Share

7. Cubitan Bestie

Juna rupanya sudah melakukan reservasi untuk makan siang mereka di sebuah restoran di sekitar Thamrin, tak begitu jauh dari gedung perkantoran tempat Mei bekerja. Mei jadi mengerutkan kening memikirkan ongkos makan siang yang mahal ini. Menu-menu di restoran ini tentu saja tak terjangkau kantongnya. Mei pernah sekali ke sini dulu, pada saat Raya merayakan ulang tahun dan mentraktirnya, sebelum teman dekatnya itu berangkat kuliah ke Amerika.

“Jun, split bill? Atau elu yang traktir?” bisik Mei sebelum benar-benar mencapai tempat duduk mereka.

“Pertanyaan lu nyinggung harga diri gue amat sih, Mei. Gue yang bayarlah gila. Masa bayar sendiri-sendiri, yang bener aja!”

Mendengar pernyataan Juna membuat Mei akhirnya bisa bernapas lega.

“Pesan gih yang paling mahal. Awas kalau pesan yang murah-murah, ntar dompet gue terhina.”

Mei terkekeh. “Anjay ... sultan,” selorohnya sambil membolak-balik buku menu.

“Dih. Beneran? Cuma segini doang yang lu pesen, Mei? Tambah lagi, gih!” Juna malah mengomel begitu pesanan Mei sudah terhidang di meja.

“Lu kata perut gue gentong apa ..., bisa muat makanan sebanyak perut elu?” 

“Biar lu sehat, Mei. Makan yang banyak gih, udahlah … lupain soal diet kalau lagi sama gue. Jangan jaim.”

“Dih. Siapa yang diet? Lagian, lu tadi kan nyuruh gue pesan yang paling mahal, bukannya pesan yang banyak.”

“Ettdahh. Pesan yang paling mahal dan juga banyak dong, Mei. Biar ngurangin beban dompet gue yang suka bawa duit kebanyakan ini.” 

Mei tertawa dan mengangguk-angguk saja saat lelaki itu membaca buku menu sambil menyebutkan beberapa makanan untuk tambahan pesanan mereka.

Keduanya menikmati makan siang mewah itu dalam keheningan. Lidah Mei menggelinjang nikmat karena kelezatannya memang semantap itu. Sudah lama Mei tak memanjakan lidahnya dengan makanan mahal yang juga lezat karena dia harus menghemat setiap rupiah uangnya. Demi melunasi tagihan cicilan bank setiap bulan, pinjaman untuk membayar utang ke tantenya yang serakah.

“Enak ya, Mei? Sampai lu speechless gitu?”

Juna tersenyum menatap Mei. Dia tahu, Mei memang pendiam sejak dulu. Namun matanya selalu dipenuhi kegembiraan. Sekarang Mei lebih banyak bicara, tetapi Juna mulai menyadari perbedaan sorot matanya yang jarang berbinar ceria seperti dulu. Entah kenapa, Juna ingin sekali mengembalikan kegembiraan Mei seperti dulu. Mei yang dikenalnya semasa SMA. Mei yang lugu, yang manja. Dan yang tulus meladeni kebawelan Juna.

Saat pesanan berikutnya datang, Juna buru-buru mengambil alih steak pesanannya dari tangan si pramusaji, kemudian mengirisnya menjadi potongan-potongan kecil. "Selamat menikmati, my princess ...,” ucapnya seraya menyodorkan ke hadapan Mei. 

Mei tercekat mendengar Juna mengatakan kalimat yang sering diucapkan mendiang maminya dulu untuknya.

“Eh. Malah bengong, dimakanlah woi. Mau gue suapin sekalian?” tegur Juna. Kemudian pria itu terkekeh melihat Mei jadi salah tingkah. 

Iseng, Juna pun menusuk sepotong daging dan benar-benar menyuapi Mei. “Haa, buka mulut yang lebar, haaa gitu.”

“Dih. Apaan sih lu?” omel Mei sambil menggelengkan kepala.

Tapi Juna tetap memaksa sampai Mei terpaksa membuka mulut. Dan Juna langsung memasukkan potongan daging itu ke dalam mulut Mei yang baru terbuka sedikit, membuat bibir Mei belepotan saus. Juna pun segera mengusapi saus di sekitar bibir Mei dengan ibu jarinya. 

Dan pemandangan itupun tertangkap Kevin yang baru melangkahkan kakinya ke dalam restoran bersama Raya. Pengantin baru itupun tertegun melihat keberadaan Mei dan Juna di sana.

Mei terbatuk-batuk kecil kala tatapannya tiba-tiba saja bertabrakan dengan sepasang mata elang  Kevin, yang tengah berjalan ke arah mejanya sambil menggandeng Raya.

“Halo, Mei? Jun? Kalian juga lunch di sini?” Raya menyapa lebih dulu.

Mei berdiri, menyambut pelukan hangat si bestie. Sedangkan Juna dan Kevin berjabat tangan sambil berbasa-basi ramah, meski dalam hati mereka diam-diam saling menyimpan cemburu. 

“Ciyee. Pengantin baru apa kabar?” bisik Mei memaksakan segaris senyum cerahnya, menyembunyikan desir cemburu dalam hatinya seraya cipika-cipiki dengan Raya.

Raya tertawa sambil mencubit kecil lengan Mei. 

“Rasain, makanya jangan usil!” Raya terkekeh dan menjulurkan lidah saat Mei mengaduh kesakitan.

What’s going on, Mei?” Juna yang tengah bercakap-cakap dengan Kevin lekas menoleh cepat mendengar Mei mengaduh tadi. 

“Eh, nothing kok,” sahut Mei sambil tersenyum canggung. Cubitan si bestie memang sakit, tapi tak ada apa-apanya dibandingkan sakitnya melihat Raya yang bergelayut manja kepada Kevin, lelaki yang sangat berarti di hatinya. Kemesraan mereka jauh lebih mencubit perasaan Mei yang terasa diremas habis.

Sementara itu, Juna telanjur melihat Mei mengusapi lengannya yang tadi dicubit Raya. Kulitnya yang putih cerah membuat bekas cubitan Raya meninggalkan jejak kemerahan di lengannya. 

Juna pernah pacaran dengan Raya, dia tahu wanita itu punya kebiasaan buruk kalau sedang gemas, apalagi kalau bukan mencubit orang seenak jidatnya. ‘Pasti sakit, gue aja kelojotan pas dicubit Raya,’ pikirnya merasa kasihan kepada Mei.

Juna jadi dongkol dan buru-buru mengusapi bekas cubitan Raya. “Is it hurt, Mei? Pasti sakit, kan?”

bisiknya begitu lembut seraya mengamati wajah Mei lekat-lekat. Membuat wanita itu salah tingkah dipandangi Juna sedemikian rupa. 

Saat Mei tak sengaja membuang tatapannya dari Juna, matanya justru bertabrakan dengan sepasang manik gelap Kevin yang juga tangah memandanginya. Dan jenis tatapan pria itu, masih persis sama seperti tatapannya yang dulu. Tatapan yang pernah memantik ciuman panas mereka yang tak terlupakan di masa lalu. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status