Asty dan ketiga saudaranya baru saja kehilangan orang yang sangat mereka cintai yaitu bapak. Kebiasaan di tempat mereka tinggal adalah saat ada orang meninggal harus mengeluarkan biaya yang sangat banyak, mencapai puluhan juta untuk selamatan. Awalnya para kakak Asty meragukan ia dan suaminya bisa ikut membantu menanggung biaya yang tidak sedikit itu. Mereka tidak tahu kalau Asty dan suaminya sudah sukses di kota sehingga biaya yang besar itu tidak masalah bagi mereka. Namun, para kakak tetap tidak percaya jika Asty sanggup membayarnya. Apa yang terjadi ketika para saudaranya itu pada akhirnya tahu siapa Asty yang sebenarnya? Tentu saja tidak akan menghina lagi dan berlomba-lomba untuk mendekatinya.
View More"Apa? Kamu mau minta dihubungkan dengan wifi milikku?" tanya Mbak Sindi sambil melotot.
"Iya, Mbak. Kali ini saja karena penting," jawabku seraya menyodorkan ponselku dengan harapan ia memberikan sandi wifi-nya.
"Makanya pasang wifi sendiri, dong. Jangan nebeng mulu. Kamu pikir wifi ini tidak bayar apa? Lagi pula siapa, sih, yang mau kamu hubungi? Nggak penting amat." Mbak Sindi--istri Mas Gani itu melengos.
Sudah beberapa hari ini aku di desa kelahiranku karena bapak sakit dan akhirnya kemarin meninggal . Aku ingin menghubungi salah seorang karyawan toko sekaligus orang kepercayaanku untuk bilang padanya kalau kami--aku dan Mas Ubay--suamiku belum bisa pulang.
Sayangnya, di desa ini susah signal sehingga aku tidak bisa menghubungi orang yang kumaksud. Kebanyakan orang di sini sudah pasang wifi karena tidak bisa menggunakan paket data apa pun kartunya termasuk punyaku yang hanya E sehingga tidak bisa mengirim maupun membalas pesan.
Di rumah ibu dan bapak juga tidak pasang wifi karena hanya ada mereka berdua yang tinggal di rumah ini.
"Kalau aku dan Mas Ubay menetap di desa ini sudah pasti pasang wifi, Mbak, tapi masalahnya aku tidak akan lama di sini karena setelah tujuh hari bapak, kami juga akan kembali ke kota." Ponselku masih menggantung di udara, tetapi tidak ada tanda-tanda kakak iparku itu berkenan mengambil untuk menyambungkan wifinya.
Bukannya menuruti permintaanku, kakak iparku malah ngeloyor pergi. Aku menggeleng, dari dulu wanita itu tidak pernah berubah, sombong. Bukan hanya dia yang sombong, kakak iparku yang lain juga seperti itu, mereka tidak tahu kami adalah pemilik toko terbesar di kota kami sehingga selalu dianggap tidak penting.
Syukurlah aku berhasil mengirim pesan berkat bantuan salah seorang tetangga yang berkenan menyambungkan wifinya untuk sementara. Ya, hanya sementara saat aku mengirim pesan saja karena setelah itu ia sudah ganti sandi lagi, tetapi masih mendinglah daripada Mbak Sindi yang tidak mengizinkan sama sekali.
Aku lega akhirnya bisa memberi tahu salah seorang karyawanku kalau kami akan balik seminggu lagi, mundur satu minggu dari jadwal yang direncanakan.
Tujuh hari sudah berlalu sejak meninggalnya bapak. Malam ini kami berkumpul di ruang keluarga bersama pasangan masing-masing, di sini ada juga ibu. Kami berkumpul untuk membahas biaya selamatan yang tentunya akan kami pikul berempat, aku, Mas Karim, Mas Gani, dan Mas Danang sebagai anak. Ya, aku adalah satu-satunya anak perempuan dari empat bersaudara di rumah ini.
"Biaya yang dikeluarkan sejak bapak meninggal sampai tujuh hari adalah 35 juta dan sumbangan dari para kerabat yang datang adalah 13 juta, itu artinya kita masih punya utang 22 juta," ucap Mas Karim yang merupakan anak pertama memulai pembicaraan.
Aku tidak kaget dengan nominal yang ia sebutkan karena di sini rata-rata memang habis segitu. Di tempat kami saat ada orang meninggal memang menghadirkan banyak tamu dan disuguhi dengan makanan berupa lauk yang beraneka ragam mulai dari daging sapi, ayam, telur, dan lain sebagainya. Belum lagi setiap hari ada acara mengaji hingga tujuh hari dan itu juga disuguhi makanan. Maka, tidak heran jika menelan biaya yang cukup banyak.
