Suasana menjadi hening setelah mendengar ucapan Mas Ubay, tiba-tiba Mbak Sindi tertawa yang diikuti oleh yang lain. Hanya aku, Mas Karim, dan ibu yang tidak tertawa. Suasana di ruangan itu menjadi heboh dan aku hanya bisa geleng kepala melihatnya.
"Ada apa ini? Kenapa kalian tertawa seperti ini?" tanyaku dengan dahi mengernyit.
Mas Danang menghentikan tawanya, lalu mendekatiku. "Asty, bilang ke suamimu ini kalau mau bicara atau memberi tanggapan itu dengarkan dulu baik-baik apa yang dikatakan sebelumnya, jangan baru saja muncul langsung ngomong aja. Memangnya dia tahu berapa total utang yang harus dibayarkan?"
Aku menatap lekat suamiku yang terlambat ikut musyawarah ini. "Mas, kamu sudah dengar berapa utang yang harus kami bayarkan?"
Suamiku yang merupakan satu-satunya menantu lelaki di rumah ini itu mengangguk. "Aku memang baru datang, Dek, karena tadi perutku mulas, tapi aku sudah dengar semuanya kalau utang biaya selamatan bapak sebesar_
Ucapan Mas Ubay dipotong oleh Mas Gani. "Ubay, Ubay, yang meninggal itu bapak kami dan kamu hanya menantu di sini, tetapi kenapa justru kamu yang begitu bersedih sehingga harus kehilangan kewarasan seperti ini?"
Aku dan Mas Ubay mengernyitkan dahi mendengar pernyataan Mas Gani
"Kehilangan kewarasan? Siapa yang kehilangan kewarasan, Mas?" tanyaku.
Mas Gani tertawa lagi. "Jelas suamimu ini lah. Dengan bilang kalau akan membayar semua biaya selamatan bapak ini sudah menunjukkan kalau ia tidak waras. Memangnya suamimu itu punya uang?"
Lagi. Mereka tertawa riuh padahal tidak ada yang lucu.
"Halumu itu terlalu tinggi, Bay. Biaya selamatan bapak adalah sebesar 22 juta dan kamu tidak mungkin akan sanggup membayarnya sendiri," sahut Mas Danang sambil menyesap rokoknya sehingga ruangan ini dipenuhi dengan asap.
"Namanya juga halu, jadi, ya bebas mau ngomong apa saja termasuk bilang mau bayar utang sebanyak 22 juta. Ingat, Bay, dua puluh dua." Mas Gani menatap tajam suamiku seraya menunjukkan jari tengah dan jari manisnya.
Aku menggenggam erat tangan suamiku untuk memberi isyarat agar tidak perlu membantah ucapan Mas Gani lagi. Dihina seperti ini sudah biasa di sini. Itulah yang membuat kami jarang pulang ke sini karena hanya hinaan yang akan kami dapatkan.
Mendengar ucapan Mas Gani semua kembali tertawa, astaghfirullah, baru tujuh hari bapak meninggalkan kami semua, kenapa tidak ada rasa sedih sama sekali di wajah para kakakku itu? Mereka bahkan bisa tertawa lepas seperti tanpa beban.
"Ubay, kamu boleh bilang kalau mau bayar utang bapak yang sebenarnya ini adalah tanggung jawab kita bersama, tetapi sebagai anak laki-laki dan tertua di rumah ini, aku tidak setuju jika kamu yang menanggung semuanya," kata Mas Karim setelah semuanya kembali tenang.
"Kenapa, Mas? Kamu juga tidak percaya kalau Mas Ubay sanggup membayarnya?" tanyaku.
Mas Karim tersenyum dan menatap lekat wajahku. "Maafkan aku, As. Bukannya aku tidak percaya dengan kemampuan kalian, tetapi kami malu jika sampai tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk biasa selamatan bapak ini. Ini adalah tanggung jawab kita bersama sebagai anak. Jadi, sudah kuputuskan untuk tetap membagi rata semuanya,"
"Aku juga tidak setuju jika Ubay yang harus menanggung semunya. Kita bisa kehilangan harga diri jika sampai melimpahkan tanggung jawab padanya," sahut Mas Gani--anak kedua ibu.
"Betul itu, Mas. Mau ditaruh di mana muka kita ini kalau sampai biaya selamatan bapak yang tidak seberapa itu harus ditanggung sendiri oleh Ubay? Bisa besar kepala dia nanti. Biar adil, 22 juta itu kita bagi rata saja jadi semuanya dapat bagian lima setengah juta. Bagaimana? Setuju, kan?" tanya Mas Danang.
