menemukan uang ini?” Aku terus menyudutkan Ibu. Keyakinanku semakin kuat kalau Ibu sedang berbohong. Ibu menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. “Baiklah... Ibu akan bercerita, tapi kalian harus janji untuk tidak marah,” kata ibu kemudian. Aku dan Mas Damar mengangguk serempak lalu bersiap mendengarkan cerita Ibu....“Kamu kok doain yang jelek-jelek buat aku sih, Yan! Aku ini kakakmu.” Bude suci memasang wajah kesal. Kentara sekali kalau dia khawatir ucapan Tante Yani di dengar Tuhan.“Lagian siapa suruh Mbak Suci makan uang sumbangan? Dosanya besar, Mbak. Bisa sengsara sampai tujuh turunan,” sahut Tante Yani santai. Astaga! Tante semakin menakuti Bude. Sepertinya ini sebuah kesengajaan agar Bude lekas menggenapi uang itu. Sejenak kuperhatikan wajah Bude dan Pakde yang seperti tak ada darah. Sesekali pakde menggaruk tengkuk seperti sedang kebingungan. Salah siapa berani ambil risiko itu. “Jadi bagaimana? Kalian tetap mau makan uang itu? Jangan gara-gara dua puluh juta hidup kalian sengsara. Belum lagi kalau azab datang cepat. Bisa makin menderita,” cecar Tante Yani saat mereka tak kunjung bicara. Bude dan suaminya saling tatap. Entah apa maksud mereka, tapi yang jelas setelah itu Bude beranjak meninggalkan kami lalu kembali dengan kotak perhiasan di tangannya. Diletakkan kotak itu di atas
Selepas perginya Bude dan Pakde, kami langsung ke dapur mempersiapkan menu untuk nanti malam. Ya, nanti malam tujuh hari meninggalnya kakek sekaligus doa bersama yang terakhir. Om Bram juga turut membantu. Rupanya laki-laki itu suka meringankan pekerjaan Tante Yani. Kata Tante, kadang malah Om Bram yang masak kalau pas dia sakit. Hebat. “Tan, kalau besok Bude enggak memberikan uang itu, apa Tante serius akan melaporkan ke polisi?” tanyaku di sela aktivitas dapur. “Tentu saja tidak, Sekar. Biar bagaimanapun Budemu tetap kakakku, jadi aku tak setega itu.” Perempuan itu menjeda aktivitasnya sejenak demi untuk melempar senyum padaku. “Tapi kenapa tadi Om dan Tante ngotot mau laporin mereka?” cecarku lagi. “Kami hanya menggertak saja. Mbak Suci kan paling takut kalau berurusan sama polisi. Lagian, ini juga demi kebaikan mereka juga kan?” sahut Om Bram yang sedang menata gelas di atas nampan. Aku mengangguk paham. Rupanya mereka berdua punya hati yang lembut dibalik ketegasan pada Bud
Sampai di rumah kami langsung mengembalikan mobil milik tetangga. Setelah itu baru berjalan kaki pulang. Om Bram menatap heran ke arah kami berdua. Rupanya dia sudah pulang kantor. “Kalian dari mana? Kok jalan kaki?” tanya Om Bram sembari menyeruput kopi di depannya.“Dari rumah Mbak Suci,” jawab Tante. “Ngapain?” Om Bram mengernyitkan kening, menatap penuh selidik pada kami berdua. “Begini, Pah....” Tante Yani mengisahkan apa yang telah kami lakukan seharian ini. Juga perjuangan kami mengorek informasi. Pokoknya, Tante begitu semangat bercerita. Om Bram menggeleng perlahan. Mungkin dia tak menyangka kakak iparnya akan berbuat senekat itu. Atau, dia memang sudah menebak ini bakal terjadi?“Kakakmu itu sudah sangat keterlaluan. Harus di kasih pelajaran dia!” Om Bram mendengkus sambil sesekali mengatur nafasnya yang tak beraturan. “Iya! Kita laporkan polisi saja, Pah!” timpal Tante. Ah! Rupanya Tante serius dengan ucapannya. Satu keluarga akan saling memusuhi karena uang.“Tapi, T