"Sebagai anak kita akan menanggung sama-sama, anak laki-laki mendapat bagian enam juta dan Asty sebagai anak perempuan dapat bagian empat juta," sambung Mas Karim.
"Enggak setuju. Kita harus bagi rata, dong. Lagi pula aku juga tidak punya uang segitu. Ini semua salah Mas Karim yang punya ide harus menghidangkan daging sapi," sanggah Mas Danang
"Di sini sudah biasa pakai daging sapi, kalau tidak nanti kita jadi bahan gunjingan tetangga," sahut Mas Karim.
"Iya, tetapi seharusnya lihat dengan keuangan yang ada, kan?" ucap Mas Danang dengan nada tinggi.
"Tenang, itu tidak harus dibayar sekarang juga karena kita sudah dapat pinjaman dari pemilik toko tempat kita belanja dan kita diberi waktu sampai 40 hari," papar Mas Gani.
"Iya, tetapi aku tetap tidak setuju jika Asty hanya dapat bagian empat juta, seharusnya dia yang paling banyak karena selama ini jarang pulang sehingga tidak pernah mengeluarkan uang untuk bapak, kan," ucap Mas Danang.
Aku menghela napas, selama ini aku memang jarang pulang ke desa untuk menjenguk bapak dan ibu di desa karena kami tinggal di luar provinsi, tetapi tidak pernah sekali pun lupa mengirim uang untuk orang tuaku setiap bulannya. Ya, Mas Ubay adalah seorang suami yang tidak perhitungan pada mertuanya apalagi orang tuanya sendiri sudah tiada sehingga menganggap orang tuaku sebagai orang tuanya juga.
"Danang, Asty itu anak perempuan, jadi dia harus dapat bagian utang paling sedikit," kata Mas Karim. Ia memang kakak yang paling pengertian.
Perdebatan untuk membayar utang biaya selamatan bapak tidak terelakkan hingga akhirnya semua terdiam saat suamiku yang yang baru saja muncul dari kamar mandi angkat bicara. "Stop! Kasihan bapak kalau kita ribut masalah utang untuk selamatan beliau seperti ini. Aku dan Asty yang akan membayar semua utangnya."
Semua orang di ruangan yang masih dalam suasana duka itu terperangah," Semuanya?" tanya Mbak Sindi.
Mas Ubay mengangguk.
"Mas." Aku menggengam erat tangan Mas Ubay dan semua orang yang ada di ruangan itu memandang ke arah kami.
PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia
PoV Asty"Jangan ambil mobilku!" seru Mbak Vita. Ia terus menjerit saat mobil putih miliknya dibawa pergi orang yang sudah membelinya secara kontan. Orang itu tentu sana tidak peduli meski kakak iparku itu terus saja memohon agar tidak membawa mobilnya karena memang sudah lunas. "Sudahlah, ikhlaskan saja mobil dari hasil utang itu. InsyaAllah kita bisa beli dengan uang kita sendiri suatu saat nanti. Asalkan kita berusaha pasti bisa. Sekarang kita terima naik motor dulu kalau mau ke mana-mana." Mas Danang merangkul pundak istrinya dengan lembut. "Duh, Gusti. Sudah nggak punya mobil lagi, ponsel bagus yang bisa buat selpi dengan hasil bagus juga nggak ada. Bagaimana aku bisa hidup tanpa keduanya?" Mbak Vita terisak dalam pelukan suaminya. "Sudah, Vit. Nggak apa-apa. Aku juga nggak punya mobil masih bisa bernapas dan segar bugar hingga saat ini, kok. Mobil itu bukan kebutuhan primer bagi kita. Kecuali kalau Asty yang punya bisnis dan punya orang tua yang tinggal di tempat yang jauh,
