Share

6. Mei, are You Oke?

“Sudahlah. Terima saja lamaran Hans!” cecar Dilla setelah Hans pulang.

“Tapi, Tan. Dia itu duda dan lebih pantas jadi ayah Mei. Lagipula Mei bukan jomlo. Ada pria yang sudah melamar Mei.” 

“Halah! Putusin aja. Pria itu nggak bakal sebanding dengan Hans yang jelas-jelas tajir melintir. Lagipula, apa gunanya menikahi pria itu kalau hanya akan menyeretnya jadi miskin?”

“Maksud Tante?”

“Ingat, Mei. Kau masih punya cicilan utang 1 milliar padaku. Kalau kau mau menikahinya, lunasi dulu semua sisa utangmu secara kontan! Baru kau boleh keluar dari rumah ini dengan calon suamimu itu!"

“Tan. Tolong jangan seperti itu. Cukup Mei yang menanggung utang ini, jangan bawa-bawa calon suami Mei.”

“Makanya! Justru Tante sedang memberimu solusi sekarang. Uang 1 miliar itu kecil saja bagi Hans. Jika kau menikah dengannya, dia pasti bakal memberimu lebih dari itu.”

“Nggak mau, Tan!”

Plak!

Dilla membalas penolakan Mei itu dengan sebuah tamparan keras. 

Mei mengusapi pipinya yang terasa panas sambil menangis. Wajahnya yang putih cerah membuat jejak tamparan itu terlihat jelas. Meninggalkan semburat kemerahan.

“Berani-beraninya membentakku? Kau seperti anak durhaka saja. Kalau Tante tak menampungmu saat keluargamu bangkrut, kau pasti sudah jadi gembel sekarang. Coba ingat-ingat, Mei. Saat mamimu yang penyakitan itu bolak-balik dirawat di rumah sakit, siapa yang repot ngurusin kalau bukan Tante? Sedangkan kau? Bisanya cuma nangis, manja tak berguna! Dan siapa yang menolong papimu saat dikejar-kejar debt collector? Om Danu! Om Danulah yang selalu pasang badan untuk papimu itu. Dan juga, kau kuliah pakai uang Tante!”

Kuping Mei terasa panas saat segala masa lalu pahitnya kembali diungkit. Dia juga tak ingin berada di posisi itu. Dan kebangkrutan itu bukan pula salahnya. Mei tak tahu apa-apa. Tapi kenapa harus Mei yang menanggungnya? 

“Jadilah orang yang tahu balas budi, Mei. Menikahlah dengan Hans, agar utang budimu bisa Tante anggap lunas,” ketus Dilla.

“Mei janji akan balas budi dengan cara lain, Tan. Selain menikahi Om Hans,” sahut Mei yang tetap nekat melawan.  Tantenya boleh mengeruk uangnya, mengeruk tenaganya. Tapi tidak boleh masa depannya! 

Tapi si tante malah berkacak pinggang. “Mei, pakai otakmu! Mikirrrr. Kalau kau menikah dengan Hans, bukan cuma utang budimu saja yang lunas, tapi juga cicilan utang 1 milliarmu itu. Iya kan? Memangnya ada pria yang sanggup menikahimu sekaligus membebaskanmu dari utang sebesar itu selain Hans? Nah, sudahlah. Jangan membantah lagi. Aku muak melihat wajah memelas dan air matamu yang tak berguna itu.”

Mei memegangi dadanya. Hatinya diperas sakit mendengar ucapan si tante yang terang-terangan bilang muak kepadanya. 

“Dilla, cukup!” bentak Danu yang baru saja memasuki ruangan dan mengetahui pertengkaran itu.

“Jangan ikut campur, Mas!”

“Jangan ikut campur bagaimana? Tega sekali kau menjodohkan keponakanmu sendiri dengan bandot tua itu. Kau tahu sendiri Hans itu lelaki seperti apa. Lagipula ..., apa-apaan tentang utang yang kau tagih ke Mei sebanyak 1 milliar itu? Bersikaplah selayaknya seorang tante, bukan renternir!”

“Kenapa Mas selalu membela Mei?!”

Dilla ganti mengamuk kepada Danu. Keduanyapun mulai cekcok. 

Mei berlari ke kamar dan menguncinya rapat-rapat. Menumpahkan tangis sebanyak-banyaknya. 

Kriiing! Kriiing! Kriiing!

Ponselnya memanggil-manggil. Mei menatap layar yang berkedip-kedip. Tangisnya kian deras begitu membaca nama Kevin yang terpampang di layar ponselnya.