“Dasar Mbak Suci! Bikin malu saja!” Bude mendengkus kesal sembari memukul setir. Bukan hanya dia yang kesal, aku juga. Tapi, aku memilih diam ketimbang membuat emosinya semakin tak terkontrol. Wajar jika Tante Yani marah. Ia telah ditipu habis-habisan sama kakak kandungnya sendiri. Yang aku enggak habis pikir, kenapa mereka berbohong? Apa benar yang kutakutkan selama ini? “Kita ke mana, Tan?” tanyaku memecah keheningan. “Ke rumah Mbak Suci lagi. Biar kulabrak dia sekalian!” sahutnya. Tante membelokkan mobilnya ke arah jalan yang tadi kami lewati. Kakinya menginjak pedas gas hingga kendaraan melesat cepat. Aku sampai khawatir kalau Tante tak konsentrasi menyetir dan akhirnya membahayakan kami. “Pelan dong, Tan. Bahaya!” ujarku sembari menepuk-nepuk pundaknya. Tante menurut. Dia sedikit memelankan laju kendaraan meski masih terbilang ngebut. Untung saja jalanan tak terlalu ramai. Tak berselang lama, kami telah sampai di halaman rumah Bude. Tante Yani buru-buru turun kemudian sete
Perlahan, mobil bude mulai merangkak meninggalkan pelataran parkir. Selang beberapa saat Tante mulai menginjak pedal gas membuntuti Bude dari jarak yang tak terlalu jauh. Sedikit tenang karena kami memakai mobil orang, jadi tak perlu khawatir ketahuan. Sekitar setengah jam kemudian, mobil Bude berhenti di halaman rumah yang kami datangi tadi. Tante menghentikan laju kendaraan di bahu jalan demi mengajakku bicara. “Bagaimana sekarang? Apa kita langsung ke sana?” tanya Tante Yani. “Iya... enggak apa-apa. Yang penting Tante jangan kebawa emosi ya. Tenang!” jawabku. “Ok!” Tante Yani kembali melajukan mobil lalu berhenti tepat di sebelah mobil Bude. Bude dan suaminya yang sudah sampai teras menghentikan langkah lalu berbalik menatap kami. Tampak dia mengerutkan dahi. Mungkin asing dengan mobil yang kami kendarai. Kami turun lalu berjalan santai ke arah teras. Mereka terkejut saat menyadari kami yang datang. “Yani... Sekar.... ngapain kalian ke sini?” tanya Bude kaget. “Mau memastik
Sepeninggal mereka, aku bangkit berniat masuk ke kamar, tapi Tante Yani memanggilku. “Duduk dulu sebentar, Sekar,” ujar Tante dengan nada suara lirih. Agaknya dia ingin menyampaikan sesuatu yang penting.Menurut, kembali kuhempaskan bobot di atas sofa. Duduk menghadap Tante sembari menatap lekat padanya. “Ada apa, Tan?” tanyaku. “Sini aku bisikkin,” perintah Tante sembari melambaikan tangan. Penasaran, Aku berpindah duduk tepat si sebelahnya. Sampai-sampai lengan kami saling bersentuhan. “Kamu curiga enggak sama Bude, Sekar? Jangan-jangan dia mau menggunakan uang itu untuk kebutuhannya sendiri,” bisik Tante Yani. Kontan saja aku sedikit menjauh sembari menatap lekat padanya. Ternyata Tante juga punya pemikiran yang sama denganku. “Iya sih, Tan. Tapi mau bagaimana lagi,” keluhku. Sejenak, kami sama-sama diam larut dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Tante membuka suara yang membuat aku terkejut. “Aku ada ide.” Tante berteriak sembari mengangkat satu tangannya ke atas