Share

Lima puluh delapan

Kedua wanita yang berstatus kakak ipar itu saling berpandangan saat ibu menunjuk tempat mesin cuci yang kini sudah kosong.

"Di mana mesin cucunya, Vit, Sin? Ada di salah satu rumah kalian, kan?" tanya ibu.

"Katakan, Mbak. Ibu tidak marah, kok."

"Niatku baik, lho, Bu. Tahu sendiri, kan, kalau yang namanya mesin itu akan rusak jika dibiarkan begitu saja dalam waktu yang lama. Kalau tetap berada di rumah ini, itu namanya mubazir. Yah, aku tahu kalau yang namanya mubazir itu adalah temannya setan. Betul, Bu?" Mbak Sindi mencerocos dan aku hanya menanggapinya dengan memutar bola mata malas. Apalagi ia berbicara dengan bergaya seperti ustazah yang sedang ceramah di atas panggung.

Ibu menggangguk.

"Di rumah ini tidak ada saluran listrik karena tidak ada yang membayar tagihannya, makanya aku bawa pulang, deh. Salahku di mana coba? Ngak ada, kan? Lah wong maksudku baik, merawat mesin cuci itu agar tidak berkarat,"

Aku menghela napas perlahan. "Bilang saja kalau mesin cuci itu ada pada Mbak
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status