Ah. Entah kebetulan atau bagaimana, sejak dulu Kevin selalu saja hadir tiap kali Mei sedang dalam kondisi menyedihkan. Seakan Kevin tahu kapan dirinya harus ada untuk Mei, meski hanya lewat telepon. 

Mei memandangi ponselnya dengan gamang. “It’s over, Kev. Kita sudah berakhir. Kau milik Raya sekarang,” gumamnya sambil menyentuh tombol merah di layar benda pipih itu.

Kemudian Kevin mengiriminya pesan setelah berkali-kali Mei menolak panggilannya. 

Mei, are you oke?’ 

Mei tertawa kecut membacanya. Memangnya ada yang oke sejak papi dan mami meninggalkan dirinya sendirian di dunia ini? Apalagi yang sedang dialaminya belakangan ini. Belum selesai dengan luka patah hatinya usai ditinggal Kevin menikah, tante Dilla justru menjodohkan dirinya dengan om-om!

Sementara itu di tempat lain, Kevin memandangi ponselnya. Mei sudah membaca pesannya. Namun tiada respons. Pria itupun menyugar rambutnya dengan gelisah. 

Entah kenapa, tiba-tiba saja Kevin memikirkan Mei. Mungkin karena sejak tadi Raya terus saja membahasnya. Tentang lamaran Juna kepada Mei yang menghebohkan.

‘Kau dengan Juna? Sejak kapan, Mei?’ pikir Kevin bertanya-tanya. Lalu dia menelepon Mei, ingin bertanya secara langsung. Tetapi Mei justru menolak panggilannya. Dan Kevin tercekat begitu sadar Mei telah memblokir nomornya.

Seketika perasaannya menggelegak oleh sesuatu bernama ketidakrelaan. Jantungnya berdenyut tidak enak, tidak nyaman. Kenapa Mei harus menghindarinya sampai seperti ini? Tak bisakah mereka tetap melanjutkan pertemanan yang telah terjalin manis seperti biasanya?

***

Suatu siang di lounge kantor, Mei terkejut melihat kemunculan Juna di sana tepat pada saat jam istirahat makan siang.

“Eh. Ngapain lu di sini, Jun?” 

“Wah. Baru aja mau gue telepon. Panjang umur lu, Mei ...,” cengir lelaki itu sambil mengedipkan sebelah mata. 

Mei baru menyadari ada danau kecil di sudut bibir Juna setiap kali lelaki itu tersenyum. Membuat senyumnya makin lama semakin menggemaskan, terkesan ramah dan menyenangkan.

“Lu sibuk banget ya, Mei? Sampai nggak pernah punya waktu buat ngedate sama gue.”

Tawa Mei pun pecah mendengar nada merajuk dalam ucapan Juna. Seakan mereka betulan sepasang kekasih saja.

Chat gue jarang elu bales, telepon dari gue juga nggak elu angkat. Elu mau ghostingin gue, Mei? Enak aja lu, seminggu ngilang gitu aja.”

Lagi-lagi Mei tertawa mendengar ucapan Juna yang asal ceplos.

“Btw ngapain, Jun? Kebetulan pas ada urusan di sini, atau?”

“Ada urusan penting, makanya gue ke sini.”

Mei mengangguk-angguk. “Oh. Oke. Lu udah bikin janji? Mau ketemu siapa?”

“Nggak. Soalnya janjian sama nih orang susah bener. Mending langsung gue culik aja!” sahut Juna seraya menggandeng lengan Meilani dan membawanya keluar kantor. 

“Eh. Maksudnya? Gue?”

“Yup. Gue ke sini buat ketemu elu. Habisan, kita kayak orang lagi LDR-an aja, Mei. Susah banget ketemu. Padahal jarak kantor kita cuma selemparan sandal,” oceh Juna sambil menggiring Mei memasuki lift.

“Dih. Sandalnya siapa yang bisa mencelat dari Mega Kuningan sampai Thamrin, Jun?” Mei terkekeh sambil geleng-geleng kepala. Lalu tercekat saat tubuhnya terdesak ke sudut oleh orang-orang yang juga memasuki lift. Membuatnya harus berhimpitan sedekat ini dengan Juna yang serta merta merangkulnya, melindungi Mei dari desakan yang lebih brutal lagi dari orang-orang yang tak sabar ingin turun mencari makan siang.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
mey lebih baik kmu terbuka dgn juna soal tantu mu itu .kmu cari solusi nya dh berdua dgb juna
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status