Beberapa saat kami terdiam dan saling pandang serta saling memberi isyarat dengan kedipan mata.
"Bagaimana, As? Kamu tidak keberatan, kan, kalau dapat bagian sama dengan kami yang anak laki-laki?" tanya Mas Karim.
Aku memandang Mas Ubay dan lelaki pemilik senyum manis itu mengangguk. "Iya, aku tadi juga ingin bicara begitu karena tadi kalian ribut."
"Sudah kuduga kalau sebenarnya kamu juga tidak akan mampu membayar semuanya. Jadi, sepakat, ya, kita akan bagi rata?" tanya Mbak Sindi.
"Eh, tunggu!" seru Mbak Nurma memecah keheningan.
"Ada apa lagi, Mbak?" tanya Mas Gani mengurungkan niatnya untuk berdiri setelah mendengar seruan Nurma.
"Kalau utangnya dibagi rata, itu artinya semua sembako hasil sumbangan yang ada di kamar itu juga harus dibagi, kan?" Istri Mas Karim itu menunjuk sebuah kamar yang terbuka sedikit.
Di sini, saat ada orang meninggal, selain ada yang menyumbang uang, ada juga yang menyumbang berupa sembako seperti beras, gula pasir, tepung terigu, minyak goreng, mie kering dan lainnya.
Mas Karim menyenggol lengan sang istri, pipinya mendadak semerah tomat, jelas kalau ia malu dengan ucapan istrinya barusan. "Kamu ini apa-apaan, sih, Dek?"
Wanita yang memakai kerudung instan warna biru itu melotot.
"Kenapa, Mas? Aku benar, kan? Kalau utangnya dibagi, ya, sembako yang banyak itu harus dibagi juga, kan? Kalau tidak, lalu itu milik siapa?" seru Mbak Nurma dengan napas terengah-engah.
"Benar itu, Mbak. Tidak mungkin sembako sebanyak itu menjadi milik Ibu sedangkan ibu tidak ikut menanggung biaya selamatan ini," ucap Mbak Vita yang yang merupakan istri Mas Danang.
"Ah, ya, aku baru ingat, kenapa ibu nggak ikut dapat bagian utang ini?" tanya Mbak Sindi.
Semua orang saling berpandangan mendengar ucapan Mbak Sindi.
"Maksudmu apa, Sin?" Mas Gani balik bertanya.
"Seharusnya utang 22 juta itu dibagi lima bukan empat karena ada ibu," papar Mbak Sindi dengan tangan bersedekap.
"Apa? Ibu juga harus dapat bagian bayar utang?" tanya Ibu sambil menggeleng.
Aduh, Lama-lama aku bisa gila jika terus-terusan berada di sini.
PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia
PoV Asty"Jangan ambil mobilku!" seru Mbak Vita. Ia terus menjerit saat mobil putih miliknya dibawa pergi orang yang sudah membelinya secara kontan. Orang itu tentu sana tidak peduli meski kakak iparku itu terus saja memohon agar tidak membawa mobilnya karena memang sudah lunas. "Sudahlah, ikhlaskan saja mobil dari hasil utang itu. InsyaAllah kita bisa beli dengan uang kita sendiri suatu saat nanti. Asalkan kita berusaha pasti bisa. Sekarang kita terima naik motor dulu kalau mau ke mana-mana." Mas Danang merangkul pundak istrinya dengan lembut. "Duh, Gusti. Sudah nggak punya mobil lagi, ponsel bagus yang bisa buat selpi dengan hasil bagus juga nggak ada. Bagaimana aku bisa hidup tanpa keduanya?" Mbak Vita terisak dalam pelukan suaminya. "Sudah, Vit. Nggak apa-apa. Aku juga nggak punya mobil masih bisa bernapas dan segar bugar hingga saat ini, kok. Mobil itu bukan kebutuhan primer bagi kita. Kecuali kalau Asty yang punya bisnis dan punya orang tua yang tinggal di tempat yang jauh,
"Bagaimana, Bay. Apakah sudah ada yang berminat untuk beli mobilku?" tanyaku pada Ubay. Ia lebih berpengalaman mengenai jual beli mobil ini, makanya aku butuh bantuannya. "Sabar, Mas. Yang namanya jual mobil itu enggak seperti jual makanan, butuh proses," jawab Ubay. "Bagaimana aku bisa sabar, Bay. Aku sudah kepikiran dengan sertifikat itu." Aku memainkan jari tangan karena gelisah. "Iya, Mas. Ini sedang aku tawarkan pada salah seorang teman. Dia bilang sedang butuh mobil. Aku tidak menjual dengan cara ditawarkan secara online biar cepet. Jangan khawatir, orang ini amanah, kok." Ubay menepuk pundakku. "Iya, Bay. Aku percaya sama kamu." Aku tersenyum. Aku sudah mantap menjual mobil itu meski Vita merengek dan merajuk sepanjang malam. Aku sudah bertekad ingin membuang kebiasaan buruknya selama ini yaitu suka membeli barang yang tidak terlalu penting dan ingin dianggap wah oleh orang lain padahal sebenarnya gelisah. Aku tega melakukan ini karena melihat Mas Karim yang berhasil men
Biaya Selamatan Atas Meninggalnya Bapak61PoV DanangTubuhku seakan lemas tidak bertulang mendengar pengakuan Vita tentang sertifikat itu. Bagaimana mungkin ia begitu ceroboh memberikan barang berharga itu pada orang lain? Kenapa ia sebodoh itu memberikan surat berharga itu hanya demi perhiasan yang bisa dijual dengan harga yang tidak seberapa meski itu ibunya sendiri. Kuusap peluh yang terus mengucur di pelipis. Dadaku terasa sesak menghadapai kenyataan ini. Bayangan buruk mulai menghantui. "Maafkan aku, Mas!" Vita masih memeluk kakiku, tetapi tiba-tiba ia berseru, "aduh, sakit!"Vita memegangi perutnya yang sudah mulai membuncit itu hingga membuat semua orang panik. "Kamu kenapa, Vit?" tanya ibu. "Perutku kram, Bu." Vita terduduk lalu memegangi perutnya sambil meringis. Aku memutar bola mata malas. Aku sudah hafal dengan tabiatnya si Vita. Saat dimarahi ia akan mencari perhatian agar orang-orang bersimpati padanya. Kebiasaan. "Danang, kenapa kamu diam saja? Ayo bantu istrimu.
"Apa maksudmu utang dengan menjaminkan sertifikat? Sertifikat apa? Bukankah kamu bilang kalau mobil itu dari hasil penjualan emas milik ibu, ya? Sehingga kamu selalu membanggakan ibumu sendiri dibanding ibuku yang kamu bilang tidak perhatian dan pilih kasih?" tanya Mas Danang yang ternyata sudah ada di belakang Mbak Vita. "Em, enggak, Mas. Aku hanya bercanda aja. Iya, mobil itu memang aku beli dari hasil penjualan emas milik ibu karena ibuku itu sayaaaaang banget padaku sehingga rela memberikan apa saja yang ia punya untuk anak perempuannya yang cantik ini," jawab Mbak Vita. "Tadi kamu bilang sertifikat, sertifikat apa?" tanya Mas Danang lagi. Kali ini dengan nada tinggi. "Udah, Mas. Nggak ada, aku hanya salah ngomong aja. Namanya juga lidah, sudah pasti sering kepeleset, kan? Ya, tadi kalau yang bernama Mas Karim dan istrinya yang bernama Mbak Nurma itu iri karena kita punya mobil sedangkan ia hanya mampu beli motor second." Mbak Vita melirik kakak iparnya-Mas Karim. Dibilang iri
"Enak, kan, Bu?" tanya Mas Karim. Ia mengambil makanan lalu menyuapkan ke mulut ibu. Manisnya perlakuan kakak sulungku pada ibunya ini. Ah, seandainya semua anak ibu seperti itu, pasti aku tidak kepikiran membiarkan ibu tetap tinggal di sini. Sayang, anak yang perhatian itu malah tinggal di desa yang berbeda. Meski jaraknya tidak terlalu jauh dan beberapa menit saja sudah sampai, tetap saja tidak bisa berkunjung setiap hari karena punya kesibukan sendiri. "Ini Nurma yang masak?" tanya ibu. Mas Karim tersenyum. "Iya, lah, Bu. Di rumah kami tidak punya asisten rumah tangga seperti di rumah Asty yang setiap kali makan sudah ada yang memasak." "Aku juga masih suka masak, kok, Mas." Aku tersenyum. "Bagaimana rasanya, ya, pulang asisten rumah tangga yang mau apa-apa tinggal memerintah saja tanpa harus repot turun tangan sendiri. Lapar tinggal bilang 'Mbok, laper, bikinin nasi goreng, dong. Atau saat haus dan sedang asyik nonton tivi langsung berteriak 'Mbok, buatkan jus mangga, dong.