"Bagaimana, Bay. Apakah sudah ada yang berminat untuk beli mobilku?" tanyaku pada Ubay. Ia lebih berpengalaman mengenai jual beli mobil ini, makanya aku butuh bantuannya. "Sabar, Mas. Yang namanya jual mobil itu enggak seperti jual makanan, butuh proses," jawab Ubay. "Bagaimana aku bisa sabar, Bay. Aku sudah kepikiran dengan sertifikat itu." Aku memainkan jari tangan karena gelisah. "Iya, Mas. Ini sedang aku tawarkan pada salah seorang teman. Dia bilang sedang butuh mobil. Aku tidak menjual dengan cara ditawarkan secara online biar cepet. Jangan khawatir, orang ini amanah, kok." Ubay menepuk pundakku. "Iya, Bay. Aku percaya sama kamu." Aku tersenyum. Aku sudah mantap menjual mobil itu meski Vita merengek dan merajuk sepanjang malam. Aku sudah bertekad ingin membuang kebiasaan buruknya selama ini yaitu suka membeli barang yang tidak terlalu penting dan ingin dianggap wah oleh orang lain padahal sebenarnya gelisah. Aku tega melakukan ini karena melihat Mas Karim yang berhasil men
Biaya Selamatan Atas Meninggalnya Bapak61PoV DanangTubuhku seakan lemas tidak bertulang mendengar pengakuan Vita tentang sertifikat itu. Bagaimana mungkin ia begitu ceroboh memberikan barang berharga itu pada orang lain? Kenapa ia sebodoh itu memberikan surat berharga itu hanya demi perhiasan yang bisa dijual dengan harga yang tidak seberapa meski itu ibunya sendiri. Kuusap peluh yang terus mengucur di pelipis. Dadaku terasa sesak menghadapai kenyataan ini. Bayangan buruk mulai menghantui. "Maafkan aku, Mas!" Vita masih memeluk kakiku, tetapi tiba-tiba ia berseru, "aduh, sakit!"Vita memegangi perutnya yang sudah mulai membuncit itu hingga membuat semua orang panik. "Kamu kenapa, Vit?" tanya ibu. "Perutku kram, Bu." Vita terduduk lalu memegangi perutnya sambil meringis. Aku memutar bola mata malas. Aku sudah hafal dengan tabiatnya si Vita. Saat dimarahi ia akan mencari perhatian agar orang-orang bersimpati padanya. Kebiasaan. "Danang, kenapa kamu diam saja? Ayo bantu istrimu.
"Apa maksudmu utang dengan menjaminkan sertifikat? Sertifikat apa? Bukankah kamu bilang kalau mobil itu dari hasil penjualan emas milik ibu, ya? Sehingga kamu selalu membanggakan ibumu sendiri dibanding ibuku yang kamu bilang tidak perhatian dan pilih kasih?" tanya Mas Danang yang ternyata sudah ada di belakang Mbak Vita. "Em, enggak, Mas. Aku hanya bercanda aja. Iya, mobil itu memang aku beli dari hasil penjualan emas milik ibu karena ibuku itu sayaaaaang banget padaku sehingga rela memberikan apa saja yang ia punya untuk anak perempuannya yang cantik ini," jawab Mbak Vita. "Tadi kamu bilang sertifikat, sertifikat apa?" tanya Mas Danang lagi. Kali ini dengan nada tinggi. "Udah, Mas. Nggak ada, aku hanya salah ngomong aja. Namanya juga lidah, sudah pasti sering kepeleset, kan? Ya, tadi kalau yang bernama Mas Karim dan istrinya yang bernama Mbak Nurma itu iri karena kita punya mobil sedangkan ia hanya mampu beli motor second." Mbak Vita melirik kakak iparnya-Mas Karim. Dibilang iri
"Enak, kan, Bu?" tanya Mas Karim. Ia mengambil makanan lalu menyuapkan ke mulut ibu. Manisnya perlakuan kakak sulungku pada ibunya ini. Ah, seandainya semua anak ibu seperti itu, pasti aku tidak kepikiran membiarkan ibu tetap tinggal di sini. Sayang, anak yang perhatian itu malah tinggal di desa yang berbeda. Meski jaraknya tidak terlalu jauh dan beberapa menit saja sudah sampai, tetap saja tidak bisa berkunjung setiap hari karena punya kesibukan sendiri. "Ini Nurma yang masak?" tanya ibu. Mas Karim tersenyum. "Iya, lah, Bu. Di rumah kami tidak punya asisten rumah tangga seperti di rumah Asty yang setiap kali makan sudah ada yang memasak." "Aku juga masih suka masak, kok, Mas." Aku tersenyum. "Bagaimana rasanya, ya, pulang asisten rumah tangga yang mau apa-apa tinggal memerintah saja tanpa harus repot turun tangan sendiri. Lapar tinggal bilang 'Mbok, laper, bikinin nasi goreng, dong. Atau saat haus dan sedang asyik nonton tivi langsung berteriak 'Mbok, buatkan jus mangga, dong